Dari saya
Terima kasih bagi netter yang telah ke blog saya, dan menyediakan sedikit waktunya untuk membaca buah pikiran saya. Saya sangat senang jika apa yang saya pikirkan mendapat respon positif ataupun negatif. Dan saya dapat dihubungi di 08127627068. Salam mari berbagi kedamaian.
M.Rawa El Amady
Sabtu, 20 Oktober 2007
Kakek dalam Mimpiku
Cerpen rawa el amady
Aku berdiam di town house lantai dua. Beruntung dapat rumah di sudut dan persimpangan jalan. Setiap pagi dan sore, aku duduk di teras menikmati lalu lalang kota. Tempat ku lumayan tinggi, pemandangan dari teras rumahku cukup indah memandang jauh ke depan. Jika malam, kilauan lampu kota dan deritan rel kereta api dari Singapura menjadi tanda bahwa siang akan segera tiba.
Di depan rumah ku tinggal sepasang suami isteri yang sudah tua, anak-anaknyapun tinggal situ yang belum menikah. Keluarga ini kelihatan agak janggal, setiap hari selalu mengusik hatiku, menimbulkan rasa takut. Sang suami berumur hampit 70 tahun, badannya kurus, rambutnya ikal tidak terurus dan pakaiannnya compang-camping. Setiap malam aku selalu melihatnya membentangkan tikar di teras depan pintunya, bila pagi besok aku bangun duluan lelaki tua itu masih tidur di situ, tanpa selimut, tanpa obat anti nyamuk. Begitu terus, setiap hari. Jika jam makan datang, dia menunggu di depan pintu seperti pengemis. Kemudian sang isteri menyodorkan piring berisi nasi dan lauk pauk alakadarnya. Entah kenyang entah tidak, yang penting dia selalu lahap menghabiskan nasinya tanpa sisa.
Jika hari hujan tiba, teras tempat dia tidur biasanya banjir. Si kakek ini tidur berdiri menyandar di dinding rumah. Pernah aku melihat dia terjatuh sedang tidur berdiri, lalu bajunya basah kuyup, toh dia tetap tidak berganti baju. Anak-anak dan isterinya hanya tersenyum melihat dirinya kedinginan di dalam hujan di teras rumahnya sendiri.
Empat tahun, aku tinggal disitu, empat tahun aku menyaksikan kepedihan hidup seorang suami yang tua renta, mempunyai isteri yang gembur dan anak-anak yang tegap, tapi dia tetap sendiri seperti pengemis. Hidup begitu tidak berarti, isteri yang telah melahirkan enam anak yang sudah dewasa dan rumah yang cukup untuk berteduh. Ketika tenaga sudah pergi dimakan waktu, kemana perginya cinta yang telah melahirkan enam anak? Kemana perginya keturunannya yang seharus dipanggil ayah? Hidup ini memang sendiri.
Setiap pagi, aku selalu memberinya dua batang rokok, ini aku lakukan karena setiap pagi dia memungut putung rokok untuk dihisapnya. Tetapi niat baik ku itu hanya bertahan seminggu. Aku dihardik isterinya karena memberi rokok ke suaminya itu suatu kesalahan besar. Rokok yang aku berikan itu diambil paksa lalu diremas sampai hancur. Hidup memang menyedihkan!
Aku mencari-cari arti kehidupan dan mencari-cari arti kemanusian, mencari-cari arti keluarga. Ternyata kakek itu hanya menemukan kehampaan. Dia menjadi sendiri tanpa ada sejarah dalam hidupnya.
Kakek yang malang! Setiap malam aku memandang anak dan isteriku dengan penuh ketakutan. Anak ku yang masih kecil, pintar, cerdas dan tidak pernah mau berpisah dengan ku menjadi penawar ketakutan ini.
Suara seruling mendayu-dayu, bagaikan pawang mengajak ular kobra menari. Hiasan pengantin mewarnai rumah sepasang kakek yang menikahkan anaknya yang paling bungsu. Walau kedinginan, aku lihat senyum dibibirnya dalam mata yang menerawang. Besok pagi, acara akad nikah dalam tradisi hindu dilaksanakan. Peran ayah menjadi sangat penting, karena ayah yang tua renta itu harus ikut melakukan prosesi agama yang akan menentukan keabsahan sebuah perkawinan. Sampai jam dua malam, aku belum melihat ada perubahan pada kakek yang malang ini, tetap dengan baju kumuhnya dengan badan yang kotor dan tertidur pulas diatas tikar tipis di teras seperti biasa.
Tepat jam 9.30 pagi, sorak sorai dan alunan musik pengiring petanda prosesi pernikahan akan segera di mulai. Aku mencari-cari di mana kakek malang itu berada. Letih mataku mecari tak terlihat wajah pucat, kotor, itu lagi. Seorang lelaki tua dengan senyum dan mata menarawang lengkap dengan pakaian adat keagamaan dia tampak berwibawa. Wow, ternyata hari ini dia menjadi ayah bagi anak bungsunya yang akan mengahiri masa lajang, menjadi suami kebangaan isteri, dia memimpin prosesi pernikahan anaknya. Ia betul-betul menjadi ayah dan suami yang hebat. Raut gagah perkasa masa mudanya seolah bangkit ingin menjelaskan kepada tetangganya bahwa dia dulu lelaki yang hebat, yang menanam benih keenam anaknya ke rahim isterinya yang gembor itu, membiaya anaknya sampai semuanya menikah dan sekolah, memberinya rumah tempat berlindung. Raut mukanya seoalah menyampaikan “aku adalah suami dan ayah yang bertangung jawab”.
Prosesi pernikahankan hanya berjalan dua jam saja, jam 12 siang aku sudah melihat kakek malang itu kembali memakai baju lusuh, berbaris paling akhir untuk minta makan. Tanpa sandal dan baju kotor wajahnya tetap tersenyum, tidak ada dendam sedikitpun. Seseorang datang menghampirinya membawa nasi dan lauk pauk seperti biasa, lalu menyuruhnya makan jauh-jauh dari rumah. Ia tersenyum.
Setelah makan usai, dia mencari ku, dengan agak cemas karena takut dimarah keluarganya, kakek malang ini menuju tangga rumah ku. Tangannya mengapai-gapai memanggilku agar turun. Ku hampiri dia, dengan penuh keheran.
“ Ini hari terakhir saya hidup, setelah ini tak ada lagi anak yang menginginkan ayah dalam dua jam” dia tersenyum dan berucap terima kasih.
Benar saja, besok pagi, keluarga sang kakek sudah bersiap-siap untuk melakukan pembakaran jenazah kakek. Dia meninggal tengah malam, karena loncat dari rumah flat di lantai 9. Tidak tampak raut sedih di muka isteri dan anak-anaknya. “Kini kita bebas dari beban yang memalukan” kata sang isteri. Ternyata hidup begitu nestapa!
Api pembakaran mayat terasa mejalar ke muka ku, aku berteriak …………… , lalu akupun dibangunkan secara paksa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar