Dari saya
Terima kasih bagi netter yang telah ke blog saya, dan menyediakan sedikit waktunya untuk membaca buah pikiran saya. Saya sangat senang jika apa yang saya pikirkan mendapat respon positif ataupun negatif. Dan saya dapat dihubungi di 08127627068. Salam mari berbagi kedamaian.
M.Rawa El Amady
Sabtu, 20 Oktober 2007
PEMIKIRAN EKONOMI AGARARIS : Suatu Studi Pengantar
Oleh Rawa El Amady
Tulisan ini mengkaji tentang sosio-ekonomi agraris di pedesaan dan perkotaan, yaitu mediskripsikan pemikiran ekonomi rumah tangga miskin dengan menggunakan pendekatan sosiologi. Kalangan ekonom dan politisi sering sekali tidak tepat merumuskan kebijakan untuk rakyat miskin disebabkan jarak antara pemikiran ekonomi rakyat miskin dengan pemikiran para ekonom sangat jauh. Para ekonom bias dalam menganalisis masalah ekonomi rakyat miskin ini karena terlalu otonom sehingga mengabaikan aspek sosialnya. Begitu juga politisi, sering sekali melihat rakyat miskin sebagai kelompok yang lemah dan tergantung. Padahal dalam beberapa kajian sosiologis rakyat miskin tersebut sangat mandiri. Pengaruh pemikiran ekonomi dan hambatan struktural menimbulkan kesan bahwa rakyat miskin adalah pribadi yang lemah, perlu bantuan dan sebagainya.
Melalui tulisan ini terungkap bahwa faktor kemiskinan dipengaruhi oleh pertama, pemikiran ekonomi rumah tangga yang subsisten ditengah pemikiran ekonomi pasar dan kapitalis. Bahwa pemikiran ekonomi subsisten tidak akan menyebabkan kemiskinan jika tidak berada dalam pengaruh ekonomi pasar dan kapitalis. Kedua, kemiskinan juga dipengaruhi oleh struktur sosial-ekonomi yang mengikat rumah tangga untuk tetap kukuh pada pemikiran ekonomi subsisten. Ketiga, struktur politik yang secara diam-diam ingin mempertahankan kemiskinan sebagai komoditas politik.
Pemikirakan ekonomi rakyat miskin, baik pedesaan maupun perkotaan sangat terkait dengan prilaku ekonomi rakyat yaitu produksi sama dengan konsumsi, nilai produksi tidak boleh melebihi dari nilai konsumsi atau dasar berproduksi adalah jumlah konsumsi yang dibutuhkan saat itu juga. Prilaku ini dikenal dengan subsisten eknomi. Pemikiran ini dipengaruhi oleh ketersedian sumber daya ekonomi pada alam yang tanpa modal. Sehingga asumsi adalah bahwa diperlukan kesinambunagan lingkungan atau alam untuk menjaga ketersediaan makanan bagi keturunannya. Pemikiran ini tentu sangan positif untuk menjadi keseimbangan ekologi. Tetapi ketika pemikiran ini dihadapkan pada ekonomi pasar dan kapitalisme, maka yang akan terjadi adalah marjinalisasi rakyat, karena dengan kekuatan modal yang dimiliki kapitalis, sumber daya alam yang tersedia habis, sementara rakyat miskin ini tidak mampu secara cepat merevisi pemikiran ekonomi dan merespon struktur sosial yang berubah tersebut.
Ekononi Subsisten
Pelopor ekonomi subsisten adalah Chayanov (1966) seorang ekonom Rusia dengan istilah ekonomi non kapitalis. Kemudian konsep ini dipopulerkan oleh Scott, Ever, Wong, dan Claus (1984) dengan ekonomi subsisten. Chayanov mengambarkan ekonomi subsisten ini dengan houseshold utility maximisation (menggunakan secara berlebihan). Assumsi kunci dari teori mikro ekonomi rumah tangga (subsisten) petani ini , yaitu pertama tidak ada pasar tenaga kerja, misalnya tenaga kerja tidak disewa oleh keluarga, dan tidak ada bantuan kerja dari anggota keluarga dari luar rumah. Kedua, hasil kebun hanya untuk konsumsi keluarga dan kalau dijual harga ditentukan oleh pasar. Ketiga, semua keluarga tani lebih mudah berhubungan dengan tanah untuk dikerjakan. Keempat, dalam komunitas tani, norma sosial membuat rendahnya pendapatan.
Lebih jelas lagi, Chayanov menerangkan household utulity maximisation sebagai usaha memaksimal potensi ekonomi rumah tangga melalui tenaga kerja rumah tangga tanpa bayar, dan memaksimalkan fungsi lahan pertanian yang sempit. Setiap produksi dicoba untuk mencapai keseimbangan antara produksi dan konsumsi. Semakin tinggi produksi semakin besar konsumsi. Semakin kecil produksi semakin kurang konsumsi.
Hampir sama dengan Chayanov, Ellis (1988) dalam bukunya Peasant Economics, Farm Households And Agrarian Development mengemukan bahwa ekonomi subsisten meliputi tiga unit, yaitu pertama, aktivitas ekonomi adalah sebagai pekebun (farmer), Kedua, tanah sebagai basis ekonomi, ketiga, pekerja berasal dari keluarga yang tidak dibayar. Keempat, modal, jumlah produksi sama dengan konsumsi, dan kelima konsumsi adalah konsumsi subsisten.
Elis juga menyebut tiga indikator penting ekonomi petani subsisten, yaitu tiada tempat secara khusus dalam ekonomi nasional; merupakan ekonomi tradisional, kecil dan subsisten yang wujud dalam ekonomi pertanian; tidak mempunyai pasar yang luas, cenderung merupakan ekonomi keluarga. Famili sebagai unit sosial yang menjalin hubungan persahabatan antara penduduk, sedangkan rumah tangga sebagai unit sosial dimaksudkan untuk kebersamaan dalam senang dan susah.
Pendapat Ellis berbeda dengan pendapat Ever (1993) yang memberi dua varibel utama ekonomi subsisten, yaitu unit rumah tangga dan unit komunitas. Kedua unit tersebut mempunyai hubungan keterkaitan yang sangat kuat baik dalam proses produksi maupun konsumsi. Rumah tangga merupakan unit produksi dan konsumsi yang menjadi teras utama ekonomi, pekerja adalah anggota keluarga tanpa bayar. Selain menjadi buruh rumah tangga, anggota keluarga juga menjadi buruh tanpa bayar dalam hubungan dengan komunitas. Pada sistem ekonomi subsisten nilai produksi dan konsumsi tidak dapat dipisahkan, bergotong royong membangun rumah warga merupakan produksi jasa yang secara otomatis juga memperoleh konsumsi dan nilai saving jasa.
Dari pemikiran Evers dan Chayanov, 1 dapat disimpulkan bahwa ekonomi subsisten adalah produksi yang dihasilkan oleh pekerja rumah tangga tanpa bayar yang bertujuan untuk konsumsi langsung, di mana sumber produksi adalah alam atau jasa. Produksi rumah tangga ekonomi subsisten tidak terikat dengan pasar dan juga lepas dari statistik pemerintah. Definisi ini tentu berbeda dengan definisi subsistensinya Scott (1966) sebagai usaha maksimal rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan minimal rumah tangga.
Ekonomi subsisten dalam defenisi ini dijumpai di pedesaan Sumatera, khususnya Riau, Sumsel, dan Sumut bahkan di Jawa secara merata.yang memegang prinsip keseimbangan produksi. Temuan Dove (1985) di Kalimantan, Brewer (1985) di Bima, Schefold (1985) di Mentawai membenarkan pandangan ini. Jumlah produksi ini bukan hanya menentukan konsumsi tetapi juga menentukan jam kerja. Jika kerja dalam 60 jam cukup untuk konsumsi sebulan maka dalam sebulan mereka hanya bekerja selama maksimal 60 jam.
Sebaliknya, jika produksi selama sebulan tidak mencukupi konsumsi minimum rumah tangga, maka total konsumsi akan diminimalisir, jam kerjapun akan semakin banyak. Termasuk misalnya dari makan dua kali sehari menjadi satu kali sehari. Sebagaimana yang dinyalir Scott bahwa apabila petani sudah sampai batas etika subsistensi mereka akan mengganti jenis konsumsi dari beras ke umbi-umbi.
Pada ekonomi subsisten petani tidak mempunyai standar kebutuhan dasar. Standar petani adalah konsumsi, makin tinggi produksi maka standar konsumsi dalam rumah tangga juga tinggi. Apabila panen tahun ini bisa mencukupi sampai panen tahun berikutnya, hasil kerja bulanan dan mingguan akan digunakan untuk membelanjakan keperluan skunder lainnya, artinya hutang akan berkurang. Sayur-mayur, buah-buahan, daging merupakan produksi sendiri, hanya minyak, gula, kopi, garam, korek dan pakaian dan keperluan skunder lainnya dibeli dari hasil kerja mingguan atau bulanan.
Kelebihan produksi dari konsumsi akan didistribusikan kepada kerabat dekat, bahkan dialokasikan untuk dana sosial menyumbang pembangunan fasilitas desa atau bahkan membantu kerabat dalam melaksanakan perayaan. Saving dalam arti ekonomi moderen tidak berlaku pada ekonomi subsisten, yang berlaku adalah persiapan modal untuk konsumsi besar (konsumsi massal) seperti perayaan lebaran, pesta perkawinan, pesta kelahiran dan pesta desa lainnya. Setelah berbagai upacara tersebut selesai kondisi ekonomi rumah tangga kembali semula bahkan cenderung makin sulit karena beban hutang dari konsumsi besar tersebut.
Memahami ekonomi subsisten dapat dengan mudah karena ekonomi subsisten hanya mempunyai dua variabel yaitu variabel produksi dan variabel konsumsi. Prinsip-perinsip ekonomi pasar tetap diadopsi secara tidak tepat pada ekonomi subsisten, yaitu produksi, konsumsi, saving dan hutang. Tujuan produksi pada ekonomi subsisten adalah konsumsi. Jenis produksi sama dengan jenis konsumsi, atau jenis produksi dipengaruhi oleh jenis konsumsi. Ever membagi konsumsi pedesaan menjadi dua yaitu konsumsi rumah tangga dan konsumsi komunitas. Konsumsi rumah tangga diproduksi oleh rumah tangga dan subsidi komunitas, sedangkan konsumsi massal berasal dari subsidi dari masing-masing rumah tangga.
Saving (menabung) ditujukan untuk konsumsi massal, seperti menabung untuk menikah, menabung untuk pergi haji, dan pesta adat lainnya. Bentuk produksi adalah membuka lahan kemudian menanamnya dengan tanaman keras seperti karet, ketika prosesi konsumsi massal dilakukan maka kebun dan tanah tersebut dijual sebagai sumber utama keuangan. Saving juga sama dengan produksi massal untuk konsumsi jangka panjang. Contoh berladang menanam padi dan hasil panen dijadikan persediaan konsumsi sepanjang tahun.
Hutang bagi penduduk pendesaan ditujukan untuk pemenuhan kekurangan kebutuhan primer dan biaya massal. Hutang terjadi karena hubungan antara masyarakat dengan tauke, yang dibayar melalui hasil kerja harian atau bulanan serta jasa yang tidak dibayar. Tauke mempunyai inisiatif meningkatkan jumlah hutang setiap hari yang bertujuan untuk peningkatan ketergantungan. Kelas tauke ini sangat berpengaruh terhadap persepsi petani pada perubahan. Semakin tergantung petani pada tauke semakin sulit perubahan terjadi. Karena perubahan bagi tauke adalah ancaman kestabilan ekonomi, politik dan struktur sosial.
Konsumsi dalam masyarakat subsisten pedesaan merupakan tujuan utama produksi. Maka produksi ditentukan beberapa besar konsumsi yang diperlukan. Jika gambaran konsumsi lebih besar sementara faktor produksi juga besar maka aktivitas produksi akan tinggi guna memenuhi asumsi konsumsi. Chayanov (1966) menyebutnya dengan labor consume balance, Ellis (1988) dan Evers (1991) menyebutnya penggunaan produksi langsung.
Konsumsi secara umum dibagi menjadi dua, yaitu konsumsi rumah tangga dan konsumsi sosial. Konsumsi rumah tangga merupakan sejumlah penghasilan yang dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari rumah tangga. Sedangkan konsumsi sosial merupakan sejumlah penghasilan dikeluarkan untuk keperluan sosial, seperti sumbangan mesjid, sumbangan pesta perkawinan dan hantar ketika hari besar.
Konsumsi desa bercirikan pada kemampuan produksi atau jaminan pendapatan untuk dikonsumsi. Kemampuan produksi adalah jumlah lahan yang bisa diolah secara maksimal untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga melalui tenaga kerja tanpa bayar. Sedangkan jaminan pendapatan untuk kelangsungan konsumsi rumah tangga adalah menghutang. Institusi desa yang paling terkenal yang menjadi jaminan kelangsungan konsumsi adalah tauke. Tauke ini adalah pedagang di desa yang menjamin kelangsungan konsumsi.2
Tauke merupakan sumber over consumption, ketika produksi menurun sementara konsumsi meningkat, petani sering mengabaikan hukum household utulity maximization, dengan menambah hutang sesuai dengan kebutuhan konsumsi. Akibatnya seluruh produksi tahunan dan bulanan diserahkan semuanya ke tauke untuk membayar hutang. Jika kondisi ini berlaku maka tingkat ketergantungan petani tersebut akan semakin besar pada tauke, bahkan tauke bisa menjadi tuan bagi keluarga tersebut.3 Namun demikitan ketika taukenya bankrut hutang dianggap lunas.
Kondisi over consumption terjadi pada pertama, suatu massa tertentu terjadi penurunan harga komoditas, atau terjadi persitiwa alam atau kepala rumah tangga sakit keras.
Kedua, hari-hari besar agama seperti hari raya Idul Fitri, Idul Adha, muharam atau hari-hari besar adat. Pada hari itu semua masyarakat memaksimalkan konsumsi untuk merayakan hari besar tersebut sampai tiga hari. Selain biaya untuk makan juga pembelanjaan tahunan berupa pakaian dan penghiasan rumah.
Ketiga, perayaan perkawinan, kelahiran anak, tujuh bulanan, kematian dan lainnya. Semua jenis perayaan ukuran jumlah konsumsi adalah menyediakan konsumsi untuk satu kampung. Sumber konsumsi tersebut biasanya berasal dari harta kekayaan berupa tanah, kebun dan binatang ternak yang dijual dan berhutang pada tauke dan juga pemberian dari anggota komunitasnya.
Keempat, ada sebagian kecil dari keluarga petani yang ingin memperbaiki hari tuanya melalui pendidikan. Anak bagi keluarga desa adalah saving yang berguna di hari tua. Anak yang sekolah memerlukan dana besar apalagi kalau sampai kuliah di perguruan tinggi. Sumber biayanya kekayaan berupa tanah, kebun, ternak dan perhiasan dan meminjam uang ke tauke.
Dove mencatat (1985) pola konsumsi masyarakat Kantu yang peladang berpindah-pindah terdapat hubungan yang erat antara jenis produksi dengan konsumsi. Untuk makan mereka menanam padi dan sayur-sayuran di ladang. Untuk berbelanja yang memerlukan uang misalnya membeli garam, pakaian, minyak tanah, tembakau mereka menyadap karet dan menanam lada kemudian menjualnya. Selain itu, berburu, menangkap ikan, mengumpul hasil alam (hutan) memegang peranan yang amat penting.
Temuan Dove ini relevan dengan temuan di beberapa desa di Riau, yang mengindetifikasikan tiga pola konsumsi berdasarkan produksinya. Produksi tahunan yaitu berladang, bersawah merupakan konsumsi tahunan. Meneres getah karet, berbalak atau mencari hasil hutan lainnya merupakan konsumsi bulanan. Sedangkan untuk konsumsi harian diperoleh dari menanam sayuran di ladang atau diperkarangan, menangkap ikan, berburu, atau bantuan dari kerabat dekat.
Sedangkan konsumsi sosial atau desa cenderung berupa pengalihan tenaga kerja dari tenaga kerja rumah tangga menjadi tenaga kerja desa yang juga tidak dibayar. Pengalihan tenaga kerja ini diimplementasikan melalui sistem tolong menolong atau gotong royong (Sayogio dan Pudjiwati 1996) Tolong-menolong dilakukan antar petani yang bertetangga atau satu kelompok usaha atau kerabat dekat. Pada pekerjaan produksi biasanya tolong menolong ini dilakukan secara bergantian. Jika satu keluarga telah menolong satu keluarga lain, maka keluarga yang ditolong akan menyediakan waktu untuk menolong keluarga yang telah menolong keluarganya, begitulah terus menerus.
Gotong royong merupakan kegiatan desa yang dilakukan seluruh warga desa untuk satu jenis usaha tertentu. Misalnya memperbaiki jalan, membangun sarana bersama seperti sarana ibadah, kantor desa, balai pertemuan atau perayaan tertentu. Dalam gotong royong ini bukan hanya jasa (tenaga) yang dipakai oleh komunitas tetapi juga berupa barang dan konsumsi ringan. Setiap rumah tangga akan secara otamatis menyediakan konsumsi ketika gotong-royong dilaksanakan. Begitu juga bahan-bahan yang digunakan untuk membangun jalan, rumah ibadah, kantor desa atau balai pertemuan berasal dari sumbangan masing-masing rumah tangga. Sumbangan tersebut ada yang ditentukan jumlah besarnya tetapi ada juga sumbangan sukarela karena dipandang orang berada (kaya) di desa. Konsumsi sosial ini juga dikeluarkan untuk perayaan lain di desa.
Pola konsumsi di atas mengambarkan pola produksi. Semakin besar konsumsi semakin meningkat dan beragam aktivitas produksi. Ever, (1988) menjelaskan produksi pedesaan melalui dua variable, yaitu variabel rumah tangga dan variabel komunitas. Adapun variabel rumah tangga meliputi tenaga kerja, jenis lahan dan jenis pekerjaan dan reproduksi. Tenaga kerja dibagi berdasarkan sex dan umur. Kerja-kerja reproduksi dilakukan oleh perempuan dengan dibantu oleh anak-anak perempuan. Reproduksi meliputi reproduksi tenaga kerja rumah tangga dan reproduksi hasil kerja dari suami atau lelaki yang bekerja di luar rumah tangga terutama yang dimaksud Ever dengan sektor skunder dan tertier. Isteri selain berfungsi reproduksi juga melakukan produksi perkarangan, kraf tangan, pemeliharaan ternak dan pendidikan anak.
Sedangkan variabel luar rumah tangga adalah produksi yang diperoleh dari komunitas, bantuan keluarga termasuk bantuan dari anak yang sudah dewasa. Produksi dari komunitas ini adalah produksi yang berhimpit dengan konsumsi. Di mana jumlah produksi langsung berfungsi konsumsi, cenderung fungsi konsumsi lebih besar dari fungsi produksi. Ada beberapa kegiatan yang biasanya berfungsi produksi yaitu meliputi perayaan yang berkaitan dengan kelahiran, kematian, perkawinan, membuka hutan, membangun rumah, masa panen dan kegiatan yang memerlukan tenaga banyak orang. Rumah tangga selalu mendapat bantuan berupa jasa tenaga yang tidak dibayar. Jika dihitung dengan menggunakan nilai uang, maka jumlah pendapatan yang diperoleh jauh lebih besar dari biaya konsumsi yang dikeluarkan. Hanya saja bantuan jasa tersebut harus dibayar dengan tenaga pula pada waktu yang berbeda.
Sumber produksi di luar rumah tangga lainnya adalah bantuan dari keluarga, baik berupa warisan, maupun bantuan dari orang tua terhadap anaknya. Bantuan tersebut berbentuk uang, bahan mentah ataupun fasilitas konsumsi tanpa biaya untuk batas waktu yang tidak terbatas. Bentuk sumber pendapatan lain adalah berasal dari bantuan anak bagi orang tua yang sudah tua. Biasanya anak yang sudah sudah dewasa tapi belum menikah semua penghasilannya diserahkan kepada orang tuanya, termasuk juga bantuan anak yang sudah berkeluarga kepada orang tuanya.
Sistem produksi petani subsisten ini sangat beragam berdasarkan ekologi di mana petani berada. Untuk petani yang tinggal yang hutannya masih luas umumnya berladang berpindah-pindah, mengambil hasil hutan dan sungai. Brewer (Dove 1985) mengemukakan tiga sistem produksi Bima dan Mentawai dan Irian Jawa yaitu perlandangan berpindah-pindah, pengumpulan sagu, berburu dan meramu. Antara suku tersebut menunjukkan pola produksi yang sama, perbedaannya terletak pada jenis tanaman, cara pengolahan dan pemeliharaan. Di Mentawai misalnya hutan yang ditebang tidak dibakar dan ditanami umbi-umbian. Sementara di Bima, lahan yang sudah ditebang dibakar dan ditanami padi.
Catatan Anderson (1924), di mana orang Melayu Sumatera Utara berbasis ekonomi peladang, mereka membuka hutan pada musim kemarau di pinggir sungai dan menanam pada musim penghujan. Pada tahun ketiga ladang tersebut ditanami sayur-sayuran, umbi-umbian, tebu, pisang, jagung, lada dan tembakau. Di kawasan kampung (perkarangan) di tanam jambu, delima, asam jawa, nangka sukun, dan jenis tumbuhan keras lainnya. Selain itu orang Melayu juga memanfaatkan hasil hutan seperti tumbuhan jenis akar, rotan damar dan kayu semuanya dijual ke pasar eksport.
Pelly (1996) menyebutkan bahwa kultur produksi Melayu adalah berladang, nelayan dan perdagangan, orang Melayu membuka hutan untuk memproduksi tanaman ekspor. Produksi tanaman ekspor tersebut dijual ke pedagang kemudian pedagang yang melakukan transaksi antar pulau dan antar negara.
Pada desa yang masih melakukan kegiatan perladangan, hutanlah yang menjadi sumber ekonomi utama petaninya, menurut Sutrisno (1991) selain hutan menjadi sumber berbagai usaha pertanian dan makanan atau cirtical support, hutan juga berfungsi sebagai penjamin penduduk untuk makan sepanjang tahun atau food security. Tanah dan hutan bagi masyarakat petani menjadi sumber ekonomi pertama keluarga, baik itu ekonomi primer dan skunder. Semakin luas hutan dan tanah yang dimiliki semakin baik kehidupan ekonomi keluarga, karena aktivitas penduduk di desa sangat tergantung pada bidang pertanian yang sangat memerlukan tanah.
Untuk memenuhi keperluan hidup di luar dari produksi tahunan petani mengumpulkan hasil hutan seperti rotan, damar, gaharu, minyak seminai, minyak kruing, buah balam, kapur barus dan gading gajah untuk dijual pasaran dunia. Ini menunjukkan bahwa sektor skunder dan tersier merupakan sumber ekonomi yang sama pentingnya dengan sumber ekonomi primer (pertanian). Sering dijumpai, sektor primer dikuasai wanita, sedangkan sektor skunder dan tersier dikuasai oleh lelaki (disinilah arti pembagian kerja bagi petani)
Gee (1977) secara jelas memaparkan beberapa pola produksi petani subsisten di Malaysia, adalah menembak, nelayan, dan mengambil hasil hutan. Hubungannya dengan pasar penjulan barang terbatas dan karakteristik ekonomi melalui unit produksi yang kecil, teknologi sederhana, dan sangat rendah spesialisasi. Instrumen baru ekonomi mereka adalah kedai yang berada di kampung, yang menjual semua keperluan dan membeli produksi kampung. Mereka juga tidak semata-mata tergantung pada perladangan padi, tetapi juga ada tanaman lain yang juga penting, seperti sayuran-sayuran dan buahan-buahan. Tanaman padi dicampur dengan tanaman lain yang lebih komplek. Pandangan di atas membantah asumsi bahwa sumber utama ekonomi petani adalah lahan petanian dengan fokus produksi pertanian, berapa luas lahan, bagaimana pengolahan (kapasitas produksi) dan bagaimana distribusinya. Asumsi ekonomi petani tersebut menimbulkan kekeliruan pemahaman petani terhadap ekonomi.
Hasil dari observasi petani Riau, Sumsel dan Jambi menunjukkan bahwa pola produksi petani berbanding lurus dengan prilaku konsumsi dan sumber daya produksi. Padi bagi petani adalah pembelanjaan tahunan, sebab itu petani hanya berladang atau bersawah setahun sekali mengikuti siklus hujan dan kemarau. Produksi sekali beladang atau bersawah dijadikan untuk konsumsi setahun. Jika produksi padi bisa mencukupi setahun artinya jaminan konsumsi untuk setahun. Apabila padi tidak mampu mencukupi konsumsi setahun, maka pembelanjaana untuk konsumsi beras dialihkan ke produksi bulanan, bahkan bisa juga mingguan atau harian biasanya melalui tauke dengan mengambil dulu membayar setelah sebulan bahkan kadang lebih.
Menanam tanaman keras adalah saving bagi petani untuk masa tujuh hingga 20 tahun. Perkebunan rakyat yang di gemari di Riau daratan, Jambi dan Sumsel adalah getah karet, pada tahun 2000 ini beralih ke sawit. Kebun ini apabila sampai waktu produksinya menjadi sumber utama ekonomi rumah tangga yang diproduksi setiap hari tetapi konsumsi bulanan. Aktivitas utama petani di tiga provinsi ini adalah kerja di perkebunan rakyat, baik itu kebun sendiri maupun di kebun orang lain dengan bagi hasil. Kerja bulanan di sektor kebun ini sering juga diganti dengan mencari balak, rotan, damar dan semua kekayaan hutan.
Potensi Perubahan
Pandangan bahwa prilaku subsisten tidak bisa berubah merupakan pandangan yang bias. Pandangan ini muncul karena tinginya keberpihakan kepada kelompok kelas menengah pedesaan, yaitu dengan maksud mengekalkan struktur tauke di masyarakat. Secara bertahap pemikiran ekonomi subsisten akan berubah dengan alasan pememikiran ekonomi agraris ini merupakan produk dari struktur agraris dari sistem social yang ada. Maka perubahan ekonologi sosial yang tidak terkontrol menyebabkan peningkatan kemampuan perubahan pemikiran ekonomi rumah tangga dan adaptasi sosial. Kerusakan struktur sosial akan perlahan membawa kearah elegaliterian sehingaa terjadi pengembangan pilihan-pilihan alternatif yang tidak terikat dengan struktur sosial lama yang berdampak pada perubahan cara pikir, budaya dan prilaku ekonomi. Peningkatan perobahan tersebut akan mempengaruhi pola produksi dan konsumsi dan secara lambat akan mempengaruhi perubahan pemikiran ekonomi agraris tersebut.
Oleh sebab itu, kehadiran kebun sawit, industri bubur kertas, imigrasi besar-besaran telah dipastikan akan merombak tatanan struktural lama. Perombakan struktural ini telah menyebabkan perobahan ekonomi subsisten ke ekonomi pasar. Rumah tangga sudah berada pada ekonomi pasar tetapi cara berpikir masih ekonomi subsisten, ini terjadi karena tidak tampilnya negara untuk mengantikan posisi tauke pada struktur yang berubah tersebut. Pada desa-desa kawasan industri akan dijumpai penduduk miskin sudah memiki rekening di bank untuk menyimpan uang. Rekening bank ini sebagai petanda masuk rakyat miskin pedesaan ke pemikiran ekonomi pasar. Perubahan telah terjadi, maka mau tidak mau prilaku ekonomi turut berubah.
Pada sistem sosial yang egaliter akan menyebabkan terjadi perkembangan pemikiran terus-menerus pada masyarakat petani di pedesaan. Ini disebabkan struktur yang menghambat masyarakat untuk berkembang semakin kecil. Perubahan kelas para tauke dan berubah kelas feodal, menyebabkan ketergantungan ekonomi dan sistem patronase juga terganggu. Contoh konkrit yang menarik dari keinginan berubah adalah semua keluarga menyekolahkan anaknya yang sebelumnya tidak pernah dipikirkan mereka. Pendidikan merupakan gerbong keperubahan pemikiran ekonomi walaupun tidak secara otomatis diikuti oleh cara berpikir ekonomi.
Pada tahap awal bentuk-bentuk perubahan menuju kearah negatif. Penduduk yang merasakan tekanan yang sangat besar secara ekonomi dan politik. Tetapi mengikut naluri manusiawinya mereka harus bertahan hidup. Oleh sebab itu, penduduk akan merespon segala bentuk perubahan itu sesuai dengan kemampuan pemikiran ekonomi dan potensi yang bisa dimanfaatkannya.
Penelitian Usman Pelly (1996) di Sumatera Utara menemukan bahwa setelah masuk industri, lahan berkurang masyarakat Melayu kehilangan lahan dan akhirnya melakukan ekonomi subsisten. Maka terjadi perubahan pola produksi orang Melayu dari produksi komoditi eksport ke pertanian subsisten berupa padi dan palawija. Pelly mengindentipikasi sebelum masuknya kapitalisasi di Sumatera Utara, Masyarakat Melayu justeru tidak menganut ekonomi subsisten tetapi perkebunan besar dan perdagangan..
Appell (1985) dalam tulisannya “Biaya Perubahan Sosial” secara sistematik merumuskan menjadi dua bentuk perubahan sosial, yaitu: perubahan struktur sosial dan ekonomi. Kedatangan industri dan pengambilalihan kepemilikan atas tanah memiliki pengaruh perubahan yang sangat besar. Di antara perubahan tersebut adalah perubahan sosial yaitu beralihnya struktur tradisional dari sistem pemerintahan tradisional menjadi sistem pemerintah negara. Pada kasus Orde Baru posisi pemimpin tradisonal diambil alih oleh negara melalui UU no 4 tahun 1975 dan UU no 5 tahun 1979 tentang pemerintah daerah dan pemerintahan desa. Dampak langsung adalah akan terjadi penghapusan hak istimewa tradisonal karena kekuasaan sosial politiknya diambil oleh negara. Sementara secara ekonomi, hilangnya sumber daya ekonomi yang bersumber dari alam.
Perubahan tersebut tentu saja merubah ekologi dan demografi pedesaan ke ekologi perkotaan (Pelly 1996 ; Embong 1996). Ekologi agraris ke ekologi urban, padatnya jumlah penduduk dan masuknya ekonomi pasar secara meluas. Ekologi pedesaan dengan sistem sosial yang ketat, kekeluargaan dan komunal berubah menjadi ekologi perkotaan yang bersifat individualistis. Perubahan yang bisa dilihat secara nyata adalah perubahan sistem kepemilikan tanah dari hak milik komunal menjadi hal milik pribadi. Tanah yang semula berfungsi sosial kini menjadi hak milik pribadi berubah fungsi menjadi fungsi ekonomi.
Perubahan tersebut beberapa krisis sosial yaitu Pertama, akan terjadinya krisis ketahanan pangan atau kemiskinan. Krisis ini bersumber dari perubahan sumber pendapatan disebabkan hilangnya hutan dan tanah perladangan serta potensi sungai serta patronase sosial seperti kepemimpinan tradisional dan kelas tauke. Pilihan yang diambil adalah ke aktivitas ekonomi skuder seperti buruh harian atau mengambil pekerjaan sisa-sisa perkotaan, atu juga ke pertanian terbatas termasuk buruh tani (Anderson 1924) (Pelly 1996). Selain itu, proses involusi pertanian (Geertz 1970) akan semakin cepat baik karena pertambahan anggota keluarga maupun karena pemenuhan kebutuhan harian.
Kedua akan terjadinya krisis tenaga kerja. Penduduk desa yang dulunya merupakan unit tenaga kerja rumah tangga (domestik) yaitu bekerja tanpa dibayar untuk ekonomi rumah tangga di sektor pertanian dan kehutanan, (Chayanov 1966) kini mereka tidak bisa lagi menjadi unit ekonomi domestik, mau bekerja di perusahaan tidak mempunyai skill dan terikat dengan budaya pertanian. Mereka sebenarnya tidak bisa secara langsung masuk ke budaya industri yang terikat waktu, dan memerlukan keterampilan. Masuk ke budaya industri secara langsung adalah suatu permasalah bagi penduduk lokal, bahkan suatu tekanan atau beban. Pilihannya adalah mengambil pekerjaan sisa-sisa perkotaan, sementra reproduksi tenaga kerja pada masyarakat miskin tetap besar. Kiris ini akan menjadi potensi konflik antara pendatang dengan penduduk lokal. Pemicu konflik adalah interaksi yang tidak seimbang jumlah antara penduduk tempatan dengan pendatang dan kemampuan akses sumber ekonomi baru.
Kecenderungan perubahan diatas tentu saja secara serta merta membantah teori Scott bahwa masyarakat agraris lebih baik memberontak daripada berubah. Palahal temuan Gee Lim Teck (1977) dalam bukunya Peasants And Their Agricultural Economy in Colonial Malaya, di desa terdapat petani mempunyai usaha pertanian yang khusus, sepeti memiliki kebun kecil yang berfungsi sebagai unit produksi dan diatur oleh keluarga sendiri.
Sementara itu elit di pedesaaan juga memberlakukan hukum pasar dan proses kapitalisasi yang monopoli, yang dibungkus oleh hubungan komunal pedesaan. Tauke dianggap menjadi penjamin kepastian konsumsi rumah tangga. Kepastian jaminan konsumsi menciptakan pola eksploitasi oleh tauke melalui perlindungan konsumsi rumah tangga dalam bentuk hutang. Akibatnya produksi langsung menjadi pembayar hutang karena konsumsi mendahului produksi.
Studi tentang respon petani pedesaan terhadap perubahan telah menunjuk corak respon yang berbeda. Perbedaan corak respon ini dipengaruhi oleh faktor agen perubah dan sumberdaya ekonomi yang dimiliki. Dalam beberapa kasus petani yang kurang kepemilikan tanah dan terjebak dalam struktur tauke telah mengambil beberapa jalan keluar untuk menghadapi tekanan pasar, yaitu pertama, membatasi diri dan tetap bergantung pada sistem patron-klien. Kedua, apabila no 1 tidak bisa dijalankan maka mereka akan mencoba tanaman dan cara baru. Ketiga, menyediakan area baru dan pasar.
Pilihan strategi yang diambil mengambarkan besarnya tekanan terhadap struktur sosial yang ada. Pilihan untuk tetap bergantung pada sistem patron klien ini disebabkan perubahan yang tidak mampu merubah struktur sosial dan ekonomi yang telah terbentuk. Pilihan ini akan berubah ketika struktur sosial mengalami kegoncangan dan berganti ke struktur baru, perubahan ini merujuk kepada kemampuan personal dalam merespon tekanan perubahan tersebut.
Implementasi dari perubahan tersebut terbentuklah dua pola differensiasi, yaitu terjadi proses diffrensiasi dari buruh tani menuju integrasi mekanisasi dan keberanian terhadap perubahan sebagai bagian dari proses buruh dunia. Diffrensiasi ini mengikuti tiga kelas, pertama, individu atau keluarga secara langsung terlibat dalam proses buruh dan tidak tergantung pada yang lainnya. Kedua, diantara yang tergantung pada proses buruh petani (labor proces) hanya sebahagian saja, dan yang lainnya tergabung dalam proses keberaraian dunia. Ketiga, semuanya tergantung secara ekslusif pada labor proces, tidak hanya pada tanaman makanan tetapi untuk semuanya. Dalam kondisi yang sama Connell & Dasqupta & Laishley & Lipton (1976) pilihan yang paling tajam diambil oleh penduduk pedesaan adalah urbanisasi ke kota atau pindah ketempat lain yang dianggap lebih baik.
Scott (1966) sendiri mengidentifikasi respon petani dalam beberapa indikasi yaitu pertama, Pertama, rumah tangga petani melakukan pemberontakan untuk mengembalikan hak-hak ekonomi dan hak sosialnya. Kedua, petani melakukan langkah penyelamatan diri melalui langkah kontrukstif terhadap lingkungnnya.
Walaupun tidak percaya pada pilihan perubahan petani, Scott tetap mengajukan pilihan penyelamatan diri yang diambil oleh keluarga petani dipahami Scott hanya sebagai bentuk lain alternatif dari sebahagian kecil petani saja. Karena hanya rumah tangga petani yang segera mendapat patron baru dari perubahan tersebut yang akan memilih cara ini. Pilihan penyelamatan ini juga muncul tidak lain disebabkan dari peran negara, organisasi politik, dan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat yang datang ke komunitas petani tersebut untuk menjadi patronase baru.
Pilihan alternatif penyelamatan diri diidentifikasi Scott berupa, mempekerja seluruh anggota keluarga (ide dari Chayanov), menyampingkan kewajiban serimonial (mengurangi kualitas dan kuantitas), berimigrasi, bekerja atas bagi hasil, alat politik tuan tanah untuk menghantam orang desanya. Selain itu petani akan mencari kerja sambilan dan koneksi yang dapat menstabilkan subsistensi.
Strategi yang dijalankan petani terhadap perubahan adalah melakukan empat penyesuain diri berupa, pertama, pendalaman pada bentuk-bentuk setempat dari usaha swadaya dalam bentuk pertukaran jenis tanaman ke peralihan padat karya dan peralihan ketanaman komersial. Kedua, pengandalan dari sektor non pertanian, dalam bentuk menyerbu ekonomi uang dengan pergi ke kota mencari serpihan ke kota. ketiga, pengandalan pada bentuk patronase dan bantuan dukungan dari negara, berupa projek negara berupa subsidi pangan dan bantuan untuk daerah yang tertimpa kelaparan. Keempat, pengandalan pada struktur-struktur proteksi dan bantuan yang bersifat keagamaan atau oposisi.
Kesimpulan Awal
Studi awal ini telah mampu memberi gambaran bahwa peluang kebijakan untuk pembangunan masyarakat miskin terutama pedesaan harus dimulai melalui pendekatan sosial ekonomi. Di mana membangun kekuatan ekonomi melalui struktur sosial yang ada pada masyarakat. Pada masyarakat desa yang belum mengalami perubahan di mana struktur tauke dan kepemimpinan tradisional masih kuat maka perlu didekati dengan menggunakan struktur tauke tandingan yang berbasis komunitas. Pendekatan ini harus diikuti melalui modernisasi pemikiran ekonomi rumah tangga dari pemikiran subsisten ke pemikiran ekonomi pasar. Sedangkan pada masyarakat yang sudah berubah pendekatan yang diambil adalah mempercepat arah perubahan melalui pemberian akses sebesar-besarnya. Langkah yang paling tepat diambil adalah melalui peningkatan sumber daya manusia yang sesuai dengan orientasi perubahan. Program-progam bantuan diyakini tidak akan mampu membawa perubahan bahkan cenderung mempertahankan statusquo pemikiran ekonomi mereka bahkan menjadikan mereka sebai pengemis. Apaun rencana perbaikan pada rakyat akan terkandala jika tidak berlakunya egaliterian negara kepada rakyat dengan dukungan transparansi publik.******
BIBLIOGRAFI
Appelbaum. Richard P. 1970. Thoeries Of Social Change. Chicago: Markham Publishing Company.
Awan Setya Dewata (ed.) 1995. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta : Aditya Media.
Alavi, Hamzah, 1973, ‘Peasant Classes and Primordial Loyalities, Journal of Peasant Studies, Vol. 1 No. 1, October.
Budy Tjahjati S Soegijoko. 1985. ‘Dampak Pembangunan Proyek Industri Besar Kasus Zona Industri Lhok Seumawe’. Prisma no. 12 .
Binsuanger, P Hans, & Evenson, E. Robert, & Florencio & White, (editor),1980, Rural Household in Asia, Singapore : Singapre University Press.
Bates, Robert H, 1976, Rural Response to Industrialization, New Haven and London : Yale University Press.
Bar-El, Raphael, 1987, ‘An Approach To Growth Patterns In Regional Industrialization’ dalam Bar-El, Raphael &Bendavid-Val, Avrom & Karaska, J Gerald, 1987 Pattern Of Change In Developing Rural Regions, Bulder/ London : Westview Press.
Bertrand , Alvin L, Editor, 1958, Rural Sociology, An Analysis Of Contemporary Rural Life, New York : McGraw Book Company.
Beames, Michael 1983, Peasant and Power, Sussex: The Harvest Press.
Binswanger, P Hans, & Evenson, E. Robert, & Florencio & White, (editor),1980, Rural Household in Asia, Singapore : Singapore University Press.
Charling, Alan, 1992, “ Rational Choice and Household Division” dalam Marsh, Catherine & Arber, Sara, 1992, Families and Household, Division and Change, England: Macmilan.
Crehan, Kate, 1992 “Rural Households : Making A Living” dalam Crow & Johnson, 1992 Rural Households, New York : Oxford University Press.
Constantio, Renato,1985, Synthetic Cultural and Development, Filipina : Foundation For Nationalist Studies. INC.
Chayanov: A.V. 1966, The Theory Of Peasant Economy, Illonis : Homewood.
Connell, John & Dasqupta, Biplap & Laishey, Roy, & Lipton, Michael, 1976, Migration From Rural Areas, The Evidence From Village Studies, Delhi : Oxford Universiti Press.
Chitambar. J.B. 1973 : Introductory Rural Sociology; A Synopsis Of Concept And Principles, New York : John Wiley & Sons
Croll, Elisabeth, 1987, ‘New Family Form in Rural China, Journal of Peasant Studies, Vol. 14 No.4, July.
Das, Man Singh & Panos D Bardis, 1979, The Family in Asia, London : George Allen & Unwin.
Desai. A.R, (Editor) 1971, Volume 1 dan 2, Essays on Modernization of Underdeveloped Societies. Bombai : Thacker & Co. Ltd.
Dumout, Rene, 1970 : Economy Types Of Rural; Studies In World Agriculture London : Methuen And Co. Ltd.
Evers, Hans-Dieter, 1991 “Ekonomi Bayangan, Produksi Subsisten dan Sektor Informal, Ekonomi di Luar Jangkauan Pasar dan Negara” dalam Prisma nomor 5, Mei 1991. Jakarta : LP3ES,
Evers, Hans-Dieter, 1991, “Teori Produksi Subsistensi dan Produksi Tak Formal” dalam Jurnal Antropologi Sosiologi No.19, Bangi : UKM.
Evers, Hans-Dieter, & Clauss &Wong, Diana, ‘ Subsistent Reproduction a Framework for Analysis’ dalam Smith, Joan & Wallerstein, Immanuel & Evers, Hans-Dieter,1984 Household And The World-Economy, London : Sage Publications.
Evers, Hans-Dieter, 1993, ‘Timbulnya Pedagang Pada Masyarakat Petani: Transmigrasi Jawa Kalimantan’, in Plac Utrich, Sosiologi Pertanian, Jakarta: Yayasan Obor.
Evers, Hans-Dieter, 1982, Urbanisasi Perkotaan, Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia, Jakaarta: LP3ES
Evans, Grant, 1986, From Moral Economy to Remembered Village, Working Papers, on Center of Southeast Asian Studies, Australia: Monash University
Ellis, Frank, 1988, Peasant Economics, Farm Households and Agrarian Development, Cambridge : Cambridge University Press.
Ellis, Frank, 1998, Household Strategies and Rural Live hood Diversification, Journal of Development Studies, No.1 October , pp 1-33
Fisk, EK, 1978: The Adaptation Of Traditional Agriculture : Socioeconomic Problem Of Urbanization, Development Studies Center Monograph no 11. Canberra, The Australian National University.
Geertz. Clifford. 1970. Agricultural Involution. The Proses of Ecological Change In Indonesia. California: Universiti Of California Press.
Goerge Junus Aditjonro. 1994. Dampak Industrailisasi Terhadap Lingkungan dan Upaya Warga Masyarakat dalam Menghadapinya. dalam Johanes Maridin (ed.) Jangan Tangsi Tradisi Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius
Gamst, Fredrick C. 1974, Peasant in Complex Society. New York : Holt, Rinehart And Winston, INC.
Goodman, David & Redclift, Michael. 1981. From Peasant to Proletarian. England : Basil Blacwell.
Ghee, Lim Teck, 1977, Peasants and Their Agricultural Economy In Colonial Malaya 1874-1941, Kuala Lumpur : Oxford University Press.
Hiramani. A.B. 1977. Social Change in Rural India (A Study Two Village In Maharashtra). New Delhi: B.R.Publishing Corporation
Hayami, Yujiro & Kikuchi, Masao, 1987, Dilema Ekonomi Desa, Suatau Pendekatan Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Hayami, L. 1978, Anatomy Of a Peasant Economy A Rice Village in the Philippines, Philipine : IRRI.
Hasim, Wan. 1984, Petani dan Persoalan Agraria : Kuala Lumpur : Fajar Bakti.
Hunt Diana, 1979, ‘ Chayanov’s Model of Peasant Household Resource Allocation’ Journal of Peasant Studies, Vol. 6 No.3, April.
Koentjaraningrat. 1964. Masyarakat Desa di Indonesia Masa kini. Jakarta: Yayasan Fakultas Ekonomi UI
Kirkoatrick, C.H. Lee, N & Nixon F.I. 1984, Industrial Structure And Policy in Less Development Countries. London : George Allen & Unwin.
Koentjaranigrat. 1993. Methoda-Methoda Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat. 1964. Masyarakat Desa di Indonesia Masa kini. Jakarta: Yayasan Fakultas Ekonomi UI
Kolb, John H & Brunner, Edmundes, 1971, A Study of Rural Society (Edisi ke empat), USA : Greenwood Press, Publishers.
Long, Norman, 1987, Sosiologi Pembangunan Pedesaan, Jakarta : Bina Aksara.
Loekman Soetrisno. 1993. Transformasi dari Masyarakat Agraris ke Masyarakat Industrial : Suatu Perspektif Sosiologis. Makalah seminar 26-28 Januari Pekanbaru.
Lauer, Robert H, 1977, Perspectives On Social Change, edisi ke-2, Boston, London, Sydney, Toronto : Allyn and Bacon, Inc.
Lukes, Steven, 1973, EMILE DURKHEIM, His Life and Work : A Historical and Critical Study, London: Pinguin Books.
Landis, Paul H, 1948, Rural Life In Process, New York : McGRAW-HILL BOOK COMPANY, INC.
Mohammed Salleh Lamry. 1996. Mereka Yang terpinggir. Orang Melayu di Sumatera Utara. Institut Alam Tamaddun Melayu. Malaysia: UKM Bangi
Mering Ngo.1992 Hak Ulayat Masyarakat Setempat. Pelajaran dari Orang Kayan dan Limbai. Prima no 6.
Majid, Norman, 1998, ‘The Joint System of System of Share Tanancy and Self Culvation : Eveidence From Sind, Pakistan’ Journal of Peasant Studies, Vol. 25 No. 3, April.
Mintz, Sidney W, 1973, ‘A Note on The Definition of Peasantries’, Journal of Peasant Studies, Vol. 1 No. 1, October.
Niehof, Anke, 1999, Household, Family and Nutrition Research: Writing a Proposal, Wagenigen: H&C.
Popkin, Samuel L. 1979. The Rational Peasant : The Political Economy of the Rural Society in Vietnam. London : University Of California Press.
Penny, D.H, 1978, Masalah Pembangunan Pertanian Indonesia, Jakarta : Gramedia.
Roggers, Everett M & Burdge, Rabel J & Korsching, Peter F & Donnermeyer, Joseph F,1988, Social Change in Rural Societies, An Introduction to rural Sociology (edisi ke tiga) New Jersey : Prentice Hall.
Rosen, George, 1975, Peasant Society In A Changing Economy, Chicago : University Of Ilonois Press.
Redfield, Robert. 1985 (terjemahan) Masyarakat Petani dan Kebudayaan, Jakarta : Rajawali Press.
Selo Sumardjan, 1981, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Scott, James C, 1981 : Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subtensi di Asia Tenggara, Jakarta : LP3ES.
Scott, James C, 1993 (terjemahan) Perlawanan Kaum Tani, Jakarta : Yayasan Obor.
Scott, Cook. 1984, ‘Peasant Economy, Rural Industry and Capitalism Development in The Oxaca Valley, Mexico, Journal of Peasant Studies, Vol. 12, No. 1, October.
Shanin, Teodor. 1990. Defining Peasants: Cambridge : Basil Blacwell.
Shanin, Teodore, 1973, The Nature and Logic of The Peasant Economy’, Journal of Peasant Studies, Vol. 1 No. 1, October.
Shanin, Teodore, 1974, The Nature and Logic of The Peasant Economy’, Journal of Peasant Studies, Vol. 1 No. 2, January.
Wong, Diana, 1987, Peasants In The Making Malaysia Green Revolution, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
1 Menurut Ever (1984) ekonomi subsisten adalah hubungan langsung antara produksi dan konsumsi (produksi sama dengan konsumsi) yang lepas dari hitungan negara, melibatkan tenaga kerja tanpa bayar dalam rumah tangga. Sedangkan menurut Chayanov (1966) suatu aktivitas ekonomi yang melakukan self exploitation dengan maksud untuk memuaskan kebutuhan rumah tangga dengan apa yang dipunyai oleh pekerja rumah tangga tanpa dibayar.
2 Hubungan penduduk dengan tauke yang sangat eksploitatif dalam hal produksi di mana tauke mempunyai hak otoritatif untuk menentukan harga dalam membeli produksi petani, termasuk produksi jasa yang tidak dibayar. Begitu juga tauke menentukan harga jual barang secara sepihak dan jauh lebih mahal dari harga pasaran. Walaupun demikian hubungan tauke dengan penduduk sudah merupakan hubungan sosial dan kekuasaan. Di mana penduduk miskin desa justeru merasa tauke adalah penyelamat konsumsi rumah tangga, walaupun ditemukan juga tauke yang menolak memberi hutang kepala kliennya sebelum adanya pengurangan hutang sebelumnya. Jika ini terjadi biasanya si klien akan mencari tauke lain. Selain itu, tauke menjadi alat introdusir kebijakan negara terhadap rakyat
3 Contoh yang menarik untuk disimak keberhasilan penduduk Desa Teladas, Rawas Sumsel melepaskan diri dari tauke secara diam-diam menjual sebahagian penghasilan bulanannya (karet) ke pembeli bebas dengan harga yang tinggi. Hasil penjulan diam-diam tersebut dibelikan untuk kebutuhan bulanannya di pedangang lain. Sementara hutangnya pada tauke dibayar secara berangsur ke tauke dengan sebahagian produksi karetnya. Munculnya inisiatif ini setelah masuknya pembeli-pembeli getah karet dari kota yang membeli karet lebih mahal, bahkan karena yang datang ke desa tersebut sering mencapai lima pedagang, di mana masing-masing pedangan getah karet tersebut berusaha membeli harga tertinggi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Pak, salam kenal. saya andre dari fakultas peternakan unpad bandung. kebetulan saya lagi berburu buku Peasant Economics-nya Frank Ellis (1988) untuk kepentingan proposal disertasi saya. Mohon informasi mendapatkannya di Indonesia pak. Atau mungkin punya soft copy yang bisa saya pinjam. terima kasih.
andre. (daud.andre@gmail.com)
Posting Komentar