Dari saya

Terima kasih bagi netter yang telah ke blog saya, dan menyediakan sedikit waktunya untuk membaca buah pikiran saya. Saya sangat senang jika apa yang saya pikirkan mendapat respon positif ataupun negatif. Dan saya dapat dihubungi di 08127627068. Salam mari berbagi kedamaian. M.Rawa El Amady

Sabtu, 20 Oktober 2007

MODUS KORUPSI DI RIAU

M.Rawa El Amady Korupsi menjadi simbol bagi keberhasilan pejabat. Pejabat yang bersih dituding bodoh dan tidak pandai memanfaatkan kesempatan yang ada. Karena menjadi simbol maka korupsi menjadi virus motivasi pejabat. Hasilnya posisi korupsi di Indonesia menjadi negara nomor satu terkorupsi di Asia dan nomor 2 terkorupsi di dunia. Gejala Sosial Di mata masyarakat korupsi sudah membudaya. Karena korupsi menjadi pilihan semua orang untuk memperbaiki pendapatan. Indikatornya korupsi sudah menjadi simbol, kalau tidak melakukan korupsi dipandang aneh dan bodoh. Dilihat dari persepsi kebudayaan maka tindakan korupsi tidak bisa disebut sebagai tindakan kebudayaan, karena kebudayaan adalah tindakan yang dilahirkan oleh pikiran yang sehat untuk kesejahteraan semua orang. Merebaknya korupsi hanya dapat dinilai sebagai gejala sosial, yaitu gejala abrnomal sosial, norma sosial tidak lagi dipandang sebagai kesepakatan untuk kesejahteraan semua orang. Prof. Dr. Syed Hussein Alatas. SH Alatas dalam bukunya The Sociology Of Corruption 1968 dan Corruption: It’s Nature, Causes and Functions 1990 menyatakan korupsi merupakan suatu gejala sosial yang rumit. Inti dari korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi, yang dilakukan tidak hanya birokrasi ataupun pegawai negara, tetapi juga berlaku terhadap semua orang yang diberi kepercayaan, termasuk di dalamnya praktek nepotisme. Robert C Brooks mendefinisikan korupsi sebagai tindakan dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa hak menggunakan kekuasaan, dengan tujuan memperolehi keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi. Syed Hussen Alatas menyebutkan bahwa sumber korupsi dari struktural, yaitu pertama, kolonial pada zaman penjajah Jepang terjadi kelangkaan barang dan bahan makanan, inflasi yang menggila, lemahnya pengawsan pemerintah, korupsi merupakan jalan terbaik untuk menutupi kekurangan. Faktor kolonial ini juga dimunculkan kaum nasionalis sebagai hasutan untuk melawan penjajah, ini tetap bertahan setelah negara merdeka. Kedua, membengkaknya jumlah pegawai negeri dengan cepat sementara gaji sangat kurang, sehingga memaksa mereka mencari pendapatan tambahan diikuti pula dengan lemahnya pengawasan dan sistem partai politik yang mendukung kearah itu. Selain itu secara kultural, korupsi berasal dari masa silam dan masih melakat pada masyarakat seperti solidaritas kekeluargaan dan kebiasaan saling memberi hadiah. Nilai masyarkat timur menyuburkan peluang korupsi tersebut. Modus Korupsi di Eksekuif Korupsi adalah pekerjaan yang tidak terpuji, karenanya korupsi tidak dilakukan secara terbuka --kalaupun terbuka hanya sesama pelaku dan korban. Untuk itu pelaku korupsi memerlukan teknik-teknik tertentu agar tujuan tercapai dan aman. Langkah awal yang dilakukan birokrasi adalah menciptakan image kepada masyarakat dan pengusaha bahwa tindakan korupsi atau kolusi bukan perbuatan yang teramat salah. Setelah imej itu berkembang sedemikian rupa, kepada masyarakat ditawarkan konsep baru bahwa tanpa menyogok semua urusan akan terkendala. Dengan demikian mau tidak mau semua lapisan masyarakat yang berhubungan dengan birokrasi akan secara sadar menyediakan imbalan pada birokrasi. Setelah dua tahapan tersebut berjalan dengan mulus, maka birokrasi Indonesia melakukan tindakan yang amat penting adalah secara interen melakukan pemotongan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan, bantuan dan sebagainya yang tidak diketahui secara langsung oleh penerima. Ketika berhadapan dengan masyarakat birokrasi melakukan penyogokan, masyarakat yang ingin berurusan dengan birokrasi diwajibkan menyediakan uang pelancar. Tanpa ada uang sogokan semua urusan tidak cepat selesai. Bentuk sogokan ini terbagi menjadi tiga bahagian iaitu pertama, menerima sogokan secara langsung dari masyarakat berupa uang, dan benda lainnya. Kedua, bentuk pemotongan dana yang didapat dari pemerintah, seperti apabila seorang pengusaha mendapat proyek dari pemerintah maka atas kesepakatan penerima proyek--walau secara terpaksa-- dana proyek tersebut dipotong sekian persen kadang sampai 25%. Selain adanya pemotongan yang disetujui terserbut, pihak birokrasi juga mewajibkan kepada penerima proyek agar proyek terebut diserahkan kepada perusahaan miliknya atau keluarganya sebagaii subkontraktor. Ketiga adalah kewajiban secara tidak resmi bagi pengusaha yang ingin beroperasi di daerah tertentu menyerahkan sejumlah uang kepada birokrasi sebagai upeti, dan umumnya kepada perusahaan besar diwajibkan secara tidak resmi menghadiahkan saham sebesar lima persen dari seluruh modal, dan atau menjadikan birokrat tersebut sebagai salah satu komisaris (tidak resmi). Keempat, secara personal birokrat melakukan tidakan nepotisme yaitu memberi peluang sebesar-besarnya kepada keluarga, dan kawan dekat untuk mendapatkan keuntungan atas jabatan yang dipegangnya. Oleh sebab itu, apabila seorang pemimpin berasal dari satu kaum, maka jabatan dan pegawai yang diterima akan lebih banyak dari kaum kerabatnya. Berikut juga aktivitas bisnis yang lekat pada jabatan tersebut, maka akan ramailah keluarga pejabat tersebut yang menjadi pebisnis memenangkan beberapa proyek dan mendapat pelayanan istimewa dari bawahannya. Dalam hubungan internal antara atasan dan bawahan dibentuk mekanisme seperti jaringan multi level marketing. Seorang bos mendapat jumlah uang hasil korupsi lebih besar yang berasal dari anak buahnya. Makin banyak jumlah anak buah yang dimilikinya makin besar pula jumlah uang haram yang diterimanya. Misalkan seorang bos memiliki lima sub bidang, maka setiap sub bidang wajib menyerahkan uang tertentu kepada bos, apabila anak buah bertindak curang maka jabatan akan menjadi ancamannya. Sub bidang memiliki seksi, dan seksi memiliki anak buah. Maka proses korupsi secara bertingkat mulai dari anak buah yang paling rendah sampai kepada tingkat yang paling tinggi dengan kadar yang berbeda. Semakin tinggi tingkatan dan pangkat semakin besar uang sogokan yang harus diberikan. Prestasi sama dengan kuantitatif setoran, semakin besar setoran semakin besar peluang kenaikan pangkat. Modus Korupsi di Dewan Sejak berakhirnya Orde Baru legislatif menjadi kekuatan baru yang tidak ada tandingnya. Besarnya kekuasaan yang dimiliki legislative, secara teoritis juga membuka peluang korupsi yang lebih besar pula. Apalagi peluang tersebut didukung oleh eksekutif dan sistem kontrol masyarkat yang belum transparan. Hasil pengamatan saya modus korupsi di DPRD (khusus di Riau) ada pada tiga sumber utama, yaitu di internal DPRD, di eksekutif dan di pengusaha. Modus ini bersember dari tiga wewenang yang dimiliki oleh DPRD, yaitu fungsi anggaran, fungsi pengawasan dan fungsi pengangkatan pejabat daerah. Pertama, di dalam DPRD ada dua sumber korupsi utama, yaitu perancangan biaya rutin untuk anggota DPRD dan perancangan biaya rutin operasional kantor. Bentuknya adalah perancanaan hak-hak atas biaya anggota DPRD, sebagai contoh DPRD Bengkalis dengan Gaji sebesar 20 juta rupiah sementara DPRD Riau sekarang ini mencapai 28 milyar dengan perolehana sebulan Rp. 42,4 juta /orang ini tentu sangat bertentangan dengan kondisi masyarakat yang 43 persen masih miskin apalagi secara fungsional tugasnya anggota DPRD tidak menujukkan kolerasi positif bagi kepentingan rakyat. Sedangkan dari operasional kantor dijumpai penyusunan anggaran yang tidak berdasarkan kepentingan riil setiap bulan, contoh anggaran ATK kantor DPRD sebulannya Rp. 45 juta perbulan suatu anggaran dipastikan tanpa dasar kepentingan riil. Begitu juga biaya pejagaan keamanan Rp.41,6 juta ,- per bulannya jenis yang terakhir ini terkesan mengada-ada. Ketiga kemungkinan manipulasi biaya sidang, artinya jumlah sidang dan kehadiran dalam sidang. Jika dihitung-hitung pemasukan anggota DPRD Riau dari mencapai Rp100 juta bulannya yang bersumber dari berbagai item anggaran dari biaya operasional kantor. Kedua,sumber korupsi terbesar DPRD ada di eksekutif, meliputi penyusunan anggaran, laporan pertangungjawaban, pengawasan pada dinas, kunjungan dan hearing dan yang terakhir adalah pemilihan gubernur. Rumusan tesisnya adalah korupsi DPRD berbanding lurus dengan korupsi di eksekutif. Untuk menutupi korupsi di eksekutif (birokrasi), eksekutif memberi peluang korupsi ke DPRD untuk mencapai kesepakatan perlindungan masing-masing. Maka sangat wajar ketika terjadinya perumusan RAPBD di DPRD akan terjadi komunikasi antara dinas-dinas dan instasi terkait untuk penyusunan strategi korupsi melalui APBD yang biasanya melibatkan pengusaha atau pengusahanya adalah anggota atau keluarga DPRD itu sendiri. Korupsi ini akan mengalami tambahan ketika DPRD melakukan peninjauan langsung atau pengawasan langsung, hearing dan laporan pertangungjawaban eksekutif. Bahasa umum yang sering dilontarkan masyarakat adalah berkoar-koar sebelum dapat. Korupsi terbesar di anggota dewan adalah ketika pemilihan gubernur, ini mah sudah menjadi rahasia umum dan setiap calon sudah menyadari hal ini. Ketiga, sementara di pengusaha biasanya melalui bugeting anggaran di APBD, pengawasan atas pelaksanaan undang-undagn di perusahaan, ketika hearing (ada peristiwa di DPRD Riau hearing dengan pengusaha sidangnya tertutup), pengawasan proyek melalui kunjungan lapangan. Perusahaan-perusahaan pun menjadikan anggota dewan sebagai penjaga keamanan perusahaannya dan marketing untuk meluluskan proyek. Atas jasa tersebut anggota dewan mendapat bonus yang sangat besar dan gaji rutin bulanan selayaknya pegawai. Temuan lapangan menunjukkan bahwa era otonomi daerah korupsi dilegalisasi secara de fakto dan de jure yaitu disahkan dalam suatu keputusan kebijakan di legislative pada APBD. Jika merujuk pada peraturan daerah Anggaran Belanja Daerah Riau tahun 2002 dan 2003 legalisasi korupsi tersebut sangat tampak jelas. Contohnya anggaran Asosiasi Lima Media (A5M) yang secara jelas tampak menggunakan kekuasaan untuk membiaya media mereka sendiri. Kasus pembangunan Gedung DPRD Riau yang menurut konsultan bangunan hanya diperlukan dana 37 milyar saja, kemudian dinaikan biayanya menjadi 68 milyar, penunjukan secara langsung untuk beberapa proyek yang belum dianggarkan. Anggaran untuk organisasi dan lembaga yang jelas-jelas dipimpin anggota DPRD. Jika dilihat secara hukum memang tidak melanggar hukum karena disahkan melalui peraturan daerah. Tetapi jika dilihat dari substansinya jelas sekali adanya aspek menggunakan kekuasaan untuk menikmati uang negara. Selain itu terjadi pemerataan korupsi. Di era otonomi ini daerah yang menunjukkan usaha dengan nyata berhasil pemberantasan korupsi adalah daerah-daerah yang minim keuangan daerahnya. Pemberantasan korupsi bisa diasumsikan berkaitan dengan besaran anggaran yang bisa dikorupsi. Pemberantasan korupsi Sumatera Barat, Jawa Barat, Yogya dan Surabaya menunjukkan dua gejala yaitu mungkin saja aparat yang bersih dan ada anggota dewan yang mempunyai hati nurani untuk melaporkan tindakan korupsi anggota dewan lainnya. Atau, membenarkan asumsi bahwa tidak terjadinya pemerataan korupsi karena anggaran yang akan dikorupsi terbatas. Pada daerah kaya seperti Riau, Aceh, dan Kalimantan semangat pemberantasan korupsi tidak begitu tampak. Logika ini berhimpitan dengan besaran anggaran di daerah. Karena jumlah anggaran besar maka terjadi pemerataan jatah korupsi, semua pihak mendapat peluang untuk melakukan korupsi. Untuk kasus Riau misalnya pembangunan gedung teater tertutup, jelas-jelas hasil sidak DPRD Riau belum nampak jelas pembangunannya atau tidak sesuai dengan jumlah uang yang sudah diturunkan APBD 2002. Padahal dana yang nilainya melebihi 8 milyar rupiah sudah lewat masa anggaran. Dengan demikian pihak Kejaksaan telah memberikan kesempatan kepada pencoleng negara yang berdasi untuk membersihkan diri. Kasus ini akan menjadi preseden buruk karena dikhawatirkan apa yang diasumsikan korupsi pada saat ini akan berubah statusnya dengan berjalannya waktu. Seperti sesegera mungkin pembangunan Gedung Teater Tertutup Bandara Serai sehingga yang dianggap dana APBD 2002 raib, tidak terindikasi. Jika hasil sidak Anggota DPRD masih belum juga dapat dikatagorikan korupsi maka indikasi tindakan nepotisme di pihak kejaksaan jelas makin terang. Apalagi tidak ada langkah konkrit untuk meningkatkan status penyelidikan menjadi penyidikan. Begitu juga dalam kasus A5M (Asosiasi 5 Media) yang anggota DPRD menggunakan APBD biaya korannya. Padahal UU Susduk DPR dan Tata Tertib DPRD Riau jelas-jelas melanggar. Selanjutnya pada APBD 2003 jelas-jelas beberapa organisasi milik anggota dewan mendapat kuncuran dana APBD. Sementara tidak melihat adanya anggota DPRD Riau yang terpanggil untuk mengadukan tindakan anggota dewan yang melanggar hukum ini kepada kejaksaan. Bahkan laporan Koalisi Anti Korupsi menyerahkan data dan mengadukan tindakan korupsi APBD tahun 2001 dan 2002 belum di dengar adanya langkah yang baik oleh Kejaksaan. Sekian bulan statusnya tidak berubah masih dalam penyelidikan, belum adalah penyidikan dan jangan berharap ada yang ditahan. Dari Pimpinan Melihat alasan diatas adalah sangat wajar kita pesimis adanya usaha-usaha pemberantasan korupsi di Riau. Paling-paling yang muncul media massa adalah penangkapan rakyat kecil yang melakukan kejahatan karena kesulitan ekonomi. Seorang ibu hamil ditahan polisi karena mencuri susu, padahal negara bertangung jawab untuk perbaikan gizi anak bangsa. Inilah fakta bahwa hukum masih memandang bulu, bulu bersih atau kotor. Permasalahannya adalah bagaimana memberantasnya? Prof. Dr. Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sociology Of Corruption 1968 dan Corruption: It’s Nature, Causes and Functions 1990 bahwa cara untuk memberantas korupsi tergantung pada kemauan kelompok pemimpin. Pada masyarakat Asia yang masih berpegang pada nilai paternalistik semua perubahan berawal dari pimpinan. Oleh karenanya watak seorang pemimpin lebih penting daripada struktur politik dan pemerintahan. Berdasarkan karakter negara Asia dan yang sedang membangun maka syarat membasmi korupsi adalah pemimpin yang tidak korupsi dan mempunyai kemampuan keras untuk memberantas korupsi. Pemimpin yang demikian sudah mempunyai pemahaman tentang sifat, sebab-sebab dan akibat korupsi. Proses pemberantasan korupsi tersebut semakin cepat apabila pemimpin tersebut mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Melalui pemimpin yang punya kemampuan kuat untuk memberantas korupsi tersebut maka diharapkan dari pemimpin tersebut akan memecat semua pegawai negara yang melakukan korupsi. Tindakan ini diberlakukan secara sistematik, adil dan berlanjut walau pejabat paling tinggi sekalipun. Tindakan ini harus diikuti pula pembaharuan administrasi dan kebijaksanaan ekonomi sehingga memungkinkan orang-orang mencapai taraf hidup yang lumayan. Pegawai negara tidak perlu mencari sampingan untuk menghidupi keluarga. Masyarakat punya kepastian dan hak atas hukum secara adil. Jika pemimpin yang sedemikian tidak ada maka yang melakukan perubahan tersebut adalah rakyat. Rakyat yang sadar bahwa tindakan korupsi akan merugikan dirinya atau hilangnya hak-hak rakyat atas kewajiban negara harus melakukakan perlawanan terhadap korupsi. Rakyat dalam memerangi korupsi tentu saja secara sistematis dan serius. Dimulai dari kelompok-kelompok kecil dengan tidak melakukan korupsi. Kemudian mengajak rakyat secara bertahap untuk tidak melakukan korupsi lagi dan memerangi korupsi. Gerakan melawan korupsi harus mencapai pada satu tahap yaitu gerakan rakyat semesta melawan korupsi. Perlawanan terhadap korupsi dimulai dengan diri sendiri, mendesak penegak hukum untuk memberantas korupsi dan gerakan sosial untuk memberi sanksi sosial kepada koruptor. Semua asumsi bahwa korupsi akan membawa kesenangan adalah tidak benar dan harus dihapus. Bahkan korupsi bukan hanya akan menyengsarakan orang banyak tetapi akan membuat keluarga menderita dan diri pelaku korupsi itu sendiri. Satu kesadaran yang perlu ditanamkan pada masyarakat adalah dunia sudah mulai berubah menuju kepada demokratisasi yang akhirnya nanti akan menyengsarakan pelaku korupsi. Usaha pemimpin dan rakyat tersebut harus mendapat dukungan sepenuhnya dari media massa untuk membangkitkan semangat marah terhadap korupsi secara kolektif. Melakukan gerakan ini diharapkan akan muncul sebanyak mungkin orang melawan korupsi. Nah kehadiran Koalisi Anti Korupsi, sebagai langkah untuk membangkitkan semangat marah terhadap korupsi secara kolektif.** (telah diterbitkan di HU Riau Pos)

Tidak ada komentar:

Siapa yang anda pilih jadi Presiden?

Me

Me
Foto Terbaru

Cinta ku

Cinta ku

depan rumah

depan rumah
me n wife

Ayahanda

Ayahanda
Ayah ku yang berjasa

Klub Anak2

Klub Anak2
Di Rumah ku ada klub anak-anak lingkungan yang berlatih breakdance

Latihan Silat Juga

Latihan Silat Juga
Juga pernah saya mendatangkan guru untuk anak-anak yang mau main silat

Sekolah Gratis

Sekolah Gratis
Perpisahan dengan yang taman sambil rekreasi

Sedang belajar

Sedang belajar
Anak sedang belajar di ruangan tengah rumah ku

Perpustkaan

Perpustkaan
Di rumahku juga disedikan perpustakaan bagia siapa aja yang hobbi membaca

diskusi

diskusi
di rumah juga sering mengadakan diskusi gitu loh

Di Kuansing

Di Kuansing
Lagi Monev di Kuansing bersama Tim

Bersama Kepala Suku

Bersama Kepala Suku
Prof Aliamanda Su