Dari saya
Terima kasih bagi netter yang telah ke blog saya, dan menyediakan sedikit waktunya untuk membaca buah pikiran saya. Saya sangat senang jika apa yang saya pikirkan mendapat respon positif ataupun negatif. Dan saya dapat dihubungi di 08127627068. Salam mari berbagi kedamaian.
M.Rawa El Amady
Selasa, 23 Oktober 2007
Di Dumai BPS EROR 90%
Temuan Mengejutkan hasil Pendataan Rumah Tangga Miskin oleh BPS di Kota Madya Dumai cukup megejutkan karena setelah di cek ulang oleh Pemerintah Setempat ternyata eror data mencapai 90%. Data yang dihasilkan oleh BPS hanya ditemui 10% saja, selebihnya gak dijumpai atau salah data. Berdarakan data BPS jumlah penduduk miskin mencapai 38 ribu lebih, sementara data yang ditemukan oleh tim pemko mencapai 43.029 jiwa. Data itu selain eror pendataan juga eror dari penjumlahan. HAsil advokasi oleh Badan Advoklasi Publik Menunjukkan bahwa tingkat eror BPS ini berada pada pendata statistik (manteri) yang asal data. (rw)
Minggu, 21 Oktober 2007
PETINGNYA RAWA
Rawa adalah lahan genangan air secara ilmiah yang terjadi terus-menerus atau musiman akibat drainase yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisika, kimiawi dan biologis.
Definisi yang lain dari rawa adalah semua macam tanah berlumpur yang terbuat secara alami, atau buatan manusia dengan mencampurkan air tawar dan air laut, secara permanen atau sementara, termasuk daerah laut yang dalam airnya kurang dari 6 m pada saat air surut yakni rawa dan tanah pasang surut. Rawa-rawa , yang memiliki penuh nutrisi, adalah gudang harta ekologis untuk kehidupan berbagai macam makhluk hidup. Rawa-rawa juga disebut "pembersih alamiah", karena rawa-rawa itu berfungsi untuk mencegah polusi atau pencemaran lingkungan alam. Dengan alasan itu, rawa-rawa memiliki nilai tinggi dalam segi ekonomi, budaya, lingkungan hidup dan lain-lain, sehingga lingkungan rawa harus tetap dijaga kelestariannya
(Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.)
Sabtu, 20 Oktober 2007
PERKARANGAN SEBAGAI EKONOMI ALTERNATIF RUMAH TANGGA
M.Rawa El Amady
Secara kultural Riau pada umumnya menjalankan pola ekonomi tanaman keras di alur sungai. Pola ekonomi ini umum dimiliki oleh masyarakat yang mulai beranjak dari pola ekonomi food gathering (bergantung dari alam) ke ladang berpindah-pindah dan perlahan menuju ke pertanian menetap secara tahunan. Secara sosiologi ekonomi masyarakatnya masih menganut ekonomi subsisten dimana nilai usaha diukur berdasarkan kebutuhan harian.
Pada pola ekonomi seperti ini pola pendapatan dipengaruhi oleh pola pembelanjaan. Ada tiga pola pembelanjaan yang biasanya terjadi, yaitu pembelanjaan massal, pembelanjaan harian dan pembelanjaan sosial. Sumber utama pembelanjaan tersebut adalah produksi tahunan dan bulanan, yaitu beladang, meneres getah (sawit, jeruk) berbalak kayu, mecari ikan, mencari damar, dan taman sayur di ladang. Jika hasil produksi tidak mencukupi, biasanya langkah yang diambil adalah menjual harta, menghutang ke tauke atau bantuan keluarga dekat.
Jika kita melihat rumah-rumah orang melayu dan pinggiran sungai maka yang akan ditemui adalah tumbuhnya tanaman keras seperti kelapa, rambutan,jambu dan lain-lainnya. Jarang kita melihat fungsi perkarangan diisi oleh tanaman muda untuk konsumsi harian apalagi dijual. Hal ini wajar karena masyarakat sendiri masih sangat dipengaruhi oleh budaya pertanian berladang berpindah-pindah, belum sampai kepada himpitan lahan, atau lahannya masih luas.
Prediksi yang Akan Terjadi
Permasalahannya yang akan muncul dalam tahun-tahun kedepan (mungkin juga kini sudah dirasakan) adalah lahan sudah berubah dari lahan alam menjadi lahan pribadi milik pengusaha. Makin banyaknya peralihan kepemilikan lahan ini, maka semakin sempit lahan bagi masyarakat. Makin sempit lahan makin sulit untuk berladangan dan makin kecil pendapatan. Hal ini akan memaksa masyarakat untuk bertani secara menetap (hal ini telah terjadi pada petani Jawa dari awal kemerdekaan). Jika petani tidak akan mencari langkah bertani secara menetap maka sudah bisa dipastikan akan memberi dampak yang sangat berarti bagi pendapatan masyarakat. Atau bisa diasumsikan, jika pola ekonomi tidak berubah maka masyarakat akan semakin miskin, kemiskinan tidak mungkin berkurang.
Secara teoritis ada beberapa hal yang akan terjadi pada masa depan akibatnya hilangnnya lahan, Pertama, akan terjadinya krisis ketahanan pangan atau kemiskinan. Krisis ini bersumber dari perubahan sumber pendapatan disebabkan hilangnya hutan dan tanah perladangan serta potensi sungai, serta hilangnya aktivatas pertanian primer digantikan aktivitas pertanian skunder dan tertier. Padahal ketahanan pangan penduduk lokal tergantung pada hutan dan sungai.
Selain itu, pada masa yang tidak terlalu lama lagi penduduk di desa ini akan menghadapi apa yang dikenal dengan involusi pertanian(Geertz 1970), dimana tanah atau rumah sewa tidak bertambah sementara jumlah anggota keluarga bertambah. Seperti pengalaman di Amerika Serikat untuk suku Indian, di Australia untuk suku Aborijin, suku Melayu di Medan dan suku Betawi di Jakarta
Kedua adalah terjadinya krisis tenaga kerja. Penduduk desa yang dulunya merupakan unit tenaga kerja rumah tangga (domestik) yaitu bekerja tanpa dibayar untuk ekonomi rumah tangga di sektor pertanian dan kehutanan, (Cayanov 1966) kini mereka tidak bisa lagi menjadi unit ekonomi domestik, mau bekerja di perusahaan tidak mempunyai skill dan terikat dengan budaya pertanian.
Jika sudah begini keadaannya, maka langkah yang diambil oleh masyarakat adalah beralih sumber ekonomi secara terpaksa, yaitu mengambil sisa-sisa pekerjaan perkotaan. Contoh kasus yang paling menarik adalah masyarakat di Pangkalan Kerinci, 80% penduduknya menjadi buruh angkut harian, penarik becak dan buruh bangunan harian dan berladang dengan lahan apa adanya. Sementara dunia usaha dan dunia kerja di perusahaan diambil alih pendatang, bahkan penduduk lokalpun menjadi komuditi oleh sekolompok orang.
Mengorganizir Rumah Tangga
Jika sampai pada suatu prediksi diatas, satu-satu yang dimiliki masyarakat adalah rumah dan perkarangan. Tidak ada pilihan lahan bekerja untuk bertani, pilihan kerja hanya pekerjaan sisa saja. Maka akan terjadi dimana para lelaki biasanya berkeluyuran keluar rumah hanya untuk menunjukkan bahwa dia lelaki yang bertangung jawab sehingga selalu punya kesibukan untuk mencari nafkah walaupun tidak punya penghasilan.
Dalam keadaan yang mengkhawatirkan ini maka pilihan pengunaan lahan hanya lahan perkarangan. Persoalannya adalah selama ini perkarangan masyarakat melayu biasanya ditanami tanaman keras yang mana tidak secara langsung memberi sumbangan untuk membantu menyelesaikan kebutuhan makan hari ini. Disinilah peranan masyarakat adat untuk memfungsikan perkarangan dari tanaman keras ke tanaman muda. Lahan perkarangan yang sempit tersebut dioptimalkan untuk menjadi sumber utama penghasilan keluarga.
Bagaimana memilih jenis tanaman muda yang tepat? Yang harus diperhatikan adalah tanaman apa yang diminati oleh ibu/bapak ataupun anak-anaknya yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hari ini. Bagaiman membangkitkan minat terhadap tanaman? Diperlukan tambahan pengetahuan dari dinas pertanian ataupun pendampingan.
Apa mungkin perkarangan bisa menjadi sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hari ini? Jika orientasi tanaman untuk dimakan sendiri jelas tidak mungkin karena dia hanya mampu memenuhi satu kebutuhan saja dari fungsi tanaman yang ditanam itu saja. Sebab itu fungsi perkarangan harus berorientasi pasar, yaitu tanaman itu harus dijual. Masalahnya sering sekali ada pertanyaan apa mungkin produksi perkarangan berorientasi pasar? Lagi pula dengan produksi yang kecil tersebut akan kesulitan memasarkannya. Jika belajar dari pengalaman Malasyia yang membisnis desa maka produksi rumah tangga tersebut bisa menjadi produk massal yang berkelanjutan.
Adapun langkah yang perlu diambil melakukan gerakan partisipatif dari konsultatif oleh pemuka adat ataupun kelompok pendamping. Pemuka adat atau kelompok pendamping ini menggali potensi rumah tangga, yaitu melihat kemampuan perkarangan dan tanaman yang cocok serta minat usaha dari rumah tangga tangga. Setiap keluarga yang mempunyai jenis usaha yang sama digabung dalam satu kelompok usaha. Pendamping melakukan pendampingan pada kelompok ini agar menjadi satu unit usaha yang kuat dan terorganisir. Dari kelompok-kelompok usaha tersebut digabung menjadi usaha desa dalam bentuk koperasi. Koperasi menjadi sumber pasar dari usaha ini, koperasilah yang membeli dan menjual produk desa tersebut menjadi produk ekonomi. Koperasipun sekaligus berfungsi sebagai pembentuk jaringan pasar/luar. Untuk menjaga keseimbangan desa fokus sasaran hendaknya diutamakan Kepada keluarga miskin terlebih dahulu.
Bagaimana Peranan Pemerintah?
Pemerintah sesuai dengan fungsinya adalah melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan peningkatan usaha publik. Maka langkah utama bagi pemerintah adalah menyediakan petugas pertanian untuk membimbing masyarakat bertani yang baik dan kemudahan modal. Kemudian pemerintah menyediakan subsidi dan pupuk, serta menyediakan pasar atau pengolahan agar menjadi barang setengah jadi atau bahan jadi. Untuk menwujudkan hal tersebut maka yang diperlukan adalah tersedianya jalan dan transportasi yang memadai.
ANALISA KEMAMPUAN KINERJA PPD
Oleh M Rawa El Amady
Freelance Researchers
Abstrak
Studi ini membahas tentang implementasi kebijakanan penanggulangan kemiskinan pada program pemberdayaan desa (PPD). Studi ini dimaksudkan untuk menganalisis kemampuan PPD dalam menyelesaikana permasalahana kemiskinan di Riau. PPD merupakan program yang fokus kepada pedesaan dengan menyalurkan dana abadi untuk desa. Tentu melalaui studi ini akan diektahui jumlah sentuhan desa dan jiwa yang memanfaatkan program ini. Metoda studi ini lebih bersifat analisis dokumentatif di mana peneliti menjadikan dokumentasi program sebagai bahan utama kajian, hasil dari analisa dokumentatif tertsebut diverivikasi ke enam desa/kelurahan sample.
Dari studi ini diketahui bahwa program ini masih sangat dominan warna mobilisasi kepentignan birokrasi yang berorientasi proyek. Pencapaian satu-satunya program adalah pengembalian pinjaman yang sangat baik. Namun program ini belum menyentuh kepada desa miskin dan penduduk miskin, karena desa yang menjadi sasaran hanya 14% desa miskin dan penduduk miskin yang menjadi sasaran hanya 0,87% dari jumlah penduduk miskin versi Balitbang di desa sasaran atau 6,05 % peminjam dari jumlah peminjam keseluruhannya. Selain itu diketahui juga bahwa struktur pelaksana program terutama struktur koordinasi pemerintah belum berjalan, sedangkan struktur pelaksana dari fasilitator program masih sangat berorientasi pada kepentingan pencapaian out program yang mengabaikan fungsi-fungsi pengembangan dan koordinasi. Secara umum program ini masih beranjak dari kesalahan program pedesaan sebelumnya yang hanya menguntungkan kelas progresif pedesaan.
DAMPAK INDUSTRI TERHADAP MASYARAKAT MELAYU DI DUSUN PERTIWI, RIAU â
Oleh
M. Rawa El Amady
Tulisan ini membahas dampak industri terhadap masyarakat desa melalui tiga aspek yaitu aspek ekonomi, aspek sosial dan lingkungan. Untuk menganalisis data, penulis menggunakan pendekatan ekonomi politik Marx, melalui pembagian masyarakat di tempat penelitian menjadi dua kelas, yaitu kelas borjuis dan kelas petani kecil. Kelas borjuis terdiri dari borjuis metropolis dan borjuis tempatan. Borjuis metropolis adalah perusahaan mutinasional yang menginvestasikan modalnya di Indonesia khususnya di Dusun Pertiwi dengan mendirikan pabrik kertas PT Indah Kiat dan perusahaan tanaman kayu (HTI) PT Arara Abadi. Borjuis tempatan pula terdiri dari pegawai pemerintah (dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan dan kepala desa), dan pengusaha China. Kelas borjuis ini bersatu melakukan eksploitasi terhadap kelas petani kecil. Borjuis pemerintah memiliki kekuasaan resmi (yang otoriter) sedangkan pengusaha China, dan pengusaha multinational memiliki modal dan teknologi. Dua kekuasaan bersatu untuk mengeksploitasi sumber alam yang ada di Dusun Pertiwi.
Untuk mendapatkan data penulis tinggal bersama penduduk Dusun Pertiwi dari November hingga Desember 1996. Selama bersama penduduk penulis melakukan wawancara secara mendalam dan pemerhatian. Dusun Pertiwi dipilih sebagai tempat penelitian karena di Dusun Pertiwi kini terdapat industri pabrik kertas PT Indah Kiat dan perusahaan perkebunan PT Arara Abadi dan pabrik kayu lapis PT Pertiwi Plywood. Selain itu di Dusun Pertiwi bisa ditemui penduduk asli Melayu yang merasakan adanya dampak yang nyata dari industri.
DUSUN PERTIWI SEBELUM KEHADIRAN INDUSTRI
Sebelum kehadiran pabrik kertas Indah Kiat pada tahun 1982 dan pabrik Pertiwi Plywood pada tahun 1987, Dusun Pertiwi merupakan daerah yang terpencil, meskipun pada tahun 1962 di Prearrange telah dibangun jalan raya oleh perusahaan minyak PT Celtics Pacific Indonesia (CPI). Perhubungan dengan tempat lain hanya melalui jalan sungai, dan memerlukan waktu sehari jika hendak ke Siam atau ke Pekanbaru. Penduduk Dusun Pertiwi baru merasakan pengaruh kehadiran industri pada tahun 1985 ketika pabrik kertas Indah Kiat mulai berproduksi. Pengaruh kehadiran industri makin dirasakan penduduk Dusun Pertiwi pada tahun 1992 ketika perusahaan perkebunan kayu untuk industri (HTI) PT Arara Abadi bersama pemerintah mengambil tanah rakyat secara besar-besaran.
Dusun Pertiwi berada dipinggir Sungai Siam dan penduduknya bergantung hidup pada hutan dan sungai. Sungai Siam bagi penduduk Dusun Pertiwi mempunyai arti yang amat penting. Selain sebagai alat transportasi, sungai itu juga tempat mereka memenuhi keperluan air minum, tempat mandi, tempat mencuci, sebagai sumber pendapatan --mencari ikan-- dan tempat membuang air besar dan air kecil.
1. Keadaan Ekonomi
Keadaan ekonomi penduduk dapat dilihat dari; Pertama, Pemilikan Tanah (Kebun). Pemilikan tanah (kebun) dapat diketahui dari jumlah tanah yang diperolehi melalui pembukaan hutan, warisan dan pembelian. Hak milik mereka bukan berdasarkan bukti secara tertulis, tetapi berdasarkan kesepakatan bersama masyarakat bahwa tanah tersebut milik seseorang (keluarga) yang ditandai oleh batas tanaman atau kayu besar. Untuk menentukan luas tanah mereka, penduduk Dusun Pertiwi menggunakan ukuran sebidang atau depa (sepanjang kedua belah tangan) atau petakan ladang.
Jumlah tanah yang dimiliki oleh setiap keluarga di Dusun Pertiwi paling sedikit 30 hektar. Bagaimanapun, jumlah keseluruhan tanah penduduk tidak dapat diketahui, hanya dapat diperkirakan berdasarkan jumlah tanah yang diambil perusahaan dan pemerintah, dan tanah penduduk yang masih tersisa sekarang. Tanah yang telah diambil PT Arara Abadi seluas 502 hektar, yang diambil pabrik kertas PT Indah Kiat seluas 420 hektar, yang diambil PT Pertiwi Plywood seluas 50 hektar, yang diambil pemerintah seluas 254.9 hektar, dan jumlah tanah yang dipunyai penduduk kira-kira 119 hektar serta seluas 60 hektar tanah kepala Desa Pinang Sebatang. Jumlah keseluruhan tanah yang dapat dikira seluas 1,405.9 hektar. Jumlah ini tidak termasuk tanah yang dibeli tauke China, dan tanah di seberang Dusun Pertiwi.
Kedua, Pekerjaan. penduduk Dusun Pertiwi sangat bergantung pada hutan, karena hutan bagi mereka merupakan critical support dan food security (Loekman Sutrisno, 1991:67). Oleh sebab itu, pekerjaan utama penduduk Dusun Pertiwi adalah bertani. Setiap tahun mereka membuka hutan untuk berladang, termasuk menanam karet. Walaupun berladang menjadi tradisi pertanian mereka tetapi sebenarnya pekerjaan utama penduduk adalah menyadap karet, karena hasil karet menjadi sumber utama untuk memenuhi keperluan keluarga apabila hasil ladang mereka tidak mencukupi untuk setahun. Menyadap karet merupakan pekerjaan rutin mereka sehari-hari, disamping membuka ladang, mencari kayu, mencari rotan dan damar, serta mencari ikan.
Di ladang, penduduk Dusun Pertiwi menanam padi, sayur-sayuran, buah-buahan dan membuat kebun karet. Penghasilan padi bergantung pada keadaan hama dan keadaan alam. Secara umumnya, padi mereka sekurang-kurangnnya dapat digunakan selama delapan bulan seusai menuai, atau sampai musim menuai yang akan datang. Jika padi mereka mencukupi untuk setahun kehidupan mereka akan lebih baik, karena mereka hanya perlu berhutang untuk memenuhi keperluan gula, garam, tepung dan makanan ringan lainnya. Akan tetapi, jika persediaan padi tidak mencukupi, mereka terpaksa berhutang pada tauke.
Bagi mereka yang rajin dan karet yang mereka toreh sedang banyak hasilnya, pendapatan mereka satu hari boleh mencapai 30 kilogram. Jika harga karet Rp1.200,00 sekilo mereka boleh mendapat pendapatan Rp 36.000, sehari. Umumnya penduduk menyadap karet paling banyak 20 hari dalam sebulan, maka pendapatan mereka boleh mencapai Rp 720.000,00 sebulan. Akan tetapi karena mereka biasanya sentiasa berhutang, uang sebanyak itu jarang dilihat oleh mereka, sebab karet hasil torehan mereka langsung diserahkan kepada tauke.
Pekerjaan lain yang biasa dilakukan oleh penduduk Dusun Pertiwi ialah mencari kayu balak untuk dijual kepada perusahaan Plywood. Pendapatan mereka dari jualan kayu tidak tetap, dan berdasarkan harga yang ditentukan oleh pihak pabrik ketika mereka menjualnya. Pekerjaan mencari kayu memerlukan waktu yang lama. Begitu juga dengan mencari rotan, damar, menangkap binatang, menangkap ikan dan menjual sayur di pasar. Semua pekerjaan itu dapat menghasilkan uang, tetapi tidak dapat ditentukan jumlahnya, dan tidak begitu mempengaruhi pendapatan keluarga mereka.
Sungai Siak juga merupakan sumber pekerjaan bagi penduduk Dusun Pertiwi. Mereka menjalankan pelayanan pengangkutan untuk membawa penduduk dari Very ke Dusun Pertiwi dengan bot. Setiap perahu biasanya dapat mengangkut 15 hingga 20 penumpang. Jumlah penduduk Dusun Pertiwi yang memiliki perahu motor hanya lima orang pada tahun 1980-an. Dalam sehari pendapatan bersih mereka boleh mencapai Rp 80.000,- pada hari pekan, tetapi hanya Rp.12.000,- pada hari biasa.
2.Aspek Sosial
Aspek sosial di sini dilihat dari aspek mobilitas penduduk, peranan isteri dalam rumah tangga, dan kepemimpinan kampung. Pertama, Mobilitas Penduduk. Mobilitas penduduk di sini diukur berdasarkan aktivitas keluar kampung yang dilakukan oleh penduduk Dusun Pertiwi untuk memenuhi keperluan hidup mereka. Ukuran ini sebenarnya susah untuk dibuktikan secara kuantitatif, sebab selain tidak tersedia data yang lengkap, bagi penduduk yang telah pindah tidak diketahui pula ke mana mereka pindah. Pembuktian hanya dapat dilakukan melalui analisa diskriptif berdasarkan aktivitas yang dilakukan oleh mereka sebelum kehadiran industri. Faktor pendukung dari gambaran aktivitas adalah pelayanan perhubungan, ketersediaan pasar, dan aktivitas berladang.
Terdapat dua aktivitas penduduk yang mendorong mereka bermobilitas keluar kampung, yaitu berbelanja dan bekerja. Bagi petani ladang, umumnya pada setiap hari pekan (Jumaat) kira-kira 90% daripada mereka pergi ke pasar di Desa Tualang untuk berbelanja bagi memenuhi keperluan hidup yang tidak dapat diperolehi dari ladang, hutan dan sungai. Bagi anak-anak muda, mereka umumnya pergi ke Desa Tualang, Very2, Pekanbaru dan Siak Sri Indrapura untuk menjual hasil pertanian. Bahkan ada seorang penduduk Pertiwi yang merantau ke Malaysia untuk bekerja.
Mobilitas penduduk sebelum masuknya Industri paling banyak ke Desa Tualang dan ke Very untuk berbelanja atau ke Very untuk bekerja. Penduduk yang pergi ke Pekanbaru sangat sedikit, bahkan boleh dikatakan tidak ada. Paling jauh pun penduduk Dusun Pertwi pergi ke Siak Sri Indrapura. Yang menghalang mereka pergi ke tempat yang agak jauh ialah kekurangan sarana transportasi, karena satu-satunya yang ada hanyalah transportasi melalui sungai dengan menggunakan bot atau kapal laut. Faktor tidak dapat meninggalkan ladang juga menjadi penyebab mereka sukar meninggalkan kampung. Akan tetapi, karena di dalam kampung mereka tidak ada pasar, mereka terpaksa pergi ke Desa Tualang untuk berbelanja.
Kedua, Peranan Isteri. Peranan isteri di Dusun Pertiwi secara idealnya adalah sebagai ibu rumah tangga , yaitu tidak melakukan aktivitas ekonomi di luar rumah dan hanya mengurus rumah tangga saja. Seorang suami yang baik adalah suami yang memberi kesempatan kepada isteri diam di rumah saja. Apabila seorang suami yang baru menikah mengajak isterinya bekerja ---bahkan tinggal di ladang pun-- dia akan mendapat penilaian yang kurang baik dari pada masyarakatnya. Sebaliknya pula, kemampuan seorang suami membiarkan isterinya tinggal di rumah mengurus rumah tangga saja, menjadi indikator kesejahteraan keluarganya.
Akan tetapi, pada realitasnya isteri tidak hanya menjadi ibu rumah tangga semata-mata, sebab seorang isteri juga ikut bekerja membantu suami di ladang, membersihkan ladang, menuai padi bahkan ramai ikut menemani suami menyadap karet. Seorang isteri biasanya ikut bekerja apabila telah lebih setahun menikah, tidak sedang hamil, ataupun anaknya sudah berumur lebih daripada lima tahun.
Walaupun isteri ikut bekerja, tetapi semua hasil kerjanya diserahkan kepada suami yang menjadi kepala keluarga. Setelah semua pendapatan diperoleh barulah suami membagikan uang tersebut untuk keperluan keluarga. Semua keputusan dalam keluarga sepenuhnya menjadi hak suami. Isteri hanya berhak memberi pendapat, tetapi wajib mendukung keputusan yang telah diambil oleh suami.
Ketiga, Kepemimpinan Kampung. Sejak Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintah di Desa dilaksanakan, sistem administrasi seluruh desa di Indonesia telah diseragamkan. Kampung-kampung kecil yang tidak memenuhi persyaratan sebuah desa digabungkan dengan kampung lain agar memenuhi persyaratan sebuah desa. Kampung Pertiwi yang merupakan kampung kecil yang terdiri daripada 30 keluarga telah digabungkan dengan tiga kampung lain menjadi Desa Pinang Sebatang. Status kampung juga diganti menjadi Dusun, yang tidak mempunyai otoriti pada kawasan kampung tersebut.
Sejak tahun 1980 hingga kini, Desa Pertiwi berada di bawah kepemimpinan Kepala Desa Pinang Sebatang yang mempunyai kekuasaan penuh ke atas dusun-dusun di bawahnya. Sebagai pembantu kepala desa diangkat seorang Kepala Dusun (kadus), ketua Rukan Warga (RW) dan ketua Rukun Tetangga (RT). Namun kepala dusun (kadus), RW dan RT tidak memiliki kekuasaan atas dusunnya. Kadus tidak dapat membuat perencanaan untuk kampungnya, melakukan jual-beli tanah, dan mengambil keputusan atas nama dusun. Kapala dusun hanya berfungsi melaksanakan urusan administrasi untuk mendukung program kepala desa.
Kepemimpinan informal, seperti pemuka adat tidak lagi dianggap sebagai pemimpin kampung. Mereka dihimpunkan oleh pemerintah dalam LMD (Lembaga Mesyuarat Desa) dan LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), dan tugas mereka hanyalah mendukung arahan pemerintahan. LKMD dan LMD tidak ada pada peringkat dusun, hanya ada pada peringkat desa saja. Dari segi pemeritahan, tokoh agama, adat dan orang tua tidak lagi berhak menentukan arah perkembangan kampung. Semua perkembangan kampung ditentukan dalam rapat peringkat desa.
Kepala desa dipilih melalui pemilihan suara oleh penduduk desa. Kepala dusun ditunjuk oleh kepala desa, sedangkan ketua RW dan RT dipilih dalam rapat penduduk dusun. Unsur adat tidak menjadi dasar pemilihan kepala dusun. Kepala dusun dipilih berdasarkan kemampuannya mengelola administrasi dusunnya dan dapat bekerja sama dengan kepala desa. Hubungan masyarakat dengan kepala dusun hanya hubungan administrasi saja. Apabila timbul sesuatu masalah dalam masyarakat akan diselesaikan pada peringkat desa.
DAMPAK KEHADIRAN INDUSTRI
TERHADAP MASYARAKAT MELAYU DUSUN PERTIWI
Dampak kehadiran industri yang akan dibahas di sini mencakupi dampak ekonomi, dampak sosial dan dampak lingkungan.
1. Dampak Ekonomi
Berikut beberapa dampaknya terhadap penduduk Dusun Pertiwi, dianalisis melalui ; Pertama, Pergeseran Pemilikan Tanah. Sebelum kehadiran industri jumlah tanah yang dimiliki oleh setiap keluarga di Dusun Pertiwi rata-rata 30 hektar. Bagi mereka yang rajin membuka hutan untuk berladang luas tanah merekat ada yang mencapai 100 hingga 200 hektar. Dar 17 keluarga di Dusun Pertiwi jumlah keseluruhan tanah yang dapat dibuktikan sebagai milik mereka mencapai 1,500 hektar.3 Jumlah tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya diperkirakan lebih luas lagi.
Pada masa ini tanah seluas 1,500 hektar itu, sudah menjadi lima pemilik, yaitu tanah milik pabrik atau perkebunan milik pabrik, tanah milik pengusaha lokal yang sebahagiannya adalah China, tanah milik kepala desa, tanah milik pemerintah atau perusahaan pemerintah dan tanah milik penduduk. Tanah yang telah diambil oleh PT Arara Abadi seluas 502 hektar, yang diambil oleh pabrik kertas PT Indah Kiat seluas 420 hektar, diambil PT Pertiwi Plywood seluas 50 hektar, diambil pemerintah seluas 254.9 hektar, dan yang masih dipunyai penduduk kira-kira 119 hektar serta seluas 60 hektar yang diakui oleh kepala Desa Pinang Sebatang sebagai miliknya. Jumlah keseluruhan tanah yang dapat dikira seluas 1,405.9 hektar. Jumlah ini tidak termasuk tanah yang dibeli tauke China, dan tanah yang diambil pemerintah di Dusun Pertiwi di seberang Sungai Siak. Tanah yang masih dimiliki oleh penduduk Dusun Pertiwi pada masa ini hanya tanah kebun karet atau belukar yang luasnya kira-kira 7 hektar bagi setiap keluarga Ada tiga keluarga yang memiliki tanah seluas dua hektar saja.
Kepala Desa membeli tanah penduduk dengan harga Rp.80.000,- bagi setiap hektar di kawasan yang akan dikembangkan menjadi kawasan indsutri. Tanah tersebut dijualnya kepada perusahaan dengan harga yang lebih mahal, adakalanya harga satu hektar mencapai Rp.2 juta. Kepala desa mengaku mempunyai tanah seluas 60 hektar yang sekarang sedang ditanami kelapa sawit dan kayu akasia. Selain itu, pengusaha China pula melakukan hal yang sama dengan kepala desa, yaitu membeli tanah Dusun Pertiwi di kawasan yang akan dibangunkan, kemudian menjual tanah tersebut kepada perusahaan.
Tanah penduduk Dusun Pertiwi diambil melalui beberapa cara. Pertama, diambil secara paksa tanpa ganti rugi. Kedua, diambil dengan ganti rugi. Ketiga, dibeli dengan paksa. Keempat, penduduk diharuskan menjual. Mengenai pengambilan secara paksa, kebun atau tanah yang menjadi milik penduduk diambil dan ditanami akasia (acacia) oleh PT Arara Abadi tanpa pengetahuan penduduk. Apabila penduduk menuntut tanahnya kepada perusahaan, maka perusahaan mengatakan bahawa tanah tersebut adalah tanah hutan. Penduduk diminta menunjukkan bukti secara tertulis jika tanah tersebut milik mereka. Akan tetapi, penduduk Dusun Pertiwi tidak seorang pun memiliki bukti secara tertulis. Untuk mempertahankan kebun yang disengketakan penduduk tersebut, pihak perusahaan menggunakan tentera atau orang yang menyamar sebagai tentera.4
Apabila cara pertama yaitu pengambilan tanah secara paksa gagal, maka pihak perusahaan akan menempuh cara kedua yaitu mengambil tanah dengan membayar ganti rugi mengikut harga yang ditentukan oleh pemerintah. Pihak perusahaan membayar uang tersebut kepada pemerintah, dan pemerintahlah yang akan membayarnya kepada penduduk. Cara ini dilakukan apabila tindakan perusahaan telah mendapat sorotan tajam dari masmedia dan NGO (Non Goverment Organisation).
Cara kedua ini juga dilakukan oleh pihak perusahaan karena sebab-sebab yang lain. Cara ini menjadi pilihan pertama apabila perusahaan mengambil tanah penduduk yang mempunyai bukti pemilikan secara tertulis. Ataupun sebelum tanah mereka diambil penduduk sudah mengadakan tunjuk rasa agar tanahnya dibayar dengan harga yang sesuai. Proses ganti rugi biasanya melalui pemerintah yang menentukan nilai ganti rugi, setelah itu meminta persetujuan penduduk. Perusahaan tidak langsungs membayar ganti rugi kepada penduduk tetapi melalui pemerintah.
Cara ketiga adalah membeli tanah penduduk dengan cara paksa. Cara ini diambil karena tanah tersebut tidak boleh diambil secara paksa disebabkan adanya bukti kepemilikan yang jelas. Untuk itu perusahaan membuka kebun baru atau meluaskan pabrik dengan mengepung tanah penduduk. Akibat tindakan perusahaan itu tanah penduduk sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi. Perusahaan tidak lansung membeli tanah penduduk, sebab kalau perusahaan yang membeli, harga tanah akan mahal. Oleh sebab itu yang membeli umumnya adalah pemerintah atau hanya kepala desa dengan harga yang lebih murah dan pemerintah atau kepala desa yang akan menjualnya kepada perusahaan dengan harga yang ditentukan perusahaan tetapi biasanya lebih mahal daripada harga membeli.
Yang banyak melakukan cara ketiga ini biasanya ialah pemerintah. Misalnya tanah yang terletak di antara PT Pertiwi Plywood dengan pelabuhan milik PT Indah Kiat, dibeli oleh pemerintah secara paksa dengan alasan di tempat itu akan dibangun pelabuhan sungai milik pemerintah. Akan tetapi setelah tujuh tahun tanah tersebut dibeli oleh pemerintah, pelabuhan belum juga dibangun. Sebaliknya yang terjadi adalah pengembangan pelabuhan milik PT Indah Kiat di atas tanah tersebut. Contoh lain, ialah tanah Dusun Pertiwi di seberang Sungai Siak yang dibeli oleh pemerintah dengan alasan untuk membangunkan kebun di kawasan itu.
Cara keempat adalah menciptakan keadaan agar masyarakat menjualkan tanah mereka. Caranya adalah mengembangkan sikap konsumtif pada masyarakat dengan menawarkan pelbagai jenis barang baru, menggalakkan menjual tanah untuk membangun rumah atau pergi ke Mekah. Selain itu menciptakan kekhawatiran di kalangan penduduk bahawa jika tanahnya tidak dijual sekarang, tanah itu akan diambil oleh pemerintah dengan ganti rugi yang lebih rendah. Dengan itu hampir semua penduduk Dusun Pertiwi berkeinginan menjual tanah mereka kepada pengusaha multinasional. Ada dua alasan utama. Pertama, daripada tanah itu diambil secara paksa oleh orang lain dan dibayar dengan harga yang lebih murah, lebih baik dijual dengan harga yang agak tinggi. Kedua, sebagai sumber kehidupan, karena pekerjaan sudah susah diperoleh, sedangkan sumber uang lain tidak ada. Salah satu cara untuk mendapatkan uang yang banyak dan hidup senang adalah dengan menjual tanah. Ada juga yang menjual tanah hanya karena ingin pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji.5
Dalam hubungan ini, peranan Kepala Desa Pinang Sebatang amat penting untuk menentukan tanah penduduk laku dijual. Jika penduduk ingin menjual tanah mereka secara langsung pada pengusaha pabrik, biasanya tidak mendapat tanggapan. Untuk menjual tanah mereka, penduduk harus menyerahkan tanah mereka kepada kepala desa lebih dahulu. Kepala desa yang akan menentukan harga tanah tersebut, biasanya Rp 800.000,- setiap hektar. Setelah itu baru tanah tersebut dijual kepada pihak yang memerlukannya. Biasanya yang membeli tanah itu adalah kepala desa sendiri.
Kedua, Perubahan Pekerjaan. Selepas tanah mereka (termasuk hutan dan kebun) diambil oleh industri, mereka tidak lagi berpeluang melakukan pekerjaan pertanian seperti dahulu. Mereka tidak bisa lagi membuka ladang, dan mencari rotan, damar, dan obat-obatan dan tak seorang pun yang berladang atau berkebun. Kini masih ada sepuluh orang yang menyadap karet, dan dua orang yang memiliki bot.
Walaupun pada masa ini penduduk Dusun Pertiwi masih mempunyai kebun kira-kira tujuh hektar rata-rata setiap keluarga, tetapi tanah tersebut tidak terletak di satu tempat. Oleh itu, mereka tidak boleh mengerjakannya. Sebabnya ialah hama6 dan hasil tanaman mereka akan habis dimakan hama jika mereka berladang secara bersendirian. Seorang informan menyatakan bahawa sekarang di Dusun Pertiwi lebih banyak hama daripada tanaman. Oleh itu, apa saja yang ditanam akan habis dimakan hama, sebab hutan sudah semakin habis, sehingga binatang tersebut susah mencari makan.7
Bagaimanakah penduduk mempertahankan hidupnya? Hasil penelitian SUCOFINDO8 November 1990, mendapati hanya 50 orang di kawasan Perawang yang bekerja di pabrik PT Indah Kiat. Walaupun pihak Indah Kiat dan Pertiwi memberi kesempatan kepada penduduk tempatan untuk bekerja di pabrik mereka dengan syarat yang mudah, tetapi hanya seorang saja anak penduduk Dusun Pertiwi yang bekerja di Pabrik PT Indah Kiat dan seorang lagi anak mereka bekerja di pabrik PT Pertiwi Plywood.
Penduduk Dusun Pertiwi tidak berminat bekerja di pabrik disebabkan dua hal. Pertama, mereka tidak memiliki keahlian. Oleh sebab itu, peluang kerja yang diberikan pada mereka terutama adalah pekerjaan sebagai pesuruh, buruh kasar, penghantar surat, dan pengawas truk. Penduduk Dusun Pertiwi menganggap pekerjaan yang diberikan kepada mereka itu sebagai pekerjaan yang tidak terhormat. Gaji yang akan diperoleh pun hanya Rp.150.000,- sebulan sedangkan keperluan hidup sebulan paling kurang Rp 200.000,-. Kedua, kerja di pabrik terikat dengan waktu dan peraturan yang ketat. Penduduk susah memenuhi ketentuan waktu yang ditetapkan dan ketatnya peraturan yang harus dipatuhi. Dahulu penduduk bekerja tidak terikat pada waktu, boleh bekerja setiap masa dan boleh rehat setiap masa tanpa ada yang menghalangi. Sebaliknya jika mereka bekerja di pabrik semuanya diatur. Aturan yang ditetapkan mengharuskan pekerja melindungi kepentingan perusahaan, padahal bidang kerja yang diberikan selalunya yang berhubungan dengan masyarakat.9
Sejak tanah (hutan dan kebun) mereka diambil oleh industri, penduduk Dusun Pertiwi telah bertukar pekerjaan dari pertanian kepada: 1)Bekerja bacok-bacok, bacok-bacok jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah bekerja apa saja asal halal dan dapat menjamin hidup hari ini.10 Dilihat dari aktivitasnya, pekerjaan ini sama dengan buruh harian, bekerja berdasarkan pesanan, dan mendapat upah dari hasil kerja. Jenis pekerjaan ini adalah mengambil upah menebas hutan, kerja bangunan, bekerja pada kebun orang lain, dan meleles.11 Penduduk bekerja berdasarkan permintaan, jika tidak ada permintaan mereka akan menganggur. Sebagian besar penduduk Dusun Pertiwi bekerja bacok-bacok karena tidak ada lagi tanah dan kebun yang dapat mereka kerjakan. Adapun yang bekerja pada sektor ini adalah lelaki yang telah berusia 40 tahun atau lebih.
Pendapatan yang diperolehi dari kerja bacok-bacok ini tidak bisa diperkirakan secara pasti, sebab sangat tergantung pada jenis pekerjaan mereka. Apabila kebetulan pekerjaan itu dibayar upah yang tinggi dan waktu untuk mengerjakannya lama, kemungkinan pendapatan akan banyak. Akan tetapi, yang lebih sering ialah dalam satu minggu penduduk hanya dapat bekerja selama dua hari. Pendapatan yang diperolehi penduduk secara rata-rata hanya Rp 100.000,- sebulan. Akan tetapi, ada juga penduduk yang hanya memperoleh pendapatan yang kurang dari seratus ribu rupiah sebulan.
2) Bekerja di Unit Kapal (UK), PT Pertiwi Plywood mempunyai pelabuhan bongkar muat barang yang disebut UK (Unit Kapal) . Buruhnya berasal dari buruh lepas12 yang umumnya penduduk tempatan. Aktivitas ini dipimpin oleh seorang mandor yang juga berasal dari penduduk tempatan. Mandor pelabuhan Pertiwi adalah adik Kepala Desa Pinang Sebatang.
Aktivitas dilakukan apabila kapal masuk (merapat) ke pelabuhan. Bentuk aktivitas adalah membongkar barang, dan memasukkan barang apabila kapal hendak berangkat. Pekerjaan ini tidak mengenal waktu, kadang siang, kadang malam, bahkan apabila kapal merapat di pelabuhan tengah malam, mereka harus membongkar barang pada malam itu juga. Sebanyak 16 orang penduduk Dusun Pertiwi yang bekerja sebagai buruh UK ini umumnya belum mencapai umur 40 tahun.
Untuk membayar gaji buruh, PT Pertiwi menghitung jumlah barang yang diangkat oleh buruh, dan uang gaji diserahkan kepada mandor, setelah itu barulah mandor membayarkannya kepada buruh tersebut. Semakin banyak barang yang dibongkar atau dimuat dan semakin sering kapal merapat semakin besar pendapatan buruh. Setiap potong barang dihargai Rp.2.500,- Gaji dibayar dalam waktu tiga bulan, umumnya setiap orang mendapat gaji Rp.350.000,- setiap tiga bulan. Bagi pekerja UK yang sudah tidak mampu lagi bekerja, peluang kerja tersebut dijual kepada orang yang memerlukan pekerjaan seharga dua juta rupiah (Rp2 juta). Cara pembayarannya adalah secara ansuran, setiap kali menerima gaji, atau pembeli meminjam uang kepada tauke untuk membayar peluang kerja yang dibelinya tersebut.
3) Penyediaan Pelayanan, tiga jenis pekerjaan di sektor pelayanan yang terdapat di Dusun Pertiwi ialah, pengangkutan, perdagangan dan sewa rumah. Pelayanan pengangkutan sungai merupakan pekerjaan lama. Untuk menjalankan pelayanan ini masih tersisa dua buah bot milik penduduk Dusun Pertiwi. Pengurangan jumlah bot dari 10 menjadi dua disebabkan berkurangnnya penumpang. Berkurangnya penumpang ini disebabkan dibangunnya jalan dari Perawang ke pabrik PT Pertiwi. Delapan orang yang sudah behenti dari menyewakan bot kini bekerja bacok-bacok.
Untuk mengurangi biaya operasional (minyak dan perbaikan), pemilik bot kini telah menaikkan tambang bot. Sebelum dibangun jalan dari Perawang ke pabrik PT Pertiwi tambang dari Very ke Dusun Pertiwi hanya Rp.2.000,- tetapi sekarang dinaikkan menjadi Rp.5.000,- bahkan boleh menjadi Rp.10.000,- apabila penumpang tidak pandai menawar. Bagaimanapun, pada waktu pagi tambang bot dari Dusun Pertiwi ke Very hanya Rp.2.000,- sebab bot tersebut disewa oleh pelajar sekolah dasar (sekolah rendah) yang setiap pagi harus pergi ke Desa Tualang untuk bersekolah.
Pekerjaan berdagang kebutuhan sehari-hari dilakukan oleh Usman kepala dusun Pertiwi yang sebelumnya bekerja sebagai buruh UK, sementara yang menyewakan rumah adalah Pak Jaafar dan Ibu Nova. Di Dusun Pertiwi kini terdapat 200 rumah yang dimiliki oleh mereka berdua saja. 20 buah rumah milik Pak Ja’far, seorang pemuka agama yang hingga sekarang masih menyadap karet sebagai pekerjaan tetap. Adapun pemilik 180 buah rumah sewa yang lain adalah Ibu Nova, adik kepala Desa Pinang Sebatang. Sewa sebuah rumah adalah Rp.25.000,- sebulan. Yang menyewa rumah tersebut adalah pendatang yang bekerja di PT Pertiwi Plywood dan yang pedagang.
Keempat,kemiskinan. Penduduk Dusun Pertiwi dijumpai lebih miskin setelah masuknya industri dibandingkan dengan sebelum masuknya industri. Keadaan kemiskinan penduduk Dusun Pertiwi diukur melalui dua indikator; Pertama, kepastian mendapatkan pekerjaan. Sebelum kehadiran industri ke Dusun Pertiwi, penduduknya dengan mudah dapat bekerja di sektor pertanian dan salah satu keperluan dasar mereka, dimana makanan tersedia dengan banyak di alam bebas (kebun, di hutan dan di sungai). Akan tetapi setelah kehadiran industri, mereka selalu khawatir karena tidak pasti apakah ada pekerjaaan yang akan mereka lakukan dan makanan yang akan mereka makan pada hari esoknya. Kepastian mendapatkan pekerjaan hanya ada bagi 10 orang penduduk yang menyadap karet, dua orang penduduk yang menyewakan bot dan 16 orang penduduk yang bekerja sebagai buruh UK. Akan tetapi bagi sebahagain besar penduduk yang bekerja sebagai buruh lepas (bacok-bacok) tidak ada kepastian apakah esok hari ada pekerjaan untuk mereka. Oleh karena itu, kehidupan mereka kini boleh dikatakan lebih susah dan lebih miskin.
Kedua, perbandingan perolehan gaji dengan keperluan hidup sehari-hari. Untuk mengetahui jumlah pendapatan penduduk Dusun Pertiwi dalam sebulan agak sukar, karena mereka tidaklah begitu terbuka memberitahu jumlah pendapatan mereka. Umumnya jika ditanya berapa pendapatan mereka, jawapan mereka selalunya ialah, ‘sekarang sangat kurang dan tidak cukup untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari’. Hanya buruh UK yang secara terbuka menyatakan bahawa pendapatan mereka Rp.350.000,- setiap tiga bulan, berarti setiap bulannya sebesar Rp.116.600,-. Sikap terbuka ini muncul disebabkan gaji tertinggi di Dusun Pertiwi hanya diperolehi oleh buruh UK.13
Untuk mengetahui apakah pendapatan Rp.116.600,- itu mencukupi untuk memenuhi keperluan sehari-hari mereka selama sebulan, kita dapat mengukurnya dengan membandingkan jumlah pendapatan itu dengan jumlah harga barang keperluan pokok mereka. Jika setiap rumah terdapat empat orang, terdiri daripada bapak, ibu dan dua orang anak, atau bapak, ibu, seorang anak, dan mertua, dan keperluan beras setiap orang 8 kilogran, maka jumlah beras yang diperlukan setiap bulan ialah 32 kilogram. Harga beras satu kilo ialah Rp.1.400,- maka jumlah uang yang dihabiskan untuk beras ialah Rp.44.800,-. Keperluan akan cabe diperkirakan 1 kilogram Rp.3000,-, keperluan minyak dua kilogram Rp.4000,- minyak tanah empat liter Rp.1.400,- garam Rp.200,- dan belanja harian Rp.3000,- selama sebulan Rp.90.000,-. Maka jumlah keseluruhan keperluan pokok Rp.143.400,-
Dihitung dengan standard yang paling minimum beras 8 kilo setiap orang, padahal seharusnya 10 kilo setiap orang, jumlah gaji yang diperolehi jelas tidak mencukupi untuk keperluan pokok. Apabila ditambah dengan biaya lain, umpamanya ongkos pergi ke pasar, biaya berobat, dan biaya sekolah anak, jumlah gaji tersebut sudah tentu tidak mencukupi. Diperkirakan minimum jumlah uang yang harus dipunyai oleh penduduk adalah Rp.200.000,- sebulan untuk memenuhi keperluan pokok.
Keadaan ekonomi penduduk pada masa akhir-akhir ini sudah berada pada tahap kritis. Setiap tiga bulan mendapat gaji Rp.350.000,-. Gaji mereka itu lannsung diserahkan kepada tauke untuk membayar hutang makan selama tiga bulan. Hutang mereka bertambah setiap bulan, karena jumlah gaji mereka tidak mencukupi untuk membayar hutang makan bulan tersebut. Misalnya, pada tiga bulan pertama hutang mereka berjumlah Rp.400.000,- dibayar Rp.350.000,- ketika mereka menerima gaji, berarti untuk tiga bulan yang akan datang hutang mereka tidak lagi Rp.400.000,- tetapi sudah menjadi Rp.450.000,- karena ditambah sisa hutang bulan yang lalu. Keadaan yang demikian berlangsung terusmenerus setiap tiga bulan.14
Bagi pekerja bacok-bacok, kondisi ini lebih mengkhawatirkan, karena tidak adanya kepastian kerja bagi mereka. Jika dirata-ratakan pendapatan mereka biasanya hanya Rp100.000,- sebulan. Seorang informan yang telah berpindah ke Kampar menyatakan bahawa bagi dirinya sendiri, yang difikirkan setiap malam adalah apa yang akan dimakan pada hari esoknya. Sebelum masuk industri mereka mudah sekali memperoleh ikan di sungai dengan memancing. Ikan itu dijual di pasar, dan hasilnya cukup untuk makan seminggu. Akan tetapi, sekarang walaupun mereka mencari ikan sepanjang malam, kalaupun dapat, hanya satu dua ekor.
Keadaan hidup mereka kini semakin susah sebab harga barang keperluan pokok yang dari dahulu memang tidak tersedia di ladang, di kebun, di hutan dan di sungai sudah sangat tinggi. Sebagai contoh, minyak untuk menggoreng sekarang Rp.1.300,- dibandingkan dengan sebelumnya hanya Rp.800,-. Harga ikan pun naik mencapai Rp9000,- satu kilo, padahal ikan kini sudah susah dicari di Sungai Siak.15
2.Dampak Sosial
Dampak sosial kehadiran industri di Dusun Pertiwi di sini dilihat dari dua aspek yaitu, mobilitas penduduk dan peranan isteri. Alasan melihat dua aspek ini karena kedua-duanya mempunyai hubungant dengan dampak kehadiran industri terhadap ekonomi penduduk. Selain itu dampak terhadap mobilitas penduduk dan aspek peranan isteri juga lebih ketara dan lebih mudah diketahui..
Pertama,Mobilitas Penduduk. Ada dua bentuk mobilitas penduduk. Pertama, perpindahan penduduk ke tempat lain untuk menetap. Kedua, rata-rata penduduk keluar dari Dusun Pertiwi. Faktor-faktor yang menyebabkan penduduk Dusun Pertiwi bermobilitas sekurang-kurangnya ada dua, yaitu mencari pekerjaan lain karena tanah dan kebun mereka sudah tidak ada lagi, dan untuk berbelanja atau melancong.
Sebelum masuknya industri, Dusun Pertiwi terbagi dua, yaitu satu bahagian ialah kampung yang ada sekarang, dan satu bahaan lagi kawasan di seberang sungai berhadapan dengan Dusun Pertiwi yang ada sekarang. Setelah masuknya industri, kampung di seberang sungai “menghilang”, karena penduduknya umumnya telah berpindah ke Desa Tualang setelah menjual tanah mereka. Di Dusun Pertiwi yang ada sekarang sekurang-kurangnya terdapat tiga keluarga yang telah pindah: satu keluarga pindah ke Kampar (Usman), dua keluarga pindah ke Desa Tualang. Alasan mereka pindah adalah untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Penduduk asli di Dusun Pertiwi yang dahulunya berjumlah 30 keluarga kini hanya tinggal 17 keluarga, setelah seorang penduduknya merantau ke Malaysia.
Mengenai mobilitas keluar dusun, kini penduduk Dusun Pertiwi sering pergi ke Perawang, Siak Sri Indrapura dan Pekanbaru. Terdapat dua aktivitas utama yang mendorong mereka bermobilitas keluar dusun, yaitu berbelanja dan bekerja. Dahulunya, 90% petani ladang hanya pada hari pekan (Jumaat) mereka pergi ke pasar di Desa Tualang untuk berbelanja bagi memenuhi keperluan hidup yang tidak dapat dipenuhi dari ladang, hutan dan sungai. Sekarang penduduk yang bekerja sebagai buruh harian harus keluar Dusun setiap hari untuk mencari kerja.
Sebelum masuknya industri, yang menghambat penduduk pergi ke luar dusun adalah tidak tersedianya pengangkutan, karena satu-satunya pengangkutan yang ada ialah pengangkutan sungai dengan menggunakan bot atau kapal laut. Selain itu faktor tidak boleh meninggalkan ladang juga menjadi penyebab mereka sukar meninggalkan dusun. Akan tetapi, pada masa sekarang pelayanan pengangkutan telah banyak, dan penduduk pun dapat berpergian bila-bila masa saja.
Kedua, Peranan Isteri. Sebelum masuknya industri, peranan isteri dalam keluarga tidak hanya menjadi ibu rumah tangga, tetapi juga ikut bekerja membantu suami di ladang, membersihkan ladang, menuai padi bahkan ramai yang ikut menemani suami menyadap karet. Akan tetapi setelah tanah penduduk Dusun Pertiwi tidak dapat lagi digunakan untuk membuat ladang, kebun karet mereka tinggal sedikit, ataupun untuk bekerja di kebun tidak ada lagi kebun, isteri tidak lagi ikut bekerja membantu suami. Kini peranan isteri dalam keluarga hanya terbatas menjadi ibu rumah tangga saja.
3. Dampak Lingkungan
Dampak lingkungan yang sangat dirasakan oleh penduduk Dusun Pertiwi berasal dari limbah yang dikeluarkan pabrik kertas PT Indah Kiat. Limbah yang dihasilkan PT Indah Kiat terbagi tiga yaitu limbah cair, limbah gas dan limbah padat. Limbah gas (udara) adalah N2, CO2, Metanol, Formit Acid, H2S,16 Metil Merkaptan, Dimetil Surfan dan Dimetil Disulfan. Semua jenis gas ini tidak dapat diembunkan, sehingga menjadi ancaman bagi penduduk. Adapun jenis limbah cair adalah adalah bahan kimia yang digunakan untuk memproses pembuatan bubur kertas (pulp), seperti Sulfida, klor lignin, dan Lindi Hitam. Sedangkan limbah padat adalah sisa bahan yang tidak dapat digunakan untuk dijadikan bubur kertas (pulp).( Sucofindo, 1990 :2)
Hasil penelitian Sucofindo (1990:5) menemui bahawa terjadi pencemaran udara sejauh 3 km dari pabrik yaitu kadar H2S mencapai 275,2 ug/m3 , berdasarkan ketentuan bahawa kadar H2S dalam udara maksimum 42 ug/m3. Sedangkan pencemaran Sungai Siak diketahui bahawa air sungai Siak di Dusun Pertiwi mengandung minyak, lemak, amonia dan barilium. Pada tahun 1992 Sungai Siak di Dusun Pertiwi, dan Sungai Gasip berbau busuk, ikan-ikan di sungai mati, dan ikan peliharaan milik penduduk yang ada dalan sangkar di Sungai Siak juga mati. Pada tahun 1995 air Sungai Siak kembali berbau busuk, hingga sekarang ini setiap bulan penduduk Dusun Pertiwi masih mencium bau busuk air Sungai Siak.17
Dari aspek kesehatan dampak pencemaran tersebut dapat dilihat pada beberapa penyakit yang dihidapi oleh penduduk, seperti penyakit saluran pernafasan, penyakit kulit, dan muntahber (Sucofindo, 1990 : 5). Hasil pemantauan GERINDO18 tahun 1992 menunjukkan pencemaran juga mempunyai dampak ekonomi, yaitu menurunnya perolehan sektor perikanan karena ikan dan udang mati. Jika dahulu penduduk yang mencari ikan dan udang dari pukul 19.00 hingga pukul 24.00 memperoleh 10 hingga 15 kilogram, tetapi sekarang jika mereka mencari ikan dari pukul 19.00 sampai pukul 07.00 pagi, hasil tangkapan yang diperoleh paling banyak dua kilogram, kadang-kadang tidak mendapat seekor ikan pun.
Kesimpulan
Dampak kehadiran industri terhadap masyarakat Melayu Dusun Pertiwi, cenderung bersifat negatif. Secara teoritik (Aditjondro, 1994: 113-127) dampak negatif terjadi mengikuti tahapan perubahan pada masyarakat. Pada tahap pertama, terjadi pengambilan tanah (termasuk hutan) petani oleh industri, pengusaha lokal dan pemimpin desa. Dengan itu fungsi hutan berubah dari sumber keperluan hidup penduduk sepanjang tahun menjadi bahan produksi industri, yang penduduk Dusun Pertiwi tidak dapat lagi memanfaatkannya. Pada tahap ini juga terjadi pencemaran pada Sungai Siak, yang mengurangi mutu air dan lingkungan serta menyebabkan hilangnya ikan di sungai tersebut.
Pada tahap kedua, penduduk kehilangan pekerjaan utama yaitu berkebun atau berladang. Penduduk terpaksa bertukar pekerjaan dari petani menjadi buruh tani, atau buruh upah tidak tetap. Status mereka juga berubah dari pemilik kebun menjadi penyewa. Sebahagian kecil penduduk Dusun Pertiwi pula berpindah ke tempat lain yang boleh menjamin kehidupan mereka, karena di tempat yang lama tidak tersedia lagi sumber kehidupan.
Pada tahap ketiga, terjadi proses peminggiran dan pemiskinan masyarakat Melayu Dusun Pertiwi disebabkan banyak keperluan hidup mereka terpaksa dibeli, sedangkan pendapatan mereka rendah dan harga barang pula agak tinggi. Sebelum masuk industri penduduk dapat memenuhi keperluan pokok mereka dengan mudah, karena bahan makanan tersedia di hutan dan di sungai sepanjang tahun.
Dampak negatif industri terhadap masyarakat di Dusun Pertiwi terutama disebabkan oleh kebijaksanaan pembangunan dan Undang-Undang negara, eksploitasi pihak luar, dan sistem produksi masyarakat yang masih bersifat subsisten. Pertama, Kebijaksanaan pembangunan dan Undang-Undang negara. Peralihan kekuasaan politik dari Orde Lama ke Orde Baru telah mengubah kebijaksanaan pembangunan negara. Orde Baru memilih model Rostow untuk merancang pertumbuhan ekonomi yang cepat. Oleh sebab itu, pemerintah Soehartomemnilih bidang ekonomi untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dengan orientasi pada pertumbuhan ekonomi, bukan pemerataan eknonomi, dengan sumber modal berasal dari luar negari.
Proses industrialisasi dilakukan oleh aliansi segitiga (triple alliance) (Arief Budiman, 1996:113) yaitu pemodal asing, pemerintah dan borjuis lokal (pemodal tempatan yang terdiri daripada pengusaha China, pengusaha keluarga birokrat, istana dan militer). Akibat daripada koalisi (aliansi) tiga pelaku ini tercipta struktur ekonomi yang tidak seimbang dan tidak adil. Ekonomi kapitalis dengan mudahnya melakukan perluasan modal tanpa pertimbangan kemanusiaan. Sumber-sumber ekonomi subsisten dihancurkan, tanah dan hutan diambil, dan produksi kapitalis dijual kepada masyarakat dalam jumlah yang sangat besar. Masyarakat kehilangan pekerjaan utama, tetapi tidak terjadi proses transformasi kepada pekerjaan baru yang lebih baik.
Posisi politik yang lemah pada masyarakat didukung pula oleh adanya Undang-Undang yang isinya mementingkan integrasi dan sentralisasi kekuasan negara. Ada dua contoh Undang-Undang yang melibatkan eksploitasi pemerintah terhadap masyarakat, yaitu Undang-Undang Pemilu, yang melarang partai masuk ke desa, dikenal dengan istilah massa mengambang (floating mass), padahal partai pemerintah yaitu Golkar (golongan karya) masuk kedesa-desa melalui kepala desa dan kepala dusun. Dalam setiap pemilu kepala desa diberi kewajiban memenangkan partai pemerintah di desanya masing-masing.
Satu lagi Undang-Undang yang mendukung usaha politisasi dan sentralisasi masyarakat desa adalah Undang-Undang no 5 tahun 1979, tentang pemerintahan di Desa. Menurut Undang-Undang tersebut, seluruh pemerintahan desa di Indonesia telah diseragamkan. Akibatnya beberapa kampung yang tidak memenuhi persyaratan Undang-Undang telah digabungkan dengan kampung lain untuk membentuk sebuah desa. Kekuasaan wali19 sebagai kepala kampung berpindah kepada kepala desa. Kepala desa yang baru dilantik merupakan orang pemerintah. Undang-Undang tersebut bukan saja merusak tatanan struktur masyarakat di kampung karena bergantinya kepemimpinan kampung, tetapi juga menyebabkan masyarakat kehilangan pemimpin untuk memperjuangkan hak-hak politik mereka.
Kedua, eksploitasi pihak luar. Ekploitasi pihak luar dilakukan oleh berbagai pihak, yaitu kapitalisnternasional (pemodal asing), pemodal tempatan dan pegawai pemerintah. Eksploitasi kapitalis internasional dilakukan melalui perluasan modal dan produksi. Eksploitasi kapitalis di Dusun Pertiwi dapat dilihat dari segi ekploitasi sumber hutan melalui pengusaan hutan dalam bentuk HPH (hak penguasaan hutan) dan HTI (hutan tanaman industri), dan pembangunan pabrik di pedesaan, yaitu pabrik PT Indah Kiat dan pabrik PT Pertiwi Plywood.
Eksploitasi lain adalah eksploitasi pegawai pemerintah, yang merupakan akibat munculnya pengusaha birokrat, pengusaha dari keluarga birokrat, dan pegawai pemerintah serta pengusaha China. Bentuk usaha yang dilakukan berbeda dari seorang ke seorang. Pengusaha birokrat biasanya mempunyai saham tanpa membeli dalam sesuatu perusahaan. Keluarga birokrat umumnya menjadi sub-kontraktor pemodal asing. Pegawai negara di tingkat kecamatan atau desa pula menjadi broker, yang biasanya membeli tanah penduduk dengan harga murah dan setelah itu menjualnya kepada pemodal asing dengan harga mahal.
Ketiga, sistem produksi masyarakat. Sebelum kehadiran industri, sistem produksi masyarakat Dusun Pertiwi adalah sistem subsisten yang bergantung kepada sumber alam. Produksi bertujuan untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Sumber produksi adalah sumber yang tersedia pada alam atau tanah pertanian. Stratifikasi sosial masyarakat terdiri daripada petani ladang yang menjadi buruh di tanah orang lain (tauke), petani peladang yang memiliki kebun dan mengerjakan kebun sendiri, dan tauke yang memiliki kebun dan menggunakan tenaga buruh tani.
BIBLIOGRAFI
Adnan Abdullah. 1993. Dampak Industri Terhadap Lingkungan Sosial Ekonomi Budaya Makalah Seminar. Industri Berwawasan Lingkungan. Pekanbaru. 18-20 Mei.
Appelbaum. Richard P. 1970. Thoeries Of Social Change. Chicago: Markham Publishing Company.
Arief Budiman.1996. Toeri Negara. Negara. Kekuasaan dan Idiologi. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Awan Setya Dewata (ed.) 1995. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta : Aditya Media.
Bappeda Tk I Riau. 1995. Kebijaksanaan Pembangunan sektor Kehutanan Dalam Repelita VI di Propinsi Riau. Makalah seminar Kehutanan 2-3 Oktober 1995 Pekanbaru.
Bahrien T Sugihen. 1996. Sosiologi Pedesaan. Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press
Budy Tjahjati S Soegijoko. 1985. Dampak Pembangunan Proyek Industri Besar Kasus Zona Industri Lhok Seumawe. Prisma no. 12 .
Chadney. James G.. Social Economy Implication of The New Technologies in Punjab. The Eastern Anthropology. no 37: 3
Frieden. A Jeffy dan David A. Lake. 1991. International Political Economy; Perspectives On Global Power And Wealt. New York: St Martin Press
Geertz. Clifford. 1970. Agricultural Involution. The Proses of Ecological Change In Indonesia. California: Universiti Of California Press.
Goetenboth. Frieddhelm.1992. Kerusakan Hutan dan Implikasinya bagi Kesinambungan Daya Dukung Lingkungan. Prima no.6 tahun XXI.
Goerge Junus Aditjonro. 1994. Dampak Industrailisasi Terhadap Lingkungan dan Upaya Warga Masyarakat dalam Menghadapinya. dalam Johanes Maridin (ed.) Jangan Tangi Tradisi Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius
GEPERINDO.1992. Laporan Hasil Kunjungan GEPERINDO di Riau.29-31 Juli.
Hiramani. A.B. 1977. Social Change in Rural India (A Study Two Village In Maharashtra). New Delhi: B.R.Publishing Corporation
Jefta Leibo. 1990. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Andi Ofset
Koentjaraningrat. 1964. Masyarakat Desa di Indonesia Masa kini. Jakarta: Yayasan Fakultas Ekonomi UI
Koentjaranigrat. 1993. Methoda-Methoda Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Long. Norman. 1987. Sosiologi Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Bina Aksara
Loekman Soetrisno. 1991. Pembangunan Nasional dan Budaya Lokal: Industrialisasi Kehutanan dan Sistem Pertanian Berladang di Indonesia. Studi Indonesia Universitas Terbuka Jakarta.
Loekman Soetrisno. 1993. Transformasi dari Masyarakat Agraris ke Masyarakat Industrial : Suatu Perspektif Sosiologis. Makalah seminar 26-28 Januari Pekanbaru.
Mohammed Salleh Lamry. 1996. Mereka Yang terpinggir. Orang Melayu di Sumatera Utara. Institut Alam Tamaddun Melayu. Malaysia: UKM Bangi
Mace. Ruth and Mark Pagel. 1994. The Comparative Method in Anthropology. Jurnal Current Anthropology Volume 35 Number 5 Desember.
Mubariq Ahmad. 1992. Rente Ekonomi Dalam Eksploitasi Hutan Tropis. Prisma No 6 tahun XXI.
Mubyarto. 1992. Riau Dalam Kancah Ekonomi Global. Yogyakarta: Aditya Media.
Mubyarto. 1993. Riau Menatap Masa Depan.Yogyakarta. Aditya Media
Mubyarto. 1992. Desa dan Perhutanan Sosial. Penelitian Antropologi di Prop. Jambi. Yogyakarta: P3PK UGM
Mubyarto. 1979. Pengantar Ekonomi Pertanian Jakarta: LP3ES
Mochtar Naim. 1979. Merantau Pola Migrasi Suku Minang. Yogyakarta: Gadjah Mada Press
Mohtar Maso’ed. 1986. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru. Jakarta: LP3ES.
Mering Ngo.1992 Hak Ulayat Masyarakat Setempat. Pelajaran dari Orang Kayan dan Limbai. Prima no 6.
R.Syofyan Samad. 1993. Pengembangan Industri Berwawasan Lingkungan di Daerah Riau: Masalah Pembinaan dan Keterkaitan Dengan Masyarakat Lokal. Makalah Seminar Membangun Industri Berwawasan Lingkungan di Pekanbaru.” 19-20 Mei . Pekanbaru.
Sucofindo. 1990. PT Indah Kiat Pulp & Paper Corp (IKPP) dan Kegiatannya Yang Berdampak Serius Terhadap Lingkungan.
Stepanus Juweng et al. (1996) Kisah Dari Kampung Halaman. Masyarakat Suku. Agama Resmi dan Pembangunan. Yogyakarta: Dian/ Interfidei.
â Artikel ini merupakan ringkasan sebahagian dari pada Thesis Master Penulis pada Jurusan Antropologi dan Sosiologi Universiti Kebangsaan Malaysia. Penulis sekarang sedang melanjutkan program Doktor (S-3) di jurusan dan universitas yang sama.
2 Very adalah tempat penyebrangan yang dibuat PT CPI (Caltex Pacific Indonesia) pada tahun 1962, berada di desa Pinang Sebatang
3 Wawancara dengan Pak Ja’far, tokoh agama Islam Dusun Pertiwi, 26 November 1996
4 Wawancara dengan Said Ariffadilah, Penghubung Camat Siak di Perawang, 10 November 1996, menurut Said, Indah Kiat dan PT Arara Abadi menggunakan tentera dari Jakarta yang diambil secara bergilir setiap enam bulan untuk menjaga kebunnya. Dan sebuah kejadian di luar Perawang, Camat Penghubung menyatakan bahawa PT Arara Abadi menggunakan orang yang menyamar sebagai tentera. Ini terbukti ketika didesak oleh masyarakat identitinya tidak dapat membuktikan. Akhirnya yang menyamar sebagai tentara hampir mati dipukul masyarakat. Pengambilan secara paksa juga terjadi pada ladang masyarakat seluas 60 hektar yang sedang menunggu musim kemarau untuk dibakar, setelah penduduk kembali keladangnya ternyata sudah ditanam PT Arara Abadi secara diam-diam.
5 Hampir semua penduduk Dusun Pertiwi mempunyai punya kesibukan baru yaitu membuat ciri-ciri batas tanah yang dimilikinya agar lebih mudah dijual dan tidak diambil begitu saja oleh pihak lain. Pak Muhammad tempat penulis tinggal selama penelitian menyisakan waktunya dalam satu hari khusus untuk membersihkan kebunnya yang tersisa agar jangan diceroboh orang dan sekaligus lebih mudah untuk dijual.
6 Hama adalah binatang yang berada di dalam hutan dan menyerang tanaman, seperti babi, beruk, monyet, tupai, tikus, burung dan lain-lainnya
7 Wawancara dengan Hasan Basri, penduduk Dusun Pertiwi 30 November 1996
8 SUCOFINDO adalah perusahaan milik pemerintah yang salah satu fungsinya mengadakan pengawasan terhadap hasil pembangunan dan juga sebagai konsultan pembangunan
9 Wawancara dengan Pak Usman Kepala Dusun Pertiwi dan H.M.Doel Kepala Desa Pinang Sebatang
10 Wawancara dengan Yunus Tibo, penduduk Dusun Pertiwi dan Ribut Susanto, Ngo yang pernah melakukan aktivitas di Dusun Pertiwi
11 Meleles adalah pekerjaan mencari Wawancara dengan Yunus Tibo, penduduk Dusun Pertiwi dan Ribut Susanto, Ngo yang pernah melakukan aktivitas di Dusun Pertiwi
12 Buruh lepas adalah buruh yang tidak terikat secara formal kepada perusahaan dan upahnya dibayar secara harian
13 Wawancara dengan Pak Usman , Kepala Dusun Pertiwi 30 November 1996
14 Wawancara dengan Amir, 3 Desember 1996
15 Wawancara dengan Usman, penduduk Dusun Pertiwi yang kini sudah pindah ke Kabupaten Kampar, 28 November 1996
16 N2 adalah Nitrogen; CO2 adalah Karbohitrat; H2S adalah Belerang ;dan ug adalah unit gram
17 Semua penduduk Dusun Pertiwi yang di wawancara menyatakan bahawa tahun 1992, tahun 1995 air sungai Siak berbau busuk dan ikan-ikan mati. Penduduk juga mengakui jika air Sungai Siak sedang surut pembuangan limbah tetap dilaksanakan setiap bulan ke Sungai Siak
18 GEPERINDO adalah organisasi gabungan NGO seluruh Indonesia.
19 Wali atau sering disebut Pak Wali, adalah istilah yang digunakan masyarakat Melayu di Dusun Pertiwi untuk kepala kampung, Wali biasanya dipilih secara langsung karena beberapa kelebihannya atau karena keturunannya
NEGARA DAN PENETRASI MODAL :Di PANGKALAN KERINCI RIAU
M. Rawa El Amady
Latar Belakang
Kehadiran industri ke desa seharusnya mempercepat proses perubahan sosial pada masyarakat desa. Industri mampu mendobrak ketertinggalan desa melalui pembangunan infrastruktur, migrasi penduduk dan dinamika sosial baru, serta membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat desa.
Pada kenyataannya di Indonesia terjadi proses peminggiran dan krisis ekonomi pada masyarkat pedesaan. Krisis tersebut timbul disebabkan hilangnya sumber produksi sebagai jaminan untuk hidup (makan) bagi penduduk desa. Studi Aditjondro, (1994:113-123), M.Yamin Sani (1990), Adnan Abdullah (1993) menemukan bahwa kehadiran industri di sebuah kawasan menyebabkan berlakunya penggusuran petani, pencemaran lingkungan dan penurunan mutu lingkungan yang dekat industri tersebut.
Studi yang dilakukan Loekman Sutrisno (1991:64-65) di Musi Rawas, Sumatera Selatan, menjumpai bahwa sejak hutan di Musi Rawas di kuasai HPH (Hak Pengusaaan Hutan), terjadi pengurangan jumlah Suku Kubu dari 12 ribu jiwa tahun 1979 menjadi 2.542 jiwa tahun 1990. Suku Kubu yang bergantung hidup pada hutan susah mencari makan karena hutan sudah ditutup oleh HPH. Begitu juga yang dijumpai di Kecamatan Singli, Simpang Kanan dan Simpang Kiri, Aceh. HPH menguasai 54,8% dari 1.804 km2 semua kawasan pertanian, perladangan, perumahan dan perkampungan penduduk. Akibatnya penduduk di tiga kecamatan itu mejadi kelaparan karena tidak tersedianya lahan untuk bertani.
Studi Mubyarto di Jambi, menemukan bahwa sejak kehadiran HPH di kawasan pertanian penduduk desa di Jambi, hasil padi berkurang sebesar 50% tahun 1990 dibandingkan tahun sebelumnya. Berkurangnya penghasilan padi petani ini disebabkan penduduk tidak dapat membuka hutan untuk berladang. Penduduk juga dilarang mengambil hasil hutan seperti damar, rotan, gaharu dan sarang burung walet. (1991 : 53-54). Gejala kekurangan beras juga terjadi di Kalimantan Timur. Orang Kayan yang biasanya membuka hutan untuk menanam padi. Setelah kehadiran HPH penduduk terpaksa menggantikan pola pertaniannya dari berladang berpindah-pindah ke berladang secara menetap. (Prisma, 4, 1989, 81). Studi Budhy Tjahjati S.S, di Lhok Saomauwe, menjumpai bahwa pembangunan pabrik yang sangat luas menyebabkan hilangnnya lahan pertanian sehingga banyak penduduk yang menganggur dan menjadi miskin. (Prisma, 12. 1985 : 50).
Riau yang merupakan satu diantara 27 provinsi di Indonesia pada tahun 1993 menurut Rustam S Abrus (1993) mempunyai 2.82 juta penduduk pada tahun 1992. Dari jumlah tersebut diketahui 64% berada di desa, 1% penduduk asli yang masih nomaden di dalam hutan, 3% pengusaha besar dan 32% pedagang dan birokrasi di kota. Masyarakat desa yang 64% tersebut masih bekerja disektor pertanian berupa ladang berpindah-pindah. Jumlah 3% pengusaha umumnya pendatang yang bekerja di perusahaan asing.
Tahun 1990, luas hutan di Riau 4,686,074 hektar, dari luas hutan tersebut, 97,000 hektar dikuasai Hutan Tanaman Industri (HTI), 13,000 hektar hutan rakyat dan 6,293,500 dikuasai oleh Hak Penguasaan Hutan (HPH). Ini bermakna hutan yang dikuasai HPH lebih luas 1,607, 426 hektar daripada luas hutan keseluruhan. Luas hutan tersebut menjadi sumber bahan untuk 2 pabrik kertas yang terbesar di Asia yaitu PT Indah Kiat (PT IK) di Perawang dan PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP) di Pangkalan Kerinci, 13 buah pabrik Plywood, tiga buah pabrik Chip, 180 buah pabrik Sawmil dan 16 buah pabrik rotan, serta ratusan perkebunan Sawit milik pemerintah dan swasta. Umumnya pabrik-pabrik tersebut berada di kawasan desa. (Bappeda Tk I Riau, 1995 :7-9)
Proses industrialisasi di Riau telah berlangsung lebih 60 tahun, dan lebih dari 50 tahun Riau menyumbang hampir 82% dari seluruh pendapatan nasional kotor [GNP] (Mubyarto, 1992: 3). Tetapi kekayaan yang ada di Riau tersebut tidak memberi pengaruh kepada ekonomi rakyat di Riau. Menurut Mubyarto (Republika, 5 Februari, 1993) bahwa nyata-nyata terbukti terjadinya ketidak-seimbangan antara investasi bidang ekonomi dengan perkembangan bidang sosial. R. Syofyan Samad (1993) mengemukakan walaupun industrialisasi di Riau telah berlangsung lebih dari 50 tahu, tetapi masyarakat Riau tidak merasakan manfaat kehadiran industri tersebut. Ini disebabkan dalam proses industrialisasi, negara tidak mempertimbangkan kepentingan rakyat Riau. Bahkan ada pihak perusahaan yang bukan hanya mengambil tanah penduduk tetapi membakar perkampungan penduduk. (Majalah Forum Keadilan,No 18 tahun 1985 dan No 10, 11, 12, 13, tahun 1996.
Metode Pengambilan Data
Unit analisis studi ini adalah komunitas masyarakat asli Pangkalan Kerinci dan kebijakan negara bidang kehutanan, tanah dan investasi, yang keduanya mempunyai hubungan yang sangat kuat. Jika studi komunitas minoritas yang menjadi korban pembangunan mengabaikan kebijakan bidang kehutanan, tanah dan industri, maka akan mengalami hambatan dalam memahami permasalahan hutan-tanah masyarakat tradisonal. Data utama yang akan diambil dalam penelitian ini adalah luas tanah suku dan tanah individu, pekerjaan yang lama, pekerjaan baru dan jumlah tanah sisa yang dimiliki suku dan penduduk secara pribadi. Selain itu, juga data UU dan peraturan pemerintahan yang menyangkut pengaturan tanah dan hutan dan industri.
Penelitian ini terdiri dari dua tahap, tahap pertama meneliti keseluruhan komunitas desa Pangkalan Kerinci serta beberapa aspek perubahannya melalui observasi partisipasitf, yaitu peneliti tinggal di Pangkalan Kerinci dan melakukan wawancara secara terbuka.
Pada tahap kedua ini, memfokuskan diri pada kepemilikan tanah komunal dan individu masyarakat asli Pangkalan Kerinci. Peneliti menentukan responden yang berdasarkan kepemimpinan adat dan pemerintahan. Tokoh masyarakat tersebut diwawancara secara terstruktur untuk mendapatkan informasi penelitan yang diperlukan. Tokoh-tokoh tersebut dipilih berdasarkan kawasan yang ada di Pangkalan Kerinci, yaitu;
Pertama, kawasan yang berada di tepi sungai. Kawasan ini masih mencerminkan identitas asli penduduk desa, yaitu bekerja sebagai petani-nelayan, membalak dan mencari hasil hutan. Berladang berpindah tetapi hanya pada batas 6 kilometer dari tepi sungai, pertanian mereka bercirikan pertanian sangat tradisional, bertani karena adanya kebaikan alam yang setiap tahun menerima humus dari sungai yang banjir.
Kedua, kawasan yang dibuat oleh pemerintah pada tahun 1983 untuk dijadikan perkampungan baru bagi penduduk desa Pangkalan Kerinci. Pemerintah memindahkan penduduk yang ada ditepi sungai agar terhindar dari banjir. Jumlah penduduk asli yang berdiam di kawasan ini sebanyak 64 keluarga dari 320 keluar lainnya.
Kawasan ini sekarang menjadi semi desa karena jumlah penduduknya sampai 20.000 jiwa yang terdiri Aceh, Jawa, Batak, Minang, China dan lain-lain. Umumnya pendatang ini merupakan pekerja di pabrik RAPP atau PT Indo Sawit dan pedagang.
Untuk memperoleh data dari responden yang dipilih tersebut peneliti melakukan wawancara secara mendalam dan terstruktur dan survey partisipatif, dimana peneliti tinggal selama sebulan dikawasan ini.
Selain itu, peneliti melakukan wawancara mendalam kepada Kepala Desa, Pemuka Adat, Pemuka Agama dan Ketua Pemuda, Pimpinan Perusahaan PT RAPP dan PT Indo Sawit Subur Sejahtera. Materi wawancara meliputi berapa aspek perubahan kepemilikan tanah dan peluang kerja bagi penduduk asli Pangkalan Kerinci.
Negara Sebagai Alat
Penelitian ini menggunakan pendekatan ekonomi politik Marx, yaitu membagi masyarakat menjadi dua kelas, kelas borjuis dan kelas petani kecil., Kelas borjuis terdiri dari borjuis metropolis dan borjuis tempatan. Borjuis metropolis adalah perusahaan multinasional yang menginvestasikan modalnya di Indonesia khususnya di Riau. Borjuis tempatan pula terdiri dari pegawai pemerintah (dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan dan kepala desa), pengusaha dan pengusaha China yang dikenal dengan komprador borjuisi. Kelas borjuis ini bersatu melakukan eksploitasi terhadap kelas petani kecil. Borjuis pemerintah (termasuk militer) memiliki kekuasaan resmi (yang otoriter) sedangkan pengusaha China, dan pengusaha multinasional memiliki modal dan teknologi.
Kerja sama ini dikenal dengan aliansi segitiga --triple alliance-- (Arief Budiman, 1996) yaitu pemodal asing, pemerintah dan borjuis lokal (pemodal tempatan yang terdiri daripada pengusaha China, pengusaha keluarga birokrat, istana dan militer). Akibat aliansi tiga pelaku ini tercipta struktur ekonomi yang tidak seimbang dan tidak adil. Ekonomi kapitalis dengan mudahnya melakukan perluasan modal tanpa pertimbangan kemanusiaan. Sumber-sumber ekonomi subsisten dihancurkan, tanah dan hutan diambil, dan produksi kapitalis dijual kepada masyarakat dalam jumlah yang sangat besar.
Operasionalisasi eksploitasi negara dan kapital diwujudkan melalui perusakan perlembagaan desa. Tiga lembaga utama yang dirusak, yaitu lembaga ekonomi, lembaga pemerintahan adat, dan lembaga sosial. Pertama, kelembagaan ekonomi desa dirusak melalui perusakan faktor-faktor produksi, kemudian diikuti dengan perombakan pola konsumsi. Tatanan ekonomi desa yang minim uang diganti dengan tatanan ekonomi pasar. Akibatnya produksi tidak sama dengan konsumsi, usaha-usaha untuk menekan konsumsi agar sama dengan produksi menimbulkan konflik dalam keluarga. Sementara usaha memaksimal produksi (Cayanov 1966) tidak mampu dilakukan karena faktor-faktor produksi telah diambil alih oleh negara dan industri. Perusakan pelembagaan ekonomi ini secara otomatis akan terjadi perusakan kelembagaan keluarga.
Kedua, kelembagaan pemeritahan adat desa dirusak dengan penggantian tatanan pemerintahan desa yang baru. Tatanan pemerintah desa yang baru tidak mampu memperjuangkan kepentingan rakyat. Baik itu melalui pemilu dan saluran pemerintahan yang ada. UU pemerintah desa no 5 tahun 1979 dan UU no 3 tentang parpol menghapus fungsi politik di desa melalui konsep massa mengambang (floating mass). Kebijakan ini diperburuk lagi dengan sentralisasi konsep desa dan penggantian kepala desa atas persetujuan pemerintah atasannya. Masyarakat di desa kehilangan patron politik untuk memperjuangkan hak-haknya.
Sementara pihak industri menggunakan perangkat negara itu untuk mengeksploitasi rakyat. Aparat desa dengan mudahnya mengklaim atas nama rakyat mendukung kepentingan industri dan pemerintah. Padahal pemimpin desa tidak mempunyai kolerasi positif terhadap pembelaan masyarakat desa.
Ketiga, negara dan industri juga merombak struktur sosial dengan mendatangkan tenaga kerja dan atau berdatangannya imigran dari luar daerah. Masyarakat lokal sendiri tidak diberi peluang yang rasional untuk memanfaatkan peluang kerja yang ada. Masyarakat lokal tidak lagi menjadi masyarakat yang mayoritas, tetapi justru menjadi minoritas di tanahnya sendiri. Masyarakat lokal harus mengikuti tatanan pendatang yang masih belum stabil. Keadaan ini menyebabkan masyarakat dikawasan industri semakin bingung dan kehilangan identitas diri sebagai penduduk asli.
Keberhasilan industri merombak ketiga tatanan tersebut, menyebabkan masyarkat lokal lebih mudah dieksploitasi dan diadu domba sesama mereka. Bahkan untuk hal-hal tertentu masyarkat lokal dijadikan alat untuk mengeksploitasi miliknya sendiri.
Akibatnya masyarakat lokal disekitar industri mengalami marjinalisasi (kalau tidak mau menyebut pemusnahan) penduduk lokal. Penduduk lokal termarjinal melalui modal, dimana modal dasar penduduk berupa tanah dan hutan serta sungai berpindah tangan kepada industri atau pendatang (dijual). Proses penjualan itu sendiri bisa bersumber dari budaya konsumtif kota dan kekurang modal untuk hidup pada budaya kota. Karena kawasan industri tersebut telah berubah menjadi kota.
Penduduk lokal kehabisan tanah dan hutan----lebih parah dari pandangan Gertz (1980). Uang yang diperoleh dari penjualan tanah tersebut tidak dimenej secara baik, sehingga habis secara perlahan. Sementara tingkat persaingan dan konsumsi semakin tinggi. Maka tidak ada pilihan lain dari masyarakat lokal selain lari, sebab kalau tidak lari dia akan menjadi pengemis di desanya sendiri.
Kenyataan ini memperkuat asumsi kelaparan dan minoritas masyarakat lokal dikawasan industri. Apalagi dengan ketidak berdayaan skill dan informasi, mereka menjadi kelas paling bawah dalam struktur kota baru tersebut. Kondisi ini sebagaimana yang digambarkan Scott (1966) jika penduduk kehilangan patron ekonominya yang akan terjadi adalah pemberontakan oleh petani. Pembakaran dan perampokan milik perusahaan oleh masyarakat desa selama ini merupakan wujud dari pemberontakan masyarakat.
Tindakan eksploitasi yang paling nyata pada penduduk desa adalah pengambilalihan tanah oleh industri dan negara. Terdapat empat pola pengambilan tanah penduduk lokal. (Rawa 1997) Pertama, diambil secara paksa tanpa ganti rugi. Kebun atau tanah yang menjadi milik penduduk diambil dan ditanami tanpa pengetahuan penduduk. Apabila penduduk menuntut tanahnya kepada perusahaan, maka perusahaan mengatakan bahwa tanah tersebut adalah tanah hutan. Penduduk diminta menunjukkan bukti secara tertulis jika tanah tersebut milik mereka. Akan tetapi tidak seorang pun memiliki bukti secara tertulis. Tanah yang diambil tersebut dijaga tentara atau yang menyamar.
Apabila cara pertama gagal, maka pihak perusahaan akan menempuh cara kedua yaitu mengambil tanah dengan membayar ganti rugi dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah. Pihak perusahaan membayar uang tersebut kepada pemerintah, dan pemerintahlah yang akan membayarnya kepada penduduk. Cara ini dilakukan apabila tindakan perusahaan telah mendapat sorotan tajam dari masmedia dan NGO (Non Goverment Organisation). Disini pengawai pemerintah cenderung memotong ganti rugi tersebut, misalkan dibayar perusahaan Rp 1000/m2, dibayar Rp 50/m2.
Cara ini menjadi pilihan pertama apabila perusahaan mengambil tanah penduduk yang mempunyai bukti pemilikan secara tertulis. Ataupun sebelum tanah mereka diambil penduduk sudah mengadakan unjuk rasa agar tanahnya dibayar mahal.
Cara ketiga adalah membeli tanah penduduk dengan cara paksa. Cara ini diambil karena tanah tersebut tidak bisa diambil secara paksa disebabkan adanya bukti kepemilikan yang jelas. Untuk itu perusahaan membuka kebun baru atau meluaskan pabrik dengan mengepung tanah penduduk. Tanah penduduk tidak dapat dimanfaatkan lagi untuk pertanian. Perusahaan tidak lansung membeli tanah tersebut, sebab kalau perusahaan yang membeli, harga tanah akan mahal. Pembelinya pemerintah atau hanya kepala desa dengan harga yang lebih murah dan menjualnya kepada perusahaan dengan harga yang ditentukan perusahaan biasanya lebih jauh mahal. Atau bahkan pemerintah memaksa rakyat untuk menjual tanahnya dengan alasan tempat itu akan dibangun.
Cara keempat adalah menciptakan keadaan agar masyarakat menjual tanah mereka. Caranya adalah mengembangkan sikap konsumtif pada masyarakat dengan menawarkan berbagai jenis barang baru, menganjurkan menjual tanah untuk membangun rumah atau pergi ke haji. Selain itu menciptakan kekhawatiran di kalangan penduduk bahawa jika tanahnya tidak dijual sekarang, tanah itu akan diambil oleh pemerintah dengan ganti rugi yang lebih rendah. Akibatnya hampir semua penduduk menjual tanah
Dalam hubungan ini, peranan kepala desa amat penting untuk menentukan tanah penduduk laku dijual. Jika penduduk ingin menjual tanah mereka secara langsung pada industri, biasanya tidak mendapat tanggapan. Untuk menjual tanah mereka, penduduk harus menyerahkan tanah mereka ke kepala desa. Kepala desa yang akan menentukan harga tanah tersebut, setelah itu baru tanah tersebut dijual.
Tanah Ulayat dan Kepemilikan Pribadi
Desa Pangkalan Kerinci terletak disebelah timur kira-kira 75 km dari Pekanbaru ibu kota propinsi Riau. Pekanbaru merupakan pusat dari semua aktivitas propinsi yang berpenduduk 512,123 jiwa. Sedangkan jarak dari ibu kota kecamatan yaitu Langgam kira-kira 25 km yang berpenduduk kira-kira 36,355 jiwa dan terletak di sebelah timur Pangkalan Kerinci.
Sejak bulan Juni 1999, Pangkalan Kerinci tidak lagi berstatus desa, berdasarkan keputusan Gubernur Riau no Kpts. 296a/VI/1999 Pangkalan Kerinci menjadi Kecamatan dengan jumlah penduduk kira-kira 20.890 jiwa. Pada bulan Oktober 1999, Presiden Habibie mengeluarkan UU no 3 tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Pelalawan dimana Pangkalan Kerinci menjadi ibu kota Kabupaten Pelalawan.
Pangkalan Kerinci berada di kiri dan kanan jalan raya lintas timur Pekanbaru-Jambi yang merupakan salah satu jalan penghubung propinsi Riau dengan propinsi lainnya, termasuk transportasi darat pulau Sumatera dan pulau Jawa.
Asal mula penduduk Pangkalan Kerinci1 berasal dari anak-anak raja gunung hijau atau kerajaan Pagaruyung, yaitu Bathin Muncak Atas, Tok Bathin Jomu Onou dan Tok Ajo Bujang Bungso. Mereka pergi merantau ke kawasan Kerajaan Pelalawan mencari hutan-tanah baru. Tok Bathin Jomu Onou beranggotakan Bathin Lalang dan Bathin Delik. Mereka ini pergi menghadap raja Kerajaan Pelalawan untuk mencari hutan-tanah2 .
Sesampai ke Pangkalan Kabung, Bathin Lalang mencari hutan-tanah dan sekaligus menentukan batas hutan-tanah yang mereka akan minta ke Raja Pelalawan. Setelah hutan-tanah ditetapkan sebagai lahan garapan milik suku Lalang, dengan batas 1,5 km dari Sungai Kampar, sedang batas lainnya adalah Sungai Kerinci sampai ke Sungai Pelalawan yang jumlah luasnya 225.000 hektar.
Setelah batas tanah itu ditentukan, bathin Lalang menghadap Raja Pelalawan untuk memberi tahu hutan-tanah milik mereka. Maka pada tanggal 7 Desember 1938 Raja Pelalawan mengeluarkan bukti geran (grant) hutan-tanah milik bathin Lalang dengan surat No.2/1938.
Sejak itu penduduk mulai berdiam dikawasan hutan-tanah pemberian Raja Pelalawan tersebut. Dihutan tersebut penduduk berladang secara berpindah-pindah, menanam pohon sialang untuk mengambil madu lebah, mencari ikan, mencari hasil hutan, berbalak, dan berkebun getah (karet).
Umumnya penduduk tinggal secara berpencar di tepi sungai Kerinci. Ada juga yang tinggal di darat kira-kira 2 km dari Sungai Kerinci. Setiap kelompok perkampungan tersebut didiami kira-kira 3 sampai 5 rumah tangga. Kelompok-kelompok tempat tingal penduduk tersebut dikenal dengan nama pangkalan, yaitu Pangkalan Pasir, Pangkalan Seminai, Pangkalan Cik Bagus, Pangkalan Mamak Angkat, Pangkalan Lubuk Singapur, Pangkalan Aib. Keadaan seperti ini masih berlangsung sampai tahun 1978.
Sejak 1978 pemerintah Riau merobah struktur perkampungan menjadi desa, yaitu desa muda (persiapan menjadi desa). Pembentukan desa muda ini disebabkan penduduk Pangkalan Kerinci belum memenuhi persyaratan sebuah desa. Untuk melengkapai jumlah penduduk dalam satu desa tersebut maka pemerintah melakukan program relokasi tahun 1983 dengan menambah jumlah penduduk dari desa tetangga. Tahun 1983 itu juga Pangkalan Kerinci disahkan menjadi desa dengan penduduk 160 rumah tangga, yaitu 80 rumah tangga penduduk asli Pangkalan Kerinci dan 80 rumah tangga lagi dari penduduk Kuala Terusan.
Relokasi Depsos sebagai pemukiman baru penduduk tersebut terletak sekitar 2.8 KM dari pingir Sungai Kampar dan Kerinci. Akibat perubahan kampung menjadi desa tersebut, pangkalan-pangkalan di tepi Sungai Kerinci hilang, yang tinggal hanya Kualo (Muara Sungai Kerinci) dan terbentuknya satu pangkalan baru di tepi sungai Kampar dibawah jembatan tetapi tidak ada penduduk Pengkalan Kerinci asli yang berdiam disini.
Setelah kedatangan industri, baik itu PT Indosawit Subur Sejahtera (PT ISS) dan PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP) Pangkalan Kerinci berkembang dengan pesat menjadi sebuah kota kecil dengan aktivitas perdagangan yang sibuk. Luas desa yang dihuni oleh penduduk lebih dari 500 hektar, diikuti dengan berbagai perlengkapan sebagaimana sebuah kota.
Kerajaan Melayu Pelalawan3
Menurut Tenas Efendi (1999) Desa Pangkalan Kerinci merupakan desa yang berada dibawah kekuasaan kerajaan Melayu Pelalawan. Secara adminsitratif pangkalan Kerinci merupakan kawasan kebatinan di bawah kekuasaan Datuk Engku Raja Lela Putera yang menguasai kawasan Langgam.
Kerajaan Pelalawan sendiri ditubuhkan tahun 1830 M oleh Maharaja Indera dengan nama Kerajaan Pakantua atau juga terkenal dengan Pankantua Kampar terletak di hulu sungai Pakantua (anak sungai Kampar di hulu Muara Tolam sekarang). Dalam perjalanan selanjutnya pusat kerajaan pindah ke Bandar Tolam dan kemudian ke Bandar Besi atau Bandar Nansi, pindah lagi ke Tanjung Negeri dan terakhir pindah ke Sungai Rasau.
Ketika Kerajaan Pakantua dibawah pimpinan Raja Maharaja Lela Utama (1675-1686) nama Pakantua diganti menjadi Pelalawan, sampai hari ini kerajaan ini lebih dikenal dengan Kerajaan Pelalawan. Ibu kota kerajaan ini dipindahkan ke tepi Sungai Kampar oleh Sultan Syarif Kasyim yang berkuasa tahun 1892-1930 yang kini menjadi desa Pelalawan. Nama ini berkekalan sampai berakhirnya kerajaan Pelalawan tahun 1946, selaras dengan pembentukan propinsi Sumatera oleh Pemerintah Indonesia yang merdeka pada 17 Agustus 1945.
Kerajaan Pelalawan dibagi menjadi 4 wilayah yang dipimpin seorang datuk. Datuk Engku Raja Lela Putera memimpin kawasan Langgam, dimana Kebatinan Pengkalan Kerinci termasuk dalam kekuasaannya. Datuk Leksama Mangku Diraja menguasai kawasan Pangkalan Kuras; Datuk Bandar Setia Diraja menguasai kawasan Bunut dan Datuk Kampar Samar Diraja menguasai kawasan Serapung (Kuala Kampar). Keempat kawasan datuk ini pada masa jajahan Belanda, kerajaan Pelalawan dirubah menjadi empat distrik. Keempat distrik ini menjadi wilayah Zelfbesturende Lanchapen Van Pelalawan dengan ibu kota Pelalawan dibawah kekuasaan Onderafdeeling Selat Panjang dalam Afleeding Bengkalis dan dalam keresidenan Sumatera Timur dalam propinsi Sumatera. Tahun 1941 Belanda membentuk Keresidenan Riau yang terdiri dari Riau Daratan dan Riau Kepulauan.
Pada masa penjajahan Jepang, dari tahun 1942 hingga 1944 belum terjadi perubahan dalam struktur kekuasaan di Pelalawan. Tahun 1944 Jepun memasukkan Pelalawan ke wilayah kekuasaan Selat Panjang Gun. Baru pada tahun 1945 Pelalawan terpisah dari Selat Panjang Gun menjadi Pelalawan Gun.
Setelah informasi Indonesia merdeka sampai ke kerajaan Pelalawan tahun 1945, Sultan Pelalawan. beserta orang besar kerajaan menyatakan diri menjadi bagian dan mendukung sepenuhnya negara Kesatuan Republik Indonesia. Kerajaan Pelalawan secara langsung menjadi kewedanaan Pelalawan sedangakan empat distrik dibawahnya tahun 1948 menjadi empat Kecamatan. Kewedanaan Pelalawan berada di bawah kekuasaan Kabupaten Bengkalis. Namun demikian kedudukan Pelalawan dalam pemerintah berubah kembali berdasarkan Undang-Undang no 12 tahun 1956, Kewedanaan Pelalawan dilepas dari Kabupaten Bengkalis dan berada dibawah kekuasaan Kabupaten Kampar.
Presiden Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden R.I. no 22 tahun 1964 yang berisi tentang penghapusan status kewedanaan dan keresidenan dan instruksi Gubernur Riau No Ist/03/II/64 yang merupakan tindak lanjut daripada keputusan presiden di atas, maka status kewedanaan Pelalawan dihapus pada bulan Maret 1964. Kota kewedanaan Pelalawan berubah statusnya menjadi kepenghuluan, yang kemudian berdasarkan UU No 5 tahun 1979 Pelalawan menjadi Desa Pelalawan di bawah kecamatan Bunut. Sedangkan Pangkalan Kerinci yang hanya merupakan kampung kecil berada ditepi sungai Kerinci dan Sungai Kampar berada dibawah Kecamatan Langgam. Tahun 1983 Pangkalan Kerinci dinaikkan statusnya menjadi desa. Dan Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No.821.26.525/26hb Mei 1987 Bekas Kewedanaan Pelalawan menjadi wilayah kerja Pembantu Bupati Kampar Wilayah II yang berkedudukan di Pangkalan Kerinci. Pada 1999 Pangkalan Kerinci sudah menjadi Kecamatan Pangakalan Kerinci dan menjadi ibu kota kabupaten Pelalawan.
Akses Tanah dan Sumber daya Ekonomi
Penduduk Pangkalan Kerinci berasal dari satu rumah tangga, yaitu Keluarga Tuk Lintang. Tuk Lintang, Bathin Lalang pertama yang ikut Tok Bathin Jomu Onau mencari hutan-tanah. Dari Tuk Lintang inilah penduduk Pangkalan Kerinci berkembang hingga mencapai hampir 100 rumah tangga. Mengikut tradisinya Suku Lalang tidak membenarkan terjadinya perkawinan satu suku. Oleh sebab itu, di kawasan suku lalang ini berdiam pula suku lain.
Suku lain itu, selain berasal dari pendatang dari kebathinan lainnya seperti Suku Payung, Suku Kerinci, Suku Delik dan Suku Piliang, juga berasal dari anak lelaki suku Lalang. Anak lelaki dari suku Lalang akan menjadi anak dari suku ibunya. Ini disebabkan suku ini menganut paham matrilinial.
Oleh sebab iu, hutan seluas 225.000 hektar tersebut secara hukum adat dimiliki oleh anak perempuan Suku Lalang. Hanya anak-anak suku Lalang saja yang mempunyai hak milik atas hutan-tanah tersebut. Suku lalang bebas mengelola dan menanami hutan-tanah tersebut.
Suku-suku lain hanya mempunyai hak garap atas hutan tersebut. Diatas tanah garapan tersebut boleh ditanamani berbagai macam jenis tanaman tetapi hak penuh atas tanah masih berada pada suku Lalang. Namun ada aturan yang tidak tertulis bahwa kalau sebidang tanah yang telah ditanami bermacam jenis tanaman maka tanah tersebut tidak boleh digarap oleh orang lain, termasuk suku Lalang. Jika mau juga menggarapnya maka penggarap yang baru harus mebayar ganti rugi atas tanaman yang ada diatas tanah tersebut.
Hutan tersebut dibagi menjadi empat pemanfaatan, yaitu untuk rumah dan perkarangan, tempat berladang dan berkebun, kepungan sialang dan terakhri hutan obat-obatan.
Berbeda dengan hak kepemilikan hutan-tanah, kepungan sialang dan hutan obatan-obatan ini dikuasai oleh suku masing-masing, dan suku Lalang sebagai pemilik juga mempunyai kekuasaan pengaturan. Kepungan sialang menjadi hak suku yang sebenarnya, yang diturunkan secara turun temurun sebagai harta suku, yang hanya boleh diturunkan ke anak perempuan.
Produksi Sialang setiap tahunnya menjadi tiga pembagian secara merata, satu bagian untuk anak perempuan yang datang, anak lelaki yang bekerja dan satu sarang lebah diberi kepada Bathin. Pada proses pengambilan madu tersebut, anak lelaki diwajibkan bekerja menyambut madu lebah dari atas, sedangkan anak perempuan (melalaui suaminya) hanya diwajibkan hadir saja. Bagi anak kemenakan yang tidak hadir dalam upacara pengambilan madu lebah tersebut biasanya tidak mendapat pembagian.
Hasil produksi madu akan dijual apabila melebihi kebutuhan keluarga. Jika tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga maka madu lebah tersebut hanya dijadikan sebagai sumber daya reproduksi domestik, yaitu kue dan jenis makanan lainnya serta obat-obatan. Kecuali ada mufakat antar keluarga bahwa hasil madu tersebut langsung di jual. Tapi kalau dalam mufakat tersebut ada yang tidak bersedia menjualnya ia boleh mengambil bagiannya dalam bentuk madu.
Di kawasan hutan 225.000 hektar hutan miliki suku Lalang ini terdapat kurang lebih 400 hektar kepungan Sialang, yang dimiliki oleh empat suku, yaitu Suku Lalang, Suku Payung, Suku Melayu dan suku Delik.
Selain hutan, dan kepungan Sialang resource ekonomi lain adalah sungai. Dalam sejarahnya Kecamatan termasuk di dalamnya Pangkalan Kerinci sangat terkenal dengan penghasil ikan salai (asap), terutama pada musim kemarau. Sistem penguasaan sungai melalui lubuk (satuan air yang dalam). Bathin Lalang dalam hal ini sebagai pengatur penguasaan atas satu lubuk dari sungai tersebut. Maka pengambilan ikan tidak boleh melewati dari lubuk yang telah ditetapkan.
Sungai merupakan milik semua suku jadi tidak ada satu suku yang berkuasa penuh terhadap sungai tersebut. Suku Lalang hanya memiliki hak pengaturan pengambilan ikan di sungai.
Ke semua resource ekonomi tersebut merupakan miliki kelompok, tidak ada yang merupakan miliki rumah tangga. Kepemilikan rumah tanga hanya sebatas tanah untuk rumah dan pekarangan dan 1-20 hektar perkebunan karet. Lebih dari itu semunya merupakan hak miliki persukuan.
Distribusi hasil dari resource ekonomi tersebut disalurkan melalui suku, kemudian suku menyalurkan ke rumah tangga. Jadi resource ekonomi suku menjadi sumber ekonomi rumah tangga.
Hak milik rumah tangga yang dipimpin oleh kepala Rumah tangga didistribusikan secara merata kepada seluruh anggota keluarga dengan tidak membedakan seks. Pertimbangan distribusi kekayaan cenderung atas pertimbangan emosional kepala rumah tangga.
Pola pendistribusian pendapatan rumah tangga kurang lazim melalui proses perwarisan. Yang lazim adalah pemberian atas moment penting yang dilalui oleh anak-anaknya. Seperti tanah ini akan dijual kalau anaknya Si A menikah. Jadi kekayaan yang diperoleh dan didistribusikan kepada anak-anak dalam bentuk konsumtif bukan dalam bentuk modal.
Pekerjaan dan Konsumsi Rumah Tangga
Sesuai dengan dasar reources ekonomi yaitu hutan-tanah dan sungai. Pemanfaatan hutan-tanah tersebut sesuai dengan corak produksi dan konsumsi penduduk. Corak produksi dan konsumsi tersebut sangat berkaitan dengan proses produksi sumber ekonomi yang tersedia. Untuk resource ekonomi yang proses produksi memakan waktu yang lama, maka hasil produksi juga digunakan untuk konsumsi waktu yang lama.
Oleh sebab itu, jenis pekerjaan penduduk Pangkalan Kerinci dikatagorikan kepada lamanya persediaan konsumsi rumah tangga. Pertama, pekerjaan tahunan aktivitas ekonominya adalah bertani berladang berpindah-pindah. Hasil produksi berladang berpindah-pindah ini digunakan untuk konsumsi satu tahun. Apabila produksi padi diperkirakan melebihi kebutuhan satu tahun, padi dijual untuk memenuhi kebutuhan harian atau mingguan.
Namun demikian persediaan konsumsi tahunan tersebut dan lahan bekas berladang sering juga dijual untuk memenuhi kebutuhan mendadak dalam jumlah besar. Biasanya untuk pesta pernikahan anak, menyekolahkan anak, menyunat anak dan acara adat lainnya. Selain konsumsi untuk rumah tangga, juga ada konsumsi adat dan komunitas yang biasanya diberikan sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Untuk melengkapi konsumsi tahunan ini biasanya melalui pekerjaan produksi bulanan, yaitu meneres karet (getah). Pekerjaan meneres getah ini umumnya dibayar lebih dahulu melalui utang pada tauke. Setiap bulan hasil getah diserahkan kepada tuake dengan harga yang ditentukan oleh tauke.
Jika penduduk tidak punya getah, pekerjaann lainnya adalah membalak. Pekerjaan membalak ini dilakukan secara berkelompok dibayar dengan jumlah kubik kayu yang diperoleh. Biasanya sebelum berangkat membalak tauke balak menyediakan keperluan konsumsi dan konsumssi rumah tangga yang ditinggalkan. Biasanya hasil membalak tidak cukup memenuhi kebutuhan bulanan, sehingga pekerja balak tersebut terikat kepada tuake balak tersebut.
Konsumsi tahunan dan bulanan ini juga dilengkapi dengan produksi mingguan atau harian. Kegiatan produksi mingguan atau harian ini biasanya memancing ikan, mencari hasil hutan, tanaman perkarangan dan aktivitas domestik. Biasanya aktivitas pekerjaan mingguan ini lebih banyak dikerjakan oleh perempuan.
Namun demikian aktivitas penangkapan ikan tidak selalu menjadi sumber konsumsi harian atau mingguan. Selain sebagai sumber konsumsi harian dan mingguan ikan juga merupakan sumber konsumsi tahunan (musiman). Jika musim kemarau tiba aktivitas mencari ikan merupakan aktivitas suku yang dilakukan oleh lelaki. Masing-masing suku berbagi lubuk untuk menuba ikan dengan akar kayu tuba. Hasil tangkapan merupakan produksi suku yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Pembagian hasilnya biasanya dilakukan secara merata dan adil.
Hasil penangkapan ikan tahunan ini biasanya diolah lebih dahulu oleh lelaki dengan pengasapan (salai). Setelah disalai ikan dibawa pulang, dan kemudian di jual untuk keperluan ekonomi rumah tangga. Oleh sebab itu, ikan salai menjadi sangat terkenal di desa Pangkalan Kerinci. Sebelum masuknya industri ke Pangkalan Kerinci ciri khas produksi yang dipasarkan kepada pendatang adalah ikan salai.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hutan, tanah (hutan-tanah) dan sungai merupakan kunci utama ekonomi penduduk Pangkalan Kerinci. Hutan berfungsi sebagai penjaminan ketersediaan pangan, hutan berfungsi produksi dan konsumsi. Selain itu, masing-masing jenis produksi dan konsumsi ini merupakan sumber ekonomi primer dalam rumah tangga.
Setelah tahun 1994 aktiviti perladangan umumnya sudah tidak dilaksanakan sebab hutan dan tanah telah diambil oleh perkebunan sawit swasta dan perkebunan kayu, transmigrasi, pabrik PT RAPP, serta perumahan perusahaan tersebut. Setelah kehadiran industri keadaan petani di kawasan ini telah berubah menjadi petani-petani kota (Evers 1992 ).
Aktivitas ekonomi primer sudah tidak dijalankan lagi, mereka hanya bergantung pada sumber ekonomi tertier yaitu membuat rumah sewa di kawasan tanah seluas 2 hektar yang ada di dekat rumah mereka dan menyewakannya kepada pendatang seharga Rp. 100.000 sampai Rp.150.000,00 satu rumah setiap bulan. Untuk membuat rumah tersebut mereka menjual tanah atau ganti rugi tanah kepada kedua perusahaan tersebut. Rata-rata setiap penduduk mempunyai 7 petak rumah sewa.
Secara makro telah terjadi perubahan dari pertanian berorientasi ekspor ke pertanian domestik atau subsisten (Pelly 1996), ini terlihat dengan hilangnya perkebunan getah dan berbalak. Sumber produksi penduduk hanya semata-mata penghasilan harian yaitu bekerja apa saja yang bisa dikerjakan hari ini dan untuk konsumsi hari ini. Produksi bulanan diperoleh dari rumah sewa dan perkebuan sawit.
Untuk penduduk yang rumahnya berada di tepi jalan, tanah mereka diserahkan kepada pengusaha terutama China untuk membangun pertokoan dengan prinsip 1-3. Pengusaha membangun tiga toko tanpa membeli tanah tetapi satu diantara tiga toko tersebut menjadi milik si pemilik tanah. Pemilik tanah biasanya tidak melakukan perdagangan di toko yang dia punya tersebut tetapi disewakan kepada siapa yang ingin berdagang dengan harga satu juta rupiah satu bulan. Namun demikian tidak satupun dari penduduk asli Pangkalan Kerinci mempunyai rumah dipiggir jalan.
Sumber ekonomi tertier ini menjadi satu-satunya sumber produksi untuk pendapatan. Ibu-bapa dan anak-anak mereka yang sudah menamatkan sekolah menengah umumnya tidak bekerja. Mereka tidak lagi bertani sebab sudah semakin susah memperoleh kawasan untuk bertani, sedangkan anak-anak muda umumnya memimpikan bekerja di perusahaan swasta. Akibatnya aktivitas pertanian hampir hilang, hanya kira-kira 5 keluarga yang menggarap hutan milik suku yang tinggal seluas 1.8 hektar di tepi sungai Kampar dan Kerinci.
Data sementara menujukkan bahwa jumlah warga asli yang bekerja pada perusahaan berkisar 10-12 orang saja. Semenetara beberapa tamatan SMU dan sarjana sedang melamar untuk bekerja di perusahaan tersebut.
Penduduk
Pada saat penyelidikan ini dilaksanakan penduduk Pangkalan Kerinci sudah mencapai 20,000 orang dengan jumlah rumah tangga mencapai 4.178, namun demikian terdapat bermacam versi jumlah rumah tangga dan penduduk ini. Selain itu dinamika jumlah penduduk ini berubah dengan sangat cepat tergantung pada irama syarikat. Ketika Syarikat PT RAPP sedang banyak memerlukan pekerja jumlah penduduk bertambah dengan cepat. Tetapi ketika syarikat sedang mengurangi aktiviti syarikatnya maka jumlah penduduk juga berkurang dengan cepat. Penduduk di desa ini dipengaruhi oleh pola migrasi pendatang untuk bekerja di perusahaan.
Jumlah penduduk asal ketika Pangkalan Kerinci dibuka belum dapat diketahui. Yang hanya bisa diketahui bahwa Batin Pertama Lalang membawa penduduk yang ada dipedalaman untuk bersama-sama membentuk perkampungan. Hanya saja sebelum program relokasi 1978 penduduk Pangkalan Kerinci berjumlah 35 rumah tangga sekitar 120 jiwa. Kemudian pada tahun 1983 jumlah penduduk tersebut bertambah menjadi 80 rumah tangga sekitra 300 jiwa. Sekarang jumlah penduduk asli Pangkalan Kerinci berjumlah 70 rumah tangga.
Tabel Penduduk Pangkalan Kerinci
Tahun
PA
PPDT
PPTL
1978
35 kk
-
-
1983
80 kk
80kk
-
1999
70 kk
300 kk
3808 kk
Sumber: Kantor desa dan Bathin M.Siddik.
Keterangan:
-PA = penduduk asli Pangkalan Kerinci.
-PPADT = Pendatang dari desa Tetangga.
-PPTL = Pendatang dari tempat lain.
Perbedaan jumlah penduduk tersebut disebabkan oleh pola migrasi ekonomi dan perkawinan. Sebelum relokasi Depsos, penduduk asli Pangkalan Kerinci pergi merantau ke kawasan hutan lain yang lebih lebat dan lebih subur dari kawasan hutan Bathin Kerinci. Akibatnya jumlah rumah tangga yang tertinggal hanya 35 rumah tangga saja.
Tetapi ketika program relokasi dilaksanakan Batin Kerinci M.Siddik memanggil kembali warga sukunya agar kembali dan menempati rumah-rumah yang disediakan oleh Depsos tersebut. Terkumpulah 80 rumah tangga Kerinci. 35 rumah tangga yang benar-benar berasal dari Pangkalan Kerinci 45 rumah tangga berasal dari pecahan dari keluarga luas dan penduduk Pangklan Kerinci yang merantau pulang Kembali.
Dari 80 rumah tangga Kerinci tersebut, 5 rumah tangga keluar dari prorgram relokasi Depsos. Alasan keluar dari perumahan tersebut disebabkan ketatnya disiplin yang diterapkan pengawai dari Depsos tersebut. Inti permasalahannya adalah loncatan kebudayaan yang diperkenalkan oleh Depos kepada penduduk asli. Penduduk asli tidak mampu beradaptasi dengan kebudayaan baru yang diperkenalkan oleh Depsos tersebut.
Selain itu, pemindahan tesebut menyebabkan berkurangnya habitat ekologisnya, yaitu sungai. Sungai semakin jauh, akibatnya suplement ekonomi harian atau mingguan semakin berkurang.
Penetrasi Negara
Negara Indonesia di era Orde Baru bukan saja otoriter, tetapi juga memperlakukan negara secara sepihak. Asumsi negara adalah rezim yang berkuasa, rakyat dianggap seperti menumpang pada rezim yang berkuasa. Hubungan antara negara dan rakyat adalah hubungan buruh dan majikan. Semua kekayaan negara adalah milik rezim yang berkuasa. Agar kekayaan itu dapat dimiliki secara sah, maka dibuatlah legitimasi melalui pembuatan undang-undang. Negara secara sistematis memproduk UU yang akan mendukung ekspansi modal ke masyarakat desa. Oleh sebab itu terdapat hubungan yang kuat antara negara dan modal dalam mengeksploitasi masyarakat asli di desa.
Langkah sistematis yang diambil oleh negara semasa orde baru adalah melalui korporatisme di desa, yaitu desa ditata sedemikian rupa melalui pembentukan lembaga baru yang patuh kepada negara (rezim). Lembaga-lembaga tradisional dihapus, kepemimpinan adat yang ada tidak diakui. Lembaga baru tersebut dipresentasikan sebagai perwakilan rakyat yang mendukung rezim yang berkuasa.
Untuk mendukung langkah korporatisme negara maka rezim membuat UU untuk memberi jarak antara rakyat dengan pemimpin tradisional. Beberapa UU yang dapat diindentifikasi (Noer Fauzi, 1999), Pertama, UU Pemilu yang memberlakukan kebijakan massa mengambang. Kebijakan massa mengambang ini menyebabkan rakyat tidak mempunyai patron politik. Partai politik tidak mempunyai basis massa di desa. Massa mengambang ini menyebabkan putusnya saluran politik rakyat pedesaan.
UU pemilu ini kemudian didukung pula oleh inpres tahun 1978 dan 1984 yang melarang ada organisasi ekonomi rakyat yang terpisah dari negara. Satu-satunya organisasi ekonomi rakyat yang dibolehkan adalah Koperasi Unit Desa (KUD), organisasi profesi petani dibentuk oleh negara yaitu HKTI (Himpunan Kerukuan Tani di Indonesia) dan HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia). Padahal seluruh organisasi tersebut, hanya mewakili kepentingan negara saja.
Akibat perbelakuan UU ini, pimpinan adat tidak mampu memperjuangkan hak-hak atas tanah dan kepungan sialang yang diambil oleh PT Indosawit Subur Sejahtera dan PT RAPP. Organisasi adat yang selama ini mengatur masyarakat Pangkalan Kerinci tidak berfungsi lagi, karena digantikan oleh organisasi bentukan negara tadi. Koperasi desa yang merupakan organisasi ekonomi desa dikuasai oleh pendatang.
Kedua, UU Pemerintahan Desa 1979, yang berisi penyeragaman desa di seluruh Indonesia. Sasaran UU ini adalah perombakan tatanan sosial lokal yang telah ada. Pemimpin desa diwajibkan patuh kepada birokrasi atasannya bukan kepada rakyat. Lembaga-lambaga adat yang telah ada diganti, seperti nama komunitas adat diganti dengan nama desa. Ini mempunyai implikasi sosial yang sangat besar sebab desa harus memenuhi persyaratan kependudukan dan luas daerah yang terbatas. Lembaga adat diganti dengan LMD (Lembaga Musyawarah Desa), LKMD (lembaga Ketahanan Masyarkat Desa), LSD (Lembaga Sosial Desa), PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga). Padahal semua prangkat desa tersebut merupakan perwakilan kekuasaan tunggal di desa, sehingga yang menjadi angota bahkan pengurus inti dari seluruh lembaga tersebut adalah orang-orang yaang mewakili kepentingan penguasa.
Sejak diberlakukan UU Pemerintah Desa tahuan 1979 di Pangkalan Kerinci, kebathinan ditukar menjadi desa muda. Karena desa muda kekurangan penduduk maka pemerintah menambah jumlah penduduknya dengan program relokasi Departemen Sosial. Program yang dijalankan tahun 1983 tersebut menghantar desa muda menjadi desa. Memang kepala desa pertama dipimpin oleh Bathin Siddik, selama itu tidak terjadi konflik yang begitu keras dengan pihak PT ISS. Tetapi desa menjadi dewa penuh, kepala desa tidak diisi oleh penduduk asli. Perangkat desa diisi oleh penduduk pendatang dari desa tetangga. Disinilah mulau terjadinya manipulasi adminsitratif oleh kepala desa dalam hal distribusi kebun sawit dari penduduk asli ke pendatang. Sementara itu, kepemimpinan informal adat yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyatnya tidak berfungsi lagi.
Ketiga, dikeluarkannya UU PMA no. 1 1967 dan UU no 5 tahun 1971 tentang kehutanan. Kedua UU tersebut meletakkan masalah tanah dan hutan menjadi kegiatan teknis semata. Masalah tanah dan hutan tidak dipresentasikan sebagai dasar pembangunan (Wirardi, 1993). Pemerintah mempunyai hak untuk mendefinisikan hutan dan mengabaikan hutan ulayat. Karena kekuasaan terpusat pada negara, maka negara bisa dengan mudah menentukan itu hutan negara atau bukan. Negara mempunyai hak untuk mendistribusikan hutan kepada pemodal, melalui HTI, HPH dan perkebunan serta kegiatan industrialisasi lainnya.
Dengan UU tersebut negara bekerja sama dengan pemilik modal mengeksploitasi hutan rakyat. Dalam kasus di Pangkalan Kerinci Bupati Kampar waktu itu Saleh Djasid (Gubernur Sekarang), mengeluarkan surat bahwa hak ulayat yang dimiliki penduduk Pangkalan Kerinci hadiah dari Raja Pelalawan diangap hutan negara. Akibatnya tanah ulayat seluas 225.000 hektar hutan ulayat dan di dalamnya terdapat 400 hektar kepungan sialang habis diambil pemodal. Termasuk program relokasi depsos di Pangkalan Kerinci itu sendiiri dan program relokasi untuk desa Terusan Baru. Sekarang penduduk asli Pangkalan Kerinci rata-rata memiliki tanah 10 hektar tanah, bahkan ada yang hanya tinggal 2 hektar sahaja. Dalam proses pengambilalihan tanah tersebut negara dan pemodal menggunakan tindakan kekerasan dan militer untuk.
Marjinalisasi Penduduk Lokal
Implikasi dari korporasi negara dan industrialisasi tersebut adalah pertama perubahan ekologis dan demografis yaitu perubahan dari ekologi pedesaan ke ekologi perkotaan. (Pelly 1996 ; Embong 1996) terjadinya penyepitan ruang, naiknya harga tanah dan lingkungan pekerjaan dari pertanian ke non pertanian. Kehadiran industri ini diperkuat lagi dengan kehadiran pendatang ke desa ini yang jumlahnya sudah lebih banyak, sehingga penduduk lokal telah menjadi minoritas.
Implikasi dari dampak ekologis ini adalah marjinalisasi (kalau tidak mau menyebut pemusnahan) penduduk lokal. Penduduk lokal termarjinal melalaui modal, dimana modal dasar penduduk berupa tanah dan hutan serta sungai berpindah tangan kepada industri atau pendatang (di jual). Proses penjualan itu sendiri bisa bersumber dari budaya konsumtip kota dan kekurang modal untuk hidup pada budaya kota.
Akibatnya, penduduk lokal kehabisan tanah dan hutan----lebih parah dari pendangan Gertz (1980). Uang yang diperoleh dari penjualan tanah tersebut tidak dimenej secara baik, sehingga habis secara perlahan. Sementara tingkat persaingan dan konsumsi semakin tinggi.
Dampak demokrafis lainnya adalah pudarnya kekuasaan politik masyarakat lokal. Ini disebabkan jumlah pendatang hampir 95% dari total penduduk. Padahal keputusan politik ditentukan oleh kuantitas pendukung keputusan tersebut. Ini bermakna penduduk lokal sudah tidak bisa lagi mamasukkan aspirasi politiknya, apalagi menjadi sebuah keputusan politik. Mereka menjadi minoritas secara kuantitas dan kekuasaan.
Kedua, perubahan ekonomi dan tradisi pertanian. Secara ekonomi perubahan yang bisa dilacak adalah perubahan sumber-sumber pendapatan. Perubahan sumber pendapatan ini berawal dari hilangnya hutan dan tanah perladangan. Hutan bagi penduduk lokal bukan hanya tempat berladang berpindah-pindah atau berkebun tanaman keras, tetapi juga merupakan sumber penghasilan tambahan seebagai penopang utama ekonomi keluarga (Ever 1989). Di hutan tersedia kayu, rotan, damar, sumber ketahanan pangan baik hewani maupun nabati, sumber penghasil madu dan lain-lainya.
Akibat perubahan sumber pendapatan tersebut terjadi perubahan tradisi pertanian. Perubahan tradisi pertanian ini dapat diketahui melalui dua bentuk perubahan, pertama berubah dari pertanian berorientasi ekspor (Anderson 1924) ke pertanian subsisten (Pelly 1996). Kedua, terjadinya perubahan aktivitas pertanian dari bertani sebagai aktivitas utama atau primer, berubah menjadi penjual hasil pertanian dan hasil hutan sebagi penyangga ekonomi (ekonomi skunder) dan menjual jasa sebagai ekonomi tertier.
Pergeseran Pemilikan Tanah
Kehadiran Industri menyebabkan terjadinya pergeseran kepemilikan tanah. Ada dua bentuk pergeseran kepemilikan tanah tersebut. Pertama, tanah tidak lagi sebagai milik komunal, tetapi telah menjadi milik individu. Tanah komunal yang tersisa dipeta-petakan oleh anggota masyarakat untuk kepentingan ganti rugi.
Yang pertama melakukan pengeseran fungsi tanah komunal menjadi tanah pribadi adalah program relokasi Departemen Sosial tahun 1982. Pemerintah mengambil alih tanah komunal sekitar 500 hektar untuk dijadikan hak milik pribadi. Tanah yang semula merupakan hutan ulayat diambil alih oleh pemerintah tanpa ganti rugi. Kemudian tanah tersebut diserahkan kembali kepada penduduk asli dan pendatang masing-masing empat hektar sebagai hak milik pribadi.
Setelah pemerintah, kehadiran PT Indo Sawit Subur Sejahtera mempertegas hak kepemilikan pribadi atas tanah. Tanah komunal yang dimiliki suku diambil alih oleh negara sebagai tanah negara, kemudian tanah beserta kebun sawit diserahkan kepada penduduk seluas dua hektar. Kebun sawit yang didapat dengan cuma-cuma ini benar-benar membuka kesadaran akan pentingnya kepemilikan pribadi, sebab banyak diantara penduduk yang menjual kebun sawitnya untuk kebutuhan mendesak.
Setelah itu, inspirasi perubahan sistem kepemilikan ini menjadi sangat penting karena naiknya harga tanah. Tanah yang dulu tidak berharga, kini setelah kedangan industri satu menter bis aberhaga 40 tibu rupiah. Maka sisa tanah yang menjadi milik komunal diperebutkan menjadi milik pribadi. Dulu secara hukum adat mereka yang berhak memiliki tanah adalah keturuanan dari ibu suku lalang. Kini berubah, semua yang dulu pernah berladang di tanah komunal menjadi milik pribadi.
Kondisi ini memicu konflik antar penduduk asli. Satu kelompok terutama dari keturunan kebathinan tetap mempertahankan hak komunal. Sebab jika tanah tersebut masih berda dalam sistem komunal maka keuntungan terbesar menjadi milik keturunan terdekat dengan bathin. Sementara masyarakat yang merasa kurang akses ke kebatinan justeru memilih hak kepemilikan pribadi. Perusahaan menggunakan perluang ini untuk merebut hak atas tanah baik melalui pembelian maupun ganti rugi sepihak. Sementara negara berada dibalik perusahaan karena mendapat bagian pendapatan dari perusahaan.
Pergeseran fungsi tanah dari tanah komunal menjadi tanah oribadi ini berdampak terhadap penguasaan tanah oleh penduduk asli lokal. Dimana sisa-sisa tanah yang ada beralih kempemilikan dari penduduk asli ke pendatang. Karena tanah dengan mudah bisa dijual-belikan tanpa perlu persetujuan bathin. Kondisi ini menjadikan penduduk asli Pangkalan Kerinci kehabisan tanah bahkan ada yang hanya memiliki 2 hektar tanah saja hasil dari program relokasi Depsos.
Kedua, pengeksplotasian tanah oleh negara dan modal. Negara dengan menggunakan prangkat hukuk yang segaja dibuat mengambil alih tanh penduduk baikm tanah pribadi maupun tanah komunal menjadi tanah negara. Setelah itu, negara menyerahkannya kepada pemodal untuk kepentingan ekonomi negara dan sekaligus penguasannya mendapat keuntungan pribadi. Langkah inilah yang diambil oleh Bupati Kampar terhadap tanah ulayat suku Lalang di Pangkalan Kerinci di tahun 1989. Dengan dasar itu, negara menyerahkan tanah tersebut kepada PT Indosawit Subur Sejahtera dan PT Riau Andalan Pup and Paper. Akibatnya tanah (hutan-tanah) diambil alih tanpa ganti rugi sedikitpun dari pemrintah dan pengusaha.
Ketika rakyat mau mengkomplin atas tanah tersebut maka terjadilah bentrokan antara rakyat dan aparat (tentara). Dimana aparat berada dipihak pengusaha. Pada masa Orde Baru PT RAPP dijaga oleh tentara dengan bersenjata lengkap. Sementara diantara PT RAPP dan PT ISS dibangun markas TNI yang fungsi sebagai penjaga keamanan bagi pengusaha.
Implikasi memang pengusaha bisa sewenang-wenang terhadap rakyat. Terbukti dari 225.000 hekar hutan ulayat milik suku lalang tidak dimiliki lagi oleh rakyat. Rakyat mau mengkomplain tanah seluas 17 hekar yang kini berada dibawah kekuasaan PT RAPP juga tidak bisa. Untunglah terjadi perubahan suasana politik, sehinga pihak RAPP melakukan pendekatan-pendekatan untuk memperbaiki hubungan dengan rakyat, yang semakin berani. Di era reformsi ini perusahaan-perusahaan yang ada disekitar Pengkalan Kerinci, terutama PT RAPP dan PT ISS menghadapai demonstraso terus menerus dari rakyat. Bahkan bagaikan aib dalam masyarakat bahwa suku Lalang dan masyarakat Pangkalan Kerinci tidak mempunyai tanah lagi untuk tanah kuburan.
Pada masa ini tanah hak ulayata tersebut sudah menjadi tanah menjadi milik pengusaha dan pendatang dan hanya sedikit saja milik penduduk lokal Pangkalan Kerinci asli. Tanah tersebut menjadi perkebunan, pabrik, milik pengusaha lokal yang sebahagiannya adalah China, tanah milik kepala desa, tanah milik pemerintah atau perusahaan pemerintah dan tanah milik penduduk.
Untuk mengabil tanah penduduk melalui beberapa cara. Pertama, diambil secara paksa tanpa ganti rugi, Kedua, diambil dengan ganti rugi, Ketiga, dibeli dengan paksa, Keempat, penduduk dimestikan menjual. Keempat cara itu adalah untuk memenuhi keperluan pengusaha multinasional dan perkebunan milik pemerintah (PTP) yang mau memiliki tanah seluas mungkin.
Mengenai pengambilan secara paksa, kebun atau tanah yang menjadi milik penduduk diambil dan ditanami akasia (acacia) tanpa sepengetahuan penduduk. Apabila pendudu menuntut tanahnya kepada perusahaan, maka perusahaan mengatakan tanah tersebut adalah tanah hutan. Penduduk diminta menunjukkan bukti secara tertulis jika tanah tersebut milik mereka. Ketika ditunjukkan bukti penyerahan tanah dari Sultan Pelalawan, pengusaha, pemerintah dan penegak hukum menolaknnya. Bahkan dikeluarkan surat dari pemerintah bahwa tanah tersebut milik negara. Untuk mempertahankan tanah yang disengketakan penduduk tersebut, pihak perusahaan menggunakan tentara atau orang yang menyamar sebagai tentara.
Apabila cara pertama yaitu pengambilan tanah secara paksa gagal, maka pihak perusahaan akan menempuh cara kedua yaitu mengambil tanah dengan membayar ganti rugi mengikut harga yang ditetapkan pemerintah. Pihak perusahaan membayar uang tersebut kepada pemerintah, dan pemerintahlah yang akan membayarkannya kepada penduduk. Cara ini dilakukan apabila tindakan perusahaan telah mendapat sorotan tajam dari akhbar dan NGO (Non Goverment Organisation).
Cara kedua ini juga dijalan oleh perusahaan karana sebab-sebab yang lain. Cara ini menjadi pilihan pertama apabila perusahaan mengambil tanah penduduk yang mempunyai bukti pemilikan secara tertulis. Ataupun sebelum tanah merekan diambil penduduk sudah mengadakan unjuk rasa harga tanahnya dibayar dengan harga yang sesuai. Proses ganti rugi biasanya melalui pemerintah yang menentukan nilai ganti rugi, setelah itu meminta persetujuan penduduk. Perusahaan tidak terus membayar ganti rugi kepada penduduk tetapi melalui pemerintah.
Cara ketiga adalah membeli tanah penduduk dengan cara paksa. Cara ini diambil kmarena tanahb tersebut tidak boleh diambil secara paksa disebabkan adanya bukti kepemilikan yang jelas. Untuk itu perusahaan membuka kebun baru atau meluaskan kilang dengan mengepung tanah penduduk. Akibat tindakan perusahaan ini tanah penduduk tidak dapat dimanfaatkan lagi. Perusahaan tidak terus membeli tanah penduduk, sebab kalau perusahaan yang membeli, harga tanah akan mahal. Dengan itu yang umumnya membeli adalah pemerintah atau hanya kepala desa dengan harga yang lebih murah dan peperintah atau kepala desa yang akan menjualnya kepada perusahaan dengan harga yang ditentukan perusahaan tetapi biasanya lebih mahal dari pada harga belian.
Cara keempat adalah menciptakan keadaan agar masyarakat menjual tanah mereka. Caranya adalah mengembangkan sikap konsumtif pada masyarakat dengan menawarkan berbagai jenis barang baru, menggalakkan menjual tanah untuk membangun rumah atau pergi ke Mekah. Selain itu menciptakan kekuatiran dikalangan penduduk bahwa jika tanahnya tidak di jual sekarang, tanah itu akan diambil pemerintah dengan ganti rugi yang lebih rendah. Dengan itu hampir semua penduduk berkeinginan menjual tanah mereka kepada perusahaan multinasional.
Ada dua alasan utama. Pertama, daripada tanah itu diambil secara paksa oleh orang lain dan dibayar dengan harga yang lebih murah, lebih baik dijual dengan harga yang agak tinggi. Kedua, sebagai sumber kehidupan, karena pekerjaan sudah susah diperoleh, sedangkan sumber uang lain tidak ada. Salah satu cara untuk mendapatkan uang yang banyak dan hidup senang adalah dengan menjual tanah. Ada juga yang menjual tanah hanya karena ingin pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji.
Keempat cara inilah yang menyebabkan penduduk Dusun Pertiwi kehilangan tanah. Kini lebih 90% daripada tanah penduduk telah menjadi milik pengusaha besar (multinasional), pengusaha tempatan dan kepala desa. Kehilangan tanah (kebun) dan hutan disekitarnya bukan saja menghilangkan jaminan hidup penduduk sepanjang tahun, tetapi juga menyebabkan mereka kehilangan lahan untuk membuka ladang, dan kehilangan kebun untuk menoreh getah.
Perlawanan dan Pertahanan
Penetrasi negara dan pemilik modal secara berlebihan terkesan melakukan perbasmian terhadap penduduk asli. Sumber-sumber ekonomi penduduk asli dihabiskan, sementara tidak disediakan persiapan penduduk agar mampu hidup dalam tatanan masyarakat industri. Reaksi terhadap tekanan tersebut diwujudkan dalam perlawanan secara diam-diam dan perlawan secara terbuka.
Perlawan secara diam-diam (laten) tersebut diwujudkan dengan menolak semua bentuk kerja sama dengan perusahaan yang dianggap mengeksploitasi rakyat. Sementara itu mereka tidak sedikitpun mempercayai pemerintah. Pemerintah mulai dari kepala desa sampai ke pemerintah nasional mereka angap membela kepentingan perusahaan.
Selain itu, mereka sebenarnya juga telah melakukan perlawanan terhadap penindasan tersebut. Selama orde baru mereka beberapa kali melakukan demosntrasi tetapi dikalahkan dengan kekerasan militer. Era reformasi memberi jaminan kepada masyarakat untuk melawan perusahaan. Tetapi karena kolusi pejabat pemerintah perjuangan rakyat berjalan sendiri. Akhirnya mereka melakukan perubahan perlawanan dengan mengunakan dunia internasional. Anwar Cantik, yang dikenal dengan Anwar Batu bahkan sudah pergi ke Filandia, Jerman, Belanda dan Inggeris untuk mempropogandakan penindasan perusahaan terhadap rakyat.
Selain itu, untuk melindungi komunitas masyarakat asli, penduduk asli bersifat tertutup dengan pendatang, terutama yang mencari informasi tentang masyarakat. Sikap tertutup dan curiga tersebut sangat dirasakan saya selama melakukan penelitian. Hal ini dapat dipahami sebagai wujud dari mekanisme kekebalan internal penduduk asli. Jika hal ini tidak dilakukan maka kemusnahan penduduk asli semakin cepat.
Kesimpulan
Hasil penelitian ini menjumpai berubahnya fungsi hutan-tanah dari hutan ulayat menjadi milik pemodal. Perubahan ini disebabkan negara berkolaborasi dengan pengusaha dalam mengambil alih tanah rakyat. Perangkat negara dari Presiden, tentara sampai ke Kepala Desa mengambil keuntungan melalui perlindungan kepada pengusaha. Langkah yang diambil oleh negara untuk melegitimasi hak atas negara kepada rakyat mulai dari Undang-undang, peraturan pemerintah, dan surat pemberitahuan yang dikeluarkan oleh Bupati. Proses manipulasi seperti ini terjadi juga sampai ke perangkat desa.
Akibat pengambilalihan tanah secara sepihak dari negara dan pemodal, rakyat mengalami kehilangan sumber daya ekonomi pertanian yang menjadi sumber utama ekonomi penduduk. Dari kenyataan tersebut akan beberapa permasalahan muncul dalam masa jangka panjang di Pangkalan Kerinci. Pertama, akan terjadinya krisis ketahanan pangan atau kemiskinan. Krisis ini bersumber dari perubahan sumber pendapatan disebabkan hilangnya hutan dan tanah perladangan serta potensi sungai. Sumber lain adalah perubahan tradisi pertanian dari pertanian berorientasi ekspor (Anderson 1924) ke pertanian subsisten (Pelly 1996) serta hilangnya aktivatas pertanian primer digantikan aktivitas pertanian skunder dan tertier. Padahal ketahanan pangan penduduk lokal tergantung pada hutan dan sungai.
Selain itu, pada masa yang tidak terlalu lama lagi penduduk di desa ini akan menghadapi apa yang dikenal dengan involusi pertanian(Geertz 1970), dimana tanah atau rumah sewa tidak bertambah sementara jumlah anggota keluarga bertambah. Penduduk lokal sekarang hanya mengandalkan hidup dari rumah sewa yang dibuat hasil penjualan tanah yang mereka miliki. Pada suatu saat akan terjadi pembagian rumah tersebut kepada anak-anak mereka. Anak-anak mereka menjadikan rumah sewa tersebut sebagai rumah pribadi atau bahkan terpaksa di jual. Maka penduduk tempatan di desa ini akan tergusur bahkan mungkin juga akan hilang, seperti yang terjadi di Pekanbaru, di Amerika Serikat untuk suku Indian, di Australia untuk suku Aborijin, suku Melayu di Medan dan suku Betawi di Jakarta, serta banyak tempat lainnya.
Permasalahan kedua adalah terjadinya krisis tenaga kerja. Penduduk desa yang dulunya merupakan unit tenaga kerja rumah tangga (domestik) yaitu bekerja tanpa dibayar untuk ekonomi rumah tangga di sektor pertanian dan kehutanan, (Cayanov 1966) kini mereka tidak bisa lagi menjadi unit ekonomi domestik, mau bekerja di perusahaan tidak mempunyai skill dan terikat dengan budaya pertanian. Mereka sebenarnya tidak bisa secara langsung masuk ke budaya industri yang terikat waktu, dan memerlukan keterampilan. Masuk ke budaya industri secara langsung adalah suatu permasalah bagi penduduk lokal, bahkan suatu tekanan atau beban.
Permasalahan ketiga akan muncul adalah konflik antara pendatang dengan penduduk lokal. Pemicu konflik adalah interaksi yang tidak seimbang antara penduduk tempatan dengan pendatang. Jumlah pendatang lebih banyak 400% dari penduduk tempatan, maka secara kultural penduduk tempatan merasa kejutan budaya yang dibawa oleh pendatang. Pendatang yang umumnya sudah bersifat terbuka bahkan cendrung bebas mempertontonkan budaya yang bertentangan dengan penduduk tempatan. Kondisi ini akan mempertebal rasa tertekan. Dengan perbedaan kesejahteraan yang menyolok, sehingga makin suburnya rasa kecemburuan sosial. Kesannya seolah-olah pemerintah membangun untuk pendatang bukan untuk penduduk tempatan.
Permasalahan keempat, terjadinya perlawanan diam-diam dari penduduk asli terhadap perusahaan. Perlawanan muncul disebabkan oleh perlakuan sewenang-wenang perusahan PT RAPP dalam mengambil tanah penduduk. Padahal, jika kita berpedoman pada Scott (1976) bahwa tekanan dan kecemburuan sosial meningkat sementara tantanan ekonomi dan hubungan patron mereka terganggu, maka akan terjadi pemberontakan petani, sebagaimana peristwa di Vietnam dan Amerika Latin. Ataupun setidak-tidaknya pontensi ini sangat potensial untuk dimanfaatkan oleh ‘provokator’ (versi pemerintah) untuk menciptakan kerusuhan sosial.
Faktor pendukung konflik lainnya adalah budaya pendatang. Pendatang yang jauh lebih maju, lebih bebas, lebih terbuka bahkan beragama lain, akibatnya akan berkembang apa yang disebut pelacuran terselubung (sebenarnya sudah terjadi), perjudian, premanisme yang akhirnya dicontoh generasi muda penduduk lokal. Generasi tua menganggap bahwa kerusakan moral anak-anak mereka bersumber dari pendatang, maka api permusuhan akan semakin menjadi-jadi.
BIBLIOGRAFI
Adnan Abdullah. 1993. ‘Dampak Industri Terhadap Lingkungan Sosial Ekonomi Budaya’ Makalah Seminar. Industri Berwawasan Sekitaran. Pekanbaru. 18-20 Mei.
Amir Karanof , 1982, ‘Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok Masayakat Bawah’, Jakarta, in Mulyanto Sumardi & Hans Dieter Evers (ed). Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok, Jakarta : Raja Press.
Beames, Michael 1983, Peasant and Power, Sussex: The Harvest Press.
Bappeda Tk I Riau. 1995. Kebijaksanaan Pembangunan sektor Kehutanan Dalam Repelita VI di Propinsi Riau. Makalah seminar Kehutanan 2-3 Oktober 1995 Pekanbaru.
Budy Tjahjati S Soegijoko. 1985. ‘Dampak Pembangunan Proyek Industri Besar Kasus Zona Industri Lhok Seumawe’. Prisma no. 12 .
Bates, Robert H, 1976, Rural Respon to Industrialization, New Haven and London : Yale University Press.
Bernstein, Hendry, ‘Social Change in The South African Countryside? Land and Production, Poverty and Power’, Journal Of Peasant Studies, Vol 25, No 4 July.
Chen, J. Peter,1980, ‘The Cultural Implication of industrialization and Modernization In south-east Asia’ dalam Evers, Hans Dieters, Sociology Of South-East Asia; Reading on Social Change and Development, Kuala Lumpur : Oxford Uni Bradley, University Press
Charling, Alan, 1992, “Rational Choice and Household Division” dalam Marsh, Catherine & Arber, Sara, 1992, Families and Household, Division and Change, England: Macmilan.
Crehan, Kate, 1992 “Rural Households : Making A Living” dalam Crow & Johnson, 1992 Rural Housholds, New York : Oxford University Press.
Constantio, Renato,1985, Synthetic Culture and Development, Philipina : Foundation For Nationalst Studies. INC.
Chitambar. J.B. 1973 : Introductiory Rural Sociology; A Synopsis Of Concept And Principles, New Yorl : John Wiley & Sons
Chayanov: A.V. 1966, The Theory Of Peasant Economy, Illonois : Homewood.
Cockerham, William C, 1995, The Global Society : An Introduction to Sociology. New York: MCMgrow-Hill,Inc.
Departemen Kehutanan Kantor Wilayah Propinsi Riau. 1995. Polisi Pembangunan Kehutanan Propinsi Riau Pada Repelita VI Dalam Menyongsong Era Ekolabel tahun 2000. makalah seminar Kehutanan. 2-3 Oktober 1995 Pekanbaru.
Evers, Hans-Dieter, 1991 “Ekonomi Bayangan, Produksi Saradiri dan Sektor Informal, Ekonomi di Luar Jangkauan Pasar dan Negara” dalam Prisma nomor 5, Mei 1991. Jakarta : LP3ES,
Evers, Hans-Dieter, 1991, “Teori Pengeluaran Saradirisi dan Pengeluaran Tak Formal” dalam Jurnal Antropologi Sosiologi No.19, Bangi : UKM.
Evers, Hans-Dieter, & Clauss &Wong, Diana, ‘ Subsistent Reproduction a Framework for Analysis’ dalam Smith, Joan & Walllertein, Immanuel & Evers, Hans-Dieter,1984 Household And The World-Economy, London : Sage Publicatons.
Evers, Hans-Dieter, 1993, ‘Timbulnya Pedagang Pada Masyarakat Petani: Transmigrasi Jawa Kalimantan’, in Plac Utrich, Sosiologi Pertanian, Jakarta: Yayasan Obor.
Evers, Hans-Dieter, 1982, Urbanisasi Perkotaan, Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia, Jakaarta: LP3ES
Etzioni, Amitai & Eva, 1973, Social Change; Source, Patterns and Consequences, Edisi ke-2, New York : Basic Book, Inc.
Evans, Grant, 1986, From Moral Economy to Remembered Village, Working Papers, on Centre of Southeast Asian Studies, Australia: Monash University.
Fisk, EK, 1978: The Adaptation Of Traditional Agriculture : Socio-economic Problem Of Urbanization, Development Studies Centre Monograph no 11. Canberra, The Australian National University.
Forum Keadilan, Majalah Dwi Mingguan no 8 tahun 1985 dan no 10,11,12, dan 13 tahun 1996.
Goerge Junus Aditjonro. 1994. ‘Dampak Industrialisasi Terhadap Lingkungan dan Upaya Warga Masyarakat dalam Menghadapinya’ dalam Johanes Maridin (ed.) Jangan Tangisi Tradisi; Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius
Hiramani. A.B. 1977. Social Change in Rural India (A Study Two Village In Maharashtra). New Delhi: B.R.Publishing Corporation
Indonesia.
Hoogvelt, Ankei M.M., 1985, The Third World in Global Development London : Macmilan.
Hüsken, Frans, 1988, Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman : Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1080, Jakarta : Grasindo.
Lamb, Richard, 1975, Metropolitan Impact on Rural America, (Reseach Paper) Illinois : Universiti Of Chicago.
Loekman Soetrisno. 1991. Pembangunan Nasional dan Budaya Lokal: Industrialisasi Kehutanan dan Sistem Pertanian Berladang di Indonesia. Studi Indonesia Universitas Terbuka Jakarta.
Landis, Paul H, 1948, Rural Life In Proces, New York : McGRAW-HILL BOOK COMPANY, INC.
McMichael, Philip, 1996, Development and Social Change; A Global Perspective. Californi: Pine Forge Press.
Rawa, M. El Amady, 1997, ‘Dampak Kehadiran Industri di Dusun Pertiwi Riau, Indonesia’ kertas Projek Sarjana Jabatan Antropologi dan Sosiologi UKM Malaysia.
Mohtar Mas’oed, 1989, Ekonomi dan Struktur Politik, Orde Baru 1966-1971, Jakarta : LP3ES.
Mubyarto. 1992. Riau Dalam Kancah Ekonomi Global. Yogyakarta: Aditya Media.
Mubyarto. 1993. Riau Menatap Masa Depan.Yogyakarta. Aditya Media
Mubyarto. 1992. Desa dan Perhutanan Sosial. Penelitian Antropologi di Prop. Jambi. Yogyakarta: P3PK UGM
Mering Ngo.1992 Hak Ulayat Masyarakat Setempat. Pelajaran dari Orang Kayan dan Limbai. Prima no 6.
Ornatti, O, 1967, The Povertyband and and The Count of the Poor, in Edward C. Budd (ed) Inquality and Poverty, New York : Norton.
Penny, D.H, 1978, Masalah Pembangunan Pertanian Indonesia, Jakarta : Gramedia.
Rustam S. Abrus, “ Masyarakat Melayu Riau dan Pembangunan Teknologi” Makalah Seminar, 7 April 1993 di Batam.
R.Syofyan Samad. 1993. Pengembangan Industri Berwawasan Lingkungan di Daerah Riau: Masalah Pembinaan dan Keterkaitan Dengan Masyarakat Lokal. Makalah Seminar Membangun Industri Berwawasan Lingkungan di Pekanbaru.” 19-20 Mei . Pekanbaru.
Republika, Surat Khabar Nasional, 5,Februari 1993.
Stepanus Juweng et al. (1996) Kisah Dari Kampung Halaman. Masyarakat Suku. Agama Resmi dan Pembangunan. Yogyakarta: Dian/ Interfidei.
Sutopo. HB. 1991. Methedologi Penelitian Kualitatif. Solo: Universitas Solo Press.
Scott, James C, 1981 (terjemahan) : Moral ekonomi Tani, Pergolakan dan Subtensi di Asia Tenggara, Jakarta : LP3ES.
Tony & Lowe, Philip, 1984, Locality and Rurality : Economy And Society In Rural Regions, England : Geo Books
Trouillo, Michel-Rolph, 1988, Peasants and Capital, Dominica in Teh World Economy. Baltimore and London : The John Hopkins University Press.
Wallerstein, ‘Household Structure and Land Labor-Force Formation in the Capitalist World Economy’ dalam Smith, Joan & Walllertein, Immanuel & Evers, Hans-Dieter, 1984 Household And The World-Economy, London : Sage Publicatons.
1 Informasi ini di peroleh dari hasil diskusi dengan Bathin (Ketua Adat) Pangkalan Kerinci M.Sddik, Bapak Marranjo, dan Bapak Anwar.
2 Hutan tanah, menurut penduduk asli Pangkalan Kerinci adalah hak atas hutan dari raja dimana penduduk boleh menggarapnya dan kalau ditanam tanaman maka tanahnya menjadi milik pribadi penduduk.
3 Bagian ini sebahagian besarnya diambil dari makalah Tenas Effendi, “ Potensi Daerah Kampar Hilir Ditinjau dari Aspek Sosial-Budaya’ tahun 1999. Dan makalah Temasdulhak Assagaf, 1999. Makalah disampaikan pada Musyawarah Pembentukan Kabupaten Pelalawan 12-12 April 1999.
Langganan:
Postingan (Atom)