Dari saya
Terima kasih bagi netter yang telah ke blog saya, dan menyediakan sedikit waktunya untuk membaca buah pikiran saya. Saya sangat senang jika apa yang saya pikirkan mendapat respon positif ataupun negatif. Dan saya dapat dihubungi di 08127627068. Salam mari berbagi kedamaian.
M.Rawa El Amady
Sabtu, 20 Oktober 2007
Dewa Perwalian Rakyat Daerah (DPRD)
M.Rawa El Amady
Secara teoritis kehadiran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) era reformasi dan otonomi daerah harusnya mencerminkan proses demokrasi perwakilan. Dimana rakyat mewakilkan dirinya ke anggota dewan yang dipilihnya. Makna wakil secara harpiah adalah orang yang diberi mandat untuk menyampaikan ide, gagasan dan keinginan si pemberi mandat. Wakil tidak bisa menyampaikan sesuatu jika tidak dinberikan mandatnya. Jadi tindakan dan pikiran yang dibawa oleh wakil merupakan tindakan yang diinginkan dan pikiran pemberi mandat.
Kapan mandat itu diberikan? Penunjukkan wakil dilakukan melalaui Pemilihan Umum. Sekelompok masyarakat menunjuk seseorang yang dipercaya bisa menjalankan mandat. Melalui Pemilihan Umum seorang telah ditunjuk untuk masa lima tahun mewakili sekelompok masyarakat. Selama lima tahun tindakan dan pikiran yang diberi mandat harus selelalu bertanya kepada pemberi mandatnya. Jadi ada sebuah proses komunikasi terbuka antara masyarakat yang diwakili dan wakil yang ditunjuk dan diberi mandat. Jadi dalam hal ini anggota dewan tidak bisa bertindak sendiri tetapi harus berkonsultasi kepada masyarakat yang diwakilinya. Disinilah fungsi wilayah pemilihan, dan sistem pemilihan distrik menjadi sangat penting.
Pada kenyataannya anggota dewan bukan bertindak sebagai wakil rakyat, tetapi bertindak sebagai (meminjam konsep Arbi Sanit) wali rakyat. Wali adalah orang tua yang diberi hak penuh untuk mengambil semua keputusan atas yang diwalinya. Contohnya wali murid, yang menjadi wali punya hak penuh atas murid dengan tidak memberi hak kepada anaknya dan tidak perlu bertanya pada yang diwalinya. Wali tidak datang dari anak tetapi datang dari orang lain atas hak istimewa yang dimilikinya, biasanya lebih tua berasal dari keluarga.
Hal ini tentu saja sangat relevan dengan kondisi DPRD kita khususnya DPRD Riau. Masyarakat yang ikut pemilihan umum bukan menunjuk wakilnya tetapi memberi hak istimewa kepada partai untuk menunjuk orang yang menjadi wali. Artinya anggota dewan memang tidak bertanggung jawab kepada rakyat tetapi kepada partai yang menunjuknya. Atas datas itulah anggota dewan akan mencari jalan untuk menyenangkan partai bukan rakyat. Hal ini tentu saja terkait dengan sistem pemilu dan sistem rekrukmen anggota dewan oleh partai. Sistem pemilu dimana rakyat tidak mengenal siapa yang mewakili mereka.
Setelah menjadi anggota dewan tidak pula tersedia mekanisme hubungan antara angota dewan dengan wilayah pilihannya. Begitu juga tidak terdapat mekanisme informasi bagaimana rakyat mengetahui apa yang diperjuangkan wakilnya di DPRD. Sedangkan partai sendiri belum mempunyai mekanisme rekrutmen untuk mencalonkan anggota partainya sebagai calon anggota dewan. Hubungan anggota dewan dengan partai ada ketika mau pemilihan umum. Setelah pemilu usai partaipun redup. Karena partai redup maka anggota dewan menjadi bebas untuk menentukan sikapnya sendiri, tanpa ada tangung jawab dan kontrol dari manapun. Akibatnya aspirasi rakyat hanya merupakan instrumen kekuasaan yang diperoleh melalui pemilu. Pemilu semata-mata menjadi sarana mencapai kekuasaan. Setelah pemilu usai, partai berjarak dengan rakyat, DPRD-pun menjadi lembaga birokrasi.
Disisi lain, reformasi menjadikan DPRD sebagai satu-satunya lembaga politik yang sangat berkuasa menggantikan eksekutif. Dengan kekuasan yang dimilikinya anggota DPRD bisa berbuat apa saja, tertutama terhadap eksekutif. Perpaduan politisi Orde baru dan politisi instan dengan kekuasaan yang hampir tidak terbatas trsebut DPRD bisa menjadi lembaga oligharki mengatasnamakan rakyat yang tentu saja bertentangan degan domokrasi.
Atas dasar itulah, anggota dewan memanfaatkan kekuasaan yang ada pada dirinya untuk memperkaya diri. Hasil kajian yang dilakukan LPAD tentang DPRD menunjukkan bahwa tidak pernah anggota dewan memikirkan rakyat yang ada diwilayah pemilihannya. Ditemukan beberapa indikasi anggota dewan menjalankan proyek yang dibiayai oleh anggran negara, contoh beberap anggaota DPRD memiliki media yang dibiayai APBD tahun 2002. Proyek pertamanan di Pekanbaru dikuasai oleh satu orang anggota dewan. Beberapa orang anggota dewan yang bertindak sebagai kontraktor atas biaya APBD. Begitu juga dalam beberapa kali diskusi ke dinas secara terbuka mereka mengemukakan terpaksa memenuhi keinginan anggota dewan. Beberapa tindak politik uang ketika berhubungan dengan eksekutif terutama dalam pemilihan Gubernur.
.Kesewenangan lain yang dibuat anggota dewan adalah keleluasaan membuat anggaran daerah. Pola anggaran daerah atas keinginan dewan. Setiap kali anggaran masuk ke dewan selalu terjadi peningkatan nilai. RAPBD tahun 2003 ini saja terjadi peningaktan lebih dari 6 milyar rupiah, sebagai akibat dari tambahan proyek dari anggota dewan. Jika dilihan dari angggaran tahun 2000,2001 hingga 2003 nilai terbesar berada proyek fisik. Pada anggaran 2001 DPRD Riau dengan mudahnya mencoret anggaran pendidikan dan membesarkan anggaran proyek pembangunan.
Keterlambatan dan ketertutupan proses RAPBD tahun 2003 makin menperjelas aktivitas bagi-bagi proyek. Bahkan karena sikap DPRd yang sewenang-wenang membuat proyek tanpa melalui pemerintah daerah (dalam hal ini Bappeda) telah menyebabkan Saleh Djasid marah dengan menolak hadir pada sidang paripurna hasil Panitai Anggaran. Kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Tim Sinkronisasi untuk mengembelaikan dana 250 milyar rupiah agar proyek strategis tetap berjalan. Tim sinkronisasi berhasil mengambalikan dana proyek strategis tidak sepenuhnya dengan tetap mempertahankan kepentingan anggota dewan.
Tindakan tim sinkronisasi ini tentu saja memunculkan kemarahan dari kalangan komisi yang telah terlanjur memasukkan proyek kepada dinas-dinas tertentu dengan nilai fee tertentu. Akibatnya tentu saja sidang paripurna pengesahan RAPBD Riau tahun 2003 akan molor hingga hari Jum’at. 7 Maret 2003.
Mengapa keadaan ini terjadi? Selain system pemilu sebagaimana yang dikemukan diatas, juga dilihat dari track record integritas dan moralitas anggota dewan, yaitu ; Pertama, poitisi Orde Baru yang sangat diyakinkan oleh mayoritas masyarakat akan mempertahakan statusquo. Dari 55 orang anggota DPRD Riau persentase politisi Orde Baru mencapai 70 persen dari anggta DPRD Riau. 70 persen politisi yang terlibat di Orde Baru ini diyakini pro statusqou.
Kedua, sementara 30 persen lagi merupakan politisi baru yang muncul secara instan karena reformasi. Mereka ini datang dari berbagai kalangan masyarakat. Kelompok ini, karena baru mengeluti politik praktis diyakini juga tidak mampu secara maksimal memperjuangkan aspirasi rakyat. Karena mereka memang baru belajar menjadi politisi dan anggota dewan. Dan menjadi anggota dewan dengan motivasi materil.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mereka yang sekatang menjadi anggota DPRD Riau kurang layak mewakili rakyat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar