Dari saya
Terima kasih bagi netter yang telah ke blog saya, dan menyediakan sedikit waktunya untuk membaca buah pikiran saya. Saya sangat senang jika apa yang saya pikirkan mendapat respon positif ataupun negatif. Dan saya dapat dihubungi di 08127627068. Salam mari berbagi kedamaian.
M.Rawa El Amady
Sabtu, 20 Oktober 2007
MASALAH PETANI KITA
Oleh. M.Rawa El Amady
Nasib petani memang sesuai dengan lapisan sosialnya sebagai masyarakat kecil. Sebagai wong cilik, petani selalau dimarjinalisasi, bahkan cederung dilupakan oleh negara. Kalaupun ada kebijakan untuk petani ditujukan untuk kepentingan orang kota. Masalah petani yang sebenarnya tidak pernah tersentuhkan.
Marjinalisasi petani telah bermula dari zaman penjajah. Penjajah Belanda memisahkan pemimpin formal dan informal desa dari rakyatnya, melalui usaha meminimalisir kebutuhan, penghapusan lembaga-lembaga kemudian diganti dengan lembaga serupa tetapi mempunyai fungsi yang berbeda dengan lembaga aslinya. (Soejito,87).
Proses marjinalisasi petani berada dipuncaknya pada rezim orde baru, dengan tetap melanjutkan prilaku penjajahan Belanda melalui UU politik yang dikenal dengan floating mass dan UU pemerintahan di desa melalui penyeragaman dan sentralisasi desa. Melalui dua perangkat UU tersebut masyarakat desa dieksploitasi oleh berbagai pihak, seperti kapitalisme internasional (pemodal asing), pengusaha nasisonal dan birokrasi. Akibatnya penduduk desa kehilangan tanah dan tidak berdaya secara politik. Padahal jumlah petani kita masih 63% dari seluruh penduduk Indonesia (Bank Dunia, 1996)
Masalah Dari Luar
Jika kita simak hubungan petani dengan negara, masalah petani bukan masalah tanah sebagaimana yang dikemukakan E. de Vries (1972). Pangkal munculnya masalah petani adalah masalah politik atau tepatnya masalah struktural. Kekurangan tanah merupakan akibat ketimpangan struktur politik. Kekurangan tanah akan mengakibatkan terjadi perubahan pada rumah tangga petani dari rumah tangga ‘uang’ ke rumah tangga kridit dan terakhir ke rumah tangga hutang.
Masalah sebenarnya petani Indonesia ada pada alat analisis. Petani selalu dianalisis melalui pendekatan ekonomi pendesaan dan ekonomi pertanian ataupun sosiologi pertanian. Mulai dari Boeke, Vries, Gertz sampai ke Muyarto, selau melihat permasalahan petani sebagai permasalahan produksi pertanian. Oleh sebab itu, program pertanian ditujukan pemecahan masalah produksi, dalam hal ini tanah, pasar, bibit dan teknologi pertanian. Sementara petani yang menjadi pengelola produksi pertanian tersebut tidak disentuh.
Kesalahan alat analisis terhadap petani tersebut menimbulkan permasalah berikutnya, yaitu sentralisasi konsep. Petani diseluruh Indonesia dianggap sama, didefinisikan dengan satu definisi. Petani dipinggir kota, petani dipedalaman, petani di Jawa, petani di luar Jawa, petani di pergunungan dan petani tepi pantai di defenisikan dengan satu definisi. Karena sentral kekuasaan di Jawa, maka definisi petani yang digunakan adalah petani Jawa. Sementara petani di luar Jawa berada pada tahapan perkembangan dan kondisi yang berbeda. Selain itu, petani di desa tersebut dianggap homogen, tanpa kelas dan tanpa konflik..
Sentralisasi definisi ini, bukan saja dilakukan pemerintah Indonesia, toh hal ini juga terjadi pada badan dunia (PBB) pada program pemberdayaan petani dari tahun 1940-an sampai tahun 1980-an yang dinyatakan gagal (1989). Bahkan hasil penelitian Hüsken menunjukkan program revolusi hijau di Indonesia juga gagal (1996). Neh memang, di era refomrasi ini revolusi hijau, yang hanya dinikmati petani kaya tersebut masih dilaksanakan.
Kesalahan definisi petani ini menimbulkan masalah ketiga petani kita, yaitu permasalahan kelembagaan petani. Rezim orde baru dan industri merusak tantanan organisasi sosial di pedesaan. Terutama sekali tatanan lembaga ekonomi, lembaga pemerintah dan hubungan sosial, termasuk lembaga keluar dengan diperkenalnnya rumah bordil.
Secara ekonomi, kelembagaan ekonomi desa dirusak melalui perusakan faktor-faktor produksi, kemudian diikuti dengan perombakan pola konsumsi. Tatanan ekonomi desa yang minim uang diganti dengan tatanan ekonomi pasar. Akibatnya produksi tidak sama dengan konsumsi, usaha-usaha untuk menekan konsumsi agar sama dengan produksi menimbulkan konflik dalam keluarga. Begitu juga usaha memaksimal produksi juga tidak mampu dilakukan karena faktor-faktor produksi telah diambil alih oleh negara dan industri.
Sementara itu secara sosial, terjadi perombakan struktur sosial dengan berdatangannya imigran dari luar daerah, baik itu sebagai pekerja, pedagang dan pegawai. Masyarakat lokal tidak lagi menjadi masyarakat yang mayoritas, tetapi justeru menjadi minoritas di tanahnya sendiri. Akibatnya terjadi perombakan tatanan sosial dimana penduduk lokal harus mengikuti tatanan pendatang yang masih belum stabil. Keadaan ini menyebabkan petani dikawasan industri semakin bingung dan kehilangan identitas diri sebagai petani.
Dalam kondisi kebingunan tersebut, industri menawarkan budaya materialistik dengan membayar mahal mereka-mereka yang berpihak kepada industri dan negara. Karena sudah terbiasa dengan hidup konsumtif, tanah tersisapun dijual, sementara sumber ekonomi penganti belum ada. Selain itu industri memperkenalkan budaya persaingan (kompetitif) kepada masyarakat lokal yang tradisional. Sementara budaya tradisional tidak mengenal persaingan. Akibatnya timbul kekacauan sosial dengan pendatang yang menuju ke konflik etnis atau agama.
Mengembalikan Kekuasaan Petani
Untuk menyelesaikan masalah petani tersebut, hal yang sangat penting dan menjadi kunci adalah mengembalikan hak-hak petani, agar petani mempunyai kekuasaan untuk memberdayakan dirinya sendiri. Setelah itu, baru pihak luar menambah kekuasaannya melalui pemberayaan faktor-faktor produksi petani.
Kekuasaan yang dimiliki petani akan memberi peluang baginya untuk memikirkan perbaikan kelembagaan desa, dengan merumuskan ulang lembaga ekonomi, sosial, pemerintahan dan budaya yang dianggap sesuai dengan perubahan.
Pemerintah pula perlu merubah persepsinya tentang petani dengan melakukan desentaralisasi definisi dan kebijakan. Jadi petani didefinisikan sesuai dengan realitas sosial yang ada, kondisi geografis, tahapan perkembangan masyarakatnya, kemampuan sumberdaya manusia dan lain-linnya. Kebijakan untuk petani harus sesuai dengan yang dibutuhakan petani setempat, dengan mempertimbangkan arah perubahan yang diinginkan.
Untuk mempercepat perbaikan dan perubahan petani pemerintah perlu melakukan reformasi tanah, pendampingan dan informasi. Program reformasi tanah ini bertujuan untuk petani-petani yang berada dikawasan industri yang tanahnya habis diambil secara sepihak oleh pemerintah dan industri. Tanah tersebut harus dikembalikan kepada petani. Ini berarti pemrintah harus menilai kontrak dengan yang telah ada untuk didbuat kontrak baru yang sesuai dan menguntungkan petani. Cuma bentuknya tidak mesti tanah tersebut diserahkan kepada petani atau masyarakat untuk mengelolanya, sebab akan merusak industri yang telah ada. Melainkan tanah tersebut dikembalikan kepada pemiliknya, sedangkan industri sebagai penyewa tanah, yang pembayarannya dalam bentuk penyertaan saham.
Sedangkan program pendampingan ditujukan kepada perbaikan sumberdaya manusia dan penguatan ekonomi. Pendampingan harus ditujukan dalam dua sasaran, yaitu sasaran keluarga sebagai sasaran utama yang difokuskan pada keluarga miskin dan lemah sumber daya manusia dan sasaran kelompok dengan sasaran pengembangan ekonomi desa yang berfungsi untuk menurunkan konflik ditingkat desa. Tujuan program ini adalah pembentukan masyarakat mandiri. Program ini harus diikuti dengan perubahan pola kebijakan industrialisasi yang terpisah dengan sektor pertanian menjadi kebijakan yang menguntungkan kepada petani.
Sedangan kebijakan informasi adalah terjadinya lalu lintas informasi dari bawah dan dari atas. Pemerintah hendaknya membuka keran informasi ke petani tentang program-program yang ditawarkan kepada petani, begitu juga dengan informasi pasar, harga, dan persaingan harga. Sementara itu informasi dari petani tentang produksi yang dihasilkan juga diinformasi ke pasar. Selama ini petani tidak mendapat informasi dari atas, informasi tentang petani juga tidak sampai ke pasar. Maka pendukunga utama program diatas adalah penyebaran informasi yang benar kepada dan dari petani.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar