Dari saya
Terima kasih bagi netter yang telah ke blog saya, dan menyediakan sedikit waktunya untuk membaca buah pikiran saya. Saya sangat senang jika apa yang saya pikirkan mendapat respon positif ataupun negatif. Dan saya dapat dihubungi di 08127627068. Salam mari berbagi kedamaian.
M.Rawa El Amady
Sabtu, 20 Oktober 2007
Membangun Enerji Kolektif
M Rawa El Amady
Tahun 2005 pemerintah pusat menghabiskan lebih dari 21 trilun rupiah untuk program penanggulangan kemiskinan, begitu juga pemerintah provinsi Riau menghabiskan lebih dari 700 milyar rupiah. Dana ini belum termasuk dana dari pihak swasta, BUMN, zakat, dan bantuan lainnya. Toh, keluhan masyarakat hampir disetiap sudut kita dengar, tak sanggup melanjutkan anaknya sekolah, tak sanggup berobat, makan sekali sehari dan seterusnya.
Betapa letihnya kita, pemerintah silih berganti tetapi perubahan masih terasa jalan di tempat. Subsidipun mengalir terus menerus, kredit tidak hentinya dan bermacam bantuan sosial terus gencar. Pengangguran tetap bertambah, ekonomi semakin sulit, perusahaan makin sulit bersaing, ikan di desa habis, hama selalu menyerang, gedung sekolah rusak, jalan berkubang lumpur dan seterusnya.
Menjadi Beban
Apa yang salah dengan negara ini? Uang yang begitu banyak bagai membuang garam di laut, kegiatan juga banyak tetapi bagai awan yang tak bisa dijadikan tempat berpijak. Jousairi Hasbullah (2006) dalam bukunya Sosial Capital dengan mudah menjawab pertanyaan diatas menurutnya masyarakat Indonesia sudah kehilangan enerji kolektif untuk menyelesaikan masalah bersama. Sekolah yang roboh tidak muncul keingin berasama dalam masyarakat untuk memperbaiki, jalan yang jelek, korupsi merajalela, begitulah seterusnya. Tidak muncul keinginan bersama untuk memperbaikinya.
Kita sadari memang, pembangunan Indonesia selama ini belum dilandasi pada pembangunan manusia Indonesi, yang bertujuan untuk memperkuat enerji kolektif yang basisnya telah tersedia di masyarakat. Pembangunan hanya merujuk kepada jumlah uang yang dikeluarkan dan bukti fisik yang tersedia, toh setelah itu pembangunan justeru menjadi beban yang memberatkan pemerintah dan masyarakat. Bahkan pada masa Orde Baru 32 tahun lebih pembangunan justeru merusak nilai-nilai sosial yang ada pada masyarakat.
Keadaan tersebut belum juga berobah sampai sekarang. Kalau selama Orde Baru yang dirusak adalah stukruktur sosial yang ada dalam komunitas sosial adat, di era reformasi ini pembangunan justeru merusak sistem produksi masyarakat. Kita melihat adanya bantuan langsung tunai, bantuan rumah, bantuan beras, dan safari bantuan oleh para pimpinan politik, termasuk politik uang disaat kampanye.
Padahal, secara sosial masyarakat yang masih agraris seperti Indonesia program bantuan langsung berupa uang, beras dan lain-lainnya juteru mempunya dampak negatif terhadap peningkatan produktifitas masyarakat, atau menciptakan masyarakat malas. Masyarakat agraris menganut paham ekonomi subsisten, yaitu produksi sama dengan konsumsi. Dimana kualitas dan kuantitas pekerjaan sesuai dengan jumlah makan yang diperlukan. Jika keperluan makan terpenuhi maka bekerjapun dikurangi alias bisa tidak bekerja. Kalau kebutuhan hariannya 5 kilo beras makan dia akan bekerja untuk mendapatkan 5 kilo beras tersebut. Jika pemerintah memberinya beras 5 kilo, maka dalam sehari jelas dia tidak akan bekerja. Ini berarti produktifitasnya berkurang sebanyak 5 kilo beras pula.
Enerji Kolektif
Enerji kolektif yang dikemukakan Jousairi Hasbullah merupakan satu kesadaran bersama untuk membangun, memperbaiki, menjaga dan memelihara yang menjadi kebutuhan masyarakat di lingkungannya. Masyarakat yang tidak lagi berpikir masalah tetapi berpikir secara bersama menyelesaikan masalah tersebut.
Ketika pemerintah membangun gedung sekolah maka masyarakat desa tersebut memeliharanya, memperbaikinya secara bersama atau gotong-royong kalau ada yang rusak, begitu juga jalan, jembatan, bukannya hanya berteriak meminta dibangun tetapi tidak dijaga. Permasalahannya adalah enerji kolektif, atau enerji kelompok tersebut yang hilang, bahkan masyarakat di desa merasa tidak memiliki desanya sendiri. Inilah akibat dari perombakan struktur sosial pada masa Orde Baru dan penciptaan ketergantungan ekonomi oleh pemerintah pada masyarakat melalui bantuan langsung.
Oleh sebab itu, pemerintah, swasta dan perbankan perlu sekali merancang model-model pembangunan yang berlandaskan pada aspek sosial yang out put-nya adalah terbangunnya enerji kolektif tersebut. Bukan pembangunan yang justeru menyebabkan masalah baru pada masyarakat.
Untuk membangun enerji kolektif tersebut beberapa unsur penting yang perlu diperhatikan, (2006) pertama, partisipasi dalam satu jaringan. Proses pembangunan harus menumbuhkan pastisipasi aktif dalam satu kelompok untuk bersosialisasi sebagai bagian dari nilai yang melekat. Masyarakat diisiasi untuk secara menyakinkan menjadi dan merasa bagian dari satu kelompok yang bersinerji untuk pencapaian tujuan kelompok. Misalnya secara sadar merasa dan bagian yang tidak terpisahkan dari satu desa dengan satu tujuan, sehingga memaksanya berpastisiasi dalam semua urusan desa.
Kedua, bertukar keuntungan (Resiprocity), dasar seseorang untuk ikut bagian dalam satu kelompok atau berpartisipasi adalah terjadinya pertukaran keuntungan. Pembangunan harus menciptakan suatu kondisi yang saling menguntungkan, bukan saling merugikan. Maka jika ada dalam satu kelompok ada yang ingin untung sendiri maka tidak mungkin terbangun enerji kelompok tersebut.
Ketiga, rasa percaya (Trust). Merupakan suautu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan sosial yang didasari oleh perasaan yakin akan mendukung atau bersama dengan sikap yang dilakukannya atau yang lain tidak akan merugikan kelompoknya. Bila ini terjadi maka tingkat partisipasi masyarakat atau anggota kelompok dipastikan akan menjadi sangat besar.
Keempat, norma dan nilai-nilai sosial, yaitu terciptanya suatu aturan bersama yang bertujuan untuk mengatur prilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Norma ini tentu diharapkan dipatuhi dan ikuti oleh seluruh anggota kelompok dan mencegah individu berbuat menyimpang. Norma tersebut diikuti pula oleh nilai-nilai yang penting dalam kelompok yang dilakukan secara turun temurun, misalnya nilai harmoni untuk menciptakan kerukunan.
Kelima, tindakan yang proaktif, merupakan keinginan yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan masyarakat. Tentu saja langkah yang diambil terebut bermuara pada suatu keuntungan material dan hubungan sosial.
Walaupun kita tahu untuk mengimplementasikannya tidaklah mudah, tetapi pemerintah, swasta dan perbankan harus memulianya. Pemerintah seharusnya memulai dari satuan-satuan kerja yang ada agar tidak lagi bekerja sendiri-sendiri, tetapi sudah bersama, baik itu dengan satuan kerja, dengan swasta dan dengan perbankan. Program Pemberdayaan Desa (PPD) sudah memulainya melalui lembaga keuangan mikro (UED-SP) di desa-desa yang menjadi program. Tentu program ini akan lebih baik jika para pihak melihat ini sebagi pintu masuk membangun modal sosial di masyarakat. ***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar