Dari saya

Terima kasih bagi netter yang telah ke blog saya, dan menyediakan sedikit waktunya untuk membaca buah pikiran saya. Saya sangat senang jika apa yang saya pikirkan mendapat respon positif ataupun negatif. Dan saya dapat dihubungi di 08127627068. Salam mari berbagi kedamaian. M.Rawa El Amady

Sabtu, 20 Oktober 2007

NEGARA DAN PENETRASI MODAL :Di PANGKALAN KERINCI RIAU

M. Rawa El Amady Latar Belakang Kehadiran industri ke desa seharusnya mempercepat proses perubahan sosial pada masyarakat desa. Industri mampu mendobrak ketertinggalan desa melalui pembangunan infrastruktur, migrasi penduduk dan dinamika sosial baru, serta membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat desa. Pada kenyataannya di Indonesia terjadi proses peminggiran dan krisis ekonomi pada masyarkat pedesaan. Krisis tersebut timbul disebabkan hilangnya sumber produksi sebagai jaminan untuk hidup (makan) bagi penduduk desa. Studi Aditjondro, (1994:113-123), M.Yamin Sani (1990), Adnan Abdullah (1993) menemukan bahwa kehadiran industri di sebuah kawasan menyebabkan berlakunya penggusuran petani, pencemaran lingkungan dan penurunan mutu lingkungan yang dekat industri tersebut. Studi yang dilakukan Loekman Sutrisno (1991:64-65) di Musi Rawas, Sumatera Selatan, menjumpai bahwa sejak hutan di Musi Rawas di kuasai HPH (Hak Pengusaaan Hutan), terjadi pengurangan jumlah Suku Kubu dari 12 ribu jiwa tahun 1979 menjadi 2.542 jiwa tahun 1990. Suku Kubu yang bergantung hidup pada hutan susah mencari makan karena hutan sudah ditutup oleh HPH. Begitu juga yang dijumpai di Kecamatan Singli, Simpang Kanan dan Simpang Kiri, Aceh. HPH menguasai 54,8% dari 1.804 km2 semua kawasan pertanian, perladangan, perumahan dan perkampungan penduduk. Akibatnya penduduk di tiga kecamatan itu mejadi kelaparan karena tidak tersedianya lahan untuk bertani. Studi Mubyarto di Jambi, menemukan bahwa sejak kehadiran HPH di kawasan pertanian penduduk desa di Jambi, hasil padi berkurang sebesar 50% tahun 1990 dibandingkan tahun sebelumnya. Berkurangnya penghasilan padi petani ini disebabkan penduduk tidak dapat membuka hutan untuk berladang. Penduduk juga dilarang mengambil hasil hutan seperti damar, rotan, gaharu dan sarang burung walet. (1991 : 53-54). Gejala kekurangan beras juga terjadi di Kalimantan Timur. Orang Kayan yang biasanya membuka hutan untuk menanam padi. Setelah kehadiran HPH penduduk terpaksa menggantikan pola pertaniannya dari berladang berpindah-pindah ke berladang secara menetap. (Prisma, 4, 1989, 81). Studi Budhy Tjahjati S.S, di Lhok Saomauwe, menjumpai bahwa pembangunan pabrik yang sangat luas menyebabkan hilangnnya lahan pertanian sehingga banyak penduduk yang menganggur dan menjadi miskin. (Prisma, 12. 1985 : 50). Riau yang merupakan satu diantara 27 provinsi di Indonesia pada tahun 1993 menurut Rustam S Abrus (1993) mempunyai 2.82 juta penduduk pada tahun 1992. Dari jumlah tersebut diketahui 64% berada di desa, 1% penduduk asli yang masih nomaden di dalam hutan, 3% pengusaha besar dan 32% pedagang dan birokrasi di kota. Masyarakat desa yang 64% tersebut masih bekerja disektor pertanian berupa ladang berpindah-pindah. Jumlah 3% pengusaha umumnya pendatang yang bekerja di perusahaan asing. Tahun 1990, luas hutan di Riau 4,686,074 hektar, dari luas hutan tersebut, 97,000 hektar dikuasai Hutan Tanaman Industri (HTI), 13,000 hektar hutan rakyat dan 6,293,500 dikuasai oleh Hak Penguasaan Hutan (HPH). Ini bermakna hutan yang dikuasai HPH lebih luas 1,607, 426 hektar daripada luas hutan keseluruhan. Luas hutan tersebut menjadi sumber bahan untuk 2 pabrik kertas yang terbesar di Asia yaitu PT Indah Kiat (PT IK) di Perawang dan PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP) di Pangkalan Kerinci, 13 buah pabrik Plywood, tiga buah pabrik Chip, 180 buah pabrik Sawmil dan 16 buah pabrik rotan, serta ratusan perkebunan Sawit milik pemerintah dan swasta. Umumnya pabrik-pabrik tersebut berada di kawasan desa. (Bappeda Tk I Riau, 1995 :7-9) Proses industrialisasi di Riau telah berlangsung lebih 60 tahun, dan lebih dari 50 tahun Riau menyumbang hampir 82% dari seluruh pendapatan nasional kotor [GNP] (Mubyarto, 1992: 3). Tetapi kekayaan yang ada di Riau tersebut tidak memberi pengaruh kepada ekonomi rakyat di Riau. Menurut Mubyarto (Republika, 5 Februari, 1993) bahwa nyata-nyata terbukti terjadinya ketidak-seimbangan antara investasi bidang ekonomi dengan perkembangan bidang sosial. R. Syofyan Samad (1993) mengemukakan walaupun industrialisasi di Riau telah berlangsung lebih dari 50 tahu, tetapi masyarakat Riau tidak merasakan manfaat kehadiran industri tersebut. Ini disebabkan dalam proses industrialisasi, negara tidak mempertimbangkan kepentingan rakyat Riau. Bahkan ada pihak perusahaan yang bukan hanya mengambil tanah penduduk tetapi membakar perkampungan penduduk. (Majalah Forum Keadilan,No 18 tahun 1985 dan No 10, 11, 12, 13, tahun 1996. Metode Pengambilan Data Unit analisis studi ini adalah komunitas masyarakat asli Pangkalan Kerinci dan kebijakan negara bidang kehutanan, tanah dan investasi, yang keduanya mempunyai hubungan yang sangat kuat. Jika studi komunitas minoritas yang menjadi korban pembangunan mengabaikan kebijakan bidang kehutanan, tanah dan industri, maka akan mengalami hambatan dalam memahami permasalahan hutan-tanah masyarakat tradisonal. Data utama yang akan diambil dalam penelitian ini adalah luas tanah suku dan tanah individu, pekerjaan yang lama, pekerjaan baru dan jumlah tanah sisa yang dimiliki suku dan penduduk secara pribadi. Selain itu, juga data UU dan peraturan pemerintahan yang menyangkut pengaturan tanah dan hutan dan industri. Penelitian ini terdiri dari dua tahap, tahap pertama meneliti keseluruhan komunitas desa Pangkalan Kerinci serta beberapa aspek perubahannya melalui observasi partisipasitf, yaitu peneliti tinggal di Pangkalan Kerinci dan melakukan wawancara secara terbuka. Pada tahap kedua ini, memfokuskan diri pada kepemilikan tanah komunal dan individu masyarakat asli Pangkalan Kerinci. Peneliti menentukan responden yang berdasarkan kepemimpinan adat dan pemerintahan. Tokoh masyarakat tersebut diwawancara secara terstruktur untuk mendapatkan informasi penelitan yang diperlukan. Tokoh-tokoh tersebut dipilih berdasarkan kawasan yang ada di Pangkalan Kerinci, yaitu; Pertama, kawasan yang berada di tepi sungai. Kawasan ini masih mencerminkan identitas asli penduduk desa, yaitu bekerja sebagai petani-nelayan, membalak dan mencari hasil hutan. Berladang berpindah tetapi hanya pada batas 6 kilometer dari tepi sungai, pertanian mereka bercirikan pertanian sangat tradisional, bertani karena adanya kebaikan alam yang setiap tahun menerima humus dari sungai yang banjir. Kedua, kawasan yang dibuat oleh pemerintah pada tahun 1983 untuk dijadikan perkampungan baru bagi penduduk desa Pangkalan Kerinci. Pemerintah memindahkan penduduk yang ada ditepi sungai agar terhindar dari banjir. Jumlah penduduk asli yang berdiam di kawasan ini sebanyak 64 keluarga dari 320 keluar lainnya. Kawasan ini sekarang menjadi semi desa karena jumlah penduduknya sampai 20.000 jiwa yang terdiri Aceh, Jawa, Batak, Minang, China dan lain-lain. Umumnya pendatang ini merupakan pekerja di pabrik RAPP atau PT Indo Sawit dan pedagang. Untuk memperoleh data dari responden yang dipilih tersebut peneliti melakukan wawancara secara mendalam dan terstruktur dan survey partisipatif, dimana peneliti tinggal selama sebulan dikawasan ini. Selain itu, peneliti melakukan wawancara mendalam kepada Kepala Desa, Pemuka Adat, Pemuka Agama dan Ketua Pemuda, Pimpinan Perusahaan PT RAPP dan PT Indo Sawit Subur Sejahtera. Materi wawancara meliputi berapa aspek perubahan kepemilikan tanah dan peluang kerja bagi penduduk asli Pangkalan Kerinci. Negara Sebagai Alat Penelitian ini menggunakan pendekatan ekonomi politik Marx, yaitu membagi masyarakat menjadi dua kelas, kelas borjuis dan kelas petani kecil., Kelas borjuis terdiri dari borjuis metropolis dan borjuis tempatan. Borjuis metropolis adalah perusahaan multinasional yang menginvestasikan modalnya di Indonesia khususnya di Riau. Borjuis tempatan pula terdiri dari pegawai pemerintah (dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan dan kepala desa), pengusaha dan pengusaha China yang dikenal dengan komprador borjuisi. Kelas borjuis ini bersatu melakukan eksploitasi terhadap kelas petani kecil. Borjuis pemerintah (termasuk militer) memiliki kekuasaan resmi (yang otoriter) sedangkan pengusaha China, dan pengusaha multinasional memiliki modal dan teknologi. Kerja sama ini dikenal dengan aliansi segitiga --triple alliance-- (Arief Budiman, 1996) yaitu pemodal asing, pemerintah dan borjuis lokal (pemodal tempatan yang terdiri daripada pengusaha China, pengusaha keluarga birokrat, istana dan militer). Akibat aliansi tiga pelaku ini tercipta struktur ekonomi yang tidak seimbang dan tidak adil. Ekonomi kapitalis dengan mudahnya melakukan perluasan modal tanpa pertimbangan kemanusiaan. Sumber-sumber ekonomi subsisten dihancurkan, tanah dan hutan diambil, dan produksi kapitalis dijual kepada masyarakat dalam jumlah yang sangat besar. Operasionalisasi eksploitasi negara dan kapital diwujudkan melalui perusakan perlembagaan desa. Tiga lembaga utama yang dirusak, yaitu lembaga ekonomi, lembaga pemerintahan adat, dan lembaga sosial. Pertama, kelembagaan ekonomi desa dirusak melalui perusakan faktor-faktor produksi, kemudian diikuti dengan perombakan pola konsumsi. Tatanan ekonomi desa yang minim uang diganti dengan tatanan ekonomi pasar. Akibatnya produksi tidak sama dengan konsumsi, usaha-usaha untuk menekan konsumsi agar sama dengan produksi menimbulkan konflik dalam keluarga. Sementara usaha memaksimal produksi (Cayanov 1966) tidak mampu dilakukan karena faktor-faktor produksi telah diambil alih oleh negara dan industri. Perusakan pelembagaan ekonomi ini secara otomatis akan terjadi perusakan kelembagaan keluarga. Kedua, kelembagaan pemeritahan adat desa dirusak dengan penggantian tatanan pemerintahan desa yang baru. Tatanan pemerintah desa yang baru tidak mampu memperjuangkan kepentingan rakyat. Baik itu melalui pemilu dan saluran pemerintahan yang ada. UU pemerintah desa no 5 tahun 1979 dan UU no 3 tentang parpol menghapus fungsi politik di desa melalui konsep massa mengambang (floating mass). Kebijakan ini diperburuk lagi dengan sentralisasi konsep desa dan penggantian kepala desa atas persetujuan pemerintah atasannya. Masyarakat di desa kehilangan patron politik untuk memperjuangkan hak-haknya. Sementara pihak industri menggunakan perangkat negara itu untuk mengeksploitasi rakyat. Aparat desa dengan mudahnya mengklaim atas nama rakyat mendukung kepentingan industri dan pemerintah. Padahal pemimpin desa tidak mempunyai kolerasi positif terhadap pembelaan masyarakat desa. Ketiga, negara dan industri juga merombak struktur sosial dengan mendatangkan tenaga kerja dan atau berdatangannya imigran dari luar daerah. Masyarakat lokal sendiri tidak diberi peluang yang rasional untuk memanfaatkan peluang kerja yang ada. Masyarakat lokal tidak lagi menjadi masyarakat yang mayoritas, tetapi justru menjadi minoritas di tanahnya sendiri. Masyarakat lokal harus mengikuti tatanan pendatang yang masih belum stabil. Keadaan ini menyebabkan masyarakat dikawasan industri semakin bingung dan kehilangan identitas diri sebagai penduduk asli. Keberhasilan industri merombak ketiga tatanan tersebut, menyebabkan masyarkat lokal lebih mudah dieksploitasi dan diadu domba sesama mereka. Bahkan untuk hal-hal tertentu masyarkat lokal dijadikan alat untuk mengeksploitasi miliknya sendiri. Akibatnya masyarakat lokal disekitar industri mengalami marjinalisasi (kalau tidak mau menyebut pemusnahan) penduduk lokal. Penduduk lokal termarjinal melalui modal, dimana modal dasar penduduk berupa tanah dan hutan serta sungai berpindah tangan kepada industri atau pendatang (dijual). Proses penjualan itu sendiri bisa bersumber dari budaya konsumtif kota dan kekurang modal untuk hidup pada budaya kota. Karena kawasan industri tersebut telah berubah menjadi kota. Penduduk lokal kehabisan tanah dan hutan----lebih parah dari pandangan Gertz (1980). Uang yang diperoleh dari penjualan tanah tersebut tidak dimenej secara baik, sehingga habis secara perlahan. Sementara tingkat persaingan dan konsumsi semakin tinggi. Maka tidak ada pilihan lain dari masyarakat lokal selain lari, sebab kalau tidak lari dia akan menjadi pengemis di desanya sendiri. Kenyataan ini memperkuat asumsi kelaparan dan minoritas masyarakat lokal dikawasan industri. Apalagi dengan ketidak berdayaan skill dan informasi, mereka menjadi kelas paling bawah dalam struktur kota baru tersebut. Kondisi ini sebagaimana yang digambarkan Scott (1966) jika penduduk kehilangan patron ekonominya yang akan terjadi adalah pemberontakan oleh petani. Pembakaran dan perampokan milik perusahaan oleh masyarakat desa selama ini merupakan wujud dari pemberontakan masyarakat. Tindakan eksploitasi yang paling nyata pada penduduk desa adalah pengambilalihan tanah oleh industri dan negara. Terdapat empat pola pengambilan tanah penduduk lokal. (Rawa 1997) Pertama, diambil secara paksa tanpa ganti rugi. Kebun atau tanah yang menjadi milik penduduk diambil dan ditanami tanpa pengetahuan penduduk. Apabila penduduk menuntut tanahnya kepada perusahaan, maka perusahaan mengatakan bahwa tanah tersebut adalah tanah hutan. Penduduk diminta menunjukkan bukti secara tertulis jika tanah tersebut milik mereka. Akan tetapi tidak seorang pun memiliki bukti secara tertulis. Tanah yang diambil tersebut dijaga tentara atau yang menyamar. Apabila cara pertama gagal, maka pihak perusahaan akan menempuh cara kedua yaitu mengambil tanah dengan membayar ganti rugi dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah. Pihak perusahaan membayar uang tersebut kepada pemerintah, dan pemerintahlah yang akan membayarnya kepada penduduk. Cara ini dilakukan apabila tindakan perusahaan telah mendapat sorotan tajam dari masmedia dan NGO (Non Goverment Organisation). Disini pengawai pemerintah cenderung memotong ganti rugi tersebut, misalkan dibayar perusahaan Rp 1000/m2, dibayar Rp 50/m2. Cara ini menjadi pilihan pertama apabila perusahaan mengambil tanah penduduk yang mempunyai bukti pemilikan secara tertulis. Ataupun sebelum tanah mereka diambil penduduk sudah mengadakan unjuk rasa agar tanahnya dibayar mahal. Cara ketiga adalah membeli tanah penduduk dengan cara paksa. Cara ini diambil karena tanah tersebut tidak bisa diambil secara paksa disebabkan adanya bukti kepemilikan yang jelas. Untuk itu perusahaan membuka kebun baru atau meluaskan pabrik dengan mengepung tanah penduduk. Tanah penduduk tidak dapat dimanfaatkan lagi untuk pertanian. Perusahaan tidak lansung membeli tanah tersebut, sebab kalau perusahaan yang membeli, harga tanah akan mahal. Pembelinya pemerintah atau hanya kepala desa dengan harga yang lebih murah dan menjualnya kepada perusahaan dengan harga yang ditentukan perusahaan biasanya lebih jauh mahal. Atau bahkan pemerintah memaksa rakyat untuk menjual tanahnya dengan alasan tempat itu akan dibangun. Cara keempat adalah menciptakan keadaan agar masyarakat menjual tanah mereka. Caranya adalah mengembangkan sikap konsumtif pada masyarakat dengan menawarkan berbagai jenis barang baru, menganjurkan menjual tanah untuk membangun rumah atau pergi ke haji. Selain itu menciptakan kekhawatiran di kalangan penduduk bahawa jika tanahnya tidak dijual sekarang, tanah itu akan diambil oleh pemerintah dengan ganti rugi yang lebih rendah. Akibatnya hampir semua penduduk menjual tanah Dalam hubungan ini, peranan kepala desa amat penting untuk menentukan tanah penduduk laku dijual. Jika penduduk ingin menjual tanah mereka secara langsung pada industri, biasanya tidak mendapat tanggapan. Untuk menjual tanah mereka, penduduk harus menyerahkan tanah mereka ke kepala desa. Kepala desa yang akan menentukan harga tanah tersebut, setelah itu baru tanah tersebut dijual. Tanah Ulayat dan Kepemilikan Pribadi Desa Pangkalan Kerinci terletak disebelah timur kira-kira 75 km dari Pekanbaru ibu kota propinsi Riau. Pekanbaru merupakan pusat dari semua aktivitas propinsi yang berpenduduk 512,123 jiwa. Sedangkan jarak dari ibu kota kecamatan yaitu Langgam kira-kira 25 km yang berpenduduk kira-kira 36,355 jiwa dan terletak di sebelah timur Pangkalan Kerinci. Sejak bulan Juni 1999, Pangkalan Kerinci tidak lagi berstatus desa, berdasarkan keputusan Gubernur Riau no Kpts. 296a/VI/1999 Pangkalan Kerinci menjadi Kecamatan dengan jumlah penduduk kira-kira 20.890 jiwa. Pada bulan Oktober 1999, Presiden Habibie mengeluarkan UU no 3 tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Pelalawan dimana Pangkalan Kerinci menjadi ibu kota Kabupaten Pelalawan. Pangkalan Kerinci berada di kiri dan kanan jalan raya lintas timur Pekanbaru-Jambi yang merupakan salah satu jalan penghubung propinsi Riau dengan propinsi lainnya, termasuk transportasi darat pulau Sumatera dan pulau Jawa. Asal mula penduduk Pangkalan Kerinci1 berasal dari anak-anak raja gunung hijau atau kerajaan Pagaruyung, yaitu Bathin Muncak Atas, Tok Bathin Jomu Onou dan Tok Ajo Bujang Bungso. Mereka pergi merantau ke kawasan Kerajaan Pelalawan mencari hutan-tanah baru. Tok Bathin Jomu Onou beranggotakan Bathin Lalang dan Bathin Delik. Mereka ini pergi menghadap raja Kerajaan Pelalawan untuk mencari hutan-tanah2 . Sesampai ke Pangkalan Kabung, Bathin Lalang mencari hutan-tanah dan sekaligus menentukan batas hutan-tanah yang mereka akan minta ke Raja Pelalawan. Setelah hutan-tanah ditetapkan sebagai lahan garapan milik suku Lalang, dengan batas 1,5 km dari Sungai Kampar, sedang batas lainnya adalah Sungai Kerinci sampai ke Sungai Pelalawan yang jumlah luasnya 225.000 hektar. Setelah batas tanah itu ditentukan, bathin Lalang menghadap Raja Pelalawan untuk memberi tahu hutan-tanah milik mereka. Maka pada tanggal 7 Desember 1938 Raja Pelalawan mengeluarkan bukti geran (grant) hutan-tanah milik bathin Lalang dengan surat No.2/1938. Sejak itu penduduk mulai berdiam dikawasan hutan-tanah pemberian Raja Pelalawan tersebut. Dihutan tersebut penduduk berladang secara berpindah-pindah, menanam pohon sialang untuk mengambil madu lebah, mencari ikan, mencari hasil hutan, berbalak, dan berkebun getah (karet). Umumnya penduduk tinggal secara berpencar di tepi sungai Kerinci. Ada juga yang tinggal di darat kira-kira 2 km dari Sungai Kerinci. Setiap kelompok perkampungan tersebut didiami kira-kira 3 sampai 5 rumah tangga. Kelompok-kelompok tempat tingal penduduk tersebut dikenal dengan nama pangkalan, yaitu Pangkalan Pasir, Pangkalan Seminai, Pangkalan Cik Bagus, Pangkalan Mamak Angkat, Pangkalan Lubuk Singapur, Pangkalan Aib. Keadaan seperti ini masih berlangsung sampai tahun 1978. Sejak 1978 pemerintah Riau merobah struktur perkampungan menjadi desa, yaitu desa muda (persiapan menjadi desa). Pembentukan desa muda ini disebabkan penduduk Pangkalan Kerinci belum memenuhi persyaratan sebuah desa. Untuk melengkapai jumlah penduduk dalam satu desa tersebut maka pemerintah melakukan program relokasi tahun 1983 dengan menambah jumlah penduduk dari desa tetangga. Tahun 1983 itu juga Pangkalan Kerinci disahkan menjadi desa dengan penduduk 160 rumah tangga, yaitu 80 rumah tangga penduduk asli Pangkalan Kerinci dan 80 rumah tangga lagi dari penduduk Kuala Terusan. Relokasi Depsos sebagai pemukiman baru penduduk tersebut terletak sekitar 2.8 KM dari pingir Sungai Kampar dan Kerinci. Akibat perubahan kampung menjadi desa tersebut, pangkalan-pangkalan di tepi Sungai Kerinci hilang, yang tinggal hanya Kualo (Muara Sungai Kerinci) dan terbentuknya satu pangkalan baru di tepi sungai Kampar dibawah jembatan tetapi tidak ada penduduk Pengkalan Kerinci asli yang berdiam disini. Setelah kedatangan industri, baik itu PT Indosawit Subur Sejahtera (PT ISS) dan PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP) Pangkalan Kerinci berkembang dengan pesat menjadi sebuah kota kecil dengan aktivitas perdagangan yang sibuk. Luas desa yang dihuni oleh penduduk lebih dari 500 hektar, diikuti dengan berbagai perlengkapan sebagaimana sebuah kota. Kerajaan Melayu Pelalawan3 Menurut Tenas Efendi (1999) Desa Pangkalan Kerinci merupakan desa yang berada dibawah kekuasaan kerajaan Melayu Pelalawan. Secara adminsitratif pangkalan Kerinci merupakan kawasan kebatinan di bawah kekuasaan Datuk Engku Raja Lela Putera yang menguasai kawasan Langgam. Kerajaan Pelalawan sendiri ditubuhkan tahun 1830 M oleh Maharaja Indera dengan nama Kerajaan Pakantua atau juga terkenal dengan Pankantua Kampar terletak di hulu sungai Pakantua (anak sungai Kampar di hulu Muara Tolam sekarang). Dalam perjalanan selanjutnya pusat kerajaan pindah ke Bandar Tolam dan kemudian ke Bandar Besi atau Bandar Nansi, pindah lagi ke Tanjung Negeri dan terakhir pindah ke Sungai Rasau. Ketika Kerajaan Pakantua dibawah pimpinan Raja Maharaja Lela Utama (1675-1686) nama Pakantua diganti menjadi Pelalawan, sampai hari ini kerajaan ini lebih dikenal dengan Kerajaan Pelalawan. Ibu kota kerajaan ini dipindahkan ke tepi Sungai Kampar oleh Sultan Syarif Kasyim yang berkuasa tahun 1892-1930 yang kini menjadi desa Pelalawan. Nama ini berkekalan sampai berakhirnya kerajaan Pelalawan tahun 1946, selaras dengan pembentukan propinsi Sumatera oleh Pemerintah Indonesia yang merdeka pada 17 Agustus 1945. Kerajaan Pelalawan dibagi menjadi 4 wilayah yang dipimpin seorang datuk. Datuk Engku Raja Lela Putera memimpin kawasan Langgam, dimana Kebatinan Pengkalan Kerinci termasuk dalam kekuasaannya. Datuk Leksama Mangku Diraja menguasai kawasan Pangkalan Kuras; Datuk Bandar Setia Diraja menguasai kawasan Bunut dan Datuk Kampar Samar Diraja menguasai kawasan Serapung (Kuala Kampar). Keempat kawasan datuk ini pada masa jajahan Belanda, kerajaan Pelalawan dirubah menjadi empat distrik. Keempat distrik ini menjadi wilayah Zelfbesturende Lanchapen Van Pelalawan dengan ibu kota Pelalawan dibawah kekuasaan Onderafdeeling Selat Panjang dalam Afleeding Bengkalis dan dalam keresidenan Sumatera Timur dalam propinsi Sumatera. Tahun 1941 Belanda membentuk Keresidenan Riau yang terdiri dari Riau Daratan dan Riau Kepulauan. Pada masa penjajahan Jepang, dari tahun 1942 hingga 1944 belum terjadi perubahan dalam struktur kekuasaan di Pelalawan. Tahun 1944 Jepun memasukkan Pelalawan ke wilayah kekuasaan Selat Panjang Gun. Baru pada tahun 1945 Pelalawan terpisah dari Selat Panjang Gun menjadi Pelalawan Gun. Setelah informasi Indonesia merdeka sampai ke kerajaan Pelalawan tahun 1945, Sultan Pelalawan. beserta orang besar kerajaan menyatakan diri menjadi bagian dan mendukung sepenuhnya negara Kesatuan Republik Indonesia. Kerajaan Pelalawan secara langsung menjadi kewedanaan Pelalawan sedangakan empat distrik dibawahnya tahun 1948 menjadi empat Kecamatan. Kewedanaan Pelalawan berada di bawah kekuasaan Kabupaten Bengkalis. Namun demikian kedudukan Pelalawan dalam pemerintah berubah kembali berdasarkan Undang-Undang no 12 tahun 1956, Kewedanaan Pelalawan dilepas dari Kabupaten Bengkalis dan berada dibawah kekuasaan Kabupaten Kampar. Presiden Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden R.I. no 22 tahun 1964 yang berisi tentang penghapusan status kewedanaan dan keresidenan dan instruksi Gubernur Riau No Ist/03/II/64 yang merupakan tindak lanjut daripada keputusan presiden di atas, maka status kewedanaan Pelalawan dihapus pada bulan Maret 1964. Kota kewedanaan Pelalawan berubah statusnya menjadi kepenghuluan, yang kemudian berdasarkan UU No 5 tahun 1979 Pelalawan menjadi Desa Pelalawan di bawah kecamatan Bunut. Sedangkan Pangkalan Kerinci yang hanya merupakan kampung kecil berada ditepi sungai Kerinci dan Sungai Kampar berada dibawah Kecamatan Langgam. Tahun 1983 Pangkalan Kerinci dinaikkan statusnya menjadi desa. Dan Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No.821.26.525/26hb Mei 1987 Bekas Kewedanaan Pelalawan menjadi wilayah kerja Pembantu Bupati Kampar Wilayah II yang berkedudukan di Pangkalan Kerinci. Pada 1999 Pangkalan Kerinci sudah menjadi Kecamatan Pangakalan Kerinci dan menjadi ibu kota kabupaten Pelalawan. Akses Tanah dan Sumber daya Ekonomi Penduduk Pangkalan Kerinci berasal dari satu rumah tangga, yaitu Keluarga Tuk Lintang. Tuk Lintang, Bathin Lalang pertama yang ikut Tok Bathin Jomu Onau mencari hutan-tanah. Dari Tuk Lintang inilah penduduk Pangkalan Kerinci berkembang hingga mencapai hampir 100 rumah tangga. Mengikut tradisinya Suku Lalang tidak membenarkan terjadinya perkawinan satu suku. Oleh sebab itu, di kawasan suku lalang ini berdiam pula suku lain. Suku lain itu, selain berasal dari pendatang dari kebathinan lainnya seperti Suku Payung, Suku Kerinci, Suku Delik dan Suku Piliang, juga berasal dari anak lelaki suku Lalang. Anak lelaki dari suku Lalang akan menjadi anak dari suku ibunya. Ini disebabkan suku ini menganut paham matrilinial. Oleh sebab iu, hutan seluas 225.000 hektar tersebut secara hukum adat dimiliki oleh anak perempuan Suku Lalang. Hanya anak-anak suku Lalang saja yang mempunyai hak milik atas hutan-tanah tersebut. Suku lalang bebas mengelola dan menanami hutan-tanah tersebut. Suku-suku lain hanya mempunyai hak garap atas hutan tersebut. Diatas tanah garapan tersebut boleh ditanamani berbagai macam jenis tanaman tetapi hak penuh atas tanah masih berada pada suku Lalang. Namun ada aturan yang tidak tertulis bahwa kalau sebidang tanah yang telah ditanami bermacam jenis tanaman maka tanah tersebut tidak boleh digarap oleh orang lain, termasuk suku Lalang. Jika mau juga menggarapnya maka penggarap yang baru harus mebayar ganti rugi atas tanaman yang ada diatas tanah tersebut. Hutan tersebut dibagi menjadi empat pemanfaatan, yaitu untuk rumah dan perkarangan, tempat berladang dan berkebun, kepungan sialang dan terakhri hutan obat-obatan. Berbeda dengan hak kepemilikan hutan-tanah, kepungan sialang dan hutan obatan-obatan ini dikuasai oleh suku masing-masing, dan suku Lalang sebagai pemilik juga mempunyai kekuasaan pengaturan. Kepungan sialang menjadi hak suku yang sebenarnya, yang diturunkan secara turun temurun sebagai harta suku, yang hanya boleh diturunkan ke anak perempuan. Produksi Sialang setiap tahunnya menjadi tiga pembagian secara merata, satu bagian untuk anak perempuan yang datang, anak lelaki yang bekerja dan satu sarang lebah diberi kepada Bathin. Pada proses pengambilan madu tersebut, anak lelaki diwajibkan bekerja menyambut madu lebah dari atas, sedangkan anak perempuan (melalaui suaminya) hanya diwajibkan hadir saja. Bagi anak kemenakan yang tidak hadir dalam upacara pengambilan madu lebah tersebut biasanya tidak mendapat pembagian. Hasil produksi madu akan dijual apabila melebihi kebutuhan keluarga. Jika tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga maka madu lebah tersebut hanya dijadikan sebagai sumber daya reproduksi domestik, yaitu kue dan jenis makanan lainnya serta obat-obatan. Kecuali ada mufakat antar keluarga bahwa hasil madu tersebut langsung di jual. Tapi kalau dalam mufakat tersebut ada yang tidak bersedia menjualnya ia boleh mengambil bagiannya dalam bentuk madu. Di kawasan hutan 225.000 hektar hutan miliki suku Lalang ini terdapat kurang lebih 400 hektar kepungan Sialang, yang dimiliki oleh empat suku, yaitu Suku Lalang, Suku Payung, Suku Melayu dan suku Delik. Selain hutan, dan kepungan Sialang resource ekonomi lain adalah sungai. Dalam sejarahnya Kecamatan termasuk di dalamnya Pangkalan Kerinci sangat terkenal dengan penghasil ikan salai (asap), terutama pada musim kemarau. Sistem penguasaan sungai melalui lubuk (satuan air yang dalam). Bathin Lalang dalam hal ini sebagai pengatur penguasaan atas satu lubuk dari sungai tersebut. Maka pengambilan ikan tidak boleh melewati dari lubuk yang telah ditetapkan. Sungai merupakan milik semua suku jadi tidak ada satu suku yang berkuasa penuh terhadap sungai tersebut. Suku Lalang hanya memiliki hak pengaturan pengambilan ikan di sungai. Ke semua resource ekonomi tersebut merupakan miliki kelompok, tidak ada yang merupakan miliki rumah tangga. Kepemilikan rumah tanga hanya sebatas tanah untuk rumah dan pekarangan dan 1-20 hektar perkebunan karet. Lebih dari itu semunya merupakan hak miliki persukuan. Distribusi hasil dari resource ekonomi tersebut disalurkan melalui suku, kemudian suku menyalurkan ke rumah tangga. Jadi resource ekonomi suku menjadi sumber ekonomi rumah tangga. Hak milik rumah tangga yang dipimpin oleh kepala Rumah tangga didistribusikan secara merata kepada seluruh anggota keluarga dengan tidak membedakan seks. Pertimbangan distribusi kekayaan cenderung atas pertimbangan emosional kepala rumah tangga. Pola pendistribusian pendapatan rumah tangga kurang lazim melalui proses perwarisan. Yang lazim adalah pemberian atas moment penting yang dilalui oleh anak-anaknya. Seperti tanah ini akan dijual kalau anaknya Si A menikah. Jadi kekayaan yang diperoleh dan didistribusikan kepada anak-anak dalam bentuk konsumtif bukan dalam bentuk modal. Pekerjaan dan Konsumsi Rumah Tangga Sesuai dengan dasar reources ekonomi yaitu hutan-tanah dan sungai. Pemanfaatan hutan-tanah tersebut sesuai dengan corak produksi dan konsumsi penduduk. Corak produksi dan konsumsi tersebut sangat berkaitan dengan proses produksi sumber ekonomi yang tersedia. Untuk resource ekonomi yang proses produksi memakan waktu yang lama, maka hasil produksi juga digunakan untuk konsumsi waktu yang lama. Oleh sebab itu, jenis pekerjaan penduduk Pangkalan Kerinci dikatagorikan kepada lamanya persediaan konsumsi rumah tangga. Pertama, pekerjaan tahunan aktivitas ekonominya adalah bertani berladang berpindah-pindah. Hasil produksi berladang berpindah-pindah ini digunakan untuk konsumsi satu tahun. Apabila produksi padi diperkirakan melebihi kebutuhan satu tahun, padi dijual untuk memenuhi kebutuhan harian atau mingguan. Namun demikian persediaan konsumsi tahunan tersebut dan lahan bekas berladang sering juga dijual untuk memenuhi kebutuhan mendadak dalam jumlah besar. Biasanya untuk pesta pernikahan anak, menyekolahkan anak, menyunat anak dan acara adat lainnya. Selain konsumsi untuk rumah tangga, juga ada konsumsi adat dan komunitas yang biasanya diberikan sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Untuk melengkapi konsumsi tahunan ini biasanya melalui pekerjaan produksi bulanan, yaitu meneres karet (getah). Pekerjaan meneres getah ini umumnya dibayar lebih dahulu melalui utang pada tauke. Setiap bulan hasil getah diserahkan kepada tuake dengan harga yang ditentukan oleh tauke. Jika penduduk tidak punya getah, pekerjaann lainnya adalah membalak. Pekerjaan membalak ini dilakukan secara berkelompok dibayar dengan jumlah kubik kayu yang diperoleh. Biasanya sebelum berangkat membalak tauke balak menyediakan keperluan konsumsi dan konsumssi rumah tangga yang ditinggalkan. Biasanya hasil membalak tidak cukup memenuhi kebutuhan bulanan, sehingga pekerja balak tersebut terikat kepada tuake balak tersebut. Konsumsi tahunan dan bulanan ini juga dilengkapi dengan produksi mingguan atau harian. Kegiatan produksi mingguan atau harian ini biasanya memancing ikan, mencari hasil hutan, tanaman perkarangan dan aktivitas domestik. Biasanya aktivitas pekerjaan mingguan ini lebih banyak dikerjakan oleh perempuan. Namun demikian aktivitas penangkapan ikan tidak selalu menjadi sumber konsumsi harian atau mingguan. Selain sebagai sumber konsumsi harian dan mingguan ikan juga merupakan sumber konsumsi tahunan (musiman). Jika musim kemarau tiba aktivitas mencari ikan merupakan aktivitas suku yang dilakukan oleh lelaki. Masing-masing suku berbagi lubuk untuk menuba ikan dengan akar kayu tuba. Hasil tangkapan merupakan produksi suku yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Pembagian hasilnya biasanya dilakukan secara merata dan adil. Hasil penangkapan ikan tahunan ini biasanya diolah lebih dahulu oleh lelaki dengan pengasapan (salai). Setelah disalai ikan dibawa pulang, dan kemudian di jual untuk keperluan ekonomi rumah tangga. Oleh sebab itu, ikan salai menjadi sangat terkenal di desa Pangkalan Kerinci. Sebelum masuknya industri ke Pangkalan Kerinci ciri khas produksi yang dipasarkan kepada pendatang adalah ikan salai. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hutan, tanah (hutan-tanah) dan sungai merupakan kunci utama ekonomi penduduk Pangkalan Kerinci. Hutan berfungsi sebagai penjaminan ketersediaan pangan, hutan berfungsi produksi dan konsumsi. Selain itu, masing-masing jenis produksi dan konsumsi ini merupakan sumber ekonomi primer dalam rumah tangga. Setelah tahun 1994 aktiviti perladangan umumnya sudah tidak dilaksanakan sebab hutan dan tanah telah diambil oleh perkebunan sawit swasta dan perkebunan kayu, transmigrasi, pabrik PT RAPP, serta perumahan perusahaan tersebut. Setelah kehadiran industri keadaan petani di kawasan ini telah berubah menjadi petani-petani kota (Evers 1992 ). Aktivitas ekonomi primer sudah tidak dijalankan lagi, mereka hanya bergantung pada sumber ekonomi tertier yaitu membuat rumah sewa di kawasan tanah seluas 2 hektar yang ada di dekat rumah mereka dan menyewakannya kepada pendatang seharga Rp. 100.000 sampai Rp.150.000,00 satu rumah setiap bulan. Untuk membuat rumah tersebut mereka menjual tanah atau ganti rugi tanah kepada kedua perusahaan tersebut. Rata-rata setiap penduduk mempunyai 7 petak rumah sewa. Secara makro telah terjadi perubahan dari pertanian berorientasi ekspor ke pertanian domestik atau subsisten (Pelly 1996), ini terlihat dengan hilangnya perkebunan getah dan berbalak. Sumber produksi penduduk hanya semata-mata penghasilan harian yaitu bekerja apa saja yang bisa dikerjakan hari ini dan untuk konsumsi hari ini. Produksi bulanan diperoleh dari rumah sewa dan perkebuan sawit. Untuk penduduk yang rumahnya berada di tepi jalan, tanah mereka diserahkan kepada pengusaha terutama China untuk membangun pertokoan dengan prinsip 1-3. Pengusaha membangun tiga toko tanpa membeli tanah tetapi satu diantara tiga toko tersebut menjadi milik si pemilik tanah. Pemilik tanah biasanya tidak melakukan perdagangan di toko yang dia punya tersebut tetapi disewakan kepada siapa yang ingin berdagang dengan harga satu juta rupiah satu bulan. Namun demikian tidak satupun dari penduduk asli Pangkalan Kerinci mempunyai rumah dipiggir jalan. Sumber ekonomi tertier ini menjadi satu-satunya sumber produksi untuk pendapatan. Ibu-bapa dan anak-anak mereka yang sudah menamatkan sekolah menengah umumnya tidak bekerja. Mereka tidak lagi bertani sebab sudah semakin susah memperoleh kawasan untuk bertani, sedangkan anak-anak muda umumnya memimpikan bekerja di perusahaan swasta. Akibatnya aktivitas pertanian hampir hilang, hanya kira-kira 5 keluarga yang menggarap hutan milik suku yang tinggal seluas 1.8 hektar di tepi sungai Kampar dan Kerinci. Data sementara menujukkan bahwa jumlah warga asli yang bekerja pada perusahaan berkisar 10-12 orang saja. Semenetara beberapa tamatan SMU dan sarjana sedang melamar untuk bekerja di perusahaan tersebut. Penduduk Pada saat penyelidikan ini dilaksanakan penduduk Pangkalan Kerinci sudah mencapai 20,000 orang dengan jumlah rumah tangga mencapai 4.178, namun demikian terdapat bermacam versi jumlah rumah tangga dan penduduk ini. Selain itu dinamika jumlah penduduk ini berubah dengan sangat cepat tergantung pada irama syarikat. Ketika Syarikat PT RAPP sedang banyak memerlukan pekerja jumlah penduduk bertambah dengan cepat. Tetapi ketika syarikat sedang mengurangi aktiviti syarikatnya maka jumlah penduduk juga berkurang dengan cepat. Penduduk di desa ini dipengaruhi oleh pola migrasi pendatang untuk bekerja di perusahaan. Jumlah penduduk asal ketika Pangkalan Kerinci dibuka belum dapat diketahui. Yang hanya bisa diketahui bahwa Batin Pertama Lalang membawa penduduk yang ada dipedalaman untuk bersama-sama membentuk perkampungan. Hanya saja sebelum program relokasi 1978 penduduk Pangkalan Kerinci berjumlah 35 rumah tangga sekitar 120 jiwa. Kemudian pada tahun 1983 jumlah penduduk tersebut bertambah menjadi 80 rumah tangga sekitra 300 jiwa. Sekarang jumlah penduduk asli Pangkalan Kerinci berjumlah 70 rumah tangga. Tabel Penduduk Pangkalan Kerinci Tahun PA PPDT PPTL 1978 35 kk - - 1983 80 kk 80kk - 1999 70 kk 300 kk 3808 kk Sumber: Kantor desa dan Bathin M.Siddik. Keterangan: -PA = penduduk asli Pangkalan Kerinci. -PPADT = Pendatang dari desa Tetangga. -PPTL = Pendatang dari tempat lain. Perbedaan jumlah penduduk tersebut disebabkan oleh pola migrasi ekonomi dan perkawinan. Sebelum relokasi Depsos, penduduk asli Pangkalan Kerinci pergi merantau ke kawasan hutan lain yang lebih lebat dan lebih subur dari kawasan hutan Bathin Kerinci. Akibatnya jumlah rumah tangga yang tertinggal hanya 35 rumah tangga saja. Tetapi ketika program relokasi dilaksanakan Batin Kerinci M.Siddik memanggil kembali warga sukunya agar kembali dan menempati rumah-rumah yang disediakan oleh Depsos tersebut. Terkumpulah 80 rumah tangga Kerinci. 35 rumah tangga yang benar-benar berasal dari Pangkalan Kerinci 45 rumah tangga berasal dari pecahan dari keluarga luas dan penduduk Pangklan Kerinci yang merantau pulang Kembali. Dari 80 rumah tangga Kerinci tersebut, 5 rumah tangga keluar dari prorgram relokasi Depsos. Alasan keluar dari perumahan tersebut disebabkan ketatnya disiplin yang diterapkan pengawai dari Depsos tersebut. Inti permasalahannya adalah loncatan kebudayaan yang diperkenalkan oleh Depos kepada penduduk asli. Penduduk asli tidak mampu beradaptasi dengan kebudayaan baru yang diperkenalkan oleh Depsos tersebut. Selain itu, pemindahan tesebut menyebabkan berkurangnya habitat ekologisnya, yaitu sungai. Sungai semakin jauh, akibatnya suplement ekonomi harian atau mingguan semakin berkurang. Penetrasi Negara Negara Indonesia di era Orde Baru bukan saja otoriter, tetapi juga memperlakukan negara secara sepihak. Asumsi negara adalah rezim yang berkuasa, rakyat dianggap seperti menumpang pada rezim yang berkuasa. Hubungan antara negara dan rakyat adalah hubungan buruh dan majikan. Semua kekayaan negara adalah milik rezim yang berkuasa. Agar kekayaan itu dapat dimiliki secara sah, maka dibuatlah legitimasi melalui pembuatan undang-undang. Negara secara sistematis memproduk UU yang akan mendukung ekspansi modal ke masyarakat desa. Oleh sebab itu terdapat hubungan yang kuat antara negara dan modal dalam mengeksploitasi masyarakat asli di desa. Langkah sistematis yang diambil oleh negara semasa orde baru adalah melalui korporatisme di desa, yaitu desa ditata sedemikian rupa melalui pembentukan lembaga baru yang patuh kepada negara (rezim). Lembaga-lembaga tradisional dihapus, kepemimpinan adat yang ada tidak diakui. Lembaga baru tersebut dipresentasikan sebagai perwakilan rakyat yang mendukung rezim yang berkuasa. Untuk mendukung langkah korporatisme negara maka rezim membuat UU untuk memberi jarak antara rakyat dengan pemimpin tradisional. Beberapa UU yang dapat diindentifikasi (Noer Fauzi, 1999), Pertama, UU Pemilu yang memberlakukan kebijakan massa mengambang. Kebijakan massa mengambang ini menyebabkan rakyat tidak mempunyai patron politik. Partai politik tidak mempunyai basis massa di desa. Massa mengambang ini menyebabkan putusnya saluran politik rakyat pedesaan. UU pemilu ini kemudian didukung pula oleh inpres tahun 1978 dan 1984 yang melarang ada organisasi ekonomi rakyat yang terpisah dari negara. Satu-satunya organisasi ekonomi rakyat yang dibolehkan adalah Koperasi Unit Desa (KUD), organisasi profesi petani dibentuk oleh negara yaitu HKTI (Himpunan Kerukuan Tani di Indonesia) dan HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia). Padahal seluruh organisasi tersebut, hanya mewakili kepentingan negara saja. Akibat perbelakuan UU ini, pimpinan adat tidak mampu memperjuangkan hak-hak atas tanah dan kepungan sialang yang diambil oleh PT Indosawit Subur Sejahtera dan PT RAPP. Organisasi adat yang selama ini mengatur masyarakat Pangkalan Kerinci tidak berfungsi lagi, karena digantikan oleh organisasi bentukan negara tadi. Koperasi desa yang merupakan organisasi ekonomi desa dikuasai oleh pendatang. Kedua, UU Pemerintahan Desa 1979, yang berisi penyeragaman desa di seluruh Indonesia. Sasaran UU ini adalah perombakan tatanan sosial lokal yang telah ada. Pemimpin desa diwajibkan patuh kepada birokrasi atasannya bukan kepada rakyat. Lembaga-lambaga adat yang telah ada diganti, seperti nama komunitas adat diganti dengan nama desa. Ini mempunyai implikasi sosial yang sangat besar sebab desa harus memenuhi persyaratan kependudukan dan luas daerah yang terbatas. Lembaga adat diganti dengan LMD (Lembaga Musyawarah Desa), LKMD (lembaga Ketahanan Masyarkat Desa), LSD (Lembaga Sosial Desa), PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga). Padahal semua prangkat desa tersebut merupakan perwakilan kekuasaan tunggal di desa, sehingga yang menjadi angota bahkan pengurus inti dari seluruh lembaga tersebut adalah orang-orang yaang mewakili kepentingan penguasa. Sejak diberlakukan UU Pemerintah Desa tahuan 1979 di Pangkalan Kerinci, kebathinan ditukar menjadi desa muda. Karena desa muda kekurangan penduduk maka pemerintah menambah jumlah penduduknya dengan program relokasi Departemen Sosial. Program yang dijalankan tahun 1983 tersebut menghantar desa muda menjadi desa. Memang kepala desa pertama dipimpin oleh Bathin Siddik, selama itu tidak terjadi konflik yang begitu keras dengan pihak PT ISS. Tetapi desa menjadi dewa penuh, kepala desa tidak diisi oleh penduduk asli. Perangkat desa diisi oleh penduduk pendatang dari desa tetangga. Disinilah mulau terjadinya manipulasi adminsitratif oleh kepala desa dalam hal distribusi kebun sawit dari penduduk asli ke pendatang. Sementara itu, kepemimpinan informal adat yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyatnya tidak berfungsi lagi. Ketiga, dikeluarkannya UU PMA no. 1 1967 dan UU no 5 tahun 1971 tentang kehutanan. Kedua UU tersebut meletakkan masalah tanah dan hutan menjadi kegiatan teknis semata. Masalah tanah dan hutan tidak dipresentasikan sebagai dasar pembangunan (Wirardi, 1993). Pemerintah mempunyai hak untuk mendefinisikan hutan dan mengabaikan hutan ulayat. Karena kekuasaan terpusat pada negara, maka negara bisa dengan mudah menentukan itu hutan negara atau bukan. Negara mempunyai hak untuk mendistribusikan hutan kepada pemodal, melalui HTI, HPH dan perkebunan serta kegiatan industrialisasi lainnya. Dengan UU tersebut negara bekerja sama dengan pemilik modal mengeksploitasi hutan rakyat. Dalam kasus di Pangkalan Kerinci Bupati Kampar waktu itu Saleh Djasid (Gubernur Sekarang), mengeluarkan surat bahwa hak ulayat yang dimiliki penduduk Pangkalan Kerinci hadiah dari Raja Pelalawan diangap hutan negara. Akibatnya tanah ulayat seluas 225.000 hektar hutan ulayat dan di dalamnya terdapat 400 hektar kepungan sialang habis diambil pemodal. Termasuk program relokasi depsos di Pangkalan Kerinci itu sendiiri dan program relokasi untuk desa Terusan Baru. Sekarang penduduk asli Pangkalan Kerinci rata-rata memiliki tanah 10 hektar tanah, bahkan ada yang hanya tinggal 2 hektar sahaja. Dalam proses pengambilalihan tanah tersebut negara dan pemodal menggunakan tindakan kekerasan dan militer untuk. Marjinalisasi Penduduk Lokal Implikasi dari korporasi negara dan industrialisasi tersebut adalah pertama perubahan ekologis dan demografis yaitu perubahan dari ekologi pedesaan ke ekologi perkotaan. (Pelly 1996 ; Embong 1996) terjadinya penyepitan ruang, naiknya harga tanah dan lingkungan pekerjaan dari pertanian ke non pertanian. Kehadiran industri ini diperkuat lagi dengan kehadiran pendatang ke desa ini yang jumlahnya sudah lebih banyak, sehingga penduduk lokal telah menjadi minoritas. Implikasi dari dampak ekologis ini adalah marjinalisasi (kalau tidak mau menyebut pemusnahan) penduduk lokal. Penduduk lokal termarjinal melalaui modal, dimana modal dasar penduduk berupa tanah dan hutan serta sungai berpindah tangan kepada industri atau pendatang (di jual). Proses penjualan itu sendiri bisa bersumber dari budaya konsumtip kota dan kekurang modal untuk hidup pada budaya kota. Akibatnya, penduduk lokal kehabisan tanah dan hutan----lebih parah dari pendangan Gertz (1980). Uang yang diperoleh dari penjualan tanah tersebut tidak dimenej secara baik, sehingga habis secara perlahan. Sementara tingkat persaingan dan konsumsi semakin tinggi. Dampak demokrafis lainnya adalah pudarnya kekuasaan politik masyarakat lokal. Ini disebabkan jumlah pendatang hampir 95% dari total penduduk. Padahal keputusan politik ditentukan oleh kuantitas pendukung keputusan tersebut. Ini bermakna penduduk lokal sudah tidak bisa lagi mamasukkan aspirasi politiknya, apalagi menjadi sebuah keputusan politik. Mereka menjadi minoritas secara kuantitas dan kekuasaan. Kedua, perubahan ekonomi dan tradisi pertanian. Secara ekonomi perubahan yang bisa dilacak adalah perubahan sumber-sumber pendapatan. Perubahan sumber pendapatan ini berawal dari hilangnya hutan dan tanah perladangan. Hutan bagi penduduk lokal bukan hanya tempat berladang berpindah-pindah atau berkebun tanaman keras, tetapi juga merupakan sumber penghasilan tambahan seebagai penopang utama ekonomi keluarga (Ever 1989). Di hutan tersedia kayu, rotan, damar, sumber ketahanan pangan baik hewani maupun nabati, sumber penghasil madu dan lain-lainya. Akibat perubahan sumber pendapatan tersebut terjadi perubahan tradisi pertanian. Perubahan tradisi pertanian ini dapat diketahui melalui dua bentuk perubahan, pertama berubah dari pertanian berorientasi ekspor (Anderson 1924) ke pertanian subsisten (Pelly 1996). Kedua, terjadinya perubahan aktivitas pertanian dari bertani sebagai aktivitas utama atau primer, berubah menjadi penjual hasil pertanian dan hasil hutan sebagi penyangga ekonomi (ekonomi skunder) dan menjual jasa sebagai ekonomi tertier. Pergeseran Pemilikan Tanah Kehadiran Industri menyebabkan terjadinya pergeseran kepemilikan tanah. Ada dua bentuk pergeseran kepemilikan tanah tersebut. Pertama, tanah tidak lagi sebagai milik komunal, tetapi telah menjadi milik individu. Tanah komunal yang tersisa dipeta-petakan oleh anggota masyarakat untuk kepentingan ganti rugi. Yang pertama melakukan pengeseran fungsi tanah komunal menjadi tanah pribadi adalah program relokasi Departemen Sosial tahun 1982. Pemerintah mengambil alih tanah komunal sekitar 500 hektar untuk dijadikan hak milik pribadi. Tanah yang semula merupakan hutan ulayat diambil alih oleh pemerintah tanpa ganti rugi. Kemudian tanah tersebut diserahkan kembali kepada penduduk asli dan pendatang masing-masing empat hektar sebagai hak milik pribadi. Setelah pemerintah, kehadiran PT Indo Sawit Subur Sejahtera mempertegas hak kepemilikan pribadi atas tanah. Tanah komunal yang dimiliki suku diambil alih oleh negara sebagai tanah negara, kemudian tanah beserta kebun sawit diserahkan kepada penduduk seluas dua hektar. Kebun sawit yang didapat dengan cuma-cuma ini benar-benar membuka kesadaran akan pentingnya kepemilikan pribadi, sebab banyak diantara penduduk yang menjual kebun sawitnya untuk kebutuhan mendesak. Setelah itu, inspirasi perubahan sistem kepemilikan ini menjadi sangat penting karena naiknya harga tanah. Tanah yang dulu tidak berharga, kini setelah kedangan industri satu menter bis aberhaga 40 tibu rupiah. Maka sisa tanah yang menjadi milik komunal diperebutkan menjadi milik pribadi. Dulu secara hukum adat mereka yang berhak memiliki tanah adalah keturuanan dari ibu suku lalang. Kini berubah, semua yang dulu pernah berladang di tanah komunal menjadi milik pribadi. Kondisi ini memicu konflik antar penduduk asli. Satu kelompok terutama dari keturunan kebathinan tetap mempertahankan hak komunal. Sebab jika tanah tersebut masih berda dalam sistem komunal maka keuntungan terbesar menjadi milik keturunan terdekat dengan bathin. Sementara masyarakat yang merasa kurang akses ke kebatinan justeru memilih hak kepemilikan pribadi. Perusahaan menggunakan perluang ini untuk merebut hak atas tanah baik melalui pembelian maupun ganti rugi sepihak. Sementara negara berada dibalik perusahaan karena mendapat bagian pendapatan dari perusahaan. Pergeseran fungsi tanah dari tanah komunal menjadi tanah oribadi ini berdampak terhadap penguasaan tanah oleh penduduk asli lokal. Dimana sisa-sisa tanah yang ada beralih kempemilikan dari penduduk asli ke pendatang. Karena tanah dengan mudah bisa dijual-belikan tanpa perlu persetujuan bathin. Kondisi ini menjadikan penduduk asli Pangkalan Kerinci kehabisan tanah bahkan ada yang hanya memiliki 2 hektar tanah saja hasil dari program relokasi Depsos. Kedua, pengeksplotasian tanah oleh negara dan modal. Negara dengan menggunakan prangkat hukuk yang segaja dibuat mengambil alih tanh penduduk baikm tanah pribadi maupun tanah komunal menjadi tanah negara. Setelah itu, negara menyerahkannya kepada pemodal untuk kepentingan ekonomi negara dan sekaligus penguasannya mendapat keuntungan pribadi. Langkah inilah yang diambil oleh Bupati Kampar terhadap tanah ulayat suku Lalang di Pangkalan Kerinci di tahun 1989. Dengan dasar itu, negara menyerahkan tanah tersebut kepada PT Indosawit Subur Sejahtera dan PT Riau Andalan Pup and Paper. Akibatnya tanah (hutan-tanah) diambil alih tanpa ganti rugi sedikitpun dari pemrintah dan pengusaha. Ketika rakyat mau mengkomplin atas tanah tersebut maka terjadilah bentrokan antara rakyat dan aparat (tentara). Dimana aparat berada dipihak pengusaha. Pada masa Orde Baru PT RAPP dijaga oleh tentara dengan bersenjata lengkap. Sementara diantara PT RAPP dan PT ISS dibangun markas TNI yang fungsi sebagai penjaga keamanan bagi pengusaha. Implikasi memang pengusaha bisa sewenang-wenang terhadap rakyat. Terbukti dari 225.000 hekar hutan ulayat milik suku lalang tidak dimiliki lagi oleh rakyat. Rakyat mau mengkomplain tanah seluas 17 hekar yang kini berada dibawah kekuasaan PT RAPP juga tidak bisa. Untunglah terjadi perubahan suasana politik, sehinga pihak RAPP melakukan pendekatan-pendekatan untuk memperbaiki hubungan dengan rakyat, yang semakin berani. Di era reformsi ini perusahaan-perusahaan yang ada disekitar Pengkalan Kerinci, terutama PT RAPP dan PT ISS menghadapai demonstraso terus menerus dari rakyat. Bahkan bagaikan aib dalam masyarakat bahwa suku Lalang dan masyarakat Pangkalan Kerinci tidak mempunyai tanah lagi untuk tanah kuburan. Pada masa ini tanah hak ulayata tersebut sudah menjadi tanah menjadi milik pengusaha dan pendatang dan hanya sedikit saja milik penduduk lokal Pangkalan Kerinci asli. Tanah tersebut menjadi perkebunan, pabrik, milik pengusaha lokal yang sebahagiannya adalah China, tanah milik kepala desa, tanah milik pemerintah atau perusahaan pemerintah dan tanah milik penduduk. Untuk mengabil tanah penduduk melalui beberapa cara. Pertama, diambil secara paksa tanpa ganti rugi, Kedua, diambil dengan ganti rugi, Ketiga, dibeli dengan paksa, Keempat, penduduk dimestikan menjual. Keempat cara itu adalah untuk memenuhi keperluan pengusaha multinasional dan perkebunan milik pemerintah (PTP) yang mau memiliki tanah seluas mungkin. Mengenai pengambilan secara paksa, kebun atau tanah yang menjadi milik penduduk diambil dan ditanami akasia (acacia) tanpa sepengetahuan penduduk. Apabila pendudu menuntut tanahnya kepada perusahaan, maka perusahaan mengatakan tanah tersebut adalah tanah hutan. Penduduk diminta menunjukkan bukti secara tertulis jika tanah tersebut milik mereka. Ketika ditunjukkan bukti penyerahan tanah dari Sultan Pelalawan, pengusaha, pemerintah dan penegak hukum menolaknnya. Bahkan dikeluarkan surat dari pemerintah bahwa tanah tersebut milik negara. Untuk mempertahankan tanah yang disengketakan penduduk tersebut, pihak perusahaan menggunakan tentara atau orang yang menyamar sebagai tentara. Apabila cara pertama yaitu pengambilan tanah secara paksa gagal, maka pihak perusahaan akan menempuh cara kedua yaitu mengambil tanah dengan membayar ganti rugi mengikut harga yang ditetapkan pemerintah. Pihak perusahaan membayar uang tersebut kepada pemerintah, dan pemerintahlah yang akan membayarkannya kepada penduduk. Cara ini dilakukan apabila tindakan perusahaan telah mendapat sorotan tajam dari akhbar dan NGO (Non Goverment Organisation). Cara kedua ini juga dijalan oleh perusahaan karana sebab-sebab yang lain. Cara ini menjadi pilihan pertama apabila perusahaan mengambil tanah penduduk yang mempunyai bukti pemilikan secara tertulis. Ataupun sebelum tanah merekan diambil penduduk sudah mengadakan unjuk rasa harga tanahnya dibayar dengan harga yang sesuai. Proses ganti rugi biasanya melalui pemerintah yang menentukan nilai ganti rugi, setelah itu meminta persetujuan penduduk. Perusahaan tidak terus membayar ganti rugi kepada penduduk tetapi melalui pemerintah. Cara ketiga adalah membeli tanah penduduk dengan cara paksa. Cara ini diambil kmarena tanahb tersebut tidak boleh diambil secara paksa disebabkan adanya bukti kepemilikan yang jelas. Untuk itu perusahaan membuka kebun baru atau meluaskan kilang dengan mengepung tanah penduduk. Akibat tindakan perusahaan ini tanah penduduk tidak dapat dimanfaatkan lagi. Perusahaan tidak terus membeli tanah penduduk, sebab kalau perusahaan yang membeli, harga tanah akan mahal. Dengan itu yang umumnya membeli adalah pemerintah atau hanya kepala desa dengan harga yang lebih murah dan peperintah atau kepala desa yang akan menjualnya kepada perusahaan dengan harga yang ditentukan perusahaan tetapi biasanya lebih mahal dari pada harga belian. Cara keempat adalah menciptakan keadaan agar masyarakat menjual tanah mereka. Caranya adalah mengembangkan sikap konsumtif pada masyarakat dengan menawarkan berbagai jenis barang baru, menggalakkan menjual tanah untuk membangun rumah atau pergi ke Mekah. Selain itu menciptakan kekuatiran dikalangan penduduk bahwa jika tanahnya tidak di jual sekarang, tanah itu akan diambil pemerintah dengan ganti rugi yang lebih rendah. Dengan itu hampir semua penduduk berkeinginan menjual tanah mereka kepada perusahaan multinasional. Ada dua alasan utama. Pertama, daripada tanah itu diambil secara paksa oleh orang lain dan dibayar dengan harga yang lebih murah, lebih baik dijual dengan harga yang agak tinggi. Kedua, sebagai sumber kehidupan, karena pekerjaan sudah susah diperoleh, sedangkan sumber uang lain tidak ada. Salah satu cara untuk mendapatkan uang yang banyak dan hidup senang adalah dengan menjual tanah. Ada juga yang menjual tanah hanya karena ingin pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Keempat cara inilah yang menyebabkan penduduk Dusun Pertiwi kehilangan tanah. Kini lebih 90% daripada tanah penduduk telah menjadi milik pengusaha besar (multinasional), pengusaha tempatan dan kepala desa. Kehilangan tanah (kebun) dan hutan disekitarnya bukan saja menghilangkan jaminan hidup penduduk sepanjang tahun, tetapi juga menyebabkan mereka kehilangan lahan untuk membuka ladang, dan kehilangan kebun untuk menoreh getah. Perlawanan dan Pertahanan Penetrasi negara dan pemilik modal secara berlebihan terkesan melakukan perbasmian terhadap penduduk asli. Sumber-sumber ekonomi penduduk asli dihabiskan, sementara tidak disediakan persiapan penduduk agar mampu hidup dalam tatanan masyarakat industri. Reaksi terhadap tekanan tersebut diwujudkan dalam perlawanan secara diam-diam dan perlawan secara terbuka. Perlawan secara diam-diam (laten) tersebut diwujudkan dengan menolak semua bentuk kerja sama dengan perusahaan yang dianggap mengeksploitasi rakyat. Sementara itu mereka tidak sedikitpun mempercayai pemerintah. Pemerintah mulai dari kepala desa sampai ke pemerintah nasional mereka angap membela kepentingan perusahaan. Selain itu, mereka sebenarnya juga telah melakukan perlawanan terhadap penindasan tersebut. Selama orde baru mereka beberapa kali melakukan demosntrasi tetapi dikalahkan dengan kekerasan militer. Era reformasi memberi jaminan kepada masyarakat untuk melawan perusahaan. Tetapi karena kolusi pejabat pemerintah perjuangan rakyat berjalan sendiri. Akhirnya mereka melakukan perubahan perlawanan dengan mengunakan dunia internasional. Anwar Cantik, yang dikenal dengan Anwar Batu bahkan sudah pergi ke Filandia, Jerman, Belanda dan Inggeris untuk mempropogandakan penindasan perusahaan terhadap rakyat. Selain itu, untuk melindungi komunitas masyarakat asli, penduduk asli bersifat tertutup dengan pendatang, terutama yang mencari informasi tentang masyarakat. Sikap tertutup dan curiga tersebut sangat dirasakan saya selama melakukan penelitian. Hal ini dapat dipahami sebagai wujud dari mekanisme kekebalan internal penduduk asli. Jika hal ini tidak dilakukan maka kemusnahan penduduk asli semakin cepat. Kesimpulan Hasil penelitian ini menjumpai berubahnya fungsi hutan-tanah dari hutan ulayat menjadi milik pemodal. Perubahan ini disebabkan negara berkolaborasi dengan pengusaha dalam mengambil alih tanah rakyat. Perangkat negara dari Presiden, tentara sampai ke Kepala Desa mengambil keuntungan melalui perlindungan kepada pengusaha. Langkah yang diambil oleh negara untuk melegitimasi hak atas negara kepada rakyat mulai dari Undang-undang, peraturan pemerintah, dan surat pemberitahuan yang dikeluarkan oleh Bupati. Proses manipulasi seperti ini terjadi juga sampai ke perangkat desa. Akibat pengambilalihan tanah secara sepihak dari negara dan pemodal, rakyat mengalami kehilangan sumber daya ekonomi pertanian yang menjadi sumber utama ekonomi penduduk. Dari kenyataan tersebut akan beberapa permasalahan muncul dalam masa jangka panjang di Pangkalan Kerinci. Pertama, akan terjadinya krisis ketahanan pangan atau kemiskinan. Krisis ini bersumber dari perubahan sumber pendapatan disebabkan hilangnya hutan dan tanah perladangan serta potensi sungai. Sumber lain adalah perubahan tradisi pertanian dari pertanian berorientasi ekspor (Anderson 1924) ke pertanian subsisten (Pelly 1996) serta hilangnya aktivatas pertanian primer digantikan aktivitas pertanian skunder dan tertier. Padahal ketahanan pangan penduduk lokal tergantung pada hutan dan sungai. Selain itu, pada masa yang tidak terlalu lama lagi penduduk di desa ini akan menghadapi apa yang dikenal dengan involusi pertanian(Geertz 1970), dimana tanah atau rumah sewa tidak bertambah sementara jumlah anggota keluarga bertambah. Penduduk lokal sekarang hanya mengandalkan hidup dari rumah sewa yang dibuat hasil penjualan tanah yang mereka miliki. Pada suatu saat akan terjadi pembagian rumah tersebut kepada anak-anak mereka. Anak-anak mereka menjadikan rumah sewa tersebut sebagai rumah pribadi atau bahkan terpaksa di jual. Maka penduduk tempatan di desa ini akan tergusur bahkan mungkin juga akan hilang, seperti yang terjadi di Pekanbaru, di Amerika Serikat untuk suku Indian, di Australia untuk suku Aborijin, suku Melayu di Medan dan suku Betawi di Jakarta, serta banyak tempat lainnya. Permasalahan kedua adalah terjadinya krisis tenaga kerja. Penduduk desa yang dulunya merupakan unit tenaga kerja rumah tangga (domestik) yaitu bekerja tanpa dibayar untuk ekonomi rumah tangga di sektor pertanian dan kehutanan, (Cayanov 1966) kini mereka tidak bisa lagi menjadi unit ekonomi domestik, mau bekerja di perusahaan tidak mempunyai skill dan terikat dengan budaya pertanian. Mereka sebenarnya tidak bisa secara langsung masuk ke budaya industri yang terikat waktu, dan memerlukan keterampilan. Masuk ke budaya industri secara langsung adalah suatu permasalah bagi penduduk lokal, bahkan suatu tekanan atau beban. Permasalahan ketiga akan muncul adalah konflik antara pendatang dengan penduduk lokal. Pemicu konflik adalah interaksi yang tidak seimbang antara penduduk tempatan dengan pendatang. Jumlah pendatang lebih banyak 400% dari penduduk tempatan, maka secara kultural penduduk tempatan merasa kejutan budaya yang dibawa oleh pendatang. Pendatang yang umumnya sudah bersifat terbuka bahkan cendrung bebas mempertontonkan budaya yang bertentangan dengan penduduk tempatan. Kondisi ini akan mempertebal rasa tertekan. Dengan perbedaan kesejahteraan yang menyolok, sehingga makin suburnya rasa kecemburuan sosial. Kesannya seolah-olah pemerintah membangun untuk pendatang bukan untuk penduduk tempatan. Permasalahan keempat, terjadinya perlawanan diam-diam dari penduduk asli terhadap perusahaan. Perlawanan muncul disebabkan oleh perlakuan sewenang-wenang perusahan PT RAPP dalam mengambil tanah penduduk. Padahal, jika kita berpedoman pada Scott (1976) bahwa tekanan dan kecemburuan sosial meningkat sementara tantanan ekonomi dan hubungan patron mereka terganggu, maka akan terjadi pemberontakan petani, sebagaimana peristwa di Vietnam dan Amerika Latin. Ataupun setidak-tidaknya pontensi ini sangat potensial untuk dimanfaatkan oleh ‘provokator’ (versi pemerintah) untuk menciptakan kerusuhan sosial. Faktor pendukung konflik lainnya adalah budaya pendatang. Pendatang yang jauh lebih maju, lebih bebas, lebih terbuka bahkan beragama lain, akibatnya akan berkembang apa yang disebut pelacuran terselubung (sebenarnya sudah terjadi), perjudian, premanisme yang akhirnya dicontoh generasi muda penduduk lokal. Generasi tua menganggap bahwa kerusakan moral anak-anak mereka bersumber dari pendatang, maka api permusuhan akan semakin menjadi-jadi. BIBLIOGRAFI Adnan Abdullah. 1993. ‘Dampak Industri Terhadap Lingkungan Sosial Ekonomi Budaya’ Makalah Seminar. Industri Berwawasan Sekitaran. Pekanbaru. 18-20 Mei. Amir Karanof , 1982, ‘Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok Masayakat Bawah’, Jakarta, in Mulyanto Sumardi & Hans Dieter Evers (ed). Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok, Jakarta : Raja Press. Beames, Michael 1983, Peasant and Power, Sussex: The Harvest Press. Bappeda Tk I Riau. 1995. Kebijaksanaan Pembangunan sektor Kehutanan Dalam Repelita VI di Propinsi Riau. Makalah seminar Kehutanan 2-3 Oktober 1995 Pekanbaru. Budy Tjahjati S Soegijoko. 1985. ‘Dampak Pembangunan Proyek Industri Besar Kasus Zona Industri Lhok Seumawe’. Prisma no. 12 . Bates, Robert H, 1976, Rural Respon to Industrialization, New Haven and London : Yale University Press. Bernstein, Hendry, ‘Social Change in The South African Countryside? Land and Production, Poverty and Power’, Journal Of Peasant Studies, Vol 25, No 4 July. Chen, J. Peter,1980, ‘The Cultural Implication of industrialization and Modernization In south-east Asia’ dalam Evers, Hans Dieters, Sociology Of South-East Asia; Reading on Social Change and Development, Kuala Lumpur : Oxford Uni Bradley, University Press Charling, Alan, 1992, “Rational Choice and Household Division” dalam Marsh, Catherine & Arber, Sara, 1992, Families and Household, Division and Change, England: Macmilan. Crehan, Kate, 1992 “Rural Households : Making A Living” dalam Crow & Johnson, 1992 Rural Housholds, New York : Oxford University Press. Constantio, Renato,1985, Synthetic Culture and Development, Philipina : Foundation For Nationalst Studies. INC. Chitambar. J.B. 1973 : Introductiory Rural Sociology; A Synopsis Of Concept And Principles, New Yorl : John Wiley & Sons Chayanov: A.V. 1966, The Theory Of Peasant Economy, Illonois : Homewood. Cockerham, William C, 1995, The Global Society : An Introduction to Sociology. New York: MCMgrow-Hill,Inc. Departemen Kehutanan Kantor Wilayah Propinsi Riau. 1995. Polisi Pembangunan Kehutanan Propinsi Riau Pada Repelita VI Dalam Menyongsong Era Ekolabel tahun 2000. makalah seminar Kehutanan. 2-3 Oktober 1995 Pekanbaru. Evers, Hans-Dieter, 1991 “Ekonomi Bayangan, Produksi Saradiri dan Sektor Informal, Ekonomi di Luar Jangkauan Pasar dan Negara” dalam Prisma nomor 5, Mei 1991. Jakarta : LP3ES, Evers, Hans-Dieter, 1991, “Teori Pengeluaran Saradirisi dan Pengeluaran Tak Formal” dalam Jurnal Antropologi Sosiologi No.19, Bangi : UKM. Evers, Hans-Dieter, & Clauss &Wong, Diana, ‘ Subsistent Reproduction a Framework for Analysis’ dalam Smith, Joan & Walllertein, Immanuel & Evers, Hans-Dieter,1984 Household And The World-Economy, London : Sage Publicatons. Evers, Hans-Dieter, 1993, ‘Timbulnya Pedagang Pada Masyarakat Petani: Transmigrasi Jawa Kalimantan’, in Plac Utrich, Sosiologi Pertanian, Jakarta: Yayasan Obor. Evers, Hans-Dieter, 1982, Urbanisasi Perkotaan, Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia, Jakaarta: LP3ES Etzioni, Amitai & Eva, 1973, Social Change; Source, Patterns and Consequences, Edisi ke-2, New York : Basic Book, Inc. Evans, Grant, 1986, From Moral Economy to Remembered Village, Working Papers, on Centre of Southeast Asian Studies, Australia: Monash University. Fisk, EK, 1978: The Adaptation Of Traditional Agriculture : Socio-economic Problem Of Urbanization, Development Studies Centre Monograph no 11. Canberra, The Australian National University. Forum Keadilan, Majalah Dwi Mingguan no 8 tahun 1985 dan no 10,11,12, dan 13 tahun 1996. Goerge Junus Aditjonro. 1994. ‘Dampak Industrialisasi Terhadap Lingkungan dan Upaya Warga Masyarakat dalam Menghadapinya’ dalam Johanes Maridin (ed.) Jangan Tangisi Tradisi; Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius Hiramani. A.B. 1977. Social Change in Rural India (A Study Two Village In Maharashtra). New Delhi: B.R.Publishing Corporation Indonesia. Hoogvelt, Ankei M.M., 1985, The Third World in Global Development London : Macmilan. Hüsken, Frans, 1988, Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman : Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1080, Jakarta : Grasindo. Lamb, Richard, 1975, Metropolitan Impact on Rural America, (Reseach Paper) Illinois : Universiti Of Chicago. Loekman Soetrisno. 1991. Pembangunan Nasional dan Budaya Lokal: Industrialisasi Kehutanan dan Sistem Pertanian Berladang di Indonesia. Studi Indonesia Universitas Terbuka Jakarta. Landis, Paul H, 1948, Rural Life In Proces, New York : McGRAW-HILL BOOK COMPANY, INC. McMichael, Philip, 1996, Development and Social Change; A Global Perspective. Californi: Pine Forge Press. Rawa, M. El Amady, 1997, ‘Dampak Kehadiran Industri di Dusun Pertiwi Riau, Indonesia’ kertas Projek Sarjana Jabatan Antropologi dan Sosiologi UKM Malaysia. Mohtar Mas’oed, 1989, Ekonomi dan Struktur Politik, Orde Baru 1966-1971, Jakarta : LP3ES. Mubyarto. 1992. Riau Dalam Kancah Ekonomi Global. Yogyakarta: Aditya Media. Mubyarto. 1993. Riau Menatap Masa Depan.Yogyakarta. Aditya Media Mubyarto. 1992. Desa dan Perhutanan Sosial. Penelitian Antropologi di Prop. Jambi. Yogyakarta: P3PK UGM Mering Ngo.1992 Hak Ulayat Masyarakat Setempat. Pelajaran dari Orang Kayan dan Limbai. Prima no 6. Ornatti, O, 1967, The Povertyband and and The Count of the Poor, in Edward C. Budd (ed) Inquality and Poverty, New York : Norton. Penny, D.H, 1978, Masalah Pembangunan Pertanian Indonesia, Jakarta : Gramedia. Rustam S. Abrus, “ Masyarakat Melayu Riau dan Pembangunan Teknologi” Makalah Seminar, 7 April 1993 di Batam. R.Syofyan Samad. 1993. Pengembangan Industri Berwawasan Lingkungan di Daerah Riau: Masalah Pembinaan dan Keterkaitan Dengan Masyarakat Lokal. Makalah Seminar Membangun Industri Berwawasan Lingkungan di Pekanbaru.” 19-20 Mei . Pekanbaru. Republika, Surat Khabar Nasional, 5,Februari 1993. Stepanus Juweng et al. (1996) Kisah Dari Kampung Halaman. Masyarakat Suku. Agama Resmi dan Pembangunan. Yogyakarta: Dian/ Interfidei. Sutopo. HB. 1991. Methedologi Penelitian Kualitatif. Solo: Universitas Solo Press. Scott, James C, 1981 (terjemahan) : Moral ekonomi Tani, Pergolakan dan Subtensi di Asia Tenggara, Jakarta : LP3ES. Tony & Lowe, Philip, 1984, Locality and Rurality : Economy And Society In Rural Regions, England : Geo Books Trouillo, Michel-Rolph, 1988, Peasants and Capital, Dominica in Teh World Economy. Baltimore and London : The John Hopkins University Press. Wallerstein, ‘Household Structure and Land Labor-Force Formation in the Capitalist World Economy’ dalam Smith, Joan & Walllertein, Immanuel & Evers, Hans-Dieter, 1984 Household And The World-Economy, London : Sage Publicatons. 1 Informasi ini di peroleh dari hasil diskusi dengan Bathin (Ketua Adat) Pangkalan Kerinci M.Sddik, Bapak Marranjo, dan Bapak Anwar. 2 Hutan tanah, menurut penduduk asli Pangkalan Kerinci adalah hak atas hutan dari raja dimana penduduk boleh menggarapnya dan kalau ditanam tanaman maka tanahnya menjadi milik pribadi penduduk. 3 Bagian ini sebahagian besarnya diambil dari makalah Tenas Effendi, “ Potensi Daerah Kampar Hilir Ditinjau dari Aspek Sosial-Budaya’ tahun 1999. Dan makalah Temasdulhak Assagaf, 1999. Makalah disampaikan pada Musyawarah Pembentukan Kabupaten Pelalawan 12-12 April 1999.

Tidak ada komentar:

Siapa yang anda pilih jadi Presiden?

Me

Me
Foto Terbaru

Cinta ku

Cinta ku

depan rumah

depan rumah
me n wife

Ayahanda

Ayahanda
Ayah ku yang berjasa

Klub Anak2

Klub Anak2
Di Rumah ku ada klub anak-anak lingkungan yang berlatih breakdance

Latihan Silat Juga

Latihan Silat Juga
Juga pernah saya mendatangkan guru untuk anak-anak yang mau main silat

Sekolah Gratis

Sekolah Gratis
Perpisahan dengan yang taman sambil rekreasi

Sedang belajar

Sedang belajar
Anak sedang belajar di ruangan tengah rumah ku

Perpustkaan

Perpustkaan
Di rumahku juga disedikan perpustakaan bagia siapa aja yang hobbi membaca

diskusi

diskusi
di rumah juga sering mengadakan diskusi gitu loh

Di Kuansing

Di Kuansing
Lagi Monev di Kuansing bersama Tim

Bersama Kepala Suku

Bersama Kepala Suku
Prof Aliamanda Su