Dari saya
Terima kasih bagi netter yang telah ke blog saya, dan menyediakan sedikit waktunya untuk membaca buah pikiran saya. Saya sangat senang jika apa yang saya pikirkan mendapat respon positif ataupun negatif. Dan saya dapat dihubungi di 08127627068. Salam mari berbagi kedamaian.
M.Rawa El Amady
Sabtu, 20 Oktober 2007
Industrialisation and Social Change : Pengalaman Pangkalan Kerinci
M.Rawa El Amady, MA
1. Background
Sejak terjadinya penurunan tajam harga minyak tahun 1985, pemerintah Soeharto melakukan perubahan kebijakan dari strategi gantian impor ke ekonomi berorientasi ekspor dengan mengubah andalan ekonomi nasional dari minyak dan gas ke non minyak dan gas. (Mari Pengestu: 1995; 626). Sejak itu terjadi peningkatan eksploitasi hutan di seluruh Indonesia, seperti di Sumatera, Irian Jaya dan Kalimantan.
Akibat dari kebijakan tersebut terjadilah peminggiran dan krisis ekonomi agraris di pedesaan. Masyarakat desa kehilangan sumber produksi (hutan) sebagai jaminan hidup (makan). Studi Aditjondro, (1994:113-123), M.Yamin Sani (1990), Adnan Abdullah (1993) Loekman Sutrisno (1991:64-65), Mubyarto (1991 : 53-54). Mering Ngo.(1992 Prima no 6.), Studi Budhy Tjahjati S.S, (Prisma, 12. 1985 : 50)
Riau sebagai bagian dari Indonesia dan masih kaya akan hutan mengalami hal serupa, sejak tahun 1990 aktivitas eksploitasi hutan berkembang dengan pesat. Jumlah lahan hutan yang dikuasi pengusaha mencapai 6,403,500 hektar lebih besar dari luas seluruh hutan Riau yang hanya 4,686,074 hektar yang dikuasai 214 industri. (Bappeda Tk I Riau, 1995 :7-9)
Pangkalan Kerinci, sebuah perkampungan di pinggir sungai Kerinci terdiri dari 6 Pangkalan, setiap Pangkalan diisi 3-5 rumah tangga yang merupakan keluarga luas. Akibat dari penerapan UU no 5 tahun 74 tentang pemerintahan di daerah dan UU no 4 tahun 1979 UU tentang pemerintah desa, pangkalan-pangkalan tersebut digabung menjadi desa muda yang berpusat di Simpang Muaro pada tahun 1980, dengan wali desa Bathin suku Lalang, yaitu Bathin M Siddik. Karena kekurangan penduduk dan menghindari banjir maka pemerintah pada tahun 1983 membangun proyek relokasi perkampungan baru dengan membangun 160 rumah. Rumah-rumah tersebut diisi 80 rumah tangga penduduk asli Pangkalan Kerinci dan 80 rumah tangga desa tetangga sehingga memenuhi syarat sebuah desa sesuai dengan kententuan UU pemerintah desa no 4 tahun 1979. Inilah pesentuhan pertama penduduk Pangkalan Kerinci pada modernisasi ala pemerintah.
Persentuhan kedua adalah masuknya industri sawit PT Indo Sawit Makmur tahun 1990, ketika itu penduduk “diminta” menyerahkan tanah mereka ke perkebunan sawit dan sebagai konpensasi 0,25 hektar kebun sawit menjadi milik penduduk. Pembagian tersebut diberikan secara merata kepada semua penghuni desa (160 rumah tangga) termasuk juga pendatang yang bukan warga Pangkalan Kerinci.
Tahun 1995, PT RAPP masuk dan mengusai sisa tanah ulayat dulu luasnya 225.000 hektar yang dikuasai Perkebunan Sawit PT Indo Sawit. Sisa untuk tanah desa hanya 2.631,7 hektar, semetara penduduk hanya memiliki 2 hektar tanah perumahan dan perkarangan setiap keluarga yang diberikan pemerintah ketika program relokasi depsos tahun 1983.
Tahun 1987 Pangkalan Kerinci ditunjuk sebagai pusat pemerintahan untuk Pembantu Bupati Kampar Wilayah II yang meliputi kecamatan bagi Timur Kampar. Status ini cepat saja berubah, pada tahun 1999 Pangkalan Kerinci meningkat menjadi Kecamatan dan sekaligus ibu kota Kabupaten Pelalawan, sebuah Kabupaten yang baru dibentuk hasil pecahan dari Kabupaten Kampar.
Gambaran perubahan Pangkalan Kerinci begitu cepat dari kelompok keluarga di pinggir Sungai menjadi ibu kota kabupaten yang tentu saja menjadi pusat perdagangan. Perubahan ini tentu saja mengambarkan besarnya imigrasi pendatang dan bermunculannya sumber ekonomi baru menggantikan ekonomi agraris. Masalahnya apakah mampu penduduk asli Pangkalan Kerinci beradapatasi terhadap perubahan yang begitu cepat? Bagaimana manakah strategi ekonominya untuk bertahan hidup?
2. Permasalahan Penelitian
Habisnya sumber ekonomi agraris oleh industri memerlukan pilihan-pilihan ekonomi agar tetap bisa bertahan hidup. Merumuskan sumber ekonomi baru atau bertahan dengan sumber ekonomi yang tersisa. Untuk itu, apakah terjadi perubahan strategi ekonomi rumah tangga masyarakat asli Pangkalan Kerinci? Dari pertanyaan dapat dioperasionalkan menjadi pertanyaan sebagai berikut;
1. Apakah sumber ekonomi baru yang muncul akibat industri, bagaimanakah mereka mengakses ke sumber ekonomi baru tersebut dan bagaimana mereka memanfaatkannya?
2. Apakah sumber ekonomi baru tersebut dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga?
3. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui respon petani terhadap perubahan sosial-ekonomi secara cepat pada masyarakat asli di desa Pangkalan Kerinci. Terutama perubahan strategi ekonomi keluarga. Secara khususnya penelitian ingin mengetahui :
1. Pengaruh industri terhadap strategi ekonomi keluarga petani.
2. Pengaruh perubahan sumber ekonomi terhadap pendapatan dan pola konsumsi dalam rumah tangga di desa.
4. Methoda Pengambian Data
Unit analisis studi ini adalah rumah tangga dan komunitas tani subsisten, yang keduanya mempunyai hubungan yang sangat kuat. Studi rumah tangga yang mengabaikan unit komunitas (desa) ---menurut Evers (1991, Vol 19 : 9)--- akan mengalami hambatan dalam memahami sumber produksi dan konsumsi rumah tangga.
Penelitian ini terdiri dari dua tahap, tahap pertama meneliti keseluruhan komunitas desa serta beberapa aspek perubahannya. Pada tahapan ini peneliti melakukan obsevasi partisipasi di desa, wawancara non struktur kepada tokoh-tokoh masyarakat dan pemerintahan.
Pada tahap kedua ini, peneliti memilih 30 rumah tangga sebagai sampel dari sekitar 70 rumah tangga. Sampel diambil tidak secara acak, tetapi ditentukan berdasarkan beberapa pertimbangan kawasan. Alasan menentukan sampel berdasarkan kawasan karena desa Pangkalan Kerinci memiliki dua kawasan yang berbeda dan terpisah.
Pertama, kawasan yang berada di tepi muara sungai (Kualo) Kerinci dan di Simpang Kualo yang terdiri dari 12 rumah tangga. Kawasan ini masih mencerminkan identitas asli penduduk desa, yaitu bekerja sebagai petani-nelayan, membalak dan mencari hasil hutan. Jumlah responden yang akan diambil dari kawasan ini hanya 5 rumah tangga secara acak.
Kedua, kawasan yang dibuat oleh pemerintah pada tahun 1983 untuk dijadikan perkampungan baru bagi penduduk desa Pangkalan Kerinci. Jumlah penduduk asli yang tinggal di kawasan 70 rumah tangga. Jumlah responden yang dipilih pada kawasan ini sebanyak 25 responden juga dipilih secara acak.
Untuk memperoleh data dari ke 30 responden yang dipilih tersebut peneliti melakukan wawancara tidak terstruktur, survey dan pengisian kuesioner terbuka dimana peneliti menanyakan langsung pertanyaan kuesioner kepada responden dan menanyakan secara silang kepada responden lain. Untuk mendalami pemahaman data dari responden peneliti tinggal bersama penduduk selama setahun dengan melakukan pengamatan terlibat kepada komunitas desa, serta melakukan aktivitas sebagai mana yang dilakukan penduduk desa. Selain itu, peneliti juga melakukan pengamatan tidak terlibat dengan menghadiri pertemuan desa, misalnya musyawarah desa. Peneliti dibantu seorang peneliti wanita untuk melakukan wawancara dengan wanita dan mendapatkan data pendapatan dan konsumsi.
Data yang dikumpulkan tersebut akan dianalisis melalui metoda diskripsi atau verivikatif yang berusaha menghubungkan teori yang dipakai dengan fenomena sosial yang ada, serta menyelusuri fakta yang berhubungan dengan fakta penelitian. Peneliti juga menginterpretasikan data tersebut berdasarkan teori dan fakta sosial.
5. Scott dan Kekuatan Perubahan
Kajian ini mencoba mengembangkan tesis umum bahwa prilaku subsisten masyarakat pedesaan merupakan gejala strukturalis. Tesis ini bersumber dari fenomena perubahan di daerah penelitian bahwa perobahan ekologi sosial yang tidak terkontrol menyebabkan peningkatan kemampuan perubahan pemikirian ekonomi rumah tangga dan adaptasi social. Perubahan ini juga diikuti dengan perobahan cara produksi dan cara konsumsi rumah tangga. Kedalaman pengaruh perubahan terhadap rumah tangga mempengaruhi perubahan cara berpikir ekonomi subsisten menuju ekonomi pasar.
Penetrasi perubahan yang tidak terkontrol mampu merombak tatanan struktur social menuju ke arus perubahan. Perubahan struktur social menjadikan pengembangan pilihan-pilihan alternatif yang tidak terikat dengan struktur social lama. Kemerdekaan untuk memiliki bebagai alternatif tersebut menyebabkan terjadinya perubahan cara pikir, budaya dan prilaku ekonomi. Dalam kajian Scott (1966) tidak melihat faktor struktural ini sebagai pengikat pada struktur social yang ada. Scott juga mengabaikan kepentingan kelas elit atas kemiskinan masyarakat pedesaan.
Kehadiran kebun sawit, industri bubur kertas, imigrasi pendatang besar-besaran telah merombak tatanan struktural lama. Perombakan struktural ini telah menyebabkan perobahan ekonomi subsisten ke ekonomi pasar, walaupun tidak secara otomatis diikuti oleh cara berpikit ekonomi subsisten. Rumah tangga sudah berada pada ekonomi pasar tetapi cara berpikir masih ekonomi subsisten. Oleh sebab itu, kajian ini berbaling terbalik dengan analisis Scott---menyatakan bahwa cara berfikir ekonomi subsisten menyebabkan petani menolak perobahan— yaitu perubahan ekologi social ekonomi menyebabkan perubahan prilaku ekonomi subsisten. Perubahan telah terjadi maka mau tidak mau prilaku ekonomi turut berubah.
Pada sistem sosial yang egaliter akan menyebabkan terjadi perkembangan pemikiran terus-menerus pada masyarakat petani di pedesaan. Ini disebabkan struktur yang menghambat masyarakat untuk berkembang semakin kecil. Berubahkan kelas para tauke dan berubahnya kelas feodal, menyebabkan ketergantungan ekonomi dan system patronase juga terganggu. Contoh konkrit yang menarik dari keinginan berubah adalah semua keluarga menyekolahkan anaknya yang sebelumnya tidak pernah dipikirkan mereka. Pendidikan merupakan gerbong keperubahan pemikiran ekonomi. Tetapi jika perubahan ekologi ekonomi tidak diikuti oleh perubahan struktur social dan politik maka perubahan tersebut tidak membawa pengaruh ke perubahan pemikiran ekonomi petani.
Selain itu, tesis Scott tidak begitu mampu mengambarkan kondisi sosiologis mayarakat petani di Riau khususnya dan Sumatera umumnya. Karena masyarakat pedesaan di Sumatera belum berhadapan dengan masalah tanah dan tuan tanah. Berikut beberapa poin penting yang melemahkan tesis Scott tersebut.
Pertama, menyangkut cara pandang petani terhadap aktivitas ekonomi. Scott (1966), Eric Wolf, (1983) Lukman Sutrisno (1991) melihat rendahnya kemandirian petani (komunitas pedesaan) dalam ekonomi. Petani dipandang sangat tergantung pada alam, lahan dan patronasenya. Untuk petani Jawa, Thailand, Vietnam dan model tuan tanah di Eropah, Filipina dan Amerika Latin memang benar petani sangat tergantung pada patronase karena keterbatasan lahan. Berbeda dengan di luar Jawa misalnya sebagian besar Sumatera, Kalimantan, Sulauwesi dan Irian Jaya, petani tidak kekurangan lahan, bahkan berlebihan lahan pertanian. Hanya saja karena pemikiran ekonomi subsisten dan cinta lingkungan, petani hanya mengambil secukupnya untuk keperluan hari ini saja.
Kedua, pembahasan tentang ekonomi subsisten tidak konperehensif. Para pakar hanya membahas aspek cara produksi dari ekonomi petani, Dove (1985) Eric Wolf (1966) Dumout (1970) termasuk Chayanov (1966) yang hanya membahas proses produksi dan konsumsi saja tidak membahas bagaimana perubahan pemikiran ekonomi subsisten dalam rumah tangga.
Ketiga, Hans Dieter Ever (1993) juga menjelaskan bahwa petani di Asia Tenggara tidak tergantung pada lahan pertanian. Petani Asia Tenggara banyak tergantung pada sektor skunder dan tertier. Sektor skunder adalah seperti tersedianya alam, perkebunan rakyat serta buruh harian. Sedangkan sektor tertier adalah dana keluarga dan jasa. Pemikiran Ever ini luput dari kajian Scott.
Selain itu, di pedesaan tidak semuanya menganut ekonomi subsisten, Bahkan Gee Lim Teck (1977) dalam bukunya Peasants And Their Agricultural Economy in Colonial Malaya, mengemukakan tiga tipe ekonomi petani Melayu pada zaman penjajah, yaitu:1) petani tradisional subsisten, iaitu sekelompok kecil petani yang tinggal di kampung, aktivitas utamanya adalah menembak, nelayan, dan mengambil hasil hutan. 2) gabungan antara petani subsisten dan petani komersial, jenis ini merupakan pengaruh dari sistem bayar tunai dan kekuatan ekonomi pasar. 3) ekonomi komersial, petani mempunyai usaha pertanian yang khusus. Petani memiliki kebun kecil yang berfungsi sebagai unit produksi dan diatur oleh keluarga sendiri. Aktivitas ini didominasi oleh perkebunan karet.
Keempat, ekonomi subsisten bukan hanya terbatas pada petani tetapi memberi pengertian yang lebih luas tentang ekonomi kelas bawah, buruh dan kaum miskin kota. Secara sosiologis di negara ketiga sektor ekonomi kelas bawah ini masih sangat kuat memegang perinsip ekonomi subsisten. Buruh dan masyarakat miskin perkotaan tidak mengalami perubahan bukan semata-mata disebabkan permikiran ekonomi susbsiten tetapi juga disebabkan faktor structural modal dan peluang usaha.
Kelima, elit di pedesaaan juga memberlakukan hukum pasar dan proses kapitalisasi yang monopoli, yang dibungkus oleh hubungan komunal pedesaan. Tauke dianggap menjadi penjamin kepastian konsumsi rumah tangga. Kepastian jaminan konsumsi menciptakan pola eksploitasi oleh tauke melalui perlindungan konsumsi rumah tangga dalam bentuk hutang. Akibatnya produksi langsung menjadi pembayar hutang karena konsumsi mendahului produksi.
Keenam, kegiatan politik petani tidak selalu bersumber dari etika subsistensi, masuk elemen politik diluar komunitas petani juga berpengaruh terhadap kegiatan politik petani, misalnya masukknya ideologi komunis di pedesaan Indonesia tahun 1960-an menjadikan kegiatan politik petani lebih menonjol dengan menggunakan tema-tema reformasi tanah, atau menjadi alat perjuangan politik kaum feodal untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Di Pangkalan Kerinci Riau gerakan anti pemerintah dan perusahaan dimotori oleh kaum feodal yang tetap ingin mempertahankan hak-hak feodalisme yang hancur akibat kehadiran industri.
Ketujuh, Kajian Popkin (1979) di Vientnam yang merupakan bantahan terhadap kajian Scott dengan jelas mengemukakan bahwa tidak begitu jelas hubungannya antara subsistensi dengan respon kolektif. Asumsi Popkin ini mengambarkan bahwa tindakan petani berdasarkan pertimbangan rasional individunya. Dalam pandangan saya bahwa tindakan petani merupakan tindakan rasionalnya yang dikooptasi oleh pemikiran ekonominya. Pendapat ini tentu saja memperkuat asumsi bahwa persoalan ekonomi adalah persoalan individu di pedesaan yang didukung oleh suatu sistem komunal. Sistem komunal dibentuk melalui jaringan genetis dan ketergantungan sosial.
5.1. Ekonomi Subsisten
Pelopor ekonomi subsisten adalah Chayanov (1966) seorang ekonom Rusia dengan istilah ekonomi non kapitalis. Kemudian konsep ini dipopulerkan oleh Scott, Ever, Wong, Dan Claus (1984) dengan ekonomi susbisten. Chayanov mengambarkan ekonomi subsisten ini dengan houseshold utility maximisation (menggunakan secara berlebihan). Dimana assumsi kunci dari teori mikro ekonomi rumah tangga petani, yaitu pertama tidak ada pasar tenaga kerja, misalnya tenaga kerja tidak disewa oleh keluarga, dan tidak ada bantuan kerja dari anggota keluarga dari luar rumah. Kedua, hasil kebun hanya untuk konsumsi keluarga dan kalau dijual harga ditentukan oleh pasar. Ketiga, semua keluarga tani lebih mudah berhubungan dengan tanah untuk dikerjakan. Keempat, dalam komunitas tani, norma sosial membuat rendahnya pendapatan.
Lebih jelas lagi Chayanov menerangkan household utulity maximisation sebagai usaha memaksimal potensi ekonomi rumah tangga melalui tenaga kerja rumah tangga tanpa bayar, dan memaksimalkan fungsi lahan pertanian yang sempit. Setiap produksi dicoba untuk mencapai keseimbangan antara produksi dan konsumsi. Semakin tinggi produksi semakin besar konsumsi. Semakin kecil produksi semakin kurang konsumsi.
Hampir sama dengan Chayanov, Ellis (1988) dalam bukunya Peasant Economics, Farm Households And Agrarian Development mengemukan bahwa ekonomi subsisten meliputi tiga unit, yaitu pertama, aktivitas ekonomi adalah sebagai pekebun (farmer), Kedua, tanah sebagai basis ekonomi, ketiga, pekerja berasal dari keluarga yang tidak dibayar. Keempat, modal, jumlah produksi sama dengan konsumsi, dan kelima konsumsi adalah konsumsi subsisten.
Elis juga menyebut tiga indikator penting ekonomi petani subsistens, yaitu tiada tempat secara khusus dalam ekonomi nasional; merupakan ekonomi tradisional, kecil dan subsisten yang wujud dalam ekonomi pertanian; tidak mempunyai pasar yang luas, ia cenderung merupakan ekonomi keluarga. Dimana famili sebagai unit sosial yang menjalin hubungan persahabatan antara penduduk, sedangkan rumah tangga sebagai unit sosial dimaksudkan untuk kebersamaan dalam senang dan susah.
Pendapat Ellis tersebut berbeda dengan pendapat Ever (1993) yang memberi dua varibel utama ekonomi subsisten, yaitu unit rumah tangga dan unit komunitas. Kedua unit tersebut mempunyai hubungan keterkaitan yang sangat kuat baik dalam proses produksi maupun konsumsi. Rumah tangga merupakan unit produksi dan konsumsi yang menjadi teras utama ekonomi, pekerja adalah anggota keluarga tanpa bayar. Selain menjadi buruh rumah tangga, anggota keluarga juga menjadi buruh tanpa bayar dalam hubungan dengan komunitas. Pada sistem ekonomi subsisten nilai produksi dan konsumsi tidak dapat dipisahkan, bergotong royong membangun rumah warga merupakan produksi jasa yang secara otomatis juga memperoleh konsumsi dan nilai saving jasa.
Ever tidak melihat ketergantungan petani di Asia Tenggara pada lahan pertanian tetapi dari sektor sekunder dan tertier. Sektor sekunder yang dimaksud Ever adalah ketergantungan petani pada alam yang luas dan perkebunan rakyat serta buruh sambilan. Sedangan sektor tertier adalah sumber dana sosial dari anggota keluarga dan dari komunitas dimana dia berada.
Dari pemikiran yang berkembang diatas terutama Evers dan Chayanov, 1 dapat disimpulkan bahwa ekonomi subsisten adalah produksi yang dihasilkan oleh pekerja rumah tangga tanpa bayar yang bertujuan untuk konsumsi langsung, dimana sumber produksi adalah alam atau jasa. Produksi rumah tangga ekonomi subsisten tidak terikat dengan pasar dan juga lepas dari statistik pemerintah. Definisi ini tentu berbeda dengan definisi subsistensinya Scott (1966) sebagai usaha maksimal rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan minimal rumah tangga.
Ekonomi subsisten dalam defenisi ini dijumpai di pedesaan Sumatera, khususnya Riau, Sumsel, dan Sumut secara merata.yang memegang prinsip keseimbangan produksi. Temuan Dove (1985) di Kalimantan, Brewer (1985) di Bima, Schefold (1985) di Mentawai. Jumlah produksi ini bukan hanya menentukan konsumsi tetapi juga menentukan jam kerja. Jika kerja dalam 60 jam cukup untuk konsumsi sebulan maka dalam sebulan mereka hanya bekerja selama maksimal 65 jam. Dengan sumber produksi yang terdiri dari sektor primer tanah petanian, sektor skunder alam, kebun rakyat serta jasa dan sektor tertier dari keluarga dan kemunitas.
Sebaliknya, jika produksi selama sebulan tidak mencukupi konsumsi minimum rumah tangga, maka total konsumsi akan diminimalis jam kerjapun akan semakin banyak. Termasuk misalnya dari makan dua kali sehari menjadi satu kali sehari. Sebagaimana yang dinyalir Scott bahwa apabila petani sudah sampai batas etika subsistensi mereka akan mengganti jenis konsumsi dari beras ke umbi-umbi.
Prilaku ini bukan menjadi indikator sebagai prilaku pemalas sebagaimana yang kemukakan Swift (1965), Parkinson (1976) Ness (1967) terhadap masyarakat Asia Tenggara khususnya pribumi Melayu. Cara ini merupakan alternatif keberlanjutan ketersediaan makanan untuk masa yang akan datang. Petani menjaga alam, agar alam tetap menyediakan makanan mereka untuk massa depan. Pada masyarakat Irian Jaya yang berada dipinggir pantai, tidak pernah menghabis semua telur penyu, tetap meninggalkan sebahagian telur tersebut agar reproduksi penyu tetap lestari.
Pada ekonomi subsisten petani tidak mempunyai standar kebutuhan dasar. Standar petani adalah produksi, makin tinggi produksi maka standar belanja dalam rumah tangga juga tinggi. Apabila panen tahun ini bisa mencukupi sampai panen tahun berikutnya, hasil kerja bulanan dan mingguan akan digunakan untuk membelanjakan keperluan skunder lainnya, artinya hutang akan berkurang. Sayur-mayur, buah-buahan, daging merupakan produksi sendiri, hanya minyak, gula, kopi, garam, korek dan pakaian dan keperluan skunder lainnya dibeli dari hasil kerja mingguan atau bulanan.
Kelebihan produksi dari konsumsi akan didistribusikan kepada kerabat dekat, bahkan dialokasikan untuk dana sosial menyumbang pembangunan fasitas desa atau bahkan membantu kerabat dalam melaksankan perayaan. Saving dalam arti ekonomi moderen tidak berlaku pada ekonomi subsisten, yang berlaku adalah persiapan modal untuk konsumsi besar seperti perayaan lebaran, pesta perkawinan, pesta kelahiran dan pesta desa lainnya. Setelah berbagai upacara tersebut selesai kondisi ekonomi rumah tangga kembali semula bahkan cenderung makin sulit karena beban hutang dari konsumsi besar tersebut.
Memahami ekonomi subsisten dapat dengan mudah karena ekonomi subsisten hanya mempunyai dua variabel yaitu variabel produksi dan variabel konsumsi. Variabel produksi meliputi unit produksi dan jenis usaha produksi. Unit produksi meliputi tenaga buruh dan bahan produksi. Sedangkan jenis usaha produksi meliputi pilihan kegiatan yang dilakukan rumah tangga. Prinsip umum produksi pada sistem ekonomi subsisten diri adalah produksi untuk konsumsi hari ini.
Variabel konsumsi adalah konsumsi rumah tangga dan konsumsi sosial. Konsumsi rumah tangga meliputi konsumsi primer dan skunder. Sedangkan konsumsi sosial adalah biaya pembangunan desa, biaya solidaritas desa dan biaya perayaan. Biaya konsumsi sosial diperoleh dengan cara yang spesifik bukan melalui produksi biasa. Selalunya dengan melakukan penjualan harta kekayaan atau berhutang pada tauke.
5.2. Konsumsi dan Produksi
Prinsip-perinsip ekonomi pasar tetap diadopsi secara tidak tepat pada ekonomi subsisten, yaitu produksi dan konsumsi serta saving serta hutang. Tujuan produksi pada ekonomi subsisten adalah konsumsi. Jenis produksi sama dengan jenis konsumsi, atau jenis produksi dipengaruhi oleh jenis konsumsi. Ever membagi konsumsi pedesaan menjadi dua yaitu konsumsi rumah tangga dan konsumsi komunitas. Konsumsi rumah tangga diproduksi oleh rumah tangga dan subsidi komunitas, sedangkan konsumsi massal berasal dari subsidi dari masing-masing rumah tangga.
Saving (menabung) ditujukan untuk konsumsi massal, seperti menabung untuk menikah, menabung untuk pergi haji, dan pesta adat lainnya. Bentuk produksi adalah membuka lahan kemudian menanamnya dengan tanaman keras seperti karet, ketika prosesi konsumsi massal dilakukan maka kebun dan tanah tersebut dijual sebagai sumber utama keuangan. Saving juga sama dengan produksi massal untuk konsumsi jangka panjang. Contoh berladang menanam padi dan hasil panen dijadikan persediaan konsumsi sepanjang tahun.
Hutang bagi penduduk pendesaan ditujukan untuk pemenuhan kekurangan kebutuhan primer dan biaya massal. Hutang terjadi karena hubungan antara masyarakat dengan tauke, yang dibayar melalui hasil kerja harian atau bulanan serta jasa yang tidak dibayar. Tauke mempunyai inisiatif meningkatkan jumlah hutang setiap hari yang bertujuan untuk peningkatan ketergantungan. Kelas tauke ini sangat berpengaruh terhadap persepsi petani pada perubahan. Semakin tergantung petani pada tauke semakin sulit perubahan terjadi. Karena perubahan bagi tauke adalah ancaman kestabilan ekonomi, politik dan struktur social.
Karena konsumsi dalam masyarakat subsisten pedesaan merupakan tujuan utama produksi. Maka produksi ditentukan beberapa besar konsumsi yang diperlukan. Jika gambaran konsumsi lebih besar sementara faktor produksi juga besar maka aktivitas produksi akan tinggi guna memenuhi asumsi konsumsi. Chayanov (1966) menyebutnya dengan labor consume balance, Ellis (1988) dan Evers (1991) menyebutnya penggunaan produksi langsung.
Konsumsi secara umum dibagi menjadi dua konsumsi utama, yaitu konsumsi rumah tangga dan konsumsi sosial. Konsumsi rumah tangga merupakan sejumlah penghasilan yang dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari rumah tangga. Sedangkan konsumsi sosial merupakan sejumlah penghasilan dikeluarkan untuk keperluan sosial, seperti sumbangan mesjid, sumbangan pesta perkawinan dan hantar ketika hari besar.
Konsumsi desa bercirikan pada kemampuan produksi atau jaminan pendapatan untuk dikonsumsi. Kemampuan produksi adalah jumlah lahan yang bisa diolah secara maksimal untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga melalui tenaga kerja tanpa bayar. Sedangkan jaminan pendapatan untuk kelangsungan konsumsi rumah tangga adalah menghutang. Institusi desa yang paling terkenal yang menjadi jaminan kelangsungan konsumsi adalah tauke. Tauke ini adalah pedagang di desa yang menjamin kelangsungan konsumsi.2 Keberadaan tauke ini bisa menimbulkan over consumption untuk masa-masa tertentu. Disaat produksi menurun sementara konsumsi meningkat, petani sering mengabaikan hukum household utulity maximisation. Konsumsi selalu saja dipenuhi melalui hutang, sementara produksi sangat minim. Akibatnya seluruh produksi tahunan dan bulanan diserahkan semuanya ke tauke untuk membayar hutang. Jika kondisi ini berlaku maka tingkat ketergantungan petani tersebut akan semakin besar pada tauke, bahkan tauke bisa menjadi tuan bagi keluarga tersebut.3
Over consumption tersebut terutama terjadi pada peristiwa penurunan produksi terbatas, yaitu pada pertama, suatu massa tertentu terjadi penurunan harga komuniti, atau terjadi persitiwa alam yang dipandang tidak lama atau kepala rumah tangga sakit keras.
Kedua, hari-hari besar agama seperti hari raya Idul Fitri, Idul Adha, muharam atau hari-hari besar adat. Pada hari itu semua masyarakat memaksimalkan konsumsi untuk merayakan hari besar tersebut sampai tiga hari. Masing-masing keluarga akan menunjukkan menu makanan terbaik dan berharap seisi kampung akan mengunjungi rumahnya kemudian menyantap makanan yang tersedia.
Selain biaya untuk makan, pada perayaan hari besar biasanya melakukan pembelanjaan tahunan berupa keperluan pakaian dan penghiasan rumah. Penduduk desa telah memformat membeli pakaian setahun sekali untuk menghormati perayaan hari-hari besar. Walaupun pola ini tidak selalu berlaku bagi tauke atau penduduk yang jumlah produksinya melebihi kebutuhan sehari-hari.
Ketiga, perayaan perkawinan, kelahiran anak, tujuh bulanan, kematian dan berbagai yang fokusnya untuk rumah tangga. Semua jenis perayaan tersebut ukuran jumlah konsumsi adalah kampung. Satu rumah tangga menyediakan konsumsi untuk komunitas. Sumber konsumsi tersebut biasanya berasal dari harta kekayaan berupa tanah, kebun dan binatang ternak yang dijual dan berhutang pada tauke dan juga pemberian dari anggota komunitasnya.
Keempat, ada sebahagian kecil dari keluarga petani yang ingin memperbaiki hari tuanya melalui pendidikan. Anak bagi keluarga desa adalah saving yang berguna di hari tua. Anak yang sekolah memerlukan dana besar apalagi kalau sampai kuliah di perguruan tinggi. Biasanya ibu-bapak yang memfokuskan diri menyekolahkan anaknya tidak akan mempunyai kekayaan yang berarti lagi karena habis terjual untuk biaya anaknya, selain menjual harta kekayaannya ibu-bapak meminjam uang kepada tauke.
Fenomena over consumption ini ditemui di desa-desa di Riau, Jambi dan Sumsel, sebagai konsekwensi dari keterbatasan produksi dan pemikiran subsisten. Keterbatasan produksi bagi desa-desa di sumatera bukan disebabkan lahan pertanian (tanah) yang terbatas tetapi disebabkan kurang tersedianya tenaga kerja lelaki dalam rumah tangga. Para janda dapat dipastikan hidupnya lebih miskin daripada pasangan suami isteri, begitu juga jumlah anggota keluarga lelaki yang sedikit akan sedikit pula pendapatan. Kondisi ini diperburuk dengan pemikiran subsisten dimana bekerja bukan untuk hari esok tapi untuk makan hari ini.
Prilaku konsumsi ini erat kaitannya jumlah barang yang di produksi, jika penghasilan dari produksi besar maka konsumsi besar bahkan konsumsi tidak hanya disediakan untuk rumah tangga tetapi juga untuk kerabat dekat dan tetangga. Besaran produksi mempengaruhi pola pembelanjaan. Makin besar pendapatan seseorang cenderung merubah pola belanja dari harian ke pola belanja bulanan atau mingguan. Makin sedikit jumlah produksi maka pola belanja biasanya adalah pola belanja harian.
Dove mencatat (1985) pola konsumsi masyarakat Kantu yang peladang berpindah-pindah terdapat hubungan yang erat antara jenis produksi dengan konsumsi. Untuk makan mereka menanam padi dan sayur-sayuran di ladang. Untuk berbelanja yang memerlukan uang misalnya membeli garam, pakaian, minyak tanah, tembakau mereka menyadap karet dan menanam lada kemudian menjualnya. Selain itu, berburu, menangkap ikan, mengumpul hasil alam (hutan) memegang peranan yang amat penting.
Temuan Dove ini relevan dengan temuan di beberapa desa di Riau, yang mengindetifikasikan tiga pola konsumsi berdasarkan produksinya. Produksi tahunan yaitu berladang, bersawah merupakan konsumsi tahunan. Meneres getah karet, berbalak atau mencari hasil hutan lainnya merupakan konsumsi bulanan. Sedangkan untuk konsumsi harian diperoleh dari menanam sayuran di ladang atau diperkarangan, menangkap ikan, berburu, atau bantuan dari kerabat dekat.
Sedangkan konsumsi sosial atau desa cenderung berupa pengalihan tenaga kerja dari tenaga kerja rumah tangga menjadi tenaga kerja desa yang juga tidak dibayar. Pengalihan tenaga kerja ini diimplementasikan melalui sistem tolong menolong dan gotong royong (Sayogio dan Pudjiwati 1996) Tolong-menolong dilakukan antar petani yang bertetangga atau satu kelompok usaha atau kerabat dekat. Pada pekerjaan produksi biasanya tolong menolong ini dilakukan secara bergantian. Jika satu keluarga telah menolong satu keluarga lain, maka keluarga yang ditolong akan menyediakan waktu untuk menolong keluarga yang telah menolong keluarganya, begitulah terus menerus.
Berlainan dengan tolong-menolong, gotong royong merupakan kegiatan desa yang dilakukan seluruh warga desa untuk satu jenis usaha tertentu. Misalnya memperbaiki jalan, membangun sarana bersama seperti sarana ibadah, kantor desa, balai pertemuan atau perayaan tertentu. Dalam gotong royong ini bukan hanya jasa (tenaga) yang dipakai oleh komunitas tetapi juga berupa barang dan konsumsi ringan. Setiap rumah tangga akan secara otamatis menyediakan konsumsi ketika gotong-royong dilaksanakan. Begitu juga bahan-bahan yang digunakan untuk membangun jalan, rumah ibadah, kantor desa atau balai pertemuan berasal dari sumbangan masing-masing rumah tangga. Sumbangan tersebut ada yang ditentukan jumlah besarnya tetapi ada juga sumbangan sukarela karena dipandang orang berada (kaya) di desa. Konsumsi sosial ini juga dikeluarkan untuk perayaan lain di desa.
Pola konsumsi diatas mengambarkan pola produksi. Semakin besar konsumsi semakin meningkat dan beragam aktivitas produksi. Ever, (1988) menjelaskan produksi pedesaan melalui dua variable, yaitu variabel rumah tangga dan variabel komunitas. Adapun variabel rumah tangga meliputi tenaga kerja, jenis lahan dan jenis pekerjaan dan reproduksi. Tenaga kerja dibagi berdasarkan sex dan umur. Kerja-kerja reproduksi dilakukan oleh perempuan dengan dibantu oleh anak-anak perempuan. Reproduksi meliputi reproduksi tenaga kerja rumah tangga dan reproduksi hasil kerja dari suami atau lelaki yang bekerja di luar rumah tangga terutama yang dimaksud Ever dengan sektor skunder dan tertier. Isteri selain berfungsi reproduksi juga melakukan produksi perkarangan, kraf tangan, pemeliharaan ternak dan pendidikan anak.
Pada masyarakat yang menganut subsisten terjadi pembagian kerja, McSwenewy (Ellis 1988) secara jelas merumuskan hubungan produksi dengan fungsi sex dalam rumah tangga, yang membagi tiga jenis aktivitas perempuan pada ekonomi subsisten di pedesaan, yaitu pertama, aktivitas reproduksi meliputi aktivitas reproduksi, melahirkan anak, memelihara dan membesarkan anak. Dan aktivitas reproduksi harian meliputi masak, membesikan, mencuci, menambal pakaian, mengumpul kayu, mengakat air, membangun memperbaiki rumah. Kedua, aktivitas produksi, meliputi produksi untuk keperluan rumah, mananam sayuran, memelihara hewan, membuat kue, menjahit, menbuat kerajinan tangan. Produksi untuk pasar, berkebun sayuran, menjual makanan, kerja tambahan, membuat kerajinan untuk dijual. Ketiga, aktivitas tambahan meliputi membuat makanan, kesehatan, silaturahim dan lain-lain.
Selain itu dalam pandangan McSwenewy pada masyarakat yang menganut sistem patrilinial lelaki sangat dominan dan mengontrol semua produksi pertanian. Perkawinan tidak didasarkan cinta tetapi diatur oleh orang tua yang biasanya lebih mementingkan solidaritas keluarga. Hal ini dilakukan kerana keluarga petani sangat mengambil penting tentang kehidupan sosial masyarakat, bersifat terbuka dengan orang luar dan sangat menjaga hubungan dengan sesama masyarakat di dalam kampungnya.
Sedangkan variabel luar rumah tangga adalah produksi yang diperoleh dari komunitas, bantuan keluarga termasuk bantuan dari anak yang sudah dewasa. Produksi dari komuniti ini adalah produksi yang berhimpit dengan konsumsi. Dimana jumlah produksi langsung berfungsi konsumsi, cenderung fungsi konsumsi lebih besar dari fungsi produksi. Ada beberapa kegiatan yang biasanya berfungsi produksi yaitu meliputi perayaan yang berkaitan dengan kelahiran, kematian, perkawinan, membuka hutan, membangun rumah, masa panen dan kegiatan yang memerlukan tenaga banyak orang. Rumah tangga selalu mendapat bantuan berupa jasa tenaga yang tidak dibayar, hanya menyediakan konsumsi untuk satu hari makan. Jika dihitung dengan dengan menggunakan nilai uang, maka jumlah pendapatan yang diperoleh jauh lebih besar dari biaya konsumsi yang dikeluarkan. Hanya saja bantuan jasa tersebut harus dibayar dengan tenaga pula pada waktu yang berbeda.
Sumber produksi di luar rumah tangga lainnya adalah bantuan dari keluarga, baik berupa warisan, maupun bantuan dari ibu-bapa terhadap anaknya. Bantuan tersebut berbentuk uang, bahan mentah ataupun fasilitas konsumsi tanpa biaya untuk batas waktu yang tidak terbatas. Bentuk sumber pendapatan lain adalah berasal dari bantuan anak bagi ibu-bapa yang sudah tua. Biasanya anak yang sudah sudah dewasa tapi belum menikah semua penghasilannya diserahkan kepada ibu-bapanya, termasuk juga bantuan anak yang sudah berkeluarga kepada ibu-bapanya.
Sistem produksi petani subsisten ini sangat beragam berdasarkan ekologi dimana petani berada. Untuk petani yang tinggal yang hutannya masih luas umumnya berladang berpindah-pindah, mengambil hasil hutan dan sungai. Brewer (Dove 1985) mengemukakan tiga sistem produksi Bima dan Mentawai dan Irian Jawa yaitu perlandangan berpindah-pindah, pengumpulan sagu, berburu dan meramu. Antara suku tersebut menunjukkan pola produksi yang sama, perbedaannya terletak pada jenis tanaman, cara pengolahan dan pemeliharaan. Di Mentawai misalnya hutan yang ditebang tidak dibakar dan ditanami umbi-umbian. Sementara di Bima, lahan yang sudah ditebang dibakar dan ditanami padi.
Catatanan Anderson (1924), dimana orang Melayu Sumatera Utara berbasis ekonomi peladang, mereka membuka hutan pada musim kemarau di pinggir sungai dan menanam pada musim penghujan. Pada tahun ketiga ladang tersebut ditanami sayur-sayuran, umbi-umbian, tebu, pisang, jagung, lada dan tembakau. Dikawasan kampung (perkarangan) di tanam jambu, delima, asam jawa, nangka sukun, dan jenis tumbuhan keras lainnya. Selain itu orang Melayu juga memanfaatkan hasil hutan seperti tumbuhan jenis akar, rotan damar dan kayu semuanya untuk dijual ke pasar eksport.
Pelly (1996) menyebutkan bahwa kultur produksi Melayu adalah berladang dan nelayan serta perdagangan, oleh karenanya orang Melayu membuka hutan untuk memproduksi tanaman ekspor. Produksi tanaman ekspor tersebut dijual ke pedagang kemudian pedagang yang melakukan transaksi antar pulau dan antar negara.
Sistem produksi tersebut tergambar dalam tahapan perkembangan pola pertanian yang dilakukan petani. Menurut Smith (1996) terdapat enam pola pertanian di pedesaan yang dipengaruhi oleh tingkat perkembangan pemikiran pedesaan dan mengabaikan stratifikasi masyarakat desa. Pertama, bertani dipinggir sungai. Cara ini merupakan pola pertanian yang sangat tradisional dan sederhana sebab tidak memerlukan teknologi. Menurut Bertrand cara ini merupakan cara tertua. Mereka bertani disebabkan secara kebetulan biji-bijian dapat bertunas ditempat yang basah. Cara ini juga merupakan dasar bagi pertanian secara sistematis.
Kedua, pertanian secara berpindah-pindah, disebut Senders dengan tebas dan bakar dan menurut Bertrand disebut dengan dengan lahan bakar. Biasanya petanian dimulai dengan menebar kayu, setelah itu dibakar, setelah melalui pendinginan padi ditanam tanpa adanya pengolahan tanah.
Ketiga, sistem pertanian dengan menggunakan teknologi cangkul (hoe culture). Pada sistem ini sudah ada pengolah lahan dengan menggunakan tenaga manusia atau hewan. Tanah diaduk-aduk biar lembut, setelah itu baru ditanami padi.
Keempat, penggunaan bajak secara sederhana (rudimentary plow). Sistem ini menggunakan hewan lembu atau kerbau untuk mengaduk-aduk tanah. Bajak ditarik oleh kerbau yang berbentuk kereta dan beroda. Kerbau dihela supaya menarik bajak tersebut.
Kelima, sistem bajak modern, dan terakhir sistem mekanisasi pertanian. Kedua sistem di pakai pada masa sekarang yang umumnya dimiliki oleh petani kaya sebab sudah menggunakan teknologi yang memerlukan modal. Orientasi pertanian sudah berubah kepada pekerjaan (making a living) yaitu bertujuan untuk mendapatkan kekayaan dan hasil pertanian sudah untuk dijual.
Pada desa yang masih melakukan kegiatan perladangan, hutanlah yang menjadi sumber ekonomi utama petaninya, menurut Sutrisno (1991) selain hutan menjadi sumber berbagai usaha pertanian dan makanan atau cirtical support, hutan juga berfungsi sebagai penjamin penduduk untuk makan sepanjang tahun atau food security. Tanah dan hutan bagi masyarakat petani menjadi sumber ekonomi pertama keluarga, baik itu ekonomi primer dan skunder. Semakin luas hutan dan tanah yang dimiliki semakin baik kehidupan ekonomi keluarga, karena aktivitas penduduk di desa sangat tergantung pada bidang pertanian yang sangat memerlukan tanah.
Pendapat Evers dan Sutrisno ini sesuai dengan kondisi pertanian di Asia Tenggara yang baru berlangsung satu tahun sekali. Akibatnya keperluan hidup tidak bisa dipenuhi dari pertanian. Untuk memenuhi keperluan hidup tersebut mereka mengumpulkan hasil hutan yang diambil dari hutan - tanah mereka, seperti rotan, damar, gaharu, minyak seminai, minyak kruing, buah balam, kapur barus dan gading gajah. Hasil ini biasannya dikirim kepasaran dunia. Ini bermakna, bahwa sektor skunder dan tersier merupakan sumber ekonomi yang sama pentingnya dengan sumber ekonomi primer (pertanian). Sering dijumpai, sektor primer dikuasai wanita, sedangkan sektor skunder dan tersier dikuasai oleh lelaki (disinilah arti pembagian kerja bagi petani)
Bahkan Fredrik (1974) lebih luas lagi memahami jenis produksi petani, dalam bukunya Peasant in Complex Society, mengemukan tiga jenis produksi petani yaitu, iaitu holtikultura (perkebunan), agrikultura (pertanian) dan non agrikultura (binatang ternak). Begitu juga temuan Hüsken di Gondasari terdapat tiga pola produksi petani, yaitu pertama, bertani di sawah baik itu sawah sendiri, sewa, ataupun bagi hasil. Kedua,buruh tani yaitu bekerja sebagai buruh disawah orang lain atau buruh harian lainnya. Ketiga, berdagang, menebang pohon dihutan, dan bertukang.
Gee. (1977) secara jelas memaparkan beberapa pola produksi petani subsisten di Malaysia, adalah menembak, nelayan, dan mengambil hasil hutan. Hubungannya dengan pasar penjulan barang terbatas dan karakteristik ekonomi melalui unit produksi yang kecil, teknologi sederhana, dan sangat rendah spesialisasi. Instrument baru ekonomi mereka adalah kedai yang berada di kampung, yang menjual semua keperluan dan membeli produksi kampung. Mereka juga tidak semata-mata tergantung pada perladangan padi, tetapi juga ada tanaman lain yang juga penting, seperti sayuran-sayuran dan buaha-buahan. Tanaman padi dicampur dengan tanaman lain yang lebih konplet.
Pandangan diatas membantah asumsi selama ini, bahwa sumber utama ekonomi petani adalah lahan petanian, sebagaimana petani di Eropah dan Amerika. Selalunya fokus selama itu menganalisis ekonomi petani adalah produksi pertanian. Berapa luas lahan, bagaimana pengolahan (kapasitas produksi) dan bagaimana distribusinya. Asumsi ekonomi petani tersebut menimbulkan kekeliruan pemahaman petani terhadap ekonomi. Pada startifikasi sosial - ekonomi, petani memang bisa dikatagorikan sebagai ekonomi pasar, terutama petani progresif yang modern. Namun sebagaian besar petani lainnya sangat tergantung pada ekonomi subsisten.
Hasil dari observasi petani Riau, Sumsel dan Jambi menunjukkan bahwa pola produksi petani berbanding lurus dengan prilaku konsumsi dan sumber daya produksi. Padi bagi petani adalah pembelanjaan tahunan, sebab itu petani hanya berladang atau bersawah setahun sekali mengikuti siklus hujan dan kemarau. Produksi sekali beladang atau bersawah dijadikan untuk konsumsi setahun. Jika produksi padi bisa mencukupi setahun artinya jaminan konsumsi untuk setahun. Apabila padi tidak mampu mencukupi konsumsi setahun, maka pembelanjaana untuk konsumsi beras dialihkan ke produksi bulanan, bahkan bisa juga mingguan atau harian biasanya melalui tauke dengan mengambil dulu membayar setelah sebulan bahkan kadang lebih.
Di ladang ini selain berfungsi untuk menanam padi pada dua tahun pertama, dana tanaman keras juga ditaman kebutuhan rumah tangga berupa jagung, sayur-mayur, chili dan lain-lainnya. Tanaman ini berfungsi untuk mengantikan konsumsi harian. Jadi produksinya digunakan untuk konsumsi harian. Produksi harian lainnya adalah memancing ikan atau berburu hewan di hutan.
Menanam tanaman keras adalah saving bagi petani untuk masa tujuh hingga 20 tahun. Perkebunan rakyat yang di gemari di Riau daratan, Jambi dan Sumsel adalah getah karet, pada tahun 2000 ini beralih ke sawit. Kebun ini apabila sampai waktu produksinya menjadi sumber utama ekonomi rumah tangga yang diproduksi setiap hari tetapi berubah menjadi konsumsi sebulan bahkan seminggu sekali. Aktivitas utama petani di tiga provinsi ini adalah kerja di perkebunan rakyat, baik itu kebun sendiri maupun di kebun orang lain dengan bagi hasil. Kerja bulanan di sektor kebun ini sering juga diganti dengan mencari balak, rotan, damar dan semua kekayaan hutan.
Memang dasar produksi pertanian di masing-masing wilayah Indonesia sebelum Orde Baru dipaparkan secara jelas oleh Koentjaraningrat (1964) dalam bukunya Masyarakat Desa di Indoneisa Masa Kini dimana pola pertanian bersawah sebenarnya hanya ada di Jawa, Bali dan Lombok, termasuk juga sekitar 10-11% ada di Batak, Agam (Sumbar), Pantai Kalimantan, dan pantai pulau Nusa Tenggara. Sebaliknya sekitar 90-89% pola pertanian adalah perladangan termasuk di Jawa Barat.
5.3. Strategi Perubahan
Studi tentang respon petani pedesaan terhadap perubahan telah menunjuk corak respon yang berbeda. Perbedaan corak respon ini dipengaruhi oleh factor agen perubah dan sumberdaya ekonomi yang dimiliki. Dalam beberapa kasus petani yang kurang kepemilikan tanah dan terjebak dalam struktur tauke telah mengambil beberapa jalan keluar untuk menghadapi tekanan pasar, (Rawa, 1997) iaitu pertama, membatasi diri dan tetap bergantung pada sistem patron-klien. Kedua, apabila no 1 tidak bisa dijalankan maka mereka akan mencoba tanaman dan cara baru. Ketiga, menyediakan area baru dan pasar.
Pilihan strategi yang diambil mengambarkan besarnya tekanan terhadap struktur social yang ada. Pilihan untuk tetap bergantung pada system patron klien ini disebabkan perubahan yang tidak mampu merubah struktur social dan ekonomi yang telah terbentuk. Pilihan ini akan berubah ketika struktur social mengalami kegoncangan dan berganti ke struktur baru, perubahan ini merujuk kepada kemampuan personal dalam merespon tekanan perubahan tersebut.
Implementasi dari perubahan tersebut terbentuklah dua pola differensiasi, yaitu terjadi proses diffrensiasi dari buruh tani menuju integrasi mekanisasi dan keberanian terhadap perubahan sebagai bagian dari proses buruh dunia. Diffrensiasi ini mengikuti tiga kelas, pertama, individu2 atau keluarga secara langsung terlibat dalam proses buruh dan tidak tergantung pada yang lainnya. Kedua, diantara yang tergantung pada proses buruh petani (labor proces) hanya sebahagian saja, dan yang lainnya tergabung dalam proses keberaraian dunia. Ketiga, semuanya tergantung secara ekslusif pada labor proces, tidak hanya pada tanaman makanan tetapi untuk semunya. Dalam kondisi yang sama Connell & Dasqupta & Laishley & Lipton (1976) pilihan yang paling tajam diambil oleh penduduk pedesaan adalah pindah urbanisasi ke kota atau pindah ketempat lain yang dianggap lebih baik.
Scott (1966) sendiri mengidentifikasi respon petani dalam beberapa indikasi yaitu pertama, Pertama, rumah tangga petani melakukan pemberontakan untuk mengembalikan hak-hak ekonomi dan hak sosialnya. Kedua, petani melakukan langkah penyelamatan diri melalui langkah kontrukstif terhadap lingkungnnya.
Studi Scott di Asia Tenggara menonjolkan pemberontakan sebagai pola respon terhadap perubahan oleh negara. Bahkan teori moral ekonomi petani yang ditulisnya merupakan karya ilmiah yang sengaja untuk membincangkan alasan-alasan pemberontakan petani di Asia Tenggara. Pemberontakan menurut Scott bukan karena perebutan kekuasaan tetapi karena terganggunya pola subsistensi pada komunitas petani. Perubahan bagi petani adalah ancaman bagi kelangsungan hidupnya. Oleh karenanya pilihan pemberontakan merupakan alternatif untuk mempertahankan kelangsungan subsistensi.
Pilihan penyelamatan diri yang diambil oleh keluarga petani dipahami Scott hanya sebagai bentuk lain alternatif dari sebahagian kecil petani saja. Karena hanya rumah tangga petani yang segera mendapat patron baru dari perubahan tersebut yang akan memilih cara ini. Pilihan penyelamatan ini juga muncul tidak lain disebabkan dari peran negara, organisasi politik, dan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat yang datang ke komunitas petani tersebut untuk menjadi patronase baru.
Pilihan alternatif penyelamatan diri diidentifikasi Scott berupa, mempekerja seluruh anggota keluarga (ide dari Chayanov), menyampingkan kewajiban serimonial (mengurangi kualitas dan kuantitas), berimigrasi, bekerja atas bagi hasil, alat politik tuan tanah untuk menghantam orang desanya. Selain itu petani akan mencari kerja sambilan dan koneksi yang dapat menstabilkan subsistensi. Strategi ini dijalankan petani dengan melakukan empat penyesuain diri berupa, pertama, pendalaman pada bentuk-bentuk setempat dari usaha swadaya dalam bentuk pertukaran jenis tanaman ke peralihan padat karya dan peralihan ketanaman komersial. Kedua, pengandalan dari sektor non pertanian, dalam bentuk menyerbu ekonomi uang dengan pergi kekota menari serpihan ke kota. ketiga, pengandalan pada bentuk patronase dan bantuan dukungan dari negara, berupa projek negara berupa subsidi pangan dan bantuan untuk daerah yang tertimpa kelaparan. Keempat, pengandalan pada struktur-struktur proteksi dan bantuan yang bersifat keagamaan atau oposisi.
Yang cukup mengejutkan adalah penelitian Usman Pelly (1996) di Sumatera Utara menemukan bahwa terjadi perubahan pola produksi orang Melayu dari produksi komoditi eksport ke pertanian subsisten berupa padi dan palawija. Pelly mengindentipikasi sebelum masuknya kapitalisasi di Sumatera Utara, Masyarakat Melayu justeru tidak menganut ekonomi subsisten tetapi perkebunan besar dan perdagangan. Setelah masuk industri, lahan berkurang masyarakat Melayu kehilangan lahan dan akhirnya melakukan ekonomi subsisten.
6. Pangkalan Kerinci: Diskripsi Singkat
Desa Pangkalan Kerinci terletak disebelah timur kira-kira 75 km dari Pekanbaru ibu kota provinsi Riau. Pangkalan Kerinci berada di kiri dan kanan jalan raya lintas timur Pekanbaru-Jambi yang merupakan salah satu jalan penghubung provinsi Riau dengan provinsi lainnya, termasuk transportasi darat pulau Sumatera dan pulau Jawa.
Menurut pemaparan penduduk asli Pangkalan Kerinci, asal mula penduduk Pangkalan Kerinci4 berasal dari anak-anak raja gunung hijau atau kerajaan Pagaruyung Sumatera barat. Raja Pelalawan memberi mereka hutan-tanah seluas 225.000 hektar, untuk keturunan mereka. Penyerahan hak tanah tersebut tertuang dalam surat Raja Pelalawan tanggal 7 Desember 1938, No.2/1938.
Umumnya penduduk tinggal secara berpencar di tepi sungai Kerinci. Ada juga yang tinggal di darat kira-kira 2 km dari Sungai Kerinci. Setiap kelompok perkampungan tersebut didiami kira-kira 3 sampai 5 rumah tangga. Kelompok-kelompok tempat tingal penduduk tersebut dikenal dengan nama pangkalan, yaitu Pangkalan Pasir, Pangkalan Seminai, Pangkalan Cik Bagus, Pangkalan Mamak Angkat, Pangkalan Lubuk Singapur, Pangkalan Aib. Keadaan seperti ini masih berlangsung sampai tahun 1978.
Sejak 1978 pemerintah Riau merubah struktur perkampungan menjadi desa, yaitu desa muda (persiapan menjadi desa). Pembentukan desa muda ini disebabkan penduduk Pangkalan Kerinci belum memenuhi persyaratan sebuah desa. Untuk melengkapai jumlah penduduk dalam satu desa tersebut maka pemerintah melakukan program relokasi tahun 1983 dengan menambah jumlah penduduk dari desa tetangga. Tahun 1983 itu juga Pangkalan Kerinci disahkan menjadi desa dengan penduduk 160 rumah tangga, yaitu 80 rumah tangga penduduk asli Pangkalan Kerinci dan 80 rumah tangga lagi dari penduduk Kuala Terusan.
Relokasi Depsos sebagai pemukiman baru penduduk tersebut terletak sekitar 2.8 KM dari pinggir Sungai Kampar dan Kerinci. Akibat perubahan kampung menjadi desa tersebut, pangkalan-pangkalan di tepi Sungai Kerinci hilang, yang tinggal hanya Kualo (Muara Sungai Kerinci) dan terbentuknya satu pangkalan baru di tepi sungai Kampar dibawah jembatan tetapi tidak ada penduduk Pengkalan Kerinci asli yang berdiam disini.
Berdasarkan UU No 5 tahun 1979 Pangkalan Kerinci yang hanya merupakan kampung kecil berada ditepi sungai Kerinci dan Sungai Kampar berada dibawah Kecamatan Langgam. Tahun 1983 Pangkalan Kerinci dinaikkan statusnya menjadi desa. Dan Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No.821.26.525/26hb Mei 1987 Bekas Kewedanaan Pelalawan menjadi wilayah kerja Pembantu Bupati Kampar Wilayah II yang Berkedudukan di Pangkalan Kerinci. Pada 1999 Pangkalan Kerinci sudah menjadi Kecamatan Pangakalan Kerinci dan menjadi ibu kota kabupaten Pelalawan.
6.1. Sistem Sosial dan Penguasaan Ekonomi
Sistem pengaturan social dan ekonomi berpusat hutan hutan-tanah sebagai sumber utama pendapatan. Kekuasaan social dan kekuasaan ekonomi berada pada keturunan yang menerima tanah langsung dari Sultan Pelalawan. Karena yang berhasil mendapat hak penerimaan tanah dari Kerajaan Pelalawan adalah yaitu Suku 5 Lalang, maka hak atas Bathin (ketua adat) dan atas tanah sepenuh menjadi milik keturunan Suku Lalang. Di Pangkalan kerinci terdapat beberapa suku lain yaitu Suku Payung, Suku Kerinci, Suku Delik dan Suku Piliang.
Sistem kekerabatan yang dianut adalah system matrilineal, dimana hak atas suku diturunkan ke anak perempuan dan keturunan anak perempuan. Anak perempuan dan keturunan anak perempuan yang memiliki hak atas identitas suku (suku lalang), kekuasaan kebathinan dan penguasaan atas hutan-tanah. Suku-suku lain hanya mempunyai hak garap atas hutan tersebut. Namun ada aturan yang tidak tertulis bahwa kalau sebidang tanah yang telah ditanami bermacam jenis tanaman maka tanah tersebut tidak boleh digarap oleh orang lain, termasuk suku Lalang. Jika mau juga menggarapnya maka penggarap yang baru harus membayar ganti rugi atas tanaman yang ada diatas tanah tersebut.
Khusus untuk rumah dan perkarangan tanah tersebut menjadi hak pakai seumur hidup dan diturunkan kepada keturunan dari pemilik rumah tersebut. Jika pemilik rumah tidak punya keturunan maka tanah tersebut diserahkan kepada bathin yang berasal dari suku lalang. Selain itu, setiap suku diberi hak untuk memiliki hutan obat-obatan berdasarkan sukunya masing-masing.
Produksi Sialang setiap tahunnya menjadi tiga pembagian secara merata, satu bagian untuk anak perempuan yang datang, anak lelaki yang bekerja dan satu sarang lebah diberi kepada Bathin. Pada proses pengambilan madu tersebut, anak lelaki diwajibkan bekerja menyambut madu lebah dari atas, sedangkan anak perempuan (melalui suaminya) hanya diwajibkan hadir saja. Bagi anak kemenakan yang tidak hadir dalam upacara pengambilan madu lebah tersebut biasanya tidak mendapat pembagian.
Selain hutan, dan kepungan Sialang resource ekonomi lain adalah sungai. Sungai merupakan milik semua suku jadi tidak ada satu suku yang berkuasa penuh terhadap sungai tersebut. Suku Lalang hanya memiliki hak pengaturan pengambilan ikan di sungai. Distribusi hasil dari resource ekonomi tersebut disalurkan melalui suku, kemudian suku menyalurkan ke rumah tangga. Jadi resource ekonomi suku menjadi sumber ekonomi rumah tangga.
6.2. Sumber Pendapatan dan Konsumsi Rumah Tangga
Sebelum masuknya industri, sumber pendapat penduduk Pangkalan Kerinci dikatagorikan kepada lamanya persediaan konsumsi rumah tangga. Pertama, pendapatan tahunan aktivitas ekonominya adalah bertani berladang berpindah-pindah. Hasil produksi berladang berpindah-pindah ini digunakan untuk konsumsi satu tahun. Apabila produksi padi diperkirakan melebihi kebutuhan satu tahun, padi dijual untuk memenuhi kebutuhan harian atau mingguan. Lahan bekas berladang yang ditanami berbagai macam tanaman keras terutama karet akan menjadi saving yang suatu saat nanti akan dijual untuk pesta pernikahan anak, menyunat anak dan acara adat lainnya. Selain konsumsi untuk rumah tangga, juga ada konsumsi adat dan komunitas yang biasanya diberikan sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Konsumsi tahunan dilengkapi melalui pendapatan bulanan, yaitu meneres karet (getah). Pekerjaan meneres getah ini umumnya dibayar lebih dahulu melalui utang pada tauke. Setiap bulan hasil getah diserahkan kepada tuake dengan harga yang ditentukan oleh tauke.
Jika penduduk tidak punya getah, pekerjaann lainnya adalah membalak. Pekerjaan membalak ini dilakukan secara berkelompok dibayar dengan jumlah kubik kayu yang diperoleh. Biasanya sebelum berangkat membalak tauke balak menyediakan keperluan konsumsi dan konsumsi rumah tangga yang ditinggalkan. Biasanya hasil membalak tidak cukup memenuhi kebutuhan bulanan, sehingga pekerja balak tersebut terikat kepada tuake balak tersebut.
Konsumsi tahunan dan bulanan ini juga dilengkapi dengan produksi mingguan atau harian. Kegiatan produksi mingguan atau harian ini biasanya memancing ikan, mencari hasil hutan, tanaman perkarangan dan aktivitas domestik. Biasanya aktivitas pekerjaan mingguan ini lebih banyak dikerjakan oleh perempuan.
Namun demikian aktivitas penangkapan ikan tidak selalu menjadi sumber konsumsi harian atau mingguan. Selain sebagai sumber konsumsi harian dan mingguan ikan juga merupakan sumber konsumsi tahunan (musiman). Jika musim kemarau tiba aktivitas mencari ikan merupakan aktivitas suku yang dilakukan oleh lelaki. Masing-masing suku berbagi lubuk untuk menuba ikan dengan akar kayu tuba. Hasil tangkapan merupakan produksi suku yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Pembagian hasilnya biasanya dilakukan secara merata dan adil.
Hasil penangkapan ikan tahunan ini biasanya diolah lebih dahulu oleh lelaki dengan pengasapan (salai). Setelah disalai ikan dibawa pulang, dan kemudian di jual untuk keperluan ekonomi rumah tangga.
Sejak 1994 aktiviti ekonomi primer sudah tidak dijalankan lagi. Mereka hanya bergantung pada sumber ekonomi tertier yaitu membuat rumah sewa di kawasan tanah seluas 2 hektar yang ada di dekat rumah mereka dan menyewakannya kepada pendatang seharga Rp. 100.000 sampai Rp.150.000,00 satu rumah setiap bulan. Untuk membuat rumah tersebut mereka menjual tanah atau ganti rugi tanah kepada kedua perusahaan tersebut. Rata-rata setiap penduduk mempunyai 7 petak rumah sewa. Hanya kira-kira 5 keluarga yang menggarap hutan milik suku yang tinggal seluas 1.8 hektar di tepi sungai Kampar dan Kerinci.
Untuk penduduk yang rumahnya berada di tepi jalan, tanah mereka diserahkan kepada pengusaha terutama China untuk membangun pertokoan dengan prinsip 1:3. Pengusaha membangun tiga toko tanpa membeli tanah tetapi satu diantara tiga toko tersebut menjadi milik si pemilik tanah. Tidak satupun dari penduduk asli Pangkalan Kerinci mempunyai rumah di piggir jalan.
6.3. Penduduk
Pada saat penyelidikan ini dilaksanakan penduduk Pangkalan Kerinci sudah mencapai 20,000 orang dengan jumlah rumah tangga mencapai 4.178, namun demikian terdapat bermacam versi jumlah rumah tangga dan penduduk ini. Selain itu dinamika jumlah penduduk ini berubah dengan sangat cepat tergantung pada irama perusahaan. Ketika PT RAPP sedang banyak memerlukan pekerja jumlah penduduk bertambah dengan cepat. Tetapi ketika perusahaan sedang mengurangi aktivitasnya maka jumlah penduduk juga berkurang dengan cepat. Penduduk di desa ini dipengaruhi oleh pola migrasi pendatang untuk bekerja di perusahaan.
Jumlah penduduk asal ketika Pangkalan Kerinci belum dapat diketahui secara pasti,. yang bisa diketahui bahwa Batin Pertama Lalang membawa penduduk yang ada di pedalaman untuk bersama-sama membentuk perkampungan. Hanya saja sebelum program relokasi 1978 penduduk Pangkalan Kerinci berjumlah 35 rumah tangga sekitar 120 jiwa. Kemudian pada tahun 1983 jumlah penduduk tersebut bertambah menjadi 80 rumah tangga sekitar 300 jiwa. Sekarang jumlah penduduk asli Pangkalan Kerinci berjumlah 70 rumah tangga.
Tabe.l .Penduduk Pangkalan Kerinci
Tahun
PA
PPDT
PPTL
1978
35 kk
-
-
1983
80 kk
80kk
-
1999
70 kk
300 kk
3808 kk
Sumber: Kantor desa dan Bathin M.Siddik.
Keterangan:
-PA = penduduk asli Pangkalan Kerinci.
-PPADT = Pendatang dari desa Tetangga.
-PPTL = Pendatang dari tempat lain.
Perbedaan jumlah penduduk tersebut disebabkan oleh pola migrasi ekonomi dan perkawinan. Sebelum relokasi Depsos, penduduk asli Pangkalan Kerinci pergi merantau ke kawasan hutan lain yang lebih lebat dan lebih subur dari kawasan hutan Bathin Kerinci. Akibatnya jumlah rumah tangga yang tertinggal hanya 35 rumah tangga saja.
Tetapi ketika program relokasi dilaksanakan Batin Kerinci M.Siddik memanggil kembali warga sukunya agar kembali dan menempati rumah-rumah yang disediakan oleh Depsos tersebut. Terkumpulah 80 rumah tangga Kerinci. 35 rumah tangga yang benar-benar berasal dari Pangkalan Kerinci 45 rumah tangga berasal dari pecahan dari keluarga luas dan penduduk Pangklan Kerinci yang merantau pulang Kembali. Dari 80 rumah tangga Kerinci tersebut, 5 rumah tangga keluar dari prorgram relokasi Depsos. Alasan keluar dari perumahan tersebut disebabkan ketatnya disiplin yang diterapkan pengawai dari Depsos tersebut.
6.4. Susunan Rumah Tangga
Rumah tangga penduduk Pangkalan Kerinci bercorak campuran, yaitu rumah tangga luas dan rumah tangga inti. Perkampungan penduduk yang tinggal pangkalan-pangkalan merupakan cerminan dari rumah tangga luas yang termodifikasi, atau rumah inti yang masih terikat dengan rumah tangga luas.
Pada rumah tangga luas biasanya diisi dua keluarga, keluarga ayah dan ibu beserta anak-anaknya yang belum menikah, dan satu keluarga anaknya yang juga terdiri dari ayah-ibu dan anak-anak yang biasanya masih kecil. Fungsi keluarga berjalan secara bersamaan pada keluarganya masing-masing. Dalam hal aktivitas produksi seperti berladang, meneres getah, berbalak dan aktivitas produksi lainnya dilakukan secara terpisah dengan perbedaan yang tegas. Keluarga ayah memiliki ladang sendiri, kebun getah sendiri, begitu juga dengan aktivitas produksi dari keluarga anaknya. Fungsi produksi berbeda namun sama konsumsi. Penghasilan kepala keluarga dari ayah dan penghasil kepala keluarga dari anak dikonsumsi secara bersama. Namun umumnya kontribusi terbesar dalam rumah tangga berasal dari kepala keluarga anak. Fungsi-fungsi lain, seperti fungsi anak dan isteri mempunyai fungsi yang bersamaan, bahkan nenek bagi anak ikut berperan sebagai pemelihara terhadap anak dari keluarga anaknya.
Pada keluarga inti susunan rumah tangga terdiri dari ayah, ibu dan rata-rata empat orang anak setiap rumah tangga. Kadang-kadan terdapat juga ibu atau bapak, adik dari suami atau isteri. Suami sebagai kepala rumah tangga dan bertangung jawab untuk mengadakan konsumsi rumah tangga. Istri menjalan fungsi-fungsi domestik, pekerjaan reproduksi, pemeliharaan tanaman dan membantu suami pada kegiatan-kegiatan yang tidak menggunakan tenaga yang banyak.
Begitu juga anak-anak, perkerjaannya ditentukan berdasarkan jenis kelamin. Bagi anak lelaki dewasa kegiatan produksinya sama dengan kegiatan ayahnya. Bagi anak perempuan akan melakukan pekerjaan yang bertujuan meringankan tugas ibunya. Kadang-kadang kerja domestik diserahkan seluruhnya pada anak perempuan. Total produksi merupakan milik keluarga, yang dikonsumsi secara bersama.
Anak merupakan sumber konsumsi massal. Tahapan-tahapan perkembangan anak memerlukan konsumsi yang besar, mulai dari upacara awal kehamilan, tujuh bulanan, kelahiran, gunting rambut, penyunatan, dan perkawinan biasanya mengeluarkan biasa massal, baik itu melalui penjualan aset yang ada maupun melalui pengutangan.
Konsumsi massal inilah yang menyebabkan ketergantung ekonomi kepada tauke semakin kuat. Biaya massal ini juga membuat penduduk merasa terlindungi oleh tauke. Tauke yang sebenarnya mencekik leher penduduk, di mata penduduk bagaikan malaikat penyelamat.
Status ekonomi menyebabkan adanya perbedaan fungsi ibu dalam rumah tangga. Pada keluarga miskin istri berfungsi total dalam ekonomi rumah tangga. Isteri ikut membantu suami melakukan pekerjaan tahunan, bulanan dan mingguan. Perkerjaan yang tidak dikerjakan isteri hanya menebang kayu, dan berbalak ke hutan, selain itu isteri berperan ganda, melaksanakan fungsi domestik dan fungsi ekonomi keluarga. Keadaan ini juga terjadi pada anak-anaknya, tidak terjadi perbedaan jenis kelamin. Tetapi pada rumah tangga yang mempunyai status ekonomi yang lebih baik (termasuk kaya di desa tersebut), isteri menjadi pajangan dalam rumah tangga. Isteri hampir tidak mengerjakan pekerjaan apapun, kecuali melayani suami secara seksual dan memelihara anak sampai remaja. Fungsi-fungsi domestik dan lainnya biasanya dikerjakan oleh pembantu.
7. Beban Perubahan
Appell (1985) dalam tulisannya “Biaya Perubahan Sosial” secara sistematik merumuskan 7 biaya perubahan social; 1) pembangunan menyebabkan perusakan. 2.Pergeseran aktivitas asli. 3. Kapasitas Adaptasi yang terbatas. 4. Gangguan fisiologi, psikologi dan prilaku. 5. Erosi system penunjang dan system penawaran. 6. Kerugian psikologis dan kompensasi. 7. Keadaan Gizi populasi. Biaya perubahan ini dapat secara jelas ditemukan di Pangkalan Kerinci berupakan perombakan system social, kepemilikan tanah dan terjadinya degradasi lingkungan fisik. Biaya-biaya perubahan diatas dapat disistimatiskan menjadi dua bentuk perubahan social pada masyarakat Pangkalan Kerinci.
7.1. Struktur Sosial dan Ekonomi
Perubahan struktur social dan ekonomi. Kedatangan industri dan pengambilalihan kepemilikan atas tanah ke Pangkalan Kerinci memiliki pengaruh perubahan yang sangat besar. Diantara perubahan tersebut adalah perubahan social yaitu beralihnya struktur tradisional dari system kebathinan menjadi system pemerintah negara. Posisi bathin diambil alih oleh negara melalui UU no 4 tahun 1975 dan UU no 5 tahun 1979 tentang pemerintah daerah dan pemerintahan desa. Struktur social tradisional memberi hak otoritas penguasaan politik dan ekonomi kepada bathin yang berasal dari Suku Lalang sebagai suku penguasa hak ulayat Pangakalan Kerinci.
Setelah kehadiran negara melalui relokasi Dinas Sosial hak istimewa yang dimiliki suku Lalang berangsur pudar digantikan oleh negara yang diwakili oleh pendatang. Setelah status desa muda berubah menjadi status desa penuh, kepala desa aterpilih selalau berasal dari pendatang karena jumlah suara lebih banyak pendatang, sementara hak adat yang dimiliki bathin tidak diakui. Penghapusan hak istimewa suku Lalang benar-benar terealisasi setelah negara menyerahkan hak atas tanah ulayat suku Lalang kepada perkebunan sawit dan pabrik bubur kertas.
Perubahan tersebut tentu saja merubah ekologi dan demografi pedesaan ke ekologi perkotaan (Pelly 1996 ; Embong 1996). Ekologi agraris ke ekologi urban, padatnya jumlah penduduk dan masuknya ekonomi pasar secara meluas. Ekologi pedesaan dengan system social yang ketat, kekeluargaan dan komunal berubah menjadi ekologi perkotaan yang bersifat individualistis. Perubahan yang bisa dilihat secara nyata adalah perubahan system kepemilikan tanah dari hak milik komunal menjadi hal milik pribadi. Tanah yang semula hak ulayat berfungsi social kini menjadi hak milik pribadi berubah fungsi menjadi fungsi ekonomi. Sejak beroperasinya kebun sawit dan pabrik bubur kertas, tanah ulayat seluas 225.000 hektar yang tersisa untuk masyarakat tidak melebihi dari rata-rata 5 hektar.
Tabel dibawah ini menunjukkan proses perubahan Pangkalan Kerinci dari kumpulan Pangkalan hingga menjadi ibu kota Kabupaten Pelalawan.
Tabel 2. Data Perkembangan Status Pangkalan Kerinci
Tahun
Status Wilayah
sebelum tahun 1978
Pangkalan
1978
Desa Muda
1983
Desa
1987
Kantor Wilayah Kerja II
Pembantu Bupati
1999
Kecamatan
Ibu Kota Kab. Pelalawan
Data diolah dari lapangan
Temuan dilapangan menunjukkan bahwa hak komunal menjadi tumpang tindih dengan hak individu. Sebelum masuknya industri tidak dibenarkan selain suku lalang memiliki tanah ulayat tersebut, penjualan atas tanah harus atas persetujuan bathin sebagai kepala pemerintahan. Tetapi setelah tanah langka dan harga tinggi setiap individu bisa dengan mudah mengklaim kepemilikan tanah. Fakta menarik atas hilangnya fungsi social atas tanah adalah masyarakat terpaksa meminta kepada perusahaan PT RAPP untuk tanah kuburan, sebab masyarakat sudah tidak bisa lagi menyediakan tanah kuburan.
Kehilangan fungsi social tanah berdampak pada pola pekerjaan masyarakat. Sebelumnya masyarakat sangat tergantung pada hutan-tanah untuk produksi. Hutan bagi penduduk lokal bukan hanya tempat berladang berpindah-pindah atau berkebun tanaman keras, tetapi juga merupakan sumber penghasilan tambahan seebagai penopang utama ekonomi keluarga (Ever 1989). Di hutan tersedia kayu, rotan, damar, sumber ketahanan pangan baik hewani maupun nabati, sumber penghasil madu dan lain-lainya. Ketika hutan dan tanah tidak tersedia lagi tentu masyarakat tidak mungkin harus bertahan dengan tradisi pertanian tradisional. Sebab kehadiran industri dan perkotaan mendatangkan pekerjaan baru mulai dari perkantoran, jasa harian dan usaha informal lainnya. Masyarakat diajak masuk kepada system ekonomi global melalui pasar tenaga kerja untuk produksi massal.
Tabel 3. Data Pekerjaan dan Sumber Pendapat
Jenis Pendapatan (Pekerjaan
Jumlah Rumah Tangga
Sebelum ada Industri
Setelah ada Industri
Ladang
27
2
Karet
27
-
Balak
20
-
Nelayan
27
2
Tidak Bekerja
3
2
Sewa rumah
-
20
Kebun sawit
-
10
Buruh Harian
-
4
Sopir truk
-
1
Sopir oplet
-
1
Penarik Becak Motor
-
1
Buruh Sawamil
-
1
Pegawai Swasta (PT RAPP)
-
1
Dagang
-
1
N = 30 rumah tangga
Data diolah dari lapangan
Data tersebut mendiskripkan bahwa terjadi peralihan sumber pendapatan dan pekerjaan, yaitu dari tradisi pertanian ke jasa dan perkebunan untuk pasar global yaitu sewa rumah sebagai penampung tenaga kerja pendatang di pabrik. Hanya 2 rumah tangga yang bertahan disektor pertanian yaitu ladang dan nelayan. Ke dua rumah tangga ini menjalankan usaha ladang sekaligus nelayan di pinggiran sungai Kampar dari sisa tanah yang belum diambil oleh industri dan belum juga dijual oleh masyarakat. 20 rumah tangga memabungun rumah sewa dari tanah perkarangan dari tanah hasil pembagian program relokasi Departemen Sosial. Data ini juga melihat berkembangnya jenis pekerjan dari 5 jenis pekerjaan menjadi 11, atau bertambah 7 jenis pekerjaan baru.
Perubahan ekologis ini diikuti oleh perubahan demografi. Perubahan ini disebabkan terjadinya imigrasi dari seluruh penjuru. Industri bubur kertas telah mengundang tenaga kerja yang berasal dari India, Amerika, Filipina, Eropa dan lainnya. Dilihat dari perubahan penduduk tahun 1978 jumlah rumah tangga hanya 35 rumah tangga, jumlah ini meningkat menjadi 160 rumah tangga di tahun 1983. Tahun 1999 jumlah rumah tangga melonjak menjadi 4178 rumah tangga dan hanya 70 rumah tangga penduduk asli Pangkalan Kerinci atau sekitar 1,84 persen dari keseluruhan rumah tangga di Pangkalan Kerinci.
Graf 1. Kompisisi Penduduk Pangkalan Kerinci Tahun 1999
Keterangan:
PA = Penduduk Asli; PPADT = Penduduk Asli dari des tetangga;
PPTL = Penduduk Pendatang Tempat Lain
Perubahan demokratis ini mempunyai implikasi pada perubahan politik dan kekuasaan. Walaupun sumber perubahan politik dan kekuasaan tradisional adalah penetrasi negara penerapan UU No 5 tahun 1974 dan UU no 4 tahun 1979. Kedua UU ini menerapkan system demokrasi dalam pemilihan kepala desa, sehingga posisi sebagai masyarakat minoritas menyebabkan keputusan politik berada ditangan mayoritas. Terbukti sejak tahun 1983 kepala desa dijabat oleh pendatang, hak kebathinan suku lalang tidak lagi mempunyai pengaruh pada masyarakat.
7.2. Perubahan Rumah Tangga
Struktur rumah tangga tradisional Pangkalan Kerinci bersifat campuran, yaitu rumah tangga luas yang berpusat pada rumah tangga inti. Satu famili memiliki satu pangkalan. Pada setiap pangkalan tersebut terdapat rumah tangga inti ibu-bapak yang dikelilingi rumah tangga inti anak-anaknya. Setiap pangkalan mencerminkan sebuah keluarga besar, terdiri berberapa rumah dengan rumah tangga ibu-bapanya sebagai pusat.
Selain itu berlaku juga sistem rumah tangga luas pada rumah tangga ibu-bapanya, yang khususnya ditujukan kepada pasangan baru menikah. Telah menjadi hukum tidak tertulis bahwa pasangan yang baru menikah tetap tinggal di rumah orang tua perempuan sampai pasangan baru ini bisa membangun rumah yang tidak jauh dari rumah ibu-bapanya. Ibu-bapanya merupakan sumber konsumsi utama bagi rumah tangga baru ini. Bahwa pasangan baru ini bukan hanya tinggal di rumah ibu bapanya, tetapi juga mengkonsumsi hasil produksi dari ibu bapaknya. Ibu berperanan sebagai pekerja domestik untuk suami dan anak-anaknya serta untuk pasangan baru ini.
Dalam hal produksi pasangan baru ini hanya bersifat pelengkap ekonomi rumah tangga, fungsi pelengkap ini tidak berlaku untuk fungsi konsumsi. Bahkan untuk tahun pernikahan umumnya pasangan baru ini benar-benar difungsikan sebagai tenaga kerja rumah tangga ibu-bapanya. Jadi beban produksi bagi rumah tangga baru ini adalah jasa tenaga kerja. Setelah dianggap ibu-bapanya pasangan baru ini bisa mandiri barulah secara perlahan pasangan baru ini membentuk keluarga inti yang areanya tidak begitu jauh dari rumah ibu-bapanya.
Pembagian kerja dan fungsi dalam rumah tangga sesuai dengan fungsi dan pembagian kerja rumah tangga tradisional. Suami bekerja di luar area domestik, sementara isteri sebagai pekerja domestik dan pendidikan anak. Anak lelaki bertindak sebagai pekerja tanpa bayar, begitu juga anak perempuan sebagai pekerja domestik di rumah. Fungsi anak sebagai pekerja tanpa bayar dalam rumah tangga berlanjut sampai kedua orangnya meninggal dunia.
Fokus pekerjan perempuan berada pada pekerjaan mingguan ini, pengadaan sayur-sayuran di ladang atau perkarangan, memancing ikan, mencari makanan tambahan di hutan berupa sayur-sayuran dan buah-buahan hutan. Pekerjaan utama perempuan adalah aktivitas domestik meliputi reproduksi makanan, pemelihaan anak, melayani suami, reproduksi tenaga kerja dan kerajinan tangan. Bagi lelaki pekerjaan mingguan ini hanya dilakukan untuk mencari hasil hutan seperti rotan, damar, berburu dan lain-lainnya. Selain dari pekerjaan tersebut adalah tabu bagi lelaki mengerjakannya.
Aktivitas penangkapan ikan tidak selalu menjadi sumber konsumsi harian atau mingguan. Selain sebagai sumber konsumsi harian dan mingguan ikan juga merupakan sumber konsumsi tahunan (musiman). Jika musim kemarau tiba aktivitas mencari ikan merupakan aktivitas suku yang dilakukan oleh lelaki. Masing-masing suku berbagi lubuk untuk menuba ikan dengan akar kayu tuba. Hasil tangkapan merupakan produksi suku yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Pembagian hasilnya dilakukan secara merata dan adil.
Selain memegang peran domestik perempuan rumah tangga juga mengolah padi, meneres karet, menebang kayu, menebas belukar bahkan menjadi buruh tani untuk menopang ekonomi keluarga. Selain menjalankan fungsi sosialnya sebagai perempuan, dia juga harus menghidupi rumah tangga. (An Stoler, 1984). Berbeda dengan perempuan desa yang rumah tangganya mampu, beban kerja tidaklah begitu besar. Perempuan diposisikan sebagai ibu rumah tangga yang bertugas melayani suami dan memelihara anak-anak.
Domestikasi tersebut merupakan norma sosial yang berlaku dalam komunitas sosial pedesaan. Isteri yang hanya di rumah saja menjadi simbol status sosial dalam komunitas desa. Pada masyarakat Melayu pedesaan suami akan mendapat status sosial yang terhormat apabila mampu membiarkan isterinya hanya di rumah saja, sebab hanya orang yang mampu saja yang bisa bertindak seperti itu. (Rawa, 1997)
Pengkalan Kerinci menganut sistem matrilinial. Dimana suku diturunkan kepada anak dari anak perempuan. Perempuan suku Lalang menikah maka anak yang dilahirkan akan menjadi warga suku Lalang. Tetapi anak dari lelaki suku Lalang akan mengikut suku ibunya. Hubungan sosial dalam rumah tangga, sesama rumah tangga, sesama suku dan kebathinan lebih bercorak pada budaya Melayu. Sistem ini diterapkan di Pangkalan Kerinci hanya terbatas pada identias suku dan pembagian harta suku. Semua anak yang lahir jelas mengikuti suku ibunya, tetapi fungsi paman tidaklah menonjol sebagaimana di Minang, begitu juga sistem perkawinan. Paman tidak bertangung jawab terhadap ponakan, problem dalam keluarga sepenuhnya menjadi tangung jawab ayah dan ibunya. Dalam hal perkawinan yang melamar dan menghantar mas kawin adalah dari pihak lelaki, tidak dari pihak perempuan sebagaimana sistem perkawinan di sebahagian besar suku minang. Begitu juga wanita disyaratkan untuk mengikut kepada pihak lelaki.
Setelah pemerintah memindahkan penduduk dari Pangkalan-Pangkalan yang ada tahun 1983, konsep keluarga luas mulai renggang karena konsep pangkalan tidak diberlakukan pada perumahan baru dari relokasi Depsos ini. Maka penduduk yang tetap ingin mempertahankan system keluarga luas keluar dari daerah perumahan relokasi dan kembali ke tempat semula, rumah dan tanah yang diberikan mereka jual, yang sekarang masih tersisa di Simpang Muaro.
Kehadiran perkebunan sawit merubah desa Pangkan Kerinci menjadi semi desa sebagaiman konsep Hans Dieter Ever. Tumbuhnya sektor perkotaan melalui pertumbuhan pasar, mulai dari pasar mingguan berubah menjadi pasar harian yang permanen dan menjual berbagai produk barang. Berfungsinya pasar yang dibuat pemerintah yang semula berfungsi sebagai pasar kebutuhan harian. Pangkalan Kerinci berubah menjadi kota kecil setelah dibangunnya industri bubur kertas PT RAPP. PT RAPP membawa ribuan pekerja pabrik dan membangun perumahan dikawasan yang terpisah dari masyarakat. Pangkalan Kerinci benar-benar menjadi ibu kota kabupaten setelah disahkannya pembentukan Kabupaten Pelalawan tahun 1999 dengan ibu kota Pangkalan Kerinci.
Bersamaan dengan itu terjadi juga perubahan dalam struktur rumah tangga. Rumah tangga luas tidak lagi ditemui di Pangkalan Kerinci. Konsep rumah tangga luas tradisional sudah berubah ke rumah tangga inti. Begitu juga pengelompakan rumah tangga inti yang berpusat pada rumah ibu-bapanya juga tidak ditemui. Hubungan kekerabatan hanya terjadi melalui hubungan keluarga (famili), antar rumah tangga dalam satu keluarga tidak lagi berdekatan tetapi sudah terpencar.
Perubahan struktur rumah tangga luas ke rumah tangga inti ikut mempengaruhi pola konsumsi dan produksi serta pembagian kerja dalam rumah tangga. Konsumsi bersumber dari produksi rumah tangga sendiri, dalam hubungan dengan ibu-bapanya anak mensubsidi ibu bapaknya berupa uang. Tedapat 2 rumah tangga yang secara rutin mensubsidi rumah tangga ibu-bapakya setiap bulan yang tinggal pada rumah tangga yang terpisah. Yang belum berubah dalam hal fungsi anak yang belum menikah sebagai pekerja rumah tangga tanpa bayar bagi rumah tangga yang tetap disektor pertanian atau mempunyai usaha sendiri dimana anaknya bekerja pada bapaknya. Tetapi pada rumah tangga yang yang anak-anaknya bekerja pada orang lain, anak tetap mempunyai otoritas mengelola penghasilannya dan mensubsidi ibu-bapanya sesuai dengan keinginannya.
Perubahan juga terjadi pada peran perempuan dalam rumah tangga. Kehilangan pekerjaan skuder ini menyebab perempuan secara otomatis pulang ke rumah. Para suami yang pendapatnya meningkat tetapi masih berpaham pada nilai pertanian mengembalikan para isteri mereka pada nilai status sosial. Dimana para isteri yang bekerja dianggap sebagai cerminan ketidak mampuan lelaki dalam menghidupi keluarga. Ketika para suami mampu menghidupi rumah tangganya dengan menjual tanah, berkebun dan sumber ekonomi baru lainnya, isteri diletakkan kembali kepada posisi status sosial.
Dari 30 rumah tangga yang diteliti 10 rumah tangga yang berpenghasilan lebih dari 15 juta pertahun para isteri dan suami merasa bangga kalau isterinya tidak bekerja. Begitu juga para isteri merasa senang kalau dirinya tidak lagi bekerja. Memang pada keluarga yang pendapatannya kurang dari 10 juta keinginan istri bekerja cukup besar. Tetapi mereka merasa sangat sadar bahwa kini peluang kerja tidak sesuai dengan mereka.
Data berikut mampu menjelaskan aktivitas perempuan di Pankalan Kerinci.
Tabel 4. Alasan tidak bekerja di Perusahaan
Uraian
Jumlah
Tidak bisa / tidak cocok
26
Tidak ada jawaban
4
Bekerja di Kebun
2
Tabel diatas dengan jelas menegaskan kesadaran perempuan di kawasan industri peluang kerja yang tersedia bukan untuk mereka. Faktor utama adalah pendidikan dan keterampilan yang mereka miliki. Konsepsi pemikiran mereka tentang fungsi perempuan masih sangat dominan. Terutama konsepsi bahwa bekerja adalah haknya lelaki, sebagai kepala rumah tangga.
Walaupun demikian telah terjadi perubahan konsep bekerja bagi para isteri, seperti dijelaskan tabel berikut;
Tabel .5. Pekerjaan Isteri
Uraian
Jumlah
Tidak Bekerja
30
Bekerja sambilan
0
Bekerja
0
Data tersebut mengambarkan perubahan persepsi perempuan terhadap pekerjaan. Kesemua responden menyatakan tidak bekerja. Jika ditanya pekerjaan mereka sebelum masuknya industri, umumnya mereka menjawab bertani. Tetapi karena pertanian tidak tersedia lagi mereka menyatakan diri tidak bekerja. Alasan mereka menyatakan diri tidak bekerja adalah karena bekerja menurut mereka adalah adanya penghasilan yang mereka terima dan bisa dikelola sendiri. Karena mereka tidak punya penghasilan, maka meskipun mereka bekerja membantu suami di kebun, mengurus rumah tangga toh mereka tetap menyatakan diri tidak bekerja. Padahal kalau dilihat data aktiiftias isteri rumah mereka cenderung mempunyai aktifitas tambahan seperti berdagangan kecil-kecilan, dan membantu suami di kebun. Sebagaimana data pada tabel berikut;
Tabel 6. Aktifitas isteri di Rumah
Uraian
Jumlah
Urus rumah tangga
30
Bantu Suami di Kebun
10
Berdagang
2
Ikut bekerja di ladang
2
Ikut arisan
6
Data ini mengambarkan bahwa jumlah isteri yang terlibat dalam aktivitas ekonomi semakin berkurang. Ke seluruh istri menyatakan bekerja di rumah, hanya 14 orang yang ikut membantu kerja di kebun, ladang dan berdagang, dan hanya 6 saja yang menghabiskan waktunya dengan mengikuti arisan. Arisan ini sendiri merupakan tradisi baru di kalangan perempuan agraris, sebelumnya tidak dikenal dalam perempuan agraris, tradisi ini baru ada setelah kedatangan industri setelah bertambahnya istri birokrasi. Enam isteri yang ikut arisan ini cenderung lebih tinggi pendapatannya.
Salah satu segi positif kehadiran industri adalah adanya kesadaran untuk perbaikan pendidikan pada anak. Setiap rumah tangga sangat mendukung anak-anaknya sekolah dengan tidak memandang seks. Jadi semua anak akan disekolahkan sesuai dengan kemampuan ekonomi rumah tangga.
Tabel 7. Keinginan Menyekolahkan Anak Perempuan
Jenis Sekolah
Jumlah
Tidak ingin Menyekolahkan anak
3
Sekolah sampai SMU
19
Sekolah sampai Universitas
8
Data ini mengambarkan telah terjadi perubahan wacana pemikiran pada ibu rumah tangga di Pangkalan Kerinci. Pendidikan sudah dianggap akan menuju perbaikan bagi rumah tangga. Semua ibu-ibu yang menginginkan anak-anaknya sekolah semuanya dengan alasan untuk perbaikan hidup dimasa depan. Sementara alasan para ibu-ibu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke SMU saja dengan alasan tidak tersedianya dana untuk membiayai anak-anak mereka sekolah. Tiga keluarga yang tidak bersedia menyekolahkan anak-anaknya juga disebabkan oleh faktor ekonomi. Mereka benar-benar menyadari bahwa untuk biaya kehidupan sehari-hari saja ekonomi mereka tidak cukup. Ketidak mampuan ekonomi itu memaksa mereka mengurungkan niat untuk menyekolahkan anak mereka.
Dalam hal perubahan produksi dan konsumsi, jika dilihat dari pola produksi dan konsumsi ditemui pergeseran sumber pendapatan yang sangat berarti, yaitu pertama, perubahan pendapatan tahunan dari ladang berpindah-pindah berubah menjadi pekerubanan sawit dan kepemilikan rumah sewa, termasuk juga menjalankan perdagangan. Terjadi juga perubahan pola konsumsi dari sepanjang tahun dan konsumsi sosial ke biaya sekolah anak. Sementara produksi bulanan yang dulunya bersumber dari getah karet dan membalak tidak lagi dijumpai aktivitas serupa, yang ada hanya usaha bidang kayu sawmill.
Produksi yang paling berkembang adalah produksi harian yang bertujuan untuk konsumsi harian, sumber pendapatan dari produksi harian adalah nelayanhanya tiga keluarga, hasil hutan dan sungai tidak tersedia lagi digantikan oleh buruh harian di pasar atau bangunan, menyopir oplet dan truk serta membawa becak motor.
Kehadiran industri menyebabkan penambahan peluang pekerjaan. Perubahan sektor
agraris dari 90 persen tahun 1983-1990 menjadi tidak mencapai 10 persen ditahun 1999. Begitu juga dengan sektor nelayan. Ada dua usaha baru yang berkembang yaitu rumah sewa dan kebun sawit serta buruh angkut.
Akibatnya pola konsumsi didominasi oleh konsumsi harian. Subsidi sosial yang berbasis komunitas seperti ikan, pohon Sialang yang menghasilkan madu, hutan obat-obatan dan pembagian tanah dari adat tidak tersedia lagi. Biaya sosial dibebankan kepada perusahaan dan pemerintah. Bahkan untuk tanah kuburanpun dibebankan ke perusahaan.
Tabel. 8.Pembelanjaan Uang
Jenis Pembelanjaan
Jumlah Keluarga
Biaya sekolah anak
13
Biaya sehari-hari
30
Tidak cukup
2
Ditabung
5
Jumlah Responden 30 Keluarga
Dua keluarga yang menyatakan tidak cukup tersebut merupakan rumah tangga yang sudah berusia lebih dari 60 tahun dimana biaya hidupnya disubsidi oleh anak-anaknya. 17 rumah tangga yang tidak membiaya anak-anaknya karena anak-anaknya sudah tamat sekolah menengah umum tetapi belum bekerja dan sekita 5 rumah tangga merupakan keluarga miskin. Sedangkan 5 rumah tangga yang menabung merupakan hasil dari penjualan tanah atau kebun atau ganti rugi dari perusahaan.
Tabel.9. Pembelanjaan dalam Rumah Tangga
Pola Belanja
Jumlah keluarga
Jenis Pembelanjaan
Tahunan
13
Biaya sekolah anak , bangun rumah, pakaian
Bulanan
-
-
Harian/mingguan
30
Kebutuha dasar
Data ini menujukkan bahwa pembelanjaan bulanan tidak lagi terjadi pada rumah tangga Pangkalan Kerinci, biaya tahunan hanya digunakan untuk biaya anak sekolah dan pembangunan rumah serta acara adat yang ditanggung sepenuhnya oleh rumah tangga. Dominan pembelanjaan adalah belanja harian dan mingguan. Belanja mingguan hanya terjadi pada keluarga yang mampu untuk belanja beras dan minyak. Sedangkan kecenderungan mereka belanja harian untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup.
Tabel 10. Pendapatan setahun
Nilai Pendapatan (Rupiah)
Jumlah Rumah Tangga
Sebelum ada Industri
Setelah ada Industri
500.000 - 1.500.000.-
29 Rumah Tangga
1 rumah tangga
1.600.000 - 3.000.000.-
1 Rumah Tangga
3.100.000- 6.000.000,-
-
3 rumah tangga
6.100.000 – 12.000.000,-
-
8 rumah tangga
12.100.000- 20.000.000.-
-
9 rumah tangga
20.100.000- 30.000.000,-
-
5 rumah tangga
30.100.000- 49.000.000,-
-
4 rumah tangga
N = 30 rumah tangga
Perhitungan nilai pendapatan diatas berdasarkan jumlah produksi yang dinilai dengan uang pada saat itu. Penghasilan padi sebelum masuk industri dihitung berdasarkan nilai pada waktu itu 1 liter beras seharga Rp.50,-. Begitu juga penghasilan setelah masuknya industri juga berdasarkan nilai pada saat sekarang, 1 liter beras seharga Rp.3000,-. Sementara terdapat perbedaan nilai uang pada masa sebelum masukknya industri dengan setelah masuknya industri. Sebagai contoh minyak tanah satu liter pada tahun 1983 adalah Rp.25 rupiah. Pada tahun 1999 harga minyak tanah 1 liter adalah Rp.750,-. Maka jika dilihat dari nilai uang tahun 1983 dengan nilai uang tahun 1999 nilai penghasilan tersebut mempunyai nilai yang sama. Apalagi setelah masuknya industri semua kebutuhan harian harus memakai uang.
Dilihat dari rata-rata penghasilan beras dalam setahun 16000 kilo atau 16 ton, maka dengan melihat rata-rata penghasilan setelah masuk industri penghasilan rata-rata adalah Rp.20.000.000,-. Jika nilai 20.000.000,- dibagi dengan harga besar sekarang Rp. 3000, maka jika dikonversikan dengan beras nilai Rp.20.000.000,- hanya menghasilkan 6667 ton beras, atau lebih rendah sebesar 7333 (45%) dari pendapatan sebelum masuknya industri. Padahal jumlah pendapatan sebelum masuknya industri tersebut tidak termasuk pendapatan harian. Dengan perbandingan diatas tentu sangat mengkhawatirkan ketahanan pangan terhadap 1 rumah tangga yang tetap bertahan ladang dengan penghasilan Rp.800.000,- pertahun, atau Rp.66.000,- per bulan.
Terjadi perubahan persepsi terhadap sumber pendapatan, sebelum masukknya industri persepsi sumber pendapatan adalah penghasilan tahunan yaitu padi ladang. Hanya tiga orang yang memasukkan menangkap ikan sebagai sumber pendapatan. Sementara sumber pendapatan bulanan, mingguan dan harian tidak disebut pendapatan karena pendapatan bulanan dan minguan dan harian habis begitu penghasilan ini diperoleh. Pendapatan bulanan biasanya digunakan untuk membayar hutang sebulan sebelumnya, sedangkan pendapatan minguaan dan harian langsung habis saat itu juga. Problem lain adalah pendapatan bulanan, mingguan dan harian tersebut dianggap sebagai pendapatan tambahan, sedangkan kebutuhan utama yang harus ada dalam keluarga adalah beras atau nasi. Oleh sebab itu yang penting bagi mereka ada beras dan ada kepercayaan dari tauke untuk menghutang keperluan sehari-hari. Bagi mereka terpenuhi kebutuhan beras dalam setahun, hidup mereka akan lapang (senang, mudah). Apalagi kebutuhan gula dan garam bisa mereka peroleh tanpa harus memerlukan uang atau memerlukan pendapatan mingguan dan harian.
Terdapat 3 rumah tangga yang penghasilanya melebihi 30 juta rupiah pertahun dan 1 rumah tangga penghasilannya mencapai 49 juta rupiah pertahun. Setelah ditelusuri lebih mendalam penghasilan tersebut diperoleh dari penjualan hasil tanah. 1 rumah tangga yang berpengahsilan dibawah 1,5 juta rupiah merupakan rumah tangga yang tetap mempertahankan pertanian secara tradisional.
8. Respon dan Strategi Rumah Tangga
Respon rumah tangga terhadap perubahan dapat dilihat pada table berikut:
Tabel 11. Pandangan Masyarakat Terhadap Kehadiran Industri
Negatif
Jumlah
Positif
Jumlah
Tanah tidak diganti
2
Bisa Dagang
5
Harga mahal
30
Pengingkatan Penghasilan
25
Hutan habis dan berdebu
30
Bisa kerja di perusahaan
3
Banyak Pendatang
25
Mudah menjual hasil kebun
2
Data tersebut mengambarkan bahwa semua kelompok social asli Pangkalan Kerinci mengikuti perubahan sesuai dengan kapastias social dan ekonominya. Kapasitas social dan ekonominya ini mempengaruhi corak perubahan pada masing-masing keluarga. Pada rumah tangga miskin cenderung bertahan dengan produksi lama, tetapi tetap ingin melakukan perubahan pola produksi, dimana sektor pertanian tidak lagi menjadi adalan produksi. Pada keluarga yang mampu secara ekonomi, pendidikan akan lebih cepat memanfaatkan peluang perubahan yang ada. Sementara kemampuan beradaptasi pada perubahan klas social menyebabkan terjadi peralihan status kelas social dan ekonomi rumah tangga desa.
Pandangan diatas mencerminkan respon, yaitu positif dan negatif. Pandangan negatif merujuk kepada rendahnya daya beli masyarakat terhadap kebutuhan pokok (basic need). Dimana ke 30 rumah tangga yang berasal dari tingkat pendapatan yang berbeda menyatakan harga mahal. Begitu juga habis hutan dan berdebu, semasa penelitian dilapangan kondisi jalan masih tanah sementara lalu-lintas mobil sangat padat sehingga udara di Pangkalan Kerinci sangat berdebu. Kondisi ini jauh berbeda setelah tahun 2001 dimana semua jalan sudah diaspal dan sudah tidak berdebu. Keluhan pada pendatang dari 25 rumah tangga disebabkan perbedaan budaya yang sangat menyolok antara pendatang dan penduduk asli.
Sementara pandangan positif merujuk kepada aktivitas ekonomi yang dilakukan penduduk. 5 rumah tangga menyatakan bisa berdagang, 3 menyatakan bisa bekerja di perusahaan merupakan keluarga dari bathin dan keluarga berpendidikan serta pernah merantau. 2 menyatakan mudah menjual hasil kebun mengacu kepada aktivitas ekonomi rumah tangga. 25 rumah tangga merespon sangat positif kehadiran industri ini karena bisa meningkatkan penghasilan. Penghasilan yang dimaksud adalah kuantitas uang yang diperoleh dalam sehari, bukan peningkatan kemampuan konsumsi dan tabungan (saving). Persepsi yang sangat bertolak belakang sebelum masuknya industri yang tidak mempunyai ketergantungan pada uang.
Berikut pandangan penduduk tentang peluang usaha yang muncul akibat industri, sebagiaman yang digambarkan oleh table berikut:
Tabel 12. Peluang usaha yang muncul
Jenis Usaha
Jumlah Rumah Tangga
Dagang
19
Jasa Angkutan
2
Sewa Rumah
4
Jual kayu
1
Tidak tahu
4
Terjadi perubahan orientasi pekerjaan atau sumber pendapatan rumah tangga, jika sebelum masuknya industri pekerjaan dan sumber penghasilan mereka adalah pertanian. Tetapi tidak satupun yang merujuk sektor pertanian sebagai peluang usaha yang akan muncul. Bahkan mayoritas rumah tangga menyebut berdagang sebagai pekerjaan yang baik yaitu 19 rumah tangga. Hanya ada 1 rumah tangga yang masih mengandalkan hutan yaitu menjual kayu, 2 jasa anggkutan dan 4 sewa rumah. Terdapat 4 rumah tangga yang belum mengerti apa peluang usaha yang akan muncul akibat adanya industri.
Peluang usaha yang muncul akibat industri tidak ingin dimanfaatkan oleh masyarakat, terbukti dari peluang usaha yang muncul diatas ternyata bertolak belakang dengan jenis usaha yang diinginkan rumah tangga. 12 rumah tangga menginginkan kebun sawit yaitu sektor agraris yang berbasis global. Keinginan ini tentu saja berdasarkan kepada kecenderungan perkembangan kebun sawit dan pasar yang makin luas. Umumnya mereka yang menginignkan kebun sawit ini adalah mereka yang menolak atau menjual kebun sawit pemberian perusahaan kebun sawit pada awal tahun 90-an. Setelah melihat keuntungan yang didapat pemilik kebun sawit merekapun menginginkan perusahaan dan pemerintah memberi kebun sawit kepada mereka. Keinginan untuk mendapatkan kebun sawit ini sudah menjadi sebuah gerakan dengan beberapa kali mengadakan demonstrasi ke pemerintah untuk diberikan kebun sawit. Selain sawit terdapat 3 rumah tangga lagi yang ingin bergerak disektor pertanian yaitu 2 bidang pertanian dan 1 berternak ayam.
Di peluang usaha yang muncul 19 rumah tangga menggemukakan dagang merupakan peluang usaha, tetapi dari usaha yang diinginkan hanya 5 rumah tangga yang konsisten hanya 5 rumah tangga yang melihat peluang usaha rumah sewa dan menginginkan rumah sewa sebagai usaha. 2 yang ingin bengkel yaitu 1 bengkel mobil dan 1 bengkel motor. 2 rumah tangga tidak tahu apa yang harus mereka kerjakan.
Tabel. 13. Jenis usaha yang diinginkan
Jenis Usaha
Jumlah Rumah Tangga
Kebun sawit
12
Bengkel Mobil
1
Dagang kebutuhan pokok
5
Bengkel Motor
1
Rumah Sewa
5
Ternak Ayam
1
Oplet
1
Tani
2
Tidak tahu
2
Apakah dengan tersedianya jenis usaha baru dan keinginan usaha yang ingin dilakukan dilanjutkan dengan langkah-langkah untuk mendapatkannya? Ternyata ke 30 rumah tangga tidak mempunyai langkah-langkah untuk mewujudkan keinginannya tersebut. Ini terlihat 26 rumah tangga menyatakan bertahan dengan apa adanya, 1 rumah tangga menyesuaikan diri dengan keadaan apa adanya dan 3 rumah tangga belum tahu apa yang akan dilakukan. Ini berarti kesemua rumah tangga tersebut tanpa perencanaan kedepan sedikitpun. Hanya saja mereka tidak mempertahankan usaha sebelumnya karena tidak mungkin tetapi juga tidak merencanakan apa yang akan dilakukan berikutnya. Padahal dilihat dari perubahan sumber pendapatan dan usaha terjadi perubahan yang sangat berarti dari 100% bekerja di sektor pertanian tinggal 10% saja. Dilihat dari varibel pekerjaan dari bekerja di sektor pertanian dan nelayan menjadi 10 jenis pekerjaan, artinya masyarakat mengeluti 8 jenis usaha baru yang muncul akibat industri.
Fakta ini mengambarkan bahwa tekanan kebutuhan dasar rumah tangga secara otomatis mendesak kepada kepala rumah tangga untuk masuk ke sektor non agraris, walaupun dilevel buruh, pekerja kasar ataupun buruh lepas harian. Namun demikian secara sistematis mereka tidak mempunyai persiapan untuk menghadapai perubahan yang terjadi. Ini terlihat dari table rencana kedepan dibawah ini, dimana tidak satupun rumah tangga yang punya rencana. 26 rumah tangga bertahan dengan apa adanya yang pada mereka. Ini artinya akan terjadi maksimum produksi dan menimum konsumsi. Semua kesempatan dan tenaga kerja rumah tanga dieksploitasi secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Bahkan 3 rumah tangga belum tahu apa yang akan diperbuat, penyataan ini bermakna sikap frustasi dalam menghadapi perubahan. 1 rumah tangga yang menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar, ini bermakna jika dia mampu menyesuaikan diri maka dia akan mengikuti irama perubahan, tetapi jika tidak mampu maka mereka akan pindah ketempat lain.
Tabel. 14. Rencana Kedepan
Aktivitas
Jumlah Rumah Tangga
Bertahan dengan apa yang ada
26
Menyesuiakan diri dengan keadaan sekitar
1
Belum tahu apa yang akan dilakukan
3
Untuk mempertahankan konsumsi rumah tangga, kepala rumah tangga melakukan perubahan sumber pendapatan dari berladang dan nelayan ke pekerjaan yang tersedia dan mampu mereka kerjakan serta memperoleh pemasukan tambahan lainnya. Mereka masuk ke 9 jenis usaha baru, yaitu kebun sawit, buruh harian, sopir truk atau buruh angkutan pada truk, sopir oplet, menarik beca, bekerja di sawmill, berdagang, karyawan perusahaan swasta dan bekerja sebagai pegawai rendahan di pemerintah. Selain itu, mereka mencari tambahan penghasilan melalui jasa rumah sewa, menjual sisa tanah atau kebun, broker tanah, dan mempolitisir kepentingan masyarakat asli ke perusahaan dan pemerintah.
Perubahan pola produksi (pendapatan) diikuti pula perubahan pola konsumsi, yaitu hilangnya konsumsi social dan konsumsi tahunan. Pola konsumsi yang tersisa adalah konsumsi harian, dan mingguan. Ada dua factor penyebab perubahan tersebut adalah pertama, hilangnya produksi tahunan berladang. Dulu ketersediaan konsumsi tahunan diperoleh melalui perladangan, bersamaan hilangnya perladangan maka persediaan konsumsi tahunan juga hilang.
Sementara pola konsumsi harian ini berkaitan dengan sumber pekerjaan dan pendapatan yang diperoleh secara harian, terutama pekerja buruh kasar harian. Hasil dari sewa rumah yang diambil secara tahunan, jual tanah atau bantuan dari perusahaan dibelanjakan untuk biaya anak sekolah. Pendapatan yang diperoleh melalui jual tanah atau ganti rugi dari perusahaan cenderung dikonsumsi secara konsumtif dalam bentuk belanja kendaraan bermotor atau mobil dan pergi ke tempat pelacuran.
Kesimpulan
Temuan penelitian ini menyimpulkan bahwa perubahan akibat kebijakan negara dan industri sawit dan bubur kertas telah menyebabkan terjadinya revolusi system social, ekonomi. Terbentuk system social baru, tatanan baru, politik baru, lingkungan social baru dan system produksi baru. Revolusi social dan ekonomi ini ditujukan untuk masyarakat baru bukan untuk masyarat asli Pangkalan Kerinci. Masyarakat asli Pangkalan Kerinci secara sistematis diasingkan untuk dihapus identitas aslinya melalui migrasi terencana pemerintah dan migrasi industri.
Pembangunan industri di Pangkalan Kerinci sehingga terbentuknya sebuah kota baru menjadi contoh pembangunan yang tidak berkelanjutan dan tidak melibatkan masyarakat asli. Sekaligus cermin KKN dari pemerintahan melalui pemberian legalisiasi industri yang mengabaikan hak-hak tradisional. Bupati Kampar waktu itu Saleh Djasid mengeluarkan surat bahwa tidak ada hak hutan tradisional. Surat itu dikeluarkan untuk meloloskan berdirinya kebun sawit dan pabrik bubur kertas (pulp and paper) diatas tanah hak tradisonal yaitu tanah ulayat suku Lalang.
Kehadiran industri membuat masyarakat Pangkalan Kerinci terpecah secara tatanan social, tatanan rumah tangga, dan hilanh sumber ekonomi tradisional tetapi tanpa disiapkan untuk masuk ke sumber ekonomi baru. Patron adat dan patron ekonomi dihapuskan untuk menghadirkan ekonomi pasar yang kejam. Maka hak milik atas rumah tangga dijual perlahan-lahan sehingga habis untuk membiaya konsumsi rumah tangga yang tidak lagi disubsidi oleh patronnya.
Revolusi social secara diam yang terjadi di Pangkalan Kerinci tidak ditanggapi melalui kekerasan atau pemberontakan oleh masyarakat. Seperti yang pernah dilakukan oleh kaum adat suku Lalang (Feodal) melakukan gugatan hukum dan demonstrasi saja yang kita sudah tidak terdengar lagi. Fakta ini menunjukkan bahwa teori pemberontakan petani Scott tidak berlaku di Pangkalan Kerinci, apalagi sikap subsisten yang mendahulukan selamat (safety first). Bahkan jika tidak mengikuti perubahan rumah tangga akan musnah, seperti yang terajdi pada 1 rumah tangga yang tetap bertahan sebagai peladang hanya mampu menghasilkan Rp.800.000,- pertahun atau Rp.67.000,- perbulan sementara untuk cukup konsumsi dasar minimal kebutuhan uang sebesar Rp. 800.000,- perbulan.
Alternatif lain yang sikemukan Scott yaitu penyelamatan diri yang diambil oleh sebahagian kecil petani karena memiliki patron baru juga tidak dijumpai di Pangkalan Kerinci. Kehadiran industri dan kota baru menyebabkan pembentukan individualisme yang cepat akibatnya tidak peluang bagi petani untuk mendapat patron baru. Patron baru terbentuk melalui pola hutang, tetapi pada system ekonomi pasar yang baru terbentuk menghapus pola hutang kebutuhan rumah tangga. Masyarakat tidak percaya pada negara, organisasi bahkan NGO sekalipun apalagi partai politik. Ketidak percayaan itu didasarkan atas sikap negara, organisasi social, NGO, Parpol dan pendatang yang mendapat keuntungan pada industri mengatasnamakan penduduk asli Pangkalan Kerinci.
Revoluasi pada masyarakat Asli Pangkalan Kerinci telah menyebabkan hilangnya andalan dalam bentuk patronase sebagaimana konsep Scott, begitu juga subsisidi ke masyarakat tidak sampai karena dikorupsi oleh aparat, juga tidak terjadi urbanisasi, tidak juga terjadi buruh tani. Secara umum mereka hanya melakukan kerja sisa dari masyarakat kota yaitu kerja buruh harian di pasar dan buruh angkut dari setiap truk yang tiba. Secara mandiri memanfaat semua peluang yang ada mulai dari membangun rumah sewa untuk memfasilitasi buruh yang datang ke Pangkalan Kerinci, membangun Bengkel, Menyedia jasa trasportasi melalui angkutan kota berupa oplet, beca motor dan angkutan barang. Secara social tetap memisahkan diri dengan pendatang.
Terjadi perubahan pemikiran ekonomi rumah tangga menunjukkan pergeseran pemikiran dari subsistem ke ekonomi pasar. Ini terlihat dari perubahan cara produksi melalui adaptasi pekerjaan dan sumber pendapatan. Rumah tangga mampu memodifikasi sarana persediaan terbatas menjadi indutri jasa berupa rumah sewa, dan pemanfaatan padatnya lalu-lintas manusia dengan menyediakan jasa transfortasi berupa oplet,ojek dan becak motor. Termasuk pemanfaatan kebun sawit hasil konpensasi dari pengambilan tanah oleh perusahaan kebun sawit. 20 rumah tangga memiliki rekening (account) bank di BRI sebagai tempat penyimpanan sementara uang sebelum dibelanjakan. Begitu juga hasil produksi yang bisa dijual langsung dijual dipasar tidak lagi memakai jasa tauke yang karena perubahan tidak lagi berlaku sistem tauke (tidak lagi berhutang).
Perubahan pemikiran ekonomi tersebut tidak mampu diaplikasikan secara utuh terutama dalam hal konsumsi. Hilangnya konsumsi tahunan yang menyebabkan ketergantungan sepenuhnya pada konsumsi harian dengan sumber produksi baru berakibat pola konsumsi dan produksi masih dalam lingkaran ekonomi subsisten. Sebab pendapatan yang diperoleh keluarga hanya mampu untuk biaya konsumsi harian dan konsumsi massal (untuk anak sekolah, dan pesta). Mereka tidak mampu memperbesar pendapatan karena memang memiliki keterbatas pengetahuan dan modal. Sementara negara tidak befungsi maksimal bahkan cederung memanipulasi hak-hak rakyat untuk kepentingan pribadi.
Hambatan masyarakat untuk mampu beradaptasi secara cepat dan baik terhadap perubahan, pemerintahan yang lambat menciptakan peluang pekermbangan bagi masyarakat asli Pangkalan Kerinci. Hambatan utama berasal dari tindakan KKN pegawai negara dari aparat desa hingga ke gubernur yang hanya mementingkan pengusaha dan pendatang yang punya uang, dimana Bupati Kampar (yang gubernur Riau sekarang) mengeluarkan surat menghapus hak tradisional masyarat dengan mengubuh hutan ulayat menjadi hutan negara. Percepatan perubahan tersebut akan terjadi jika pemerintah mempunyai perencanaan yang sistematis untuk masyarakat.
DAFTAR BACAAN
Arndt, HW. 1983, Pembangunan dan Pemerataan Indonensia di Masa Orde Baru, Jakarta: LP3ES.
Arief Budiman.1996. Toeri Negara. Negara. Kekuasaan dan Idiologi. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Adnan Abdullah. 1993. ‘Dampak Industri Terhadap Lingkungan Sosial Ekonomi Budaya’ Makalah Seminar. Industri Berwawasan Sekitaran. Pekanbaru. 18-20 Mei.
Alavi, Hamzah, 1973, ‘Peasant Classes and Primordial Loyalities, Jornal of Peasant Studies, Vol. 1 No. 1, October.
Amir Karanof , 1982, ‘Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok Masayakat Bawah’, Jakarta, in Mulyanto Sumardi & Hans Dieter Evers (ed). Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok, Jakarta : Raja Press.
Appelbaum. Richard P. 1970. Thoeries Of Social Change. Chicago: Markham Publishing Company.
Bappeda Tk I Riau. 1995. Kebijaksanaan Pembangunan sektor Kehutanan Dalam Repelita VI di Propinsi Riau. Makalah seminar Kehutanan 2-3 Oktober 1995 Pekanbaru.
Budy Tjahjati S Soegijoko. 1985. ‘Dampak Pembangunan Proyek Industri Besar Kasus Zona Industri Lhok Seumawe’. Prisma no. 12 .
Bernstein, Hendry, ‘Social Change in The South African Countryside? Land and Production, Poverty and Power’, Journal Of Peasant Studies, Vol 25, No 4 July.
Bergesen,Albert & Schoenberg, Ronald, “Long Waves Of Colonial Expansion and Contyaction” dalam Bergesen, A, (ed) 1980. Studies in Modern World System, NewYork: Academic Press.
Bates, Robert H, 1976, Rural Respon to Industrialization, New Haven and London : Yale University Press.
Bisuk Siahaan,1996, Industrialisasi di Indodnesia, Sejak Hutang Kehormatan Sampai Banting Stir. Jakarta : Pustaka Data.
Bertrand , Alvin L, Editor, 1958, Rural Sociology, An Analysis Of Contemporary Rural Life, New York : McGraw Book Company.
Bull, Cristopher & Daniel Peter, &Hopkinson, 1990, The Goegraphy of Rural Resorces, Conceptual Frameworks In Geography, Edinburg : Oliver& boyd.
Bahrein T Sugihen,1996 : Sosiologi Pedesaan, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Bryans S. Turner: (Editor) 1990, Theories of Modernity and Post Modernity, London. Newbury Park. New Delhi : Sage Publications.
Bruggger, Bill & Hannan, Kate, 1983, Modernization and Revolution, London & Canbera : Croom Helm.
Black, C.E. 1966, The Dynamic Of Modernization, New York, Evanstone dan London : Harper & Row Publishers.
Black, C.E. 1976, Comparative Modernization,London: The Free Press.
Blum, Jerome, 1960, The Eorupean Peasantry From Fifteenth to The Nineteenth Center, Washington: Service Centre For Teachers Of History.
Beames, Michael 1983, Peasant and Power, Sussex: The Harvest Press.
Binswanger, P Hans, & Evenson, E. Robert, & Florencio & White, (editor),1980, Rural Household in Asia, Singapore : Singapre University Press.
Connell, John & Dasqupta, Biplap & Laishey, Roy, & Lipton, Michael, 1976, Migration From Rural Areas, The Evidence From Village Studies, Delhi : Oxford Universiti Press.
Chadney. James G.. Social Economy Implication of The New Technologies in Punjab. The Eastern Anthropology. no 37: 3
Cody, John& Hugehes, Helen & Wali, David (editor), 1980, Policies for Industrial Progress in Develomping Countries, New York : Oxford University Press.
Cascardi J. Anthony, 1992 The Subject of Modernity, British : Cambridge University.
Chen, J. Peter,1980, ‘The Cultural Implication of industrialization and Modernization In south-east Asia’ dalam Evers, Hans Dieters, Sociology Of South-East Asia; Reading on Social Change and Development, Kuala Lumpur : Oxford Uni Bradley, University Press
Charling, Alan, 1992, “Rational Choice and Household Division” dalam Marsh, Catherine & Arber, Sara, 1992, Families and Household, Division and Change, England: Macmilan.
Crehan, Kate, 1992 “Rural Households : Making A Living” dalam Crow & Johnson, 1992 Rural Housholds, New York : Oxford University Press.
Constantio, Renato,1985, Synthetic Culture and Development, Philipina : Foundation For Nationalst Studies. INC.
Chitambar. J.B. 1973 : Introductiory Rural Sociology; A Synopsis Of Concept And Principles, New Yorl : John Wiley & Sons
Chayanov: A.V. 1966, The Theory Of Peasant Economy, Illonois : Homewood.
Claus, Wolfgang, 1982, Economics and Social Change among The Simalungun Batak Of North Sumatera, Sarbuken :Verlag Breitenbach Publisher.
Cockerham, William C, 1995, The Global Society : An Introduction to Sociology. New York: MCMgrow-Hill,Inc.
Croll, Elisabeth, 1987, ‘New Family Form in Rural China, Journal of Peasant Studies, Vol 14 No.4, July.
Das, Man Singh & Panos D Bardis, 1979, The Family in Asia, London : Goerge Allen & Unwin.
Departemen Kehutanan Kantor Wilayah Propinsi Riau. 1995. Polisi Pembangunan Kehutanan Propinsi Riau Pada Repelita VI Dalam Menyongsong Era Ekolabel tahun 2000. makalah seminar Kehutanan. 2-3 Oktober 1995 Pekanbaru.
Dumout, Rene, 1970 : Economy Types Of Rural; Studies In World Agriculture London : Methuen And Co. Ltd.
Desai. A.R, (Editor) 1971, Volume 1 dan 2, Essays on Modernization of Underdeveloped Societies. Bombai : Thacker & Co. Ltd.
Durkheim, Emile. 1964, The Division Of Labor in Society, New York : Free Press.
Evans, Grant, 1986, From Moral Economy to Remembered Village, Working Papers, on Centre of Southeast Asian Studies, Australia: Monash University.
Evers, Hans-Dieter, 1991 “Ekonomi Bayangan, Produksi Saradiri dan Sektor Informal, Ekonomi di Luar Jangkauan Pasar dan Negara” dalam Prisma nomor 5, Mei 1991. Jakarta : LP3ES,
Evers, Hans-Dieter, 1991, “Teori Pengeluaran Saradirisi dan Pengeluaran Tak Formal” dalam Jurnal Antropologi Sosiologi No.19, Bangi : UKM.
Evers, Hans-Dieter, & Clauss &Wong, Diana, ‘ Subsistent Reproduction a Framework for Analysis’ dalam Smith, Joan & Walllertein, Immanuel & Evers, Hans-Dieter,1984 Household And The World-Economy, London : Sage Publicatons.
Evers, Hans-Dieter, 1993, ‘Timbulnya Pedagang Pada Masyarakat Petani: Transmigrasi Jawa Kalimantan’, in Plac Utrich, Sosiologi Pertanian, Jakarta: Yayasan Obor.
Evers, Hans-Dieter, 1982, Urbanisasi Perkotaan, Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia, Jakaarta: LP3ES
Etzioni, Amitai & Eva, 1973, Social Change; Source, Patterns and Consequences, Edisi ke-2, New York : Basic Book, Inc.
Ellis, Frank, 1988, Peasant Economics, Farm Households and Agrarian Development, Cambridge : Cambridge University Press.
Ellis, Frank, 1998, Household Strategies and Rural Livehood Diversification, Jurnal of Development Studies, No.1 October , pp 1-33
Evans, Grant, 1986, From Moral Economy to Remembered Village, Working Papers, on Centre of Southeast Asian Studies, Australia: Monash University.
Forget, Evelyn L & Lobdell, Richard A, 1995, The Peasant in Economic Thought : ‘A Perfect Republic’ Aldershot UK : Edward Elgar.
Fisk, EK, 1978: The Adaptation Of Traditional Agriculture : Socio-economic Problem Of Urbanization, Development Studies Centre Monograph no 11. Canberra, The Australian National University.
Forum Keadilan, Majalah Dwi Mingguan no 8 tahun 1985 dan no 10,11,12, dan 13 tahun 1996.
Geertz. Clifford. 1970. Agricultural Involution. The Proses of Ecological Change In Indonesia. California: Universiti Of California Press.
Goetenboth. Frieddhelm.1992. Kerusakan Hutan dan Implikasinya bagi Kesinambungan Daya Dukung Lingkungan. Prima no.6 tahun XXI.
GEPERINDO.1992. Laporan Hasil Kunjungan GEPERINDO di Riau.29-31 Juli.
Giddens, Anthony, 1991, The Consequences Of Modernity, Cambridge : Polity Press.
Goode, J William, 1988, Keluarga (Terjemahan, Maso’od Abd. Rashid), Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.
Goerge Junus Aditjonro. 1994. ‘Dampak Industrialisasi Terhadap Lingkungan dan Upaya Warga Masyarakat dalam Menghadapinya’ dalam Johanes Maridin (ed.) Jangan Tangisi Tradisi; Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius
Gamst, Fredrick C. 1974, Peasant in Complex Society. New York : Holt, Rinehart And Winston, INC.
Goodman, David & Redclift, Michael. 1981. From Peasant to Proletarian. England : Basil Blacwell.
Ghee, Lim Teck, 1977, Peasants and Their Agricultural Economy In Colonial Malaya 1874-1941, Kuala Lumpur : Oxford University Press.
Hiramani. A.B. 1977. Social Change in Rural India (A Study Two Village In Maharashtra). New Delhi: B.R.Publishing Corporation
Indonesia.
Hoelscher. H.E. & Hawk.M.C, (editor) 1968: Industrialization and Development, San Francisco: San Francisco Press, Inc.
Hayami, L. 1978, Anatomy Of a Peasant Economy A Rice Village in the Philippines, Philipine : IRRI.
Hayami, Yujiro & Kikuchi, Masao, 1987, Dilema Ekonomi Desa, Suatu Pendekatan Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Hoogvelt, Ankei M.M., 1985, The Third World in Global Development London : Macmilan.
Hüsken, Frans, 1988, Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman : Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1080, Jakarta : Grasindo.
Hasim, Wan. 1984, Petani dan Persoalan Agraria : Kuala Lumpur : Fajar Bakti.
Hortog, Adel P. Den and Bornstein-Johansson, A. 1976, Social Science, Food, And Nutrition, in D.C.Pit, Development From Bellow: Anthropologist Development Situations, The Hague/Paris : Mouton.
Hunt Diana, 1979, ‘ Chayanonov’s Model of Peasant Houshold Resource Allocation’ Journal of Peasant Studies, Vol 6 No.3, April.
Kirkoatrick, C.H. Lee, N & Nixon F.I. 1984, Industrial Structure And Policy in Less Development Countries. London : Goerge Allen & Unwin.
Koentjaranigrat. 1993. Methoda-Methoda Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Kurya Roesad, 1995 “Perkembangan Pertanian di Indonesia” dalam Bantaro Bandoro & J. Kristiady & Mari Pangestu & Onny S Prijono (Penyunting) Refleksi Setegah Abad Kemerdekaan Indonesia. Jakarta : CSIS.
Kolb, John H & Brunner, Edmund deS, 1971, A Study of Rural Society (Edisi ke empat), USA : Greenwood Press, Publishers.
Kemp, Tom. 1983. Industrailization In The Non-Western World, London & New York : Longman.
Khal, A. Joseph, 1968, The Measurement Of Modernism, A Study of Values in Brazil and Mexico. Austin and London : The University of Texas Press.
Lamb, Richard, 1975, Metropolitan Impact on Rural America, (Reseach Paper) Illinois : Universiti Of Chicago.
Loekman Soetrisno. 1991. Pembangunan Nasional dan Budaya Lokal: Industrialisasi Kehutanan dan Sistem Pertanian Berladang di Indonesia. Studi Indonesia Universitas Terbuka Jakarta.
Landis, Paul H, 1948, Rural Life In Proces, New York : McGRAW-HILL BOOK COMPANY, INC.
Long, Norman, 1987, Sosiologi Pembangunan Pedesaan, Jakarta : Bina Aksara.
Loekman Soetrisno. 1993. Transformasi dari Masyarakat Agraris ke Masyarakat Industrial : Suatu Perspektif Sosiologis. Makalah seminar 26-28 Januari Pekanbaru.
Levy, Jr, Marion J, 1966, Modernization and The Structure of Societies: A Setting For International Affair, Princeton, New Jersey : Princeton University Press.
Lauer, Robert H, 1977, Perspectives On Social Change, edisi ke-2, Boston, London, Sydney, Toronto : Allyn and Bacon, Inc.
Lim Meng Seng,1973, Industrialisation and Development Countries, Kuala Lumpur: Modern Education Publishers.
Long, Norman, 1987, Sosiologi Pembangunan Pedesaan, Jakarta : Bina Aksara.
Lim Meng Seng,1973, Industrialisation and Development Countries, Modern Education Publishers, Kuala lumpur.
Levy, Jr, Marion J, 1966, Modernization and The Structure of Societies: A Setting For International Affair, Princeton, New Jersey : Princeton University Press.
Luke, Timothy W. 1990, Social Theory and Modernity; Critique, Dissent and Revolt, New Bury Park, London & New Delhi : Sage Publication.
Landsberger, Henry, A & Alexandrov, YU G. 1984 (terjemahan) Pergolakan dan Perubahan Petani. Jakarta : Rajawali Press.
Lauer, Robert H, 1977, Perspectives On Social Change, edisi ke-2, Boston, London, Sydney, Toronto : Allyn and Bacon, Inc.
McMichael, Philip, 1996, Development and Social Change; A Global Perspective. Californi: Pine Forge Press.
Muhammad Rawa El Amady, 1997, ‘Dampak Kehadiran Industri di Dusun Pertiwi Riau, Indonesia’ kertas Projek Sarjana Jabatan Antropologi dan Sosiologi UKM Malaysia.
Mohtar Mas’oed, 1989, Ekonomi dan Struktur Politik, Orde Baru 1966-1971, Jakarta : LP3ES.
Mubyarto. 1992. Riau Dalam Kancah Ekonomi Global. Yogyakarta: Aditya Media.
Mubyarto. 1993. Riau Menatap Masa Depan.Yogyakarta. Aditya Media
Mubyarto. 1992. Desa dan Perhutanan Sosial. Penelitian Antropologi di Prop. Jambi. Yogyakarta: P3PK UGM
Mering Ngo.1992 Hak Ulayat Masyarakat Setempat. Pelajaran dari Orang Kayan dan Limbai. Prima no 6.
Masri Singarimbun, 1978, “Pola Konsumsi Ke Arah Pemerataan” dalam Prisma nomor 10, November 1978.
Majid, Norman, 1998, ‘The Joint System of System of Share Tanancy and Self Culvation : Eveidence From Sind, Pakistan’ Journal of Peasant Studies, Vol 25 No. 3, April.
Mintz, Sidney W, 1973, ‘A Note on The Definition of Peasantries’, Journal of Peasant Studies, Vol. 1 No. 1, October.
Miller, D. 1995, ‘Consumtion and Comodities’ Annual Reviews Anthropology, 24 :141-61.
Mari Pengestu, 1995, “Sekilas Pandang Perekonomian Indonesia Selama 50 Tahun Merdeka” dalam Bantaro Bandoro & J. Kristiady & Mari Pangestu & Onny S Prijono (Penyunting) Refleksi Setgeah Abad Kemerdekaan Indonesia. Jakarta : CSIS.
Mohd Shukri Abdullah, 1989, Strategi Pembangunan Desa Negara Dunia Ketiga, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Mohammed Salleh Lamry. 1996. Mereka Yang terpinggir. Orang Melayu di Sumatera Utara. Institut Alam Tamaddun Melayu. Malaysia: UKM Bangi
Mubariq Ahmad. 1992. Rente Ekonomi Dalam Eksploitasi Hutan Tropis. Prisma No 6 tahun XXI.
Montjoy, Alan B. 1978, Industrialization and Developing Countries, London: Hutchinson Of London.
More, Welbert E, & Hoselita, Bert F, 1970, Industrialization and Society, Unesco : Mouton.
Niehof, Anke, 1999, Household, Family and Nutrition Research: Wriiting a Proposal, Wagenigen: H&C.
Nis, P.JM, 1984, Pengantar Sosiologi Kota, Jakarata : Bhrtara Karya Asmira.
Ornatti, O, 1967, The Povertyband and and The Count of the Poor, in Edward C. Budd (ed) Inquality and Poverty, New York : Norton.
Popkin, Samuel L. 1979. The Rational Peasant : The Political Economy of the Rural Society in Vietnam. London : University Of California Press.
Penny, D.H, 1978, Masalah Pembangunan Pertanian Indonesia, Jakarta : Gramedia.
Roggers, Everett M & Burdge, Rabel J & Korsching, Peter F & Donnermeyer, Joseph F,1988, Social Change in Rural Spcieties, An Introduction to rural Sociology (edisi ke tiga) New Jersey : Prentice Hall.
Rustam S. Abrus, “ Masyarakat Melayu Riau dan Pembangunan Teknologi” Makalah Seminar, 7 April 1993 di Batam.
Rosen, George, 1975, Peasant Society In A Changing Economy, Chicago : University Of Ilinois Press.
Roucek, J.S & Warren, R, 1963, Sociology And Introduction, London: Kegan Paul Ltd
R.Syofyan Samad. 1993. Pengembangan Industri Berwawasan Lingkungan di Daerah Riau: Masalah Pembinaan dan Keterkaitan Dengan Masyarakat Lokal. Makalah Seminar Membangun Industri Berwawasan Lingkungan di Pekanbaru.” 19-20 Mei . Pekanbaru.
Redfield, Robert. 1985 (terjemahan) Masyarakat Petani dan Kebudayaan, Jakarta : Rajawali Press.
Republika, Surat Khabar Nasional, 5,Februari 1993.
Selo Sumardjan, 1981, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Stepanus Juweng et al. (1996) Kisah Dari Kampung Halaman. Masyarakat Suku. Agama Resmi dan Pembangunan. Yogyakarta: Dian/ Interfidei.
Sutopo. HB. 1991. Methedologi Penelitian Kualitatif. Solo: Universitas Solo Press.
Syafriadi,1996, “RAPP dan Nasip 439 KK Warga Pangkalan Kerinci Riau,” Akbar Harian Ekonomi Neraca, 24 Mei.
Scott, James C, 1981 (terjemahan) : Moral ekonomi Tani, Pergolakan dan Subtensi di Asia Tenggara, Jakarta : LP3ES.
Scott, James C, 1993 (terjemahan) Perlawanan Kaum Tani, Jakarta : Yayasan Obor.
Scott, Cook. 1984, ‘Peasant Economy, Rural Industry and Capitalis Development in The Oaxaca Valley, Mexico, Journal of Peasant Studies, Vol 12, No. 1, October.
Shanin, Teodor. 1990. Defining Peasants: Cambridge : Basil Blacwell.
Shanin, Teodore, 1973, The Nature and Logic of The Peasant Ekonomy’, Journal of Peasant Studies, Vol. 1 No. 1, October.
Shanin, Teodore, 1974, The Nature and Logic of The Peasant Ekonomy’, Journal of Peasant Studies, Vol. 1 No. 2, January.
Tenas Effendi, “ Potensi Daerah Kampar Hilir Ditinjau dari Aspek Sosial-Budaya’ tahun 1999. Dan makalah Temasdulhak Assagaf, 1999. Makalah disampaikan pada Musyawarah Pembentukan Kabupaten Pelalawan 12-12 April 1999.
Titik Anas, 1995, “ Industri Manufaktur Indonesia: Perjalanan Lima Puluh Tahun” dalam Bantaro Bandoro & J. Kristiady & Mari Pangestu & Onny S Prijono (Penyunting) Refleksi Setgeah Abad Kemerdekaan Indonesia. Jakarta : CSIS.
Tony & Lowe, Philip, 1984, Locality and Rurality : Economy And Society In Rural Regions, England : Geo Books
Trouillo, Michel-Rolph, 1988, Peasants and Capital, Dominica in Teh World Economy. Baltimore and London : The John Hopkins University Press.
Vries, E. De, 1972, Masalah-masalah Petani Jawa, Jakarta : Bhratara.
Vago, Steven, 1989, Social Change, Edisi ke-2, United States : Prentice Hall.
Wolf, Eric R, 1966, Peasant, New Jersey : Prentice - Hall, INC.
Wallerstein, ‘Household Structure and Land Labor-Force Formation in the Capitalist World Economy’ dalam Smith, Joan & Walllertein, Immanuel & Evers, Hans-Dieter, 1984 Household And The World-Economy, London : Sage Publicatons.
Wallerstein, Imanuel, 1966, The Capitalist World Economy, Cambrige: University Press Cambgrige.
Wong, Diana, 1987, Peasants In The Making Malaysia green Revolution, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Wallerstein, Imanuel, 1974, The Modern Word System, New York: Academic Press..
Wajah Riau 1994, Gambaran Hasil-Hasil Pembangunan Selama Pelita V. Riau: Pemda Tk I Riau.
Wiener Myron, 1966, Modernization The Dynamic Growth, New York & London : Basics Books, INC.
1 Menurut Ever (1984) ekonomi subsisten adalah hubungan langsung antara produksi dan konsumsi (produksi sama dengan konsumsi) yang lepas dari hitungan negara, melibatkan tenaga kerja tanpa bayar dalam rumah tangga. Sedangkan menurut Chayanov (1966) suatu aktivitas ekonomi yang melakukan self exploitation dengan maksud untuk memuaskan kebutuhan rumah tangga dengan apa yang dipunyai oleh pekerja rumah tangga tanpa dibayar.
2 Hubungan penduduk dengan tauke yang sangat eksploitatif dalam hal produksi dimana tauke mempunyai hak otoritatif untuk menentukan harga dalam membeli produksi petani, termasuk produksi jasa yang tidak dibayar. Begitu juga tauke menentukan harga jual barang secara sepihak dan jauh lebih mahal dari harga pasaran. Walaupun demikian hubungan tauke dengan penduduk sudah merupakan hubungan sosial dan kekuasaan. Dimana penduduk miskin desa justeru merasa tauke adalah penyelamat konsumsi rumah tangga, walaupun ditemukan juga tauke yang menolak memberi hutang kepala kliennya sebelum adanya pengurangan hutang sebelumnya. Jika ini terjadi biasanya si klien akan mencari tauke lain. Selain itu, tauke menjadi alat introdusir kebijakan negara terhadap rakyat
3 Contoh yang menarik untuk disimak keberhasilan penduduk Desa Teladas, Rawas Sumsel melepaskan diri dari tauke secara diam-diam menjual sebahagian penghasilan bulanannya (karet) ke pembeli bebas dengan harga yang tinggi. Hasil penjulan diam-diam tersebut dibelikan untuk kebutuhan bulanannya di pedangang lain. Sementara hutangnya pada tauke dibayar secara berangsur ke tauke dengan sebahagian produksi karetnya. Munculnya inisiatif ini setelah masuknya pembeli-pembeli getah karet dari kota yang membeli karet lebih mahal, bahkan karena yang datang kedesa tersebut sering mencapai lima pedagang, dimana masing-masing pedangan getah karet tersebut berusaha membeli harga tertinggi
4 Informasi ini di peroleh dari hasil diskusi dengan Bathin (Ketua Adat) Pangkalan Kerinci M.Sddik, Bapak Marranjo, dan Bapak Anwar
5 Suku dalam defenisi ini adalah identitas turun-temurun dari keluarga (marga) dan merupan pengaruh dari Sumatera Barat. Suku lalang ini adalah suku yang berasal dari keluarga asalnya yaitu Tuk Lintang Jomu Onau yang dulunya bersasal dari Suku Lalang di tempat asalnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar