Dari saya

Terima kasih bagi netter yang telah ke blog saya, dan menyediakan sedikit waktunya untuk membaca buah pikiran saya. Saya sangat senang jika apa yang saya pikirkan mendapat respon positif ataupun negatif. Dan saya dapat dihubungi di 08127627068. Salam mari berbagi kedamaian. M.Rawa El Amady

Sabtu, 20 Oktober 2007

DAMPAK INDUSTRI TERHADAP MASYARAKAT MELAYU DI DUSUN PERTIWI, RIAU â

Oleh M. Rawa El Amady Tulisan ini membahas dampak industri terhadap masyarakat desa melalui tiga aspek yaitu aspek ekonomi, aspek sosial dan lingkungan. Untuk menganalisis data, penulis menggunakan pendekatan ekonomi politik Marx, melalui pembagian masyarakat di tempat penelitian menjadi dua kelas, yaitu kelas borjuis dan kelas petani kecil. Kelas borjuis terdiri dari borjuis metropolis dan borjuis tempatan. Borjuis metropolis adalah perusahaan mutinasional yang menginvestasikan modalnya di Indonesia khususnya di Dusun Pertiwi dengan mendirikan pabrik kertas PT Indah Kiat dan perusahaan tanaman kayu (HTI) PT Arara Abadi. Borjuis tempatan pula terdiri dari pegawai pemerintah (dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan dan kepala desa), dan pengusaha China. Kelas borjuis ini bersatu melakukan eksploitasi terhadap kelas petani kecil. Borjuis pemerintah memiliki kekuasaan resmi (yang otoriter) sedangkan pengusaha China, dan pengusaha multinational memiliki modal dan teknologi. Dua kekuasaan bersatu untuk mengeksploitasi sumber alam yang ada di Dusun Pertiwi. Untuk mendapatkan data penulis tinggal bersama penduduk Dusun Pertiwi dari November hingga Desember 1996. Selama bersama penduduk penulis melakukan wawancara secara mendalam dan pemerhatian. Dusun Pertiwi dipilih sebagai tempat penelitian karena di Dusun Pertiwi kini terdapat industri pabrik kertas PT Indah Kiat dan perusahaan perkebunan PT Arara Abadi dan pabrik kayu lapis PT Pertiwi Plywood. Selain itu di Dusun Pertiwi bisa ditemui penduduk asli Melayu yang merasakan adanya dampak yang nyata dari industri. DUSUN PERTIWI SEBELUM KEHADIRAN INDUSTRI Sebelum kehadiran pabrik kertas Indah Kiat pada tahun 1982 dan pabrik Pertiwi Plywood pada tahun 1987, Dusun Pertiwi merupakan daerah yang terpencil, meskipun pada tahun 1962 di Prearrange telah dibangun jalan raya oleh perusahaan minyak PT Celtics Pacific Indonesia (CPI). Perhubungan dengan tempat lain hanya melalui jalan sungai, dan memerlukan waktu sehari jika hendak ke Siam atau ke Pekanbaru. Penduduk Dusun Pertiwi baru merasakan pengaruh kehadiran industri pada tahun 1985 ketika pabrik kertas Indah Kiat mulai berproduksi. Pengaruh kehadiran industri makin dirasakan penduduk Dusun Pertiwi pada tahun 1992 ketika perusahaan perkebunan kayu untuk industri (HTI) PT Arara Abadi bersama pemerintah mengambil tanah rakyat secara besar-besaran. Dusun Pertiwi berada dipinggir Sungai Siam dan penduduknya bergantung hidup pada hutan dan sungai. Sungai Siam bagi penduduk Dusun Pertiwi mempunyai arti yang amat penting. Selain sebagai alat transportasi, sungai itu juga tempat mereka memenuhi keperluan air minum, tempat mandi, tempat mencuci, sebagai sumber pendapatan --mencari ikan-- dan tempat membuang air besar dan air kecil. 1. Keadaan Ekonomi Keadaan ekonomi penduduk dapat dilihat dari; Pertama, Pemilikan Tanah (Kebun). Pemilikan tanah (kebun) dapat diketahui dari jumlah tanah yang diperolehi melalui pembukaan hutan, warisan dan pembelian. Hak milik mereka bukan berdasarkan bukti secara tertulis, tetapi berdasarkan kesepakatan bersama masyarakat bahwa tanah tersebut milik seseorang (keluarga) yang ditandai oleh batas tanaman atau kayu besar. Untuk menentukan luas tanah mereka, penduduk Dusun Pertiwi menggunakan ukuran sebidang atau depa (sepanjang kedua belah tangan) atau petakan ladang. Jumlah tanah yang dimiliki oleh setiap keluarga di Dusun Pertiwi paling sedikit 30 hektar. Bagaimanapun, jumlah keseluruhan tanah penduduk tidak dapat diketahui, hanya dapat diperkirakan berdasarkan jumlah tanah yang diambil perusahaan dan pemerintah, dan tanah penduduk yang masih tersisa sekarang. Tanah yang telah diambil PT Arara Abadi seluas 502 hektar, yang diambil pabrik kertas PT Indah Kiat seluas 420 hektar, yang diambil PT Pertiwi Plywood seluas 50 hektar, yang diambil pemerintah seluas 254.9 hektar, dan jumlah tanah yang dipunyai penduduk kira-kira 119 hektar serta seluas 60 hektar tanah kepala Desa Pinang Sebatang. Jumlah keseluruhan tanah yang dapat dikira seluas 1,405.9 hektar. Jumlah ini tidak termasuk tanah yang dibeli tauke China, dan tanah di seberang Dusun Pertiwi. Kedua, Pekerjaan. penduduk Dusun Pertiwi sangat bergantung pada hutan, karena hutan bagi mereka merupakan critical support dan food security (Loekman Sutrisno, 1991:67). Oleh sebab itu, pekerjaan utama penduduk Dusun Pertiwi adalah bertani. Setiap tahun mereka membuka hutan untuk berladang, termasuk menanam karet. Walaupun berladang menjadi tradisi pertanian mereka tetapi sebenarnya pekerjaan utama penduduk adalah menyadap karet, karena hasil karet menjadi sumber utama untuk memenuhi keperluan keluarga apabila hasil ladang mereka tidak mencukupi untuk setahun. Menyadap karet merupakan pekerjaan rutin mereka sehari-hari, disamping membuka ladang, mencari kayu, mencari rotan dan damar, serta mencari ikan. Di ladang, penduduk Dusun Pertiwi menanam padi, sayur-sayuran, buah-buahan dan membuat kebun karet. Penghasilan padi bergantung pada keadaan hama dan keadaan alam. Secara umumnya, padi mereka sekurang-kurangnnya dapat digunakan selama delapan bulan seusai menuai, atau sampai musim menuai yang akan datang. Jika padi mereka mencukupi untuk setahun kehidupan mereka akan lebih baik, karena mereka hanya perlu berhutang untuk memenuhi keperluan gula, garam, tepung dan makanan ringan lainnya. Akan tetapi, jika persediaan padi tidak mencukupi, mereka terpaksa berhutang pada tauke. Bagi mereka yang rajin dan karet yang mereka toreh sedang banyak hasilnya, pendapatan mereka satu hari boleh mencapai 30 kilogram. Jika harga karet Rp1.200,00 sekilo mereka boleh mendapat pendapatan Rp 36.000, sehari. Umumnya penduduk menyadap karet paling banyak 20 hari dalam sebulan, maka pendapatan mereka boleh mencapai Rp 720.000,00 sebulan. Akan tetapi karena mereka biasanya sentiasa berhutang, uang sebanyak itu jarang dilihat oleh mereka, sebab karet hasil torehan mereka langsung diserahkan kepada tauke. Pekerjaan lain yang biasa dilakukan oleh penduduk Dusun Pertiwi ialah mencari kayu balak untuk dijual kepada perusahaan Plywood. Pendapatan mereka dari jualan kayu tidak tetap, dan berdasarkan harga yang ditentukan oleh pihak pabrik ketika mereka menjualnya. Pekerjaan mencari kayu memerlukan waktu yang lama. Begitu juga dengan mencari rotan, damar, menangkap binatang, menangkap ikan dan menjual sayur di pasar. Semua pekerjaan itu dapat menghasilkan uang, tetapi tidak dapat ditentukan jumlahnya, dan tidak begitu mempengaruhi pendapatan keluarga mereka. Sungai Siak juga merupakan sumber pekerjaan bagi penduduk Dusun Pertiwi. Mereka menjalankan pelayanan pengangkutan untuk membawa penduduk dari Very ke Dusun Pertiwi dengan bot. Setiap perahu biasanya dapat mengangkut 15 hingga 20 penumpang. Jumlah penduduk Dusun Pertiwi yang memiliki perahu motor hanya lima orang pada tahun 1980-an. Dalam sehari pendapatan bersih mereka boleh mencapai Rp 80.000,- pada hari pekan, tetapi hanya Rp.12.000,- pada hari biasa. 2.Aspek Sosial Aspek sosial di sini dilihat dari aspek mobilitas penduduk, peranan isteri dalam rumah tangga, dan kepemimpinan kampung. Pertama, Mobilitas Penduduk. Mobilitas penduduk di sini diukur berdasarkan aktivitas keluar kampung yang dilakukan oleh penduduk Dusun Pertiwi untuk memenuhi keperluan hidup mereka. Ukuran ini sebenarnya susah untuk dibuktikan secara kuantitatif, sebab selain tidak tersedia data yang lengkap, bagi penduduk yang telah pindah tidak diketahui pula ke mana mereka pindah. Pembuktian hanya dapat dilakukan melalui analisa diskriptif berdasarkan aktivitas yang dilakukan oleh mereka sebelum kehadiran industri. Faktor pendukung dari gambaran aktivitas adalah pelayanan perhubungan, ketersediaan pasar, dan aktivitas berladang. Terdapat dua aktivitas penduduk yang mendorong mereka bermobilitas keluar kampung, yaitu berbelanja dan bekerja. Bagi petani ladang, umumnya pada setiap hari pekan (Jumaat) kira-kira 90% daripada mereka pergi ke pasar di Desa Tualang untuk berbelanja bagi memenuhi keperluan hidup yang tidak dapat diperolehi dari ladang, hutan dan sungai. Bagi anak-anak muda, mereka umumnya pergi ke Desa Tualang, Very2, Pekanbaru dan Siak Sri Indrapura untuk menjual hasil pertanian. Bahkan ada seorang penduduk Pertiwi yang merantau ke Malaysia untuk bekerja. Mobilitas penduduk sebelum masuknya Industri paling banyak ke Desa Tualang dan ke Very untuk berbelanja atau ke Very untuk bekerja. Penduduk yang pergi ke Pekanbaru sangat sedikit, bahkan boleh dikatakan tidak ada. Paling jauh pun penduduk Dusun Pertwi pergi ke Siak Sri Indrapura. Yang menghalang mereka pergi ke tempat yang agak jauh ialah kekurangan sarana transportasi, karena satu-satunya yang ada hanyalah transportasi melalui sungai dengan menggunakan bot atau kapal laut. Faktor tidak dapat meninggalkan ladang juga menjadi penyebab mereka sukar meninggalkan kampung. Akan tetapi, karena di dalam kampung mereka tidak ada pasar, mereka terpaksa pergi ke Desa Tualang untuk berbelanja. Kedua, Peranan Isteri. Peranan isteri di Dusun Pertiwi secara idealnya adalah sebagai ibu rumah tangga , yaitu tidak melakukan aktivitas ekonomi di luar rumah dan hanya mengurus rumah tangga saja. Seorang suami yang baik adalah suami yang memberi kesempatan kepada isteri diam di rumah saja. Apabila seorang suami yang baru menikah mengajak isterinya bekerja ---bahkan tinggal di ladang pun-- dia akan mendapat penilaian yang kurang baik dari pada masyarakatnya. Sebaliknya pula, kemampuan seorang suami membiarkan isterinya tinggal di rumah mengurus rumah tangga saja, menjadi indikator kesejahteraan keluarganya. Akan tetapi, pada realitasnya isteri tidak hanya menjadi ibu rumah tangga semata-mata, sebab seorang isteri juga ikut bekerja membantu suami di ladang, membersihkan ladang, menuai padi bahkan ramai ikut menemani suami menyadap karet. Seorang isteri biasanya ikut bekerja apabila telah lebih setahun menikah, tidak sedang hamil, ataupun anaknya sudah berumur lebih daripada lima tahun. Walaupun isteri ikut bekerja, tetapi semua hasil kerjanya diserahkan kepada suami yang menjadi kepala keluarga. Setelah semua pendapatan diperoleh barulah suami membagikan uang tersebut untuk keperluan keluarga. Semua keputusan dalam keluarga sepenuhnya menjadi hak suami. Isteri hanya berhak memberi pendapat, tetapi wajib mendukung keputusan yang telah diambil oleh suami. Ketiga, Kepemimpinan Kampung. Sejak Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintah di Desa dilaksanakan, sistem administrasi seluruh desa di Indonesia telah diseragamkan. Kampung-kampung kecil yang tidak memenuhi persyaratan sebuah desa digabungkan dengan kampung lain agar memenuhi persyaratan sebuah desa. Kampung Pertiwi yang merupakan kampung kecil yang terdiri daripada 30 keluarga telah digabungkan dengan tiga kampung lain menjadi Desa Pinang Sebatang. Status kampung juga diganti menjadi Dusun, yang tidak mempunyai otoriti pada kawasan kampung tersebut. Sejak tahun 1980 hingga kini, Desa Pertiwi berada di bawah kepemimpinan Kepala Desa Pinang Sebatang yang mempunyai kekuasaan penuh ke atas dusun-dusun di bawahnya. Sebagai pembantu kepala desa diangkat seorang Kepala Dusun (kadus), ketua Rukan Warga (RW) dan ketua Rukun Tetangga (RT). Namun kepala dusun (kadus), RW dan RT tidak memiliki kekuasaan atas dusunnya. Kadus tidak dapat membuat perencanaan untuk kampungnya, melakukan jual-beli tanah, dan mengambil keputusan atas nama dusun. Kapala dusun hanya berfungsi melaksanakan urusan administrasi untuk mendukung program kepala desa. Kepemimpinan informal, seperti pemuka adat tidak lagi dianggap sebagai pemimpin kampung. Mereka dihimpunkan oleh pemerintah dalam LMD (Lembaga Mesyuarat Desa) dan LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), dan tugas mereka hanyalah mendukung arahan pemerintahan. LKMD dan LMD tidak ada pada peringkat dusun, hanya ada pada peringkat desa saja. Dari segi pemeritahan, tokoh agama, adat dan orang tua tidak lagi berhak menentukan arah perkembangan kampung. Semua perkembangan kampung ditentukan dalam rapat peringkat desa. Kepala desa dipilih melalui pemilihan suara oleh penduduk desa. Kepala dusun ditunjuk oleh kepala desa, sedangkan ketua RW dan RT dipilih dalam rapat penduduk dusun. Unsur adat tidak menjadi dasar pemilihan kepala dusun. Kepala dusun dipilih berdasarkan kemampuannya mengelola administrasi dusunnya dan dapat bekerja sama dengan kepala desa. Hubungan masyarakat dengan kepala dusun hanya hubungan administrasi saja. Apabila timbul sesuatu masalah dalam masyarakat akan diselesaikan pada peringkat desa. DAMPAK KEHADIRAN INDUSTRI TERHADAP MASYARAKAT MELAYU DUSUN PERTIWI Dampak kehadiran industri yang akan dibahas di sini mencakupi dampak ekonomi, dampak sosial dan dampak lingkungan. 1. Dampak Ekonomi Berikut beberapa dampaknya terhadap penduduk Dusun Pertiwi, dianalisis melalui ; Pertama, Pergeseran Pemilikan Tanah. Sebelum kehadiran industri jumlah tanah yang dimiliki oleh setiap keluarga di Dusun Pertiwi rata-rata 30 hektar. Bagi mereka yang rajin membuka hutan untuk berladang luas tanah merekat ada yang mencapai 100 hingga 200 hektar. Dar 17 keluarga di Dusun Pertiwi jumlah keseluruhan tanah yang dapat dibuktikan sebagai milik mereka mencapai 1,500 hektar.3 Jumlah tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya diperkirakan lebih luas lagi. Pada masa ini tanah seluas 1,500 hektar itu, sudah menjadi lima pemilik, yaitu tanah milik pabrik atau perkebunan milik pabrik, tanah milik pengusaha lokal yang sebahagiannya adalah China, tanah milik kepala desa, tanah milik pemerintah atau perusahaan pemerintah dan tanah milik penduduk. Tanah yang telah diambil oleh PT Arara Abadi seluas 502 hektar, yang diambil oleh pabrik kertas PT Indah Kiat seluas 420 hektar, diambil PT Pertiwi Plywood seluas 50 hektar, diambil pemerintah seluas 254.9 hektar, dan yang masih dipunyai penduduk kira-kira 119 hektar serta seluas 60 hektar yang diakui oleh kepala Desa Pinang Sebatang sebagai miliknya. Jumlah keseluruhan tanah yang dapat dikira seluas 1,405.9 hektar. Jumlah ini tidak termasuk tanah yang dibeli tauke China, dan tanah yang diambil pemerintah di Dusun Pertiwi di seberang Sungai Siak. Tanah yang masih dimiliki oleh penduduk Dusun Pertiwi pada masa ini hanya tanah kebun karet atau belukar yang luasnya kira-kira 7 hektar bagi setiap keluarga Ada tiga keluarga yang memiliki tanah seluas dua hektar saja. Kepala Desa membeli tanah penduduk dengan harga Rp.80.000,- bagi setiap hektar di kawasan yang akan dikembangkan menjadi kawasan indsutri. Tanah tersebut dijualnya kepada perusahaan dengan harga yang lebih mahal, adakalanya harga satu hektar mencapai Rp.2 juta. Kepala desa mengaku mempunyai tanah seluas 60 hektar yang sekarang sedang ditanami kelapa sawit dan kayu akasia. Selain itu, pengusaha China pula melakukan hal yang sama dengan kepala desa, yaitu membeli tanah Dusun Pertiwi di kawasan yang akan dibangunkan, kemudian menjual tanah tersebut kepada perusahaan. Tanah penduduk Dusun Pertiwi diambil melalui beberapa cara. Pertama, diambil secara paksa tanpa ganti rugi. Kedua, diambil dengan ganti rugi. Ketiga, dibeli dengan paksa. Keempat, penduduk diharuskan menjual. Mengenai pengambilan secara paksa, kebun atau tanah yang menjadi milik penduduk diambil dan ditanami akasia (acacia) oleh PT Arara Abadi tanpa pengetahuan penduduk. Apabila penduduk menuntut tanahnya kepada perusahaan, maka perusahaan mengatakan bahawa tanah tersebut adalah tanah hutan. Penduduk diminta menunjukkan bukti secara tertulis jika tanah tersebut milik mereka. Akan tetapi, penduduk Dusun Pertiwi tidak seorang pun memiliki bukti secara tertulis. Untuk mempertahankan kebun yang disengketakan penduduk tersebut, pihak perusahaan menggunakan tentera atau orang yang menyamar sebagai tentera.4 Apabila cara pertama yaitu pengambilan tanah secara paksa gagal, maka pihak perusahaan akan menempuh cara kedua yaitu mengambil tanah dengan membayar ganti rugi mengikut harga yang ditentukan oleh pemerintah. Pihak perusahaan membayar uang tersebut kepada pemerintah, dan pemerintahlah yang akan membayarnya kepada penduduk. Cara ini dilakukan apabila tindakan perusahaan telah mendapat sorotan tajam dari masmedia dan NGO (Non Goverment Organisation). Cara kedua ini juga dilakukan oleh pihak perusahaan karena sebab-sebab yang lain. Cara ini menjadi pilihan pertama apabila perusahaan mengambil tanah penduduk yang mempunyai bukti pemilikan secara tertulis. Ataupun sebelum tanah mereka diambil penduduk sudah mengadakan tunjuk rasa agar tanahnya dibayar dengan harga yang sesuai. Proses ganti rugi biasanya melalui pemerintah yang menentukan nilai ganti rugi, setelah itu meminta persetujuan penduduk. Perusahaan tidak langsungs membayar ganti rugi kepada penduduk tetapi melalui pemerintah. Cara ketiga adalah membeli tanah penduduk dengan cara paksa. Cara ini diambil karena tanah tersebut tidak boleh diambil secara paksa disebabkan adanya bukti kepemilikan yang jelas. Untuk itu perusahaan membuka kebun baru atau meluaskan pabrik dengan mengepung tanah penduduk. Akibat tindakan perusahaan itu tanah penduduk sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi. Perusahaan tidak lansung membeli tanah penduduk, sebab kalau perusahaan yang membeli, harga tanah akan mahal. Oleh sebab itu yang membeli umumnya adalah pemerintah atau hanya kepala desa dengan harga yang lebih murah dan pemerintah atau kepala desa yang akan menjualnya kepada perusahaan dengan harga yang ditentukan perusahaan tetapi biasanya lebih mahal daripada harga membeli. Yang banyak melakukan cara ketiga ini biasanya ialah pemerintah. Misalnya tanah yang terletak di antara PT Pertiwi Plywood dengan pelabuhan milik PT Indah Kiat, dibeli oleh pemerintah secara paksa dengan alasan di tempat itu akan dibangun pelabuhan sungai milik pemerintah. Akan tetapi setelah tujuh tahun tanah tersebut dibeli oleh pemerintah, pelabuhan belum juga dibangun. Sebaliknya yang terjadi adalah pengembangan pelabuhan milik PT Indah Kiat di atas tanah tersebut. Contoh lain, ialah tanah Dusun Pertiwi di seberang Sungai Siak yang dibeli oleh pemerintah dengan alasan untuk membangunkan kebun di kawasan itu. Cara keempat adalah menciptakan keadaan agar masyarakat menjualkan tanah mereka. Caranya adalah mengembangkan sikap konsumtif pada masyarakat dengan menawarkan pelbagai jenis barang baru, menggalakkan menjual tanah untuk membangun rumah atau pergi ke Mekah. Selain itu menciptakan kekhawatiran di kalangan penduduk bahawa jika tanahnya tidak dijual sekarang, tanah itu akan diambil oleh pemerintah dengan ganti rugi yang lebih rendah. Dengan itu hampir semua penduduk Dusun Pertiwi berkeinginan menjual tanah mereka kepada pengusaha multinasional. Ada dua alasan utama. Pertama, daripada tanah itu diambil secara paksa oleh orang lain dan dibayar dengan harga yang lebih murah, lebih baik dijual dengan harga yang agak tinggi. Kedua, sebagai sumber kehidupan, karena pekerjaan sudah susah diperoleh, sedangkan sumber uang lain tidak ada. Salah satu cara untuk mendapatkan uang yang banyak dan hidup senang adalah dengan menjual tanah. Ada juga yang menjual tanah hanya karena ingin pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji.5 Dalam hubungan ini, peranan Kepala Desa Pinang Sebatang amat penting untuk menentukan tanah penduduk laku dijual. Jika penduduk ingin menjual tanah mereka secara langsung pada pengusaha pabrik, biasanya tidak mendapat tanggapan. Untuk menjual tanah mereka, penduduk harus menyerahkan tanah mereka kepada kepala desa lebih dahulu. Kepala desa yang akan menentukan harga tanah tersebut, biasanya Rp 800.000,- setiap hektar. Setelah itu baru tanah tersebut dijual kepada pihak yang memerlukannya. Biasanya yang membeli tanah itu adalah kepala desa sendiri. Kedua, Perubahan Pekerjaan. Selepas tanah mereka (termasuk hutan dan kebun) diambil oleh industri, mereka tidak lagi berpeluang melakukan pekerjaan pertanian seperti dahulu. Mereka tidak bisa lagi membuka ladang, dan mencari rotan, damar, dan obat-obatan dan tak seorang pun yang berladang atau berkebun. Kini masih ada sepuluh orang yang menyadap karet, dan dua orang yang memiliki bot. Walaupun pada masa ini penduduk Dusun Pertiwi masih mempunyai kebun kira-kira tujuh hektar rata-rata setiap keluarga, tetapi tanah tersebut tidak terletak di satu tempat. Oleh itu, mereka tidak boleh mengerjakannya. Sebabnya ialah hama6 dan hasil tanaman mereka akan habis dimakan hama jika mereka berladang secara bersendirian. Seorang informan menyatakan bahawa sekarang di Dusun Pertiwi lebih banyak hama daripada tanaman. Oleh itu, apa saja yang ditanam akan habis dimakan hama, sebab hutan sudah semakin habis, sehingga binatang tersebut susah mencari makan.7 Bagaimanakah penduduk mempertahankan hidupnya? Hasil penelitian SUCOFINDO8 November 1990, mendapati hanya 50 orang di kawasan Perawang yang bekerja di pabrik PT Indah Kiat. Walaupun pihak Indah Kiat dan Pertiwi memberi kesempatan kepada penduduk tempatan untuk bekerja di pabrik mereka dengan syarat yang mudah, tetapi hanya seorang saja anak penduduk Dusun Pertiwi yang bekerja di Pabrik PT Indah Kiat dan seorang lagi anak mereka bekerja di pabrik PT Pertiwi Plywood. Penduduk Dusun Pertiwi tidak berminat bekerja di pabrik disebabkan dua hal. Pertama, mereka tidak memiliki keahlian. Oleh sebab itu, peluang kerja yang diberikan pada mereka terutama adalah pekerjaan sebagai pesuruh, buruh kasar, penghantar surat, dan pengawas truk. Penduduk Dusun Pertiwi menganggap pekerjaan yang diberikan kepada mereka itu sebagai pekerjaan yang tidak terhormat. Gaji yang akan diperoleh pun hanya Rp.150.000,- sebulan sedangkan keperluan hidup sebulan paling kurang Rp 200.000,-. Kedua, kerja di pabrik terikat dengan waktu dan peraturan yang ketat. Penduduk susah memenuhi ketentuan waktu yang ditetapkan dan ketatnya peraturan yang harus dipatuhi. Dahulu penduduk bekerja tidak terikat pada waktu, boleh bekerja setiap masa dan boleh rehat setiap masa tanpa ada yang menghalangi. Sebaliknya jika mereka bekerja di pabrik semuanya diatur. Aturan yang ditetapkan mengharuskan pekerja melindungi kepentingan perusahaan, padahal bidang kerja yang diberikan selalunya yang berhubungan dengan masyarakat.9 Sejak tanah (hutan dan kebun) mereka diambil oleh industri, penduduk Dusun Pertiwi telah bertukar pekerjaan dari pertanian kepada: 1)Bekerja bacok-bacok, bacok-bacok jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah bekerja apa saja asal halal dan dapat menjamin hidup hari ini.10 Dilihat dari aktivitasnya, pekerjaan ini sama dengan buruh harian, bekerja berdasarkan pesanan, dan mendapat upah dari hasil kerja. Jenis pekerjaan ini adalah mengambil upah menebas hutan, kerja bangunan, bekerja pada kebun orang lain, dan meleles.11 Penduduk bekerja berdasarkan permintaan, jika tidak ada permintaan mereka akan menganggur. Sebagian besar penduduk Dusun Pertiwi bekerja bacok-bacok karena tidak ada lagi tanah dan kebun yang dapat mereka kerjakan. Adapun yang bekerja pada sektor ini adalah lelaki yang telah berusia 40 tahun atau lebih. Pendapatan yang diperolehi dari kerja bacok-bacok ini tidak bisa diperkirakan secara pasti, sebab sangat tergantung pada jenis pekerjaan mereka. Apabila kebetulan pekerjaan itu dibayar upah yang tinggi dan waktu untuk mengerjakannya lama, kemungkinan pendapatan akan banyak. Akan tetapi, yang lebih sering ialah dalam satu minggu penduduk hanya dapat bekerja selama dua hari. Pendapatan yang diperolehi penduduk secara rata-rata hanya Rp 100.000,- sebulan. Akan tetapi, ada juga penduduk yang hanya memperoleh pendapatan yang kurang dari seratus ribu rupiah sebulan. 2) Bekerja di Unit Kapal (UK), PT Pertiwi Plywood mempunyai pelabuhan bongkar muat barang yang disebut UK (Unit Kapal) . Buruhnya berasal dari buruh lepas12 yang umumnya penduduk tempatan. Aktivitas ini dipimpin oleh seorang mandor yang juga berasal dari penduduk tempatan. Mandor pelabuhan Pertiwi adalah adik Kepala Desa Pinang Sebatang. Aktivitas dilakukan apabila kapal masuk (merapat) ke pelabuhan. Bentuk aktivitas adalah membongkar barang, dan memasukkan barang apabila kapal hendak berangkat. Pekerjaan ini tidak mengenal waktu, kadang siang, kadang malam, bahkan apabila kapal merapat di pelabuhan tengah malam, mereka harus membongkar barang pada malam itu juga. Sebanyak 16 orang penduduk Dusun Pertiwi yang bekerja sebagai buruh UK ini umumnya belum mencapai umur 40 tahun. Untuk membayar gaji buruh, PT Pertiwi menghitung jumlah barang yang diangkat oleh buruh, dan uang gaji diserahkan kepada mandor, setelah itu barulah mandor membayarkannya kepada buruh tersebut. Semakin banyak barang yang dibongkar atau dimuat dan semakin sering kapal merapat semakin besar pendapatan buruh. Setiap potong barang dihargai Rp.2.500,- Gaji dibayar dalam waktu tiga bulan, umumnya setiap orang mendapat gaji Rp.350.000,- setiap tiga bulan. Bagi pekerja UK yang sudah tidak mampu lagi bekerja, peluang kerja tersebut dijual kepada orang yang memerlukan pekerjaan seharga dua juta rupiah (Rp2 juta). Cara pembayarannya adalah secara ansuran, setiap kali menerima gaji, atau pembeli meminjam uang kepada tauke untuk membayar peluang kerja yang dibelinya tersebut. 3) Penyediaan Pelayanan, tiga jenis pekerjaan di sektor pelayanan yang terdapat di Dusun Pertiwi ialah, pengangkutan, perdagangan dan sewa rumah. Pelayanan pengangkutan sungai merupakan pekerjaan lama. Untuk menjalankan pelayanan ini masih tersisa dua buah bot milik penduduk Dusun Pertiwi. Pengurangan jumlah bot dari 10 menjadi dua disebabkan berkurangnnya penumpang. Berkurangnya penumpang ini disebabkan dibangunnya jalan dari Perawang ke pabrik PT Pertiwi. Delapan orang yang sudah behenti dari menyewakan bot kini bekerja bacok-bacok. Untuk mengurangi biaya operasional (minyak dan perbaikan), pemilik bot kini telah menaikkan tambang bot. Sebelum dibangun jalan dari Perawang ke pabrik PT Pertiwi tambang dari Very ke Dusun Pertiwi hanya Rp.2.000,- tetapi sekarang dinaikkan menjadi Rp.5.000,- bahkan boleh menjadi Rp.10.000,- apabila penumpang tidak pandai menawar. Bagaimanapun, pada waktu pagi tambang bot dari Dusun Pertiwi ke Very hanya Rp.2.000,- sebab bot tersebut disewa oleh pelajar sekolah dasar (sekolah rendah) yang setiap pagi harus pergi ke Desa Tualang untuk bersekolah. Pekerjaan berdagang kebutuhan sehari-hari dilakukan oleh Usman kepala dusun Pertiwi yang sebelumnya bekerja sebagai buruh UK, sementara yang menyewakan rumah adalah Pak Jaafar dan Ibu Nova. Di Dusun Pertiwi kini terdapat 200 rumah yang dimiliki oleh mereka berdua saja. 20 buah rumah milik Pak Ja’far, seorang pemuka agama yang hingga sekarang masih menyadap karet sebagai pekerjaan tetap. Adapun pemilik 180 buah rumah sewa yang lain adalah Ibu Nova, adik kepala Desa Pinang Sebatang. Sewa sebuah rumah adalah Rp.25.000,- sebulan. Yang menyewa rumah tersebut adalah pendatang yang bekerja di PT Pertiwi Plywood dan yang pedagang. Keempat,kemiskinan. Penduduk Dusun Pertiwi dijumpai lebih miskin setelah masuknya industri dibandingkan dengan sebelum masuknya industri. Keadaan kemiskinan penduduk Dusun Pertiwi diukur melalui dua indikator; Pertama, kepastian mendapatkan pekerjaan. Sebelum kehadiran industri ke Dusun Pertiwi, penduduknya dengan mudah dapat bekerja di sektor pertanian dan salah satu keperluan dasar mereka, dimana makanan tersedia dengan banyak di alam bebas (kebun, di hutan dan di sungai). Akan tetapi setelah kehadiran industri, mereka selalu khawatir karena tidak pasti apakah ada pekerjaaan yang akan mereka lakukan dan makanan yang akan mereka makan pada hari esoknya. Kepastian mendapatkan pekerjaan hanya ada bagi 10 orang penduduk yang menyadap karet, dua orang penduduk yang menyewakan bot dan 16 orang penduduk yang bekerja sebagai buruh UK. Akan tetapi bagi sebahagain besar penduduk yang bekerja sebagai buruh lepas (bacok-bacok) tidak ada kepastian apakah esok hari ada pekerjaan untuk mereka. Oleh karena itu, kehidupan mereka kini boleh dikatakan lebih susah dan lebih miskin. Kedua, perbandingan perolehan gaji dengan keperluan hidup sehari-hari. Untuk mengetahui jumlah pendapatan penduduk Dusun Pertiwi dalam sebulan agak sukar, karena mereka tidaklah begitu terbuka memberitahu jumlah pendapatan mereka. Umumnya jika ditanya berapa pendapatan mereka, jawapan mereka selalunya ialah, ‘sekarang sangat kurang dan tidak cukup untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari’. Hanya buruh UK yang secara terbuka menyatakan bahawa pendapatan mereka Rp.350.000,- setiap tiga bulan, berarti setiap bulannya sebesar Rp.116.600,-. Sikap terbuka ini muncul disebabkan gaji tertinggi di Dusun Pertiwi hanya diperolehi oleh buruh UK.13 Untuk mengetahui apakah pendapatan Rp.116.600,- itu mencukupi untuk memenuhi keperluan sehari-hari mereka selama sebulan, kita dapat mengukurnya dengan membandingkan jumlah pendapatan itu dengan jumlah harga barang keperluan pokok mereka. Jika setiap rumah terdapat empat orang, terdiri daripada bapak, ibu dan dua orang anak, atau bapak, ibu, seorang anak, dan mertua, dan keperluan beras setiap orang 8 kilogran, maka jumlah beras yang diperlukan setiap bulan ialah 32 kilogram. Harga beras satu kilo ialah Rp.1.400,- maka jumlah uang yang dihabiskan untuk beras ialah Rp.44.800,-. Keperluan akan cabe diperkirakan 1 kilogram Rp.3000,-, keperluan minyak dua kilogram Rp.4000,- minyak tanah empat liter Rp.1.400,- garam Rp.200,- dan belanja harian Rp.3000,- selama sebulan Rp.90.000,-. Maka jumlah keseluruhan keperluan pokok Rp.143.400,- Dihitung dengan standard yang paling minimum beras 8 kilo setiap orang, padahal seharusnya 10 kilo setiap orang, jumlah gaji yang diperolehi jelas tidak mencukupi untuk keperluan pokok. Apabila ditambah dengan biaya lain, umpamanya ongkos pergi ke pasar, biaya berobat, dan biaya sekolah anak, jumlah gaji tersebut sudah tentu tidak mencukupi. Diperkirakan minimum jumlah uang yang harus dipunyai oleh penduduk adalah Rp.200.000,- sebulan untuk memenuhi keperluan pokok. Keadaan ekonomi penduduk pada masa akhir-akhir ini sudah berada pada tahap kritis. Setiap tiga bulan mendapat gaji Rp.350.000,-. Gaji mereka itu lannsung diserahkan kepada tauke untuk membayar hutang makan selama tiga bulan. Hutang mereka bertambah setiap bulan, karena jumlah gaji mereka tidak mencukupi untuk membayar hutang makan bulan tersebut. Misalnya, pada tiga bulan pertama hutang mereka berjumlah Rp.400.000,- dibayar Rp.350.000,- ketika mereka menerima gaji, berarti untuk tiga bulan yang akan datang hutang mereka tidak lagi Rp.400.000,- tetapi sudah menjadi Rp.450.000,- karena ditambah sisa hutang bulan yang lalu. Keadaan yang demikian berlangsung terusmenerus setiap tiga bulan.14 Bagi pekerja bacok-bacok, kondisi ini lebih mengkhawatirkan, karena tidak adanya kepastian kerja bagi mereka. Jika dirata-ratakan pendapatan mereka biasanya hanya Rp100.000,- sebulan. Seorang informan yang telah berpindah ke Kampar menyatakan bahawa bagi dirinya sendiri, yang difikirkan setiap malam adalah apa yang akan dimakan pada hari esoknya. Sebelum masuk industri mereka mudah sekali memperoleh ikan di sungai dengan memancing. Ikan itu dijual di pasar, dan hasilnya cukup untuk makan seminggu. Akan tetapi, sekarang walaupun mereka mencari ikan sepanjang malam, kalaupun dapat, hanya satu dua ekor. Keadaan hidup mereka kini semakin susah sebab harga barang keperluan pokok yang dari dahulu memang tidak tersedia di ladang, di kebun, di hutan dan di sungai sudah sangat tinggi. Sebagai contoh, minyak untuk menggoreng sekarang Rp.1.300,- dibandingkan dengan sebelumnya hanya Rp.800,-. Harga ikan pun naik mencapai Rp9000,- satu kilo, padahal ikan kini sudah susah dicari di Sungai Siak.15 2.Dampak Sosial Dampak sosial kehadiran industri di Dusun Pertiwi di sini dilihat dari dua aspek yaitu, mobilitas penduduk dan peranan isteri. Alasan melihat dua aspek ini karena kedua-duanya mempunyai hubungant dengan dampak kehadiran industri terhadap ekonomi penduduk. Selain itu dampak terhadap mobilitas penduduk dan aspek peranan isteri juga lebih ketara dan lebih mudah diketahui.. Pertama,Mobilitas Penduduk. Ada dua bentuk mobilitas penduduk. Pertama, perpindahan penduduk ke tempat lain untuk menetap. Kedua, rata-rata penduduk keluar dari Dusun Pertiwi. Faktor-faktor yang menyebabkan penduduk Dusun Pertiwi bermobilitas sekurang-kurangnya ada dua, yaitu mencari pekerjaan lain karena tanah dan kebun mereka sudah tidak ada lagi, dan untuk berbelanja atau melancong. Sebelum masuknya industri, Dusun Pertiwi terbagi dua, yaitu satu bahagian ialah kampung yang ada sekarang, dan satu bahaan lagi kawasan di seberang sungai berhadapan dengan Dusun Pertiwi yang ada sekarang. Setelah masuknya industri, kampung di seberang sungai “menghilang”, karena penduduknya umumnya telah berpindah ke Desa Tualang setelah menjual tanah mereka. Di Dusun Pertiwi yang ada sekarang sekurang-kurangnya terdapat tiga keluarga yang telah pindah: satu keluarga pindah ke Kampar (Usman), dua keluarga pindah ke Desa Tualang. Alasan mereka pindah adalah untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Penduduk asli di Dusun Pertiwi yang dahulunya berjumlah 30 keluarga kini hanya tinggal 17 keluarga, setelah seorang penduduknya merantau ke Malaysia. Mengenai mobilitas keluar dusun, kini penduduk Dusun Pertiwi sering pergi ke Perawang, Siak Sri Indrapura dan Pekanbaru. Terdapat dua aktivitas utama yang mendorong mereka bermobilitas keluar dusun, yaitu berbelanja dan bekerja. Dahulunya, 90% petani ladang hanya pada hari pekan (Jumaat) mereka pergi ke pasar di Desa Tualang untuk berbelanja bagi memenuhi keperluan hidup yang tidak dapat dipenuhi dari ladang, hutan dan sungai. Sekarang penduduk yang bekerja sebagai buruh harian harus keluar Dusun setiap hari untuk mencari kerja. Sebelum masuknya industri, yang menghambat penduduk pergi ke luar dusun adalah tidak tersedianya pengangkutan, karena satu-satunya pengangkutan yang ada ialah pengangkutan sungai dengan menggunakan bot atau kapal laut. Selain itu faktor tidak boleh meninggalkan ladang juga menjadi penyebab mereka sukar meninggalkan dusun. Akan tetapi, pada masa sekarang pelayanan pengangkutan telah banyak, dan penduduk pun dapat berpergian bila-bila masa saja. Kedua, Peranan Isteri. Sebelum masuknya industri, peranan isteri dalam keluarga tidak hanya menjadi ibu rumah tangga, tetapi juga ikut bekerja membantu suami di ladang, membersihkan ladang, menuai padi bahkan ramai yang ikut menemani suami menyadap karet. Akan tetapi setelah tanah penduduk Dusun Pertiwi tidak dapat lagi digunakan untuk membuat ladang, kebun karet mereka tinggal sedikit, ataupun untuk bekerja di kebun tidak ada lagi kebun, isteri tidak lagi ikut bekerja membantu suami. Kini peranan isteri dalam keluarga hanya terbatas menjadi ibu rumah tangga saja. 3. Dampak Lingkungan Dampak lingkungan yang sangat dirasakan oleh penduduk Dusun Pertiwi berasal dari limbah yang dikeluarkan pabrik kertas PT Indah Kiat. Limbah yang dihasilkan PT Indah Kiat terbagi tiga yaitu limbah cair, limbah gas dan limbah padat. Limbah gas (udara) adalah N2, CO2, Metanol, Formit Acid, H2S,16 Metil Merkaptan, Dimetil Surfan dan Dimetil Disulfan. Semua jenis gas ini tidak dapat diembunkan, sehingga menjadi ancaman bagi penduduk. Adapun jenis limbah cair adalah adalah bahan kimia yang digunakan untuk memproses pembuatan bubur kertas (pulp), seperti Sulfida, klor lignin, dan Lindi Hitam. Sedangkan limbah padat adalah sisa bahan yang tidak dapat digunakan untuk dijadikan bubur kertas (pulp).( Sucofindo, 1990 :2) Hasil penelitian Sucofindo (1990:5) menemui bahawa terjadi pencemaran udara sejauh 3 km dari pabrik yaitu kadar H2S mencapai 275,2 ug/m3 , berdasarkan ketentuan bahawa kadar H2S dalam udara maksimum 42 ug/m3. Sedangkan pencemaran Sungai Siak diketahui bahawa air sungai Siak di Dusun Pertiwi mengandung minyak, lemak, amonia dan barilium. Pada tahun 1992 Sungai Siak di Dusun Pertiwi, dan Sungai Gasip berbau busuk, ikan-ikan di sungai mati, dan ikan peliharaan milik penduduk yang ada dalan sangkar di Sungai Siak juga mati. Pada tahun 1995 air Sungai Siak kembali berbau busuk, hingga sekarang ini setiap bulan penduduk Dusun Pertiwi masih mencium bau busuk air Sungai Siak.17 Dari aspek kesehatan dampak pencemaran tersebut dapat dilihat pada beberapa penyakit yang dihidapi oleh penduduk, seperti penyakit saluran pernafasan, penyakit kulit, dan muntahber (Sucofindo, 1990 : 5). Hasil pemantauan GERINDO18 tahun 1992 menunjukkan pencemaran juga mempunyai dampak ekonomi, yaitu menurunnya perolehan sektor perikanan karena ikan dan udang mati. Jika dahulu penduduk yang mencari ikan dan udang dari pukul 19.00 hingga pukul 24.00 memperoleh 10 hingga 15 kilogram, tetapi sekarang jika mereka mencari ikan dari pukul 19.00 sampai pukul 07.00 pagi, hasil tangkapan yang diperoleh paling banyak dua kilogram, kadang-kadang tidak mendapat seekor ikan pun. Kesimpulan Dampak kehadiran industri terhadap masyarakat Melayu Dusun Pertiwi, cenderung bersifat negatif. Secara teoritik (Aditjondro, 1994: 113-127) dampak negatif terjadi mengikuti tahapan perubahan pada masyarakat. Pada tahap pertama, terjadi pengambilan tanah (termasuk hutan) petani oleh industri, pengusaha lokal dan pemimpin desa. Dengan itu fungsi hutan berubah dari sumber keperluan hidup penduduk sepanjang tahun menjadi bahan produksi industri, yang penduduk Dusun Pertiwi tidak dapat lagi memanfaatkannya. Pada tahap ini juga terjadi pencemaran pada Sungai Siak, yang mengurangi mutu air dan lingkungan serta menyebabkan hilangnya ikan di sungai tersebut. Pada tahap kedua, penduduk kehilangan pekerjaan utama yaitu berkebun atau berladang. Penduduk terpaksa bertukar pekerjaan dari petani menjadi buruh tani, atau buruh upah tidak tetap. Status mereka juga berubah dari pemilik kebun menjadi penyewa. Sebahagian kecil penduduk Dusun Pertiwi pula berpindah ke tempat lain yang boleh menjamin kehidupan mereka, karena di tempat yang lama tidak tersedia lagi sumber kehidupan. Pada tahap ketiga, terjadi proses peminggiran dan pemiskinan masyarakat Melayu Dusun Pertiwi disebabkan banyak keperluan hidup mereka terpaksa dibeli, sedangkan pendapatan mereka rendah dan harga barang pula agak tinggi. Sebelum masuk industri penduduk dapat memenuhi keperluan pokok mereka dengan mudah, karena bahan makanan tersedia di hutan dan di sungai sepanjang tahun. Dampak negatif industri terhadap masyarakat di Dusun Pertiwi terutama disebabkan oleh kebijaksanaan pembangunan dan Undang-Undang negara, eksploitasi pihak luar, dan sistem produksi masyarakat yang masih bersifat subsisten. Pertama, Kebijaksanaan pembangunan dan Undang-Undang negara. Peralihan kekuasaan politik dari Orde Lama ke Orde Baru telah mengubah kebijaksanaan pembangunan negara. Orde Baru memilih model Rostow untuk merancang pertumbuhan ekonomi yang cepat. Oleh sebab itu, pemerintah Soehartomemnilih bidang ekonomi untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dengan orientasi pada pertumbuhan ekonomi, bukan pemerataan eknonomi, dengan sumber modal berasal dari luar negari. Proses industrialisasi dilakukan oleh aliansi segitiga (triple alliance) (Arief Budiman, 1996:113) yaitu pemodal asing, pemerintah dan borjuis lokal (pemodal tempatan yang terdiri daripada pengusaha China, pengusaha keluarga birokrat, istana dan militer). Akibat daripada koalisi (aliansi) tiga pelaku ini tercipta struktur ekonomi yang tidak seimbang dan tidak adil. Ekonomi kapitalis dengan mudahnya melakukan perluasan modal tanpa pertimbangan kemanusiaan. Sumber-sumber ekonomi subsisten dihancurkan, tanah dan hutan diambil, dan produksi kapitalis dijual kepada masyarakat dalam jumlah yang sangat besar. Masyarakat kehilangan pekerjaan utama, tetapi tidak terjadi proses transformasi kepada pekerjaan baru yang lebih baik. Posisi politik yang lemah pada masyarakat didukung pula oleh adanya Undang-Undang yang isinya mementingkan integrasi dan sentralisasi kekuasan negara. Ada dua contoh Undang-Undang yang melibatkan eksploitasi pemerintah terhadap masyarakat, yaitu Undang-Undang Pemilu, yang melarang partai masuk ke desa, dikenal dengan istilah massa mengambang (floating mass), padahal partai pemerintah yaitu Golkar (golongan karya) masuk kedesa-desa melalui kepala desa dan kepala dusun. Dalam setiap pemilu kepala desa diberi kewajiban memenangkan partai pemerintah di desanya masing-masing. Satu lagi Undang-Undang yang mendukung usaha politisasi dan sentralisasi masyarakat desa adalah Undang-Undang no 5 tahun 1979, tentang pemerintahan di Desa. Menurut Undang-Undang tersebut, seluruh pemerintahan desa di Indonesia telah diseragamkan. Akibatnya beberapa kampung yang tidak memenuhi persyaratan Undang-Undang telah digabungkan dengan kampung lain untuk membentuk sebuah desa. Kekuasaan wali19 sebagai kepala kampung berpindah kepada kepala desa. Kepala desa yang baru dilantik merupakan orang pemerintah. Undang-Undang tersebut bukan saja merusak tatanan struktur masyarakat di kampung karena bergantinya kepemimpinan kampung, tetapi juga menyebabkan masyarakat kehilangan pemimpin untuk memperjuangkan hak-hak politik mereka. Kedua, eksploitasi pihak luar. Ekploitasi pihak luar dilakukan oleh berbagai pihak, yaitu kapitalisnternasional (pemodal asing), pemodal tempatan dan pegawai pemerintah. Eksploitasi kapitalis internasional dilakukan melalui perluasan modal dan produksi. Eksploitasi kapitalis di Dusun Pertiwi dapat dilihat dari segi ekploitasi sumber hutan melalui pengusaan hutan dalam bentuk HPH (hak penguasaan hutan) dan HTI (hutan tanaman industri), dan pembangunan pabrik di pedesaan, yaitu pabrik PT Indah Kiat dan pabrik PT Pertiwi Plywood. Eksploitasi lain adalah eksploitasi pegawai pemerintah, yang merupakan akibat munculnya pengusaha birokrat, pengusaha dari keluarga birokrat, dan pegawai pemerintah serta pengusaha China. Bentuk usaha yang dilakukan berbeda dari seorang ke seorang. Pengusaha birokrat biasanya mempunyai saham tanpa membeli dalam sesuatu perusahaan. Keluarga birokrat umumnya menjadi sub-kontraktor pemodal asing. Pegawai negara di tingkat kecamatan atau desa pula menjadi broker, yang biasanya membeli tanah penduduk dengan harga murah dan setelah itu menjualnya kepada pemodal asing dengan harga mahal. Ketiga, sistem produksi masyarakat. Sebelum kehadiran industri, sistem produksi masyarakat Dusun Pertiwi adalah sistem subsisten yang bergantung kepada sumber alam. Produksi bertujuan untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Sumber produksi adalah sumber yang tersedia pada alam atau tanah pertanian. Stratifikasi sosial masyarakat terdiri daripada petani ladang yang menjadi buruh di tanah orang lain (tauke), petani peladang yang memiliki kebun dan mengerjakan kebun sendiri, dan tauke yang memiliki kebun dan menggunakan tenaga buruh tani. BIBLIOGRAFI Adnan Abdullah. 1993. Dampak Industri Terhadap Lingkungan Sosial Ekonomi Budaya Makalah Seminar. Industri Berwawasan Lingkungan. Pekanbaru. 18-20 Mei. Appelbaum. Richard P. 1970. Thoeries Of Social Change. Chicago: Markham Publishing Company. Arief Budiman.1996. Toeri Negara. Negara. Kekuasaan dan Idiologi. Jakarta: Gramedia Pustaka. Awan Setya Dewata (ed.) 1995. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta : Aditya Media. Bappeda Tk I Riau. 1995. Kebijaksanaan Pembangunan sektor Kehutanan Dalam Repelita VI di Propinsi Riau. Makalah seminar Kehutanan 2-3 Oktober 1995 Pekanbaru. Bahrien T Sugihen. 1996. Sosiologi Pedesaan. Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press Budy Tjahjati S Soegijoko. 1985. Dampak Pembangunan Proyek Industri Besar Kasus Zona Industri Lhok Seumawe. Prisma no. 12 . Chadney. James G.. Social Economy Implication of The New Technologies in Punjab. The Eastern Anthropology. no 37: 3 Frieden. A Jeffy dan David A. Lake. 1991. International Political Economy; Perspectives On Global Power And Wealt. New York: St Martin Press Geertz. Clifford. 1970. Agricultural Involution. The Proses of Ecological Change In Indonesia. California: Universiti Of California Press. Goetenboth. Frieddhelm.1992. Kerusakan Hutan dan Implikasinya bagi Kesinambungan Daya Dukung Lingkungan. Prima no.6 tahun XXI. Goerge Junus Aditjonro. 1994. Dampak Industrailisasi Terhadap Lingkungan dan Upaya Warga Masyarakat dalam Menghadapinya. dalam Johanes Maridin (ed.) Jangan Tangi Tradisi Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius GEPERINDO.1992. Laporan Hasil Kunjungan GEPERINDO di Riau.29-31 Juli. Hiramani. A.B. 1977. Social Change in Rural India (A Study Two Village In Maharashtra). New Delhi: B.R.Publishing Corporation Jefta Leibo. 1990. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Andi Ofset Koentjaraningrat. 1964. Masyarakat Desa di Indonesia Masa kini. Jakarta: Yayasan Fakultas Ekonomi UI Koentjaranigrat. 1993. Methoda-Methoda Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Long. Norman. 1987. Sosiologi Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Bina Aksara Loekman Soetrisno. 1991. Pembangunan Nasional dan Budaya Lokal: Industrialisasi Kehutanan dan Sistem Pertanian Berladang di Indonesia. Studi Indonesia Universitas Terbuka Jakarta. Loekman Soetrisno. 1993. Transformasi dari Masyarakat Agraris ke Masyarakat Industrial : Suatu Perspektif Sosiologis. Makalah seminar 26-28 Januari Pekanbaru. Mohammed Salleh Lamry. 1996. Mereka Yang terpinggir. Orang Melayu di Sumatera Utara. Institut Alam Tamaddun Melayu. Malaysia: UKM Bangi Mace. Ruth and Mark Pagel. 1994. The Comparative Method in Anthropology. Jurnal Current Anthropology Volume 35 Number 5 Desember. Mubariq Ahmad. 1992. Rente Ekonomi Dalam Eksploitasi Hutan Tropis. Prisma No 6 tahun XXI. Mubyarto. 1992. Riau Dalam Kancah Ekonomi Global. Yogyakarta: Aditya Media. Mubyarto. 1993. Riau Menatap Masa Depan.Yogyakarta. Aditya Media Mubyarto. 1992. Desa dan Perhutanan Sosial. Penelitian Antropologi di Prop. Jambi. Yogyakarta: P3PK UGM Mubyarto. 1979. Pengantar Ekonomi Pertanian Jakarta: LP3ES Mochtar Naim. 1979. Merantau Pola Migrasi Suku Minang. Yogyakarta: Gadjah Mada Press Mohtar Maso’ed. 1986. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru. Jakarta: LP3ES. Mering Ngo.1992 Hak Ulayat Masyarakat Setempat. Pelajaran dari Orang Kayan dan Limbai. Prima no 6. R.Syofyan Samad. 1993. Pengembangan Industri Berwawasan Lingkungan di Daerah Riau: Masalah Pembinaan dan Keterkaitan Dengan Masyarakat Lokal. Makalah Seminar Membangun Industri Berwawasan Lingkungan di Pekanbaru.” 19-20 Mei . Pekanbaru. Sucofindo. 1990. PT Indah Kiat Pulp & Paper Corp (IKPP) dan Kegiatannya Yang Berdampak Serius Terhadap Lingkungan. Stepanus Juweng et al. (1996) Kisah Dari Kampung Halaman. Masyarakat Suku. Agama Resmi dan Pembangunan. Yogyakarta: Dian/ Interfidei. â Artikel ini merupakan ringkasan sebahagian dari pada Thesis Master Penulis pada Jurusan Antropologi dan Sosiologi Universiti Kebangsaan Malaysia. Penulis sekarang sedang melanjutkan program Doktor (S-3) di jurusan dan universitas yang sama. 2 Very adalah tempat penyebrangan yang dibuat PT CPI (Caltex Pacific Indonesia) pada tahun 1962, berada di desa Pinang Sebatang 3 Wawancara dengan Pak Ja’far, tokoh agama Islam Dusun Pertiwi, 26 November 1996 4 Wawancara dengan Said Ariffadilah, Penghubung Camat Siak di Perawang, 10 November 1996, menurut Said, Indah Kiat dan PT Arara Abadi menggunakan tentera dari Jakarta yang diambil secara bergilir setiap enam bulan untuk menjaga kebunnya. Dan sebuah kejadian di luar Perawang, Camat Penghubung menyatakan bahawa PT Arara Abadi menggunakan orang yang menyamar sebagai tentera. Ini terbukti ketika didesak oleh masyarakat identitinya tidak dapat membuktikan. Akhirnya yang menyamar sebagai tentara hampir mati dipukul masyarakat. Pengambilan secara paksa juga terjadi pada ladang masyarakat seluas 60 hektar yang sedang menunggu musim kemarau untuk dibakar, setelah penduduk kembali keladangnya ternyata sudah ditanam PT Arara Abadi secara diam-diam. 5 Hampir semua penduduk Dusun Pertiwi mempunyai punya kesibukan baru yaitu membuat ciri-ciri batas tanah yang dimilikinya agar lebih mudah dijual dan tidak diambil begitu saja oleh pihak lain. Pak Muhammad tempat penulis tinggal selama penelitian menyisakan waktunya dalam satu hari khusus untuk membersihkan kebunnya yang tersisa agar jangan diceroboh orang dan sekaligus lebih mudah untuk dijual. 6 Hama adalah binatang yang berada di dalam hutan dan menyerang tanaman, seperti babi, beruk, monyet, tupai, tikus, burung dan lain-lainnya 7 Wawancara dengan Hasan Basri, penduduk Dusun Pertiwi 30 November 1996 8 SUCOFINDO adalah perusahaan milik pemerintah yang salah satu fungsinya mengadakan pengawasan terhadap hasil pembangunan dan juga sebagai konsultan pembangunan 9 Wawancara dengan Pak Usman Kepala Dusun Pertiwi dan H.M.Doel Kepala Desa Pinang Sebatang 10 Wawancara dengan Yunus Tibo, penduduk Dusun Pertiwi dan Ribut Susanto, Ngo yang pernah melakukan aktivitas di Dusun Pertiwi 11 Meleles adalah pekerjaan mencari Wawancara dengan Yunus Tibo, penduduk Dusun Pertiwi dan Ribut Susanto, Ngo yang pernah melakukan aktivitas di Dusun Pertiwi 12 Buruh lepas adalah buruh yang tidak terikat secara formal kepada perusahaan dan upahnya dibayar secara harian 13 Wawancara dengan Pak Usman , Kepala Dusun Pertiwi 30 November 1996 14 Wawancara dengan Amir, 3 Desember 1996 15 Wawancara dengan Usman, penduduk Dusun Pertiwi yang kini sudah pindah ke Kabupaten Kampar, 28 November 1996 16 N2 adalah Nitrogen; CO2 adalah Karbohitrat; H2S adalah Belerang ;dan ug adalah unit gram 17 Semua penduduk Dusun Pertiwi yang di wawancara menyatakan bahawa tahun 1992, tahun 1995 air sungai Siak berbau busuk dan ikan-ikan mati. Penduduk juga mengakui jika air Sungai Siak sedang surut pembuangan limbah tetap dilaksanakan setiap bulan ke Sungai Siak 18 GEPERINDO adalah organisasi gabungan NGO seluruh Indonesia. 19 Wali atau sering disebut Pak Wali, adalah istilah yang digunakan masyarakat Melayu di Dusun Pertiwi untuk kepala kampung, Wali biasanya dipilih secara langsung karena beberapa kelebihannya atau karena keturunannya

Tidak ada komentar:

Siapa yang anda pilih jadi Presiden?

Me

Me
Foto Terbaru

Cinta ku

Cinta ku

depan rumah

depan rumah
me n wife

Ayahanda

Ayahanda
Ayah ku yang berjasa

Klub Anak2

Klub Anak2
Di Rumah ku ada klub anak-anak lingkungan yang berlatih breakdance

Latihan Silat Juga

Latihan Silat Juga
Juga pernah saya mendatangkan guru untuk anak-anak yang mau main silat

Sekolah Gratis

Sekolah Gratis
Perpisahan dengan yang taman sambil rekreasi

Sedang belajar

Sedang belajar
Anak sedang belajar di ruangan tengah rumah ku

Perpustkaan

Perpustkaan
Di rumahku juga disedikan perpustakaan bagia siapa aja yang hobbi membaca

diskusi

diskusi
di rumah juga sering mengadakan diskusi gitu loh

Di Kuansing

Di Kuansing
Lagi Monev di Kuansing bersama Tim

Bersama Kepala Suku

Bersama Kepala Suku
Prof Aliamanda Su