Dari saya
Terima kasih bagi netter yang telah ke blog saya, dan menyediakan sedikit waktunya untuk membaca buah pikiran saya. Saya sangat senang jika apa yang saya pikirkan mendapat respon positif ataupun negatif. Dan saya dapat dihubungi di 08127627068. Salam mari berbagi kedamaian.
M.Rawa El Amady
Sabtu, 20 Oktober 2007
Ilmuan Semu
M.Rawa El Amady
Krisis ekonomi dan krisis sosial politik (kerusuhan, dan instabilitas politik) di Indonesia akhir-akhir, jika dilihat dari keluaran kebijakan disebabkan beberapa faktor, yaitu 1) lemahnya respon teoritik, 2) pragmatisme negara. Ketiga faktor ini bukan mengabaikan faktor kesenjangan ekonomi yang banyak dikemukakan para pakar di Indonesia, tetapi meletakan kesenjangan ekonomi sebagai akibat dari lemahnya respon teoritik dan pragmatisme negara.
Lemahnya Respon Teoritik
Respon teoritik dimaksud adalah kemampuan para ilmuan terutama ilmuan sosial untuk menganalisa fenomena sosial agar dijadikan kebijaksanaan negara dalam rangka rekayasa sosial untuk mewujudkan kesejahteraan sosial yang harmonis. Belajar dari Eropah, penemuan teknologi di Inggeris yang melahirkan revolusi industri, direspon para ilmuan melalui teori kapitalisme untuk menunjang proses industrialisasi di Eropah dan Amerika Sarikat, berikut munculnya konsep negara liberal. Untuk menjawab respon masyarakat, muncul teori modernisasi agar masyarakat memiliki kemampuan responsip terhadap perkembangan industri. Implikasi dari kapitalisme maka muncul teori Marx yang merupakan antitesa dari teori kapitalisme dan modernisasi.
Teori kapitalisme terus berkembang, direspon terus menerus oleh teori neo-marxis seperti munculnya teori ketergantungan sebagai jawaban atas kemiskinan di negara ketiga. Terakhir munculnya teori post-modernisme sebagai jawaban terhadap problem yang muncul pada masyarakat modern. Begitu juga dengan teori-teori yang lainnya.
Dalam sejarah ilmuan Indonesia belum mampu melahirkan teori-teori yang berdasarkan fenomena sosial di Indonesia untuk dijadikan acuan kebijaksanaan negara. Konsep negara kesatuan, misalnya, dijadikan sebagai jawaban untuk merespon fenomena heterogenitas etnik, kebudayaan dan bahasa, bukan sepenuhnya hasil para ilmuan sosial, ia lebih mencerminkan hasil para politisi yang berbau idiologis. Pancasila dan konsep negara kesatuan baru sebatas idiologi negara belum menjadi paradigma ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, konsep integrasi sangat kaku, tanpa penjelasan yang rinci, sehingga yang tampak hasilnya hanya bahasa Indonesia. Sementara Pancasila dan negara akesatuan menjadi idiologi karet yang bisa dipakai untuk kepentingan apa saja.
Fenomena para ilmuan Indonesia sekarang ini adalah mengkaji Indonesia dengan perasaan sendiri, menggunakan teori barat secara tidak jelas. Solusi yang dihasilkan berdasarakan akal sehat bukan berdasarakan analisis teoritis untuk melahirkan ilmu. Para ilmuan ramai-ramai mengkritik ikut sertanya militer dalam politik, tetapi tidak ikut merumuskan bagaimana atauran main agar militer dibolehkan terlibat dalam politik. Bagaimana konsep demokrasi yang aplikatif di Indonesia.
Kita kenal Alfian yang terkenal dengan teori Gelang Karet, bahwa keterlibatan militer dalam politik diumpamakan gelang karet, bila negara aman militer akan mengurangkan keterlibatnya dalam politik, tetapi bagaimana kalau negara dikondisikan agar keamanan tidak pernah sampai pada kadar optimum. Sekarang ketika sipil berkuasa, situasi dalam negeri tidak pernah aman, kondisi ekonomi tidak pernah sembuh. Itu artinya teori ini memberi peluang militer terlibat terus dalam politik tanpa merumuskan aturan yang jelas.
Moctar Mas’oed, terkenal dengan konsep negara otoriter birokratik, atau Yahya Muhaimin dengan Bisnis dan Politik, Sritua Arief, Adi Sasono terkenal dengan teori lepas landasnya, Leokman Soetrisno, Koentjaraningrat dengan teori kebudayaannya, Amien Rais dengan teori kesenjangan sosialnya dan banyak lagi yang lain. Anehnya lagi para ilmuan (seperti diatas) Indonesia mengkaji fenomena Indonesia menggunakan teori-teori marxis atau neo-marxis, tetapi tiba pada solusi kembali ke teori modernisasi. Aneh rasanya paradigma berpikir marxis tetapi solusi yang diberikan kapitalisme.
Para ilmuan Indonesia masih cenderung sangat dipengaruhi oleh kepentingan pribadi, kepentingan politik bahkan kepentingan si pemakai jasanya, belum sepenuhnya berdasarkan fakta sosial dalam merumuskan hasil penelitiannya. Akibatnya adalah hasil pemikiran yang dilahirkan sangat parsial, tidak berusaha memecahkan permasalahan secara tuntas. Misalnya, kerusuhan sosial di Indonesia disebabkan kesenjangan ekonomi, tapi juga dipengaruhi faktor lain, misalnya politik, stratifikasi sosial, feodalisme birokrasi dan korupsi dan sejarah sosial.
Bagi ilmuan Indonesia hanya ada dua pilihan, yaitu bekerja sama dengan pemerintah atau beroposisi. Bagi yang bekerja sama ia akan melahirkan pemikiran untuk menyenangkan pemerintah, dan bagi yang beroposisi ia akan melahirkan pemikiran yang akan membuat marah pemerintah. Keduanya belum secara serius memikirkan masyarakat, masing-masing asik dengan pikirannya sendiri.
Pragmatisme Negara
Kita harus akui bahwa negara Indonesia dalam melahirkan kebijaksanaan sangat pragmatis, maksudnya kebijaksanaan negara diambil secara parsial dan untuk kepentingan apa dan siapa. Persoalan apa yang sedang menonjol, itu dulu yang dipecahkan, nanti muncul persoalan baru selesaikan lagi. Contoh, perkembangan demokrasi, dulu demokrasi liberal, diangap tidak cocok, diganti dengan demokrasi terpimpin, menimbulkan permasalahan sosial diganti dengan demokrasi orde baru. Kemudian muncul reformasi yang sampai sekarang belum jelas aturannya. Melihat kenyataan ini, akan membuka peluang bagi kepemimpinan nasional yang baru nanti melahirkan orde yang amat baru lagi. Atau setiap pemimpin akan mencipta ordenyua sendiri sesuai dengan kesukannya sendiri.
Dalam hal kebijaksanan pembangunan, pembangunan juga dirumuskan secara parsial, dengan memilih model Rostow berarti Indonesia mau tidak mau akan mengulangi tragedi kemanusiaan di Eropah. Dimana kemanjuan ekonomi dan industri akan menyebabkan penindasan terhadap masyarakat kecil. Apa yang terjadi sekarang adalah implikasi kebijaksanaan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan. Seharusnya kebijaksanaan ekonomi pertumbuhan diikuti dengan kebijaksanaan politik yang demokratis karena konsep Rostow dilaksanakan dalam negara yang demokratis (liberal), adanya kepastian hukum, kebijaksanaan pendidikan yang berorientasi pasar.
Terakhir, kebijaksanaan untuk mengentaskan kemiskinan. Masa IDT (Inpres Desa Tertinggal) pemerintah memberi uang sebanyak 20 juta rupiah kepada desa miskin melalui kelompok-kelompok masyarakat. Tetapi kebijaksanaan itu tidak diikuti perbaikan birokrasi, pendidikan masyarakat desa, perbaikan lahan pertanian, pengaturan ekonomi desa dan pengawasan yang baik. Padahal lahan pertanian orang desa makin berkurang karena diahabisi perkebunan swasta, HTI (hutan Tanaman Industri), pabrik, dan diambil para lintah darat. Akhirnya, uang yang hanya sampai sedikit, digunakan untuk memenuhi keperluan sehari-hari.
Persoalan Historis
Penjajah Belanda meninggalkan stratifikiasi sosial yang memancing rasa dendam, terutama antara China dan pribumi dalam bidang ekonomi. Selain itu dendam antara masyarakat bawah dengan kaum priyayi yang menjadi alat Belanda untuk menindas rakyat bawah. Sritua Arief dan Adi Sasono dengan tegas menyatakan bahwa kesuksesan Tanam Paksa disebabkan besarnya bantuan kaum feodal dan priyayi kepada Belanda. Hubungan masyarakat dengan birokrasi masih sangat dipengaruhi oleh hubungan rakyat dengan kaum priayi yang pro Belanda. Sekarangpun, sikap birokrat masih melihat rakyat sebagai abdi, bukan yang harus dilayani.
Dengan demikian terdapat dua benih-benih perpecahan dalam masyarakat Indonesia yang merupakan peninggalan sejarah penjajah. Pertama konflik ekonomi antara primbumi-China dan kedua, konflik dengan birokrasi, kebencian masyarakat pada pemerintahyang membela Belanda. Benih-benih lama tersebut makin mengental disebabkan prilaku diskriminatif aparat negara, seperti memanjakan pengusaha nonpri.
Secara makro, kebijaksanaan negara telah menunjukkan usaha maksimal untuk membebaskan beban historis ini, tetapi dalam realitas sehari-hari model stratifikasi penjajah tersebut ditemui dimana-mana. Kesenjangan ekonomi yang amat parah membangkitkan kembali benih permusuhan yang lama tersimpan. Apalagi kalau konflik tersebut dibumbui dengan persoalan agama. Kalau seandainya hanya kesenjangan ekonomi saja penyebab kerusuhan, mengapa orang kristen juga ikut diserang? Padahal yang menyolok secara ekonomi adalah birokrasi dan etnik China. ****
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar