Dari saya
Terima kasih bagi netter yang telah ke blog saya, dan menyediakan sedikit waktunya untuk membaca buah pikiran saya. Saya sangat senang jika apa yang saya pikirkan mendapat respon positif ataupun negatif. Dan saya dapat dihubungi di 08127627068. Salam mari berbagi kedamaian.
M.Rawa El Amady
Sabtu, 20 Oktober 2007
BERBISNIS Di SEKOLAH
Oleh M Rawa El Amady
Untuk membantu calon siswa dan siswa pemerintah pusat mengeluarkan program BOS dan membebaskan uang pendapaftaran untuk masuk sekolah. Program ini didukung pula oleh Pemerintah Provinsi Riau yang mengeluarkan biaya khusus agar tidak terjadi putus sekolah di Riau. Bahkan kalau dilihat dari item biaya APBD Provinsi Riau 2006 peruntukan untuk siswa hingga ongkos bagi yang tidak mampu.
Kenyataannya, semua sekolah negeri (yang disurvey) memungut biaya untuk uang baju, buku dan bangku, untuk SD mencapai Rp.200 ribu sedangkan SMP mulai dari Rp 400 ribu sampai Rp.800 ribu, sedangkan SMU mulai dari Rp 1 jt sampai Rp 1,8 jt (hasil investigasa BAP tahun 2006). Pungutan ini tetap berlanjut selama menjadi siswa di suatu sekolah. Room Topatimasang menyebutkan sekolah hanya untuk orang kaya, jika miskin tak mungkin mampu menyediakan dana sebesar itu.
Lahan Bisnis di Sekolah
Hasil investigasi (mewawancarai orang tua murid) Badan Advokasi Publik (2006) dijumpai beberapa praktek bisnis yang dijalan pihak sekolah;
Pertama, pedagang pakaian. Pihak sekolah menjadi pedangan pakaian ke anak-anak muridnya, sehingga seluruh pakaian sekolah harus beli di sekolah. Pakaian termasuk sepatu, baju, baju olah raga, baju melayu, topi, dan pernak-pernik lainnya. Ini disebabkan ada aturan bahwa wajib pakaian seragam.
Kedua, pedagang buku, pihak sekolah mewajibkan murid-muridnya membeli buku di sekolah bermacam buku, buku terbitan Jakarta, terbitan lokal, dan termasuk juga alat tulis. Satu keluarga miskin di Sri Merantik Rumbai Pesisir membatalkan anaknya masuk sekolah dasar karena harus membeli buku dan baju dan harus bayar lunas. Padahal peraturan pemerintah melarang sekolah menjual buku.
Ketiga, pedagang bangku, setiap anak yang baru masuk terutama bagi yang baru pindah dari sekolah lain diwajibkan oleh pihak sekolah membayar uang bangku yang nilianya mencapai Rp.300 rb, padahal bangku dan kursinya sudah ada.
Keempat, pengumpul pernak pernik sekolah seperti hordeng, penghias pintu, bunga plastik dan hasil karya tangan lainnya yang bisa memperindah sekolah. Bagi sekolah baru murid dibebankan secara bersama membeli kebutuhan sekolah tersebut. Caranya melalui pelajaran hasil karya anak-anak, anak-anak diwajibkan membawa sesuatu sebagai karya tangan lucunya lebih disarankan dibeli. Sumbangan siswa tersebut diakui sebagai milik sekolah.
Kelima, pengusaha EO (event organizer), dimana pihak sekolah mengadakan acara besar-besaran khususnya untuk perpisahan. Bayangan sekolah bisa siaran tunda di televisi atau jalan-jalan ke luar daerah, dan menyediakan hadiah untuk para guru dan sekolah sementara biaya dibebankan ke siswa.
Keenam, bisnis bimbingan belajar. Sekolah memaksa murid untuk ikut bimbingan belajar harus membayar dari pelajaran yang seharusnya diajarkan pada waktu jam sekolah. Ini menandakan bahwa guru sengaja mengurangi capaian pelajaran di di jam sekolah agar ada alasan untuk tambahan bimbingan, karena bimbingan tersebut juga dilakukan guru yang sama.
Selain keenam jenis bisnis tersebut, masih dijumpai di beberapa sekolah favorit melakukan praktek percaloan, bagi siswa yang akan masuk ke sekolah favorit tersebut dengan kemampuan yang terbatas maka tersedia calo yang bisa meluluskan dengan jumlah bayaran tertentu. Untuk tingkat SMU uang yang harus disediakan lebih dari 5 juta rupiah sedangkan untuk SMP dan SD harus menyediakan uang 2 sampai 4 juta rupiah.
Harus diperbaiki
Sudah dapat dipastikan dengan kondisi diatas orang miskin tidak mungkin bisa sekolah. Target tahun 2008 semua anak tamat SMP agaknya sulit dicapai karena sekolah menjadi momok yang menakutkan bagi keluarga miskin yang masih 23%. Bisa-bisa sampai tahun 2020 tingkat pendidikan sekolah dasar tetap 62% seperti sekarang.
Pemerintah harus melakukan pembenahan secara mendasar, bukan dari sector biaya dan bangunan fisik saja. Fakta diatas menunjukkan bahwa sangat diperlukan perangkat sistematik yang bisa mengawasi prilaku sekolah dan pembelaan hak-hak kepada murid dan orang tua murid. Selama ini, sistem pengawasan itu yang belum terbentuk dan kalau ada murid yang protes maka murid tersebut yang menjadi korban dan belum ada sanksi yang diberikan kepada pemerintah kepada pihak sekolah.
Setidaknya pemerintah perlu melakukan, Pertama, menghapus aturan pakaian seragam. Di luar negeri pakaian seragam itu dipergunakan sebagai indetitas pengawasan kepada murid, jadi selama diluar rumah murid diwajib menggenakan pakaian seragam dan kebanyakan negara tidak mewajibkan pakaian seragam. Penghapusan pakaian seragam ini mempunyai makna positif yaitu meningkatkan sloidaritas social karena rasa simpati kepada yang berpakaian tidak layak. Selain itu, siswa sudah diberi tahu tentang adanya orang yang lebih susah dari dirinya sehingga dapat menciptakan kedisplinan diri.
Kedua, perlu sekali penerapan sistem transparansi sekolah, pemerintah pusat yang sudah mengesahkan UU Tranfaransi Publik, daerah harus segera mengikutinya. Transparansi ini akan menghilangkan praktek calo di sekolah karena hasil ujian diumumkan secara terbuka. Begitu juga praktek lain seperti enam item diatas.
Ketiga, tersedianya fasilitas perlindungan bagi siswa dan orang tua murid yang mengungkapkan tindakan yang tidak bermoral di sekolah.
Ketiganya bisa terlaksana secara baik apabila sudah ada kepastian hukum dan pelaksanaan hukum dan hukum tidak memandang bulu.
Nah ditunggu langkah cepat dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah pendidikan ini!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar