Dari saya
Terima kasih bagi netter yang telah ke blog saya, dan menyediakan sedikit waktunya untuk membaca buah pikiran saya. Saya sangat senang jika apa yang saya pikirkan mendapat respon positif ataupun negatif. Dan saya dapat dihubungi di 08127627068. Salam mari berbagi kedamaian.
M.Rawa El Amady
Sabtu, 20 Oktober 2007
Reformasi Desa
Oleh. M.Rawa El Amady
Desa Sebelum Reformasi
Masyarakat di pedesaan Indonesia mengalami proses depolitisasi sangat lama dan paling parah jika dibandingkan dengan masyarakat pedesaan di Asia Tenggara lainnya. Kekacauan politik di Vietnam dan Kamboja tidak menjadikan masyarakat pedesaaanya mengalami depolitisasi oleh bangsanya sendiri. Begitu juga dengan Malaysia dan Brunai serta Thailand-- yang tidak pernah dijajah--, sedangkan Singapura berdasarkan laporan Bank Dunia tahun 1996 tidak ada lagi daerah pedesaan. Hanya saja ke semua masyarakat pedesaaan di Asia Tenggara mengalami proses tranformasi yang sama menuju ke masyarakat industri yang berhadapan dengan rintangan politik negara.
Di Indonesia proses depolitisasi dan marjinalisasi masyarakat desa telah bermula dari zaman penjajah. Melalui usaha meminimalisir kebutuhan, penghapusan lembaga-lembaga kemudian diganti dengan lembaga serupa tetapi mempunyai fungsi yang berbeda dengan lembaga aslinya. (Soejito,87). Proses meminimalisir kebutuhan dan pertukaran lembaga tersebut bertujuan menjauhkan pemimpin desa dari masyarakat. Jika masyarakat telah jauh dari pemimpin maka saluran politik mereka akan hilang.
Proses marjinalisasi dan depolitisasi masyarakat desa –terutama petani-- berada dipuncaknya pada masa rezim orde baru. Orde baru dengan bangganya melanjutkan prilaku penjajahan Belanda melalui pembuatan udang-undang. Selama Orde baru setidaknya diterbitkan dua undang-undang yang menjadi sarana legitimasi untuk mendepolitisasi masyarakat desa, yaitu undang-undang politik yang menerapkan sistem massa mengambang di desa, dan undang-undang no 5 tahun 1979 tetang penyeragaman bentuk desa seluruh Indonesia.
Undang-Undang politik yang mengamalkan sistem massa mengambang memberi kasempatan yang besar kepada pemerintah untuk mengawasi kekuatan politik di desa melalui tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat yang lama diganti oleh pemerintah dengan tokoh baru yang menyokong partai pemerintah. Loekman Soetrisno (Republika: 14 Desember 1995) menyatakan bahwa akibat floating mass masyarakat desa kehilangan haknya untuk terlibat secara langsung dalam proses pembuatan kebijaksanaan melalui patron politiknya. Semua tokoh politik di desa mewakili kepetingan rezim yang bekuasa sebab dia diangkat berdasarkan kepentingan rezim bukan masyarakat desa.
Begitu juga Undang-Undang no 5 tahun 1979, tentang pemerintahan di Desa. Mengikut Undang-Undang tersebut, seluruh pemerintahan desa di Indonesia telah diseragamkan. Akibatnya beberapa kampung yang tidak memenuhi persyaratan Undang-undang telah digabungkan dengan kampung lain untuk membentuk sebuah desa. Kekuasaan wali sebagai kepala kampung berpindah kepada kepala desa. Kepala desa yang baru dilantik merupakan orang pemerintah, dengan jelas tidak memihak kepada rakyat. Undang-Undang ini bukan saja merusak tatanan struktur masyarakat di kampung karena bergantinya kepemimpinan kampung, tetapi juga menyebabkan masyarakat kehilangan pemimpin untuk memperjuangkan hak-hak politik mereka. Undang-undang ini juga mengatur tentang siapa yang bisa menjadi pemimpin di desa yang terlebih dahulu harus disetujui oleh rezim yang berkuasa.
Melalui dua perangkat undang-undang tersebut masyarakat desa dieksploitasi oleh berbagai pihak, seperti kapitalisme internasional (pemodal asing), pemodal nasional/lokal dan pegawai pemerintah (birokrasi). Eksploitasi kapitalis internasional dilakukan melalui perluasan modal dan produksi. Perluasan modal tersebut melibatkan investasi dalam berbagai sektor terutama pertambangan, perkebunan, perhutanan dan pabrikasi dengan membangun pabrik di desa.
Eksploitasi yang dilakukan pegawai pemerintah, merupakan akibat dari munculnya pengusaha birokrat, keluarga birokrat, serta pengusaha China. Yang melakukan eksploitasi adalah pengusaha-pengusaha semu (birokrat, keluarga birokrat, China dan pegawai pemerintah) yang muncul menjadi pengusaha karena mereka mempunyai kekuasaan dan mendapat sumber dana dari pemodal asing (Yoshihara Kunio,1985). Akibat eksploitasi tersebut penduduk desa kehilangan tanah tempat mereka bergantung hidup, yang menjadikan mereka semakin marjinal dan semakin tidak berdaya secara politik.
Undang-undang politik dan undang-undang pemerintahan desa memberi ruang yang luas kepada pengusaha dan pemerintah untuk mengeksploitasi masyarakat desa. Di beberapa desa –terutama di Riau—dijumpai bahwa kepala desa adalah aparat yang paling aktif melakukan eksploitasi kepada masyarakatnya. Masyarakat desa tidak mempunyai saluran politik untuk memperjuangkan nasib dari eksploitasi pengusaha dan birokrasi. Patron politik yang biasanya ikut memperjuangkan kepentingan masyarakat telah diganti.
Patron Politik Di Desa
Dalam literatur ilmu sosial patron merupakan konsep hubungan stata sosial dan penguasaaan sumber ekonomi. Konsep patron selalu diikuti oleh konsep klien, tanpa konsep klien konsep patron tidak ada. Patron dalam bahasa marxian merupakan kelas yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi yang karena memiliki kelebihan kekuasaan dan material melakukan ekploitasi terhadap klien yang banyak menggunakan alat produksi dari patron. Hubungan patron-klien tersebut tidak saja terbatas pada ekpoitasi tetapi sampai kepada tingkat ketergantungan yang tinggi.
Scott (1974) dan Popkin (1979), dua ilmuan yang berbeda melihat hubungan patron-klien di desa, khususnya pada komunitas petani. Bagi Scott, hubungan patron-klien bagi petani merupakan satu sistem jaminan kelangsungan hidup. Walaupun hubungan itu merupakan bentuk eksploitasi bagi petani, tetapi sangat diperlukan. Dalam hukum etika subsistensi, bagi petani di desa hubungan patron-klien bagaikan malaikat ketika menjelang musim panen tiba, perayaaan atau bencana. Persepsi Scott, tentu sangat berbeda dengan Popkin yang mencoba memahami petani melalui pendekatan eknomi-politik dengan tidak membedakan sistem ekonomi petani dengan ekonomi pasar. Bagi Popkin hubungan patron- klien merupakan bentuk eksploitai yang membuat petani tertekan.
Dalam hubungan politik, patron-klien merupakan hubungan penyaluran aspirasi sebagaimana yang dikemukakan Lukman Sutrisno diatas. Patron politik tidak hanya melalui hubungan ekonomi, tetapi juga melalui kepeimimpinan informal yang muncul karena ekonomi, keturunan, dukun, adat dan agama dan pendidikan. Masyarakat di pedesaaan menyalurkan aspirasi politiknya kepada patronnya untuk memperjuangkan kepentingan politiknya. Melalui patron tersebutlah petani ikut serta mengambil keputusan politik. Patron politik pula tidak mungkin mengabaikan kepentingan masyarakat karena menyangkut status kepentingan juga melekat kepada masyarakat. Status kepemimpinan informal akan hilang apabila keberpihakannya kepada masyarakat berkurang.
Analisis hubungan patron-klien dalam politik lebih mudah menggunakan model Scott dengan mengubah unit analisis dari hubungan ekonomi ke hubungan politik. Scott menganilis bahwa hubungan patron-klien tidak dilihat merugikan petani, karena jaminan makanan sepanjang tahun dari patron dan patron memerlukan produksi pertanian dari petani. Dalam hubungan politik patron dilihat sebagai pemilik legitimasi informal atau formal membutuhkan dukungan yang terus menerus untuk mengekalkan legitimai tersebut. Sedangkan klien memerlukan patron untuk memastikan terjaminnya perlindungan politik dan hukum terhadap keluarga mereka. Disinilah arti pentingnya patron politik di desa yang lahir dalam tatanan norma pedesaan. Pemimpinnya tidak bisa lari dari kepentingan masyarakat karena bersarnya ketergantungan kepada dukungan dari masyarakat.
Berbeda dengan pemimpin politik yang diadakan oleh rezim orde baru, mereka bukanlah pemimpin yang memerlukan legitimasi dari rakyat tetapi sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Bagi mereka, masyarakat harus lemah dan tunduk kepada kepentingan pemerintah (pribadi). Oleh sebab itu, tidak ada pertimbangan politik yang diambilnya berpihak kepada rakyat, semua kebijaksanaan politik diambil berdasarkan pertimbangan pribadi, pengusaha dan atasannya. Akibatnya masyarakat tidak terlibat dalam proses pengambilan kebijaksanaan, sebab patron politik yang selama ini merupakan wakilnya tidak dipakai bahkan dihilangkan.
Reformasi di Desa
Rerformasi pada tahap sekarang ini baru berada di Jakarta yang diwarnai oleh perebutan kepentingan politik antara yang pro demokrasi dan yang pro statusquo. Reformasi belum menyebar pada perubahan sturktural dan kulutral dalam masyarakat, terutama sekali yang menyangkut kepentingan masyarakat desa yang jumlahnya 62% dari penduduk di Indonesia. Reformasi memang memperdebatan undang-undang politik yang selama orde baru membelenggu masyarakat pedesaan. Tetapi reformasi belum membicarakan bagaimana mengembalikan patron politik masyarakat desa, belum juga mengembalikan kekuasaan desa pada kampung-kampung atau dusun atau nama lain yang selama ini merupakan milik masyarakat setempat. Padahal kualitas pemilu yang jujur ditentukan apakah proses pemilu di desa berjalan jujur dan adil. Sumbangan suara terbesar dalam pemilu masih tetap berada di desa. Jika di desa tidak diikuti oleh proses reformasi, maka diyakini bahwa rezim orde baru masih tetap kekal walaupun secara de jure orde baru sudah hancur.
Bisa saja undang-undang partai politik dan pemilu telah menghapus konsep massa mengambang di pedesaan, tetapi jika tidak diikuti oleh kembalinya patron politik masyarakat desa model pemilu orde baru akan berulang di derah pedesaan. Tidak semua desa yang celik baca, mempunyai sarana televisi, radio dan mempunyai apresiasi dalam politik. Agen-agen orde baru yang menjadi pemimpin di desa akan memanfaatkan peluang tersebut melalui politik uang bahkan mungkin masih bercorak seperti di masa orde baru.
Partai-partai politik di era reformasi diminta untuk memikirkan dan ikut merumuskan bentuk reformasi yang sesuai dengan perubahan sekarang. Partai politik perlu mengembalikan pemimpin desa yang dulu disingkirkan oleh rezim orde baru, serta mengembalikan bentuk desa kepada akar kulturalnya. Tentu langkah awalnya adalah agar sebanyak mungkin partai politik masuk ke desa, sehingga sumber kekuasaan di desa tidak hanya ada pada Golkar. Monopoli golkar selama ini harus disebarkan kepada parpol lain, agar patron politik yang selama ini dimatikan oleh rezim orde baru muncul melalui partai-partai baru tersebut. Kalau seandainya tidak bisa lagi dikembalikan, maka patron politik tersebut bisa langsung diambil alih oleh wakil-wakil partai yang ada didesa. ****
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar