Dari saya
Terima kasih bagi netter yang telah ke blog saya, dan menyediakan sedikit waktunya untuk membaca buah pikiran saya. Saya sangat senang jika apa yang saya pikirkan mendapat respon positif ataupun negatif. Dan saya dapat dihubungi di 08127627068. Salam mari berbagi kedamaian.
M.Rawa El Amady
Sabtu, 20 Oktober 2007
Persepsi Daerah pada Otonomi
M. Rawa El Amady
Otonomi merupakan idaman bagi daerah. Sebab otonomi akan memberi keleluasan bagi daerah untuk membangun dirinya. Terutama dalam mengatur tatanan daerah, khususnya keuangan daerah. Tanpa otonomi daerah, daerah seperti sapi perahan bagi pusat, tertutama daerah kaya yang hanya menunggu jatah dari pusat. Otonomi akan menghapus kendala tersebut.
Otonomi selama ini lebih bermakna politis. Otonomi diberikan berdasarakan pertimbangan politis. Karena daerah menunut otonomi, lantas pusat memberikannya. Buru-burulah dibuat UU mengantikan UU sentralisasi. Ternyata UU Otonomi daerah tersebut tidak diikuti dengan segera pengaturan operasional, seperti peraturan pemerintah, dan juklak pelaksana.
Interpretasi Daerah
Akibat terlalu politisnya UU Otonomi darah, sehingga daerah menterjemahkan otonomi pertama, sebagai lokaliti, yaitu pengembalian kepada daerah. Pengembalian kekuasaan kepada daerah, pengembalian sumberdaya ekonomi, dan pengaturan oleh daerah. Daerah yang dimaksud adalah orang daerah, orang daerah yang dimaksud adalah etnis lokal. Etnis lokal yang dimaksud merujuk kepada asal usul keturunan penduduk yang ada di daerah.
Maka disetiap daerah dijumpai pergeseran posisi “bukan” orang daerah dijalur politisi, birokrasi dan peluang di bisnis. Fenomena pemilihan Gubernur di beberapa provinsi di di Indonesia mengidentifikasikan defenisi orang daerah. Persyaratan-persyaratan tender proyek misalnya menjadi contoh yang baik untuk menjelaskan fenomena lokaliti. Di beberapa daerah di Indonesia seperti di Riau harus lahir di Riau baru diakui orang daerah. Di Pelalawan Riau, Kabupaten baru tersebut diisi oleh keluarga raja pelalawan.
Kedua, hak otoritas, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan pusat dan daerah hak otoritas ada di daerah. Pusat hanya menerima residu yang tidak diatur oleh daerah. Jadi bagian pusat adalah sejumlah hak yang diberikan daerah secara sukarela karena daerah tidak ingin mengurusnya. Khusunya dibidang sumber daya alam (ekonomi) daerahlah yang memutuskan berapa bagian yang akan diserahkan ke pusat. Kasus Aceh, Sumbar (Semen Padang), Kalimantan Barat, Irian Jaya dan DKI Jakarta merupakan contoh yang baik untuk menjelaskan fenomena kedua ini.
Padahal cara yang diambil daerah tersebut mencontoh sistem negara fideral yang menganut model resedu negara bagian. Dimana daerah yang menentukan wilayah kekuasaan negara fideral diluar urusan keuangan, tentara dan politik luar negeri. Model ini sebenarnya tidak dianut dalam negera kesatuan yang melaksankan otonomi daerah. Sementara dalam UU otonomi daerah no 22/199 dan UU no 25 /1999 tidak ada penejelasan tentang wilayah kekuasaan daerah dan wilayah kekuasaan pusat. Sebab dalam otoritas yang diberikan kepada daerah juga terdapat kekuasaan pusat.
Ketika, anggaran daerah.Otonomi berarti daerah bisa dengan leluasa membuat anggaran daerah. Ini sebenaranya fenomena yang baik, sebab dengan kesadaran ini daerah dapat secara leluasa merumuskan pembangunan untuk tujuan kesejahteraan rakyatnya. Hanya saja pola anggaran daerahnya tidak berubah, kalau di era Orde Baru atas keinginan pusat, tetapi sekarng atas keinginan dewan. Fenomena ini dapat dimaklumi karena karena kuatnya posisi DPRD, sementara DPRD belum mempunyai hubungan emosional dengan rakyat pemilih. Di Bengkalis Riau misalnya gaji seorang ketua DPRD bisa mencapai 20 juta setiap bulannya. DPRD Riau dengan mudahnya mencoret anggaran pendidikan dan membesarkan anggaran proyek pembangunan. Begitu juga mengeluarkan dana yang besar membangun gedung baru, serta membangun rumah Gubernur yang mencapai 5 milyar serta membeli pesawat.
Interpretasi daerah terhadap otonomi tersebut secara teoritis diangap wajar, karena otonomi daerah adalah sebuah proses. Dalam studi perubahan sosial respon terhadap sesuatu yang baru memang sesuai dengan kapaitas penerima perubahan. Daerah dalam hal ini merespon otonomi daerah sesuai dengan kapasitas sumber daya manusia di daerah yang memang cenderung masih sangat lemah. Hanya saja sayangnya proses penerapan otonomi daerah tidak dilaksanakan secara gradual, tertapi tidak beraturan bahkan sistem trabas (meminjam istilah antropolog Koenjoroningrat). Begitu keluar UU Otonomi daerah, pusat memberikan otonomi daerah begitu saja, sementara daerah mengalami keterkejutan maka munculah interpretasi seperti itu.
Andil Pusat
Pusat mempunyai andil besar terhadap interpretasi daerah tersebut. Pusat dengan secara terbuka menuduh daerah belum siap berotonomi, padahal ukurannya SDM. Ini sangat jelas dari langkah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 108 tahun 2000, instruksi Mendagri yang melarang darah meminta dana langsung ke luar negeri serta pembahasan kembali UU Otonomi daerah.
Menghadapi tudingan seperti ini daerah merespon cepat. Daerah ingin menunjukkan bahwa daerah bisa berotonomi. Maka langkah yang diambilpun secara politis, yaitu pengambilalihan hak-hak daerah dan mengabaikan pusat. Apalagi pusat tidak memberikan operasionalisasi yang jelas UU otonomi daerah tersebut. Akibatnya daerah bersikap opurtunis. Merebut peluang yang ada tetapi belum tahu apa yang dilakukan.
Penguatan Rakyat
Otonomi daerah memang sulit dijalankan jika yang berkuasa di daerah sepenuhnya ditangan elit politik dan birokrasi. Sebab kontrol rakyat sipil terhadap pemerintah hampir tidak ada. Bisa dikatakan bahwa pemerintah di daerah berjalan sendiri dalam pengambilan keputusan. Belum ada mekanisme hubungan rakyat dengan pemerintah, hubungan rakyat dengan wakilnya di DPRD. Semua berjalan satu arah dari atas kebawah.
Kondisi daerah yang seperti ini bisa berarti memindahkan kebobrokan yang selama ini berasal dari pusat menjadi kebobrokan di daerah. Pemerintah daerah akan bertindak otoriter, korupsi bertumpuk di daerah dan kesewenag-wenang lainnya. Contoh kongritnya sudah ada di Riau, dimana dalam RAPBD sudah tertuang angaran pistol untuk anggota DPRD dan eksekutif, sementara pemerintahan kota menyediakan senjata kepada Polisi Pamong Praja untuk melawan pedagang kaki lima.
Bagi pusat salah satu mekanisme agar otonomi berjalan secara formal adalah melalui program penguatan rakayat sipil. Maksudnya agar proses kesadaran politik di daerah akan lebih baik yang berarti secara otomatis akan mengontrol pelaksanaan otonomi daerah. Idealnya otonomi adalah kesejahteraan rakyat di daerah, jika rakyat daerah yang kuat maka dia kan mendesak pemerintah untuk program kesejahteraan rakyat dan sekaligus mengontrol pemerintah daerah.
M.Rawa El Amady, Direktur LPAD dan kandidat Ph.D Sosiologi Pembangunan UKM Malaysia.
LPAD bekerjasama dengan CSSP-USAID melakukan program adavokasi & Monitoring DPRD Riau.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar