Dari saya

Terima kasih bagi netter yang telah ke blog saya, dan menyediakan sedikit waktunya untuk membaca buah pikiran saya. Saya sangat senang jika apa yang saya pikirkan mendapat respon positif ataupun negatif. Dan saya dapat dihubungi di 08127627068. Salam mari berbagi kedamaian. M.Rawa El Amady

Senin, 11 Agustus 2008

Komplotan Tauke

1. Nas, Bedi, Man dan Yuni, adalah tokoh yang sangat berpengaruh di desa Gunung Petai. Mereka berempat ini selain melek huruf, biasa pergi ke kota dan membina hubungan dengan banyak orang, mereka semuanya tauke. Dari 500 keluarga yang ada di desa Gunung Petai mereka merupakan tauke di desa tersebut. Jika ada masalah di desa semua bisa diselesaikan oleh kwartet tokoh desa ini. Suatu hari masyarakat di kumpul di balai desa. Semua masyarakat di jelaskan bahwa desa tersebut akan membuat koperasi, dan semua masyarakat diminta tanda tangan. Katanya kalau ada koperasi masyarakat bisa minjam. Sebelum rapat mereka sudah menetapkan Bedi Ketua, Nas bendahara, Man Sekretaris dan Yuni pengawas, yang akhirnya ditetapkan dalam musyarawarah sebagai pengurus koperasi. Tiga bulan setelah terbentuknya koperasi, ketiga tokoh tersebut beli mobil satu-satu. Masyarakat makin kagum dan makin segan kepada empat tersebut. Empat tokohpun makin angkuh membunyikan klakson mobilnya di desa tersebut. Sementara kabar aktifnya koperasi belum juga ada bertianya. 2. Desa Gunung Petai ketiban rezeki lagi, desa ini menjadi sasaran program pedesaan. Pemerintah akan memberi dana 500 juta rupiah melalui lembaga keuangan mikro desa. Keempat tokoh ini kembali sibuk menjadi tokoh penting pembentukan Unit Ekonomi desa. Maka diundanglah musyawarah desa yang didampingi pendamping desa. Keempat tokoh ini mendominasi berbicara diforum tersebut sehinga rakyat kecil tidak bisa bicara kalaupun berbicara langsung dipatahkan. “Orang-orang seperti Bapak ini kalau minjam pasti tidak kembali, karena minjam untuk makan” ujar Nasrun semangat. Maka dapatlah keputusan rapat pembentukan Unit Ekonomi Desa yang pengurusnya dia-dia juga. Dalam proses selanjutnya ternyata anggota Unit Ekonomi Desa itu Cuma 12 keluarga dari 500 keluarga yang ada. Mereka semua adalah keluarga dekat keempat tokoh tersebut. Dilihat dari daftar pinjaman keempat tokoh tersebut meminjam dalam jumlah yang sangat besar, sisanya 8 orang dibagi rata. Anggota masyarakat yang lain tidak bisa mendaftar karena dianggap miskin dan tak mungkin mampu mengembalikannya. 3 Bersamaan dengan cairnya dana program, petugas dari dinas koperasi mengunjungi desa tersebut karena sudah bertahun angsuran pinjaman koperasi dari kabupaten belum juga dibayar. Tentulah dinas koperasi ini menjumpai pengurusnya. Di depan dinas koperasi mereka bilang bahwa masyaraat tidak punya niat mau mengembalikan dana tersebut. Mereka pun meminta kemudahan ke dinas koperasi agar bisa bayar separoh saja dari 500 juta uang yang dipinjamkan Dinas Koperasi. Entah bagaimana caranya, setelah di desak dinas koperasi hutan koperasi lunas pada hari itu juga, tinggal sisa bunga yang belum dibayar. Toh mereka lolos juga akhirnya... tinggal nasib Usaha Ekonomi Desa yang menanggung beban ... 4. Yang terjadi diatas adalah merupakan bentuk komplotan para tauke untuk menghambat masuk akses modal ke masyarakat khususnya masyarakat miskin. Langkah ini penting bagi tauke untuk memperkokoh ketokohannya di desa. Mengapa hal diatas terjadi? Jawabannya sederhana karena program didiperuntuakan kepada masyarakat tidak ditujukan kepada penyelesaian masalah, tetapi hanya beroerintasi proyek semata. Seharusnya struktur yang menghambat seperti ini yang perlu diselesaikan dulu baru program di luncurkan Hal lain yang mempermudah terjadinya komplotan ini, karena studi-studi sosiologi menunjukkan bahwa tauke tidak semata-maa berfungsi ekonomi tetapi juga berfungsi sosial-ekonomi yaitu sebagai penjamin kelangsungan sosial-ekonomi masyarakat khususnya kelangsungan persediaan konsumsi pokok harian. Oleh karana itu, tauke ini sangat penting keberadaannya bagi masyarakat pedesaan, tanpa adanya tauke ini ancaman kelaparan di pedesaan menjadi momok yang menakutkan. Walau pun pada kenyataannya keberadaan tauke ini sangat menghisap dan tidak memungkin masyarakat yang terikat dengannya berpeluang menjadi lebih baik. Hal ini sesuai dengan sifatnya sebagai patront struktur tidak menginginkan adanya tandingan. Oleh sebab itu. Apa lagi ada hukum tidak tertulis jika taukenya bangkrut maka tauke tersebut tidak dapat menagih piutangnya kepada client-nya selama ini. (M. Rawa El Amady)

Minggu, 10 Agustus 2008

KEJUTAN CINTA :WARNA WARNI KONTESTASI PLURASLISME HUKUM

Oleh M. Rawa El Amady 1. Pintu Masuk Pemilihan tema ini berdasarkan pertimbangan bahwa fenomena kawin campur antar bangsa --dalam hal ini antara perempuan Indonesia dengan lelaki asing-- merupakan salah satu pintu masuk (entry point) yang baik untuk memahami pluralisme hukum perspektif global . Aktor pluralisme hukum perspektif global adalah individu-individu yang memiliki mobilitas lintas antar negara yang cukup tinggi, seperti profesional expatriate, aktivitis NGO, dan keluarga antar bangsa -- yang melakukan perkawinan campur dengan orang asing. (Sulistyowati Irianto, 2007). Sally E Merry (2005) meletakan pluralisme sebagai interaksi berbagai sistem hukum, maka interaksi dalam keluarga kawin campur meliputi interaksi antar pluralisme hukum masing-masing aktor. Pada suami dan isteri melekat beberapa sistem hukum yang berfusi lalu berinteraksi dengan hukum negara, adat istiadat dan kebiasaan. Keduanya berinteraksi membangun suatu pluralisme hukum perspektif global. Konsepsi pluralisme hukum diatas merupakan implementasi dari konsep pluralisme hukum yang dikemukakan oleh Franz von Benda-Backmann (Silistyowati Irianto,2003) sebagai interaksi antar sistem hukum yang beraneka ragam dan yang saling mempengaruhi pada satu lapangan sosial dan kajian tertentu. Pengertian ini meletakan individu sebagai subjek pluralisme hukum, satu individu menjadi subjek lebih dari satu sistem hukum. Definisi ini menurut Benda-Beckmann meletakan proposisi normative dan proposisi kognetif dianut bersama secara universal yang dalam kenyataannya bisa beragam. Oleh karenanya sistem hukum berkembang mengikuti dinamika kehidupan manusia. Meinzen-Dick dan Pradhan (2002) menformulasi pluralisme hukum dari Merry yang mengambarkan bahwa pada setiap orang menerapkan pluralisme hukum, sebagai berikut; Skema 1 : Pluralisme Hukum pada Setiap Invidu (maaf bagt skemanga gak bisa terkopi) Figur1 : Satu set paradigma pluralimse hukum aktor diambil dari Ruth S. Meinzen-Dick and Rajendra Pradhan (2002) yang semula hanya dimaksudkan interaksi antar sistem hukum saja, lalu saya adaptasi ke pluralisme hukum individu. Berdasarkan skema diatas, maka seorang individu akan berinteraksi dengan beberapa pluralisme hukum, khususnya dalam keluarga kawin campur tersebut. Pertama, berinteraksi dengan suami atau isteri dengan satu tujuan membangun rumah tangga yang bahagia dan berkelanjutan. Dalam konteks ini interaksi antar satu set sistem hukum cenderung membentuk hybrib law (2007) dan bisa juga fusi (Twining, 2005) . Kedua, aktor pelaku pluralisme hukum berinteraksi dengan lingkungan hukum ditempat yang baru dia tinggal. Lingkungan hukum dimaksud adalah berbagai sistem hukum yang hidup di lokal, agama, negara, internasional, norma dan kesepakatan yang beradaptasi dilingkungan yang baru tersebut. Ketiga, interaksi aktor dengan dengan hukum negara yang mengatur hak-hak warga negara. Satu keluarga akan merumuskan strategi hukum agar keluarganya bisa bertahan pada satu negara yang mempunyai akibat hukum karena menikah dengan bangsa lain. Konsep interaksi antar sistem hukum dirumuskan oleh Moores (1987) secara jelas, melalui empat kemungkinan, integrasi (integrate) yaitu penggabungan sebagian hukum negara dan hukum keluarga, inkoorporasi (incoorporate) yaitu penggabungan sebagian hukum negara ke dalam hukum keluarga atau sebaliknya, konflik (conflict) yang tidak terjadi penggabungan sama sekali mengingat hukum negara dan hukum keluarga dimaksud saling bertentangan, dan menghindar (avoidance) yaitu salah satu hukum menghindari keberlakukan hukum lain. Namun satu hal penting yang perlu dicatat bahwa pluralisme hukum perspektif global ini memposisikan hukum yang bergerak yang melewati batas negara ini akan berinterkasi pada beberapa sistem hukum dimana aktornya berdomisili. Oleh karena itu pluralisme hukum dalam keluarga kawin campur itu sangat kaya dengan berbagai pluralisme hukum karena pergerakan aktornya tersebut. Hidup yang selalu bergerak pada keluarga kawin campur antar bangsa ini membuat plurarisme hukumnya juga bergerak mengikuti pergerakannya. Jika tetap mempertahankan satu set pluralisme hukumnya saja akan menimbulkan kesulitan berinteraksi dilingkungan yang baru. Untuk mempertahankan agar pluraslime hukum pada lingkungan asalnya mereka tetap membangun relasi kepada lingkungan asal dari pluralisme hukum tersebut. Salah satu konsekwensi dari pergerakan pelaku kawin campur adalah sebagaimana ditulisan Schiller (2005) tentang warga negara lintas batas, melalui konsep warga negara sosial, warga negara kultural dan warga negara transnasional. Untuk mengambarkan bahwa interaksi antar sistem hukum tersebut sangat luas dan tidak terbatas. Walaupun penelitian Schiller tidak sama subjek riset tetapi aktor pelaku kawin campur justeru menerapkan warga negara transnasional terutama anak-anaknya. Konsep Schiller in bisa membantu memahami bagaimana interaksi antar pluralisme sistem hukum asal masing-masing aktor dilaksanakan dalam keluarga mereka terutama terhadap anak-anak. Selain itu, Schiller juga memperkenalkan praktek kewarganegaraan lintas batas ini dengan tiga bentuk, yaitu pertama, nasionalisme jarak jauh, dari negara tempatnya berada memperjuangkan satu cita-cita dan idiologi politik untuk suatu perubahan yang lebih baik di negaranya. Ketiga, di negara mereka berada, tradisi bangsa, nasional, lokal dan agama diaktualisasikan secara terbuka yang menjadi satu tempat menyuarakan nasionalisme. Ketiga, membangun sebuah identitas baru jaringan internasional yang bersumber dari tempat asalnya. Samia Bano (2005) memberi contoh pada merujuk kepada sistem hybrid law sebagai mekanisme penyelesaian masalah perkawinan perempuan Pakistan di Britain. Tulisan ini menganalisis interaksi pluralisme pada keluarga kawin campur dengan menggunakan analisis kontestasi. Aktor berkontestasi dengan merumuskan pilihan strategisnya yang bisa dilakukannya. Pilihan-pilhan resistensi dengan mengikuti sistem hukum suami atau isteri tetapi tetap menjalankan sistem hukum yang diyakininya benar. Mekanisme penyelesaian ini membuat satu sistem hukum yang hybrid atau campuran. Asumsinya masing-masing aktor akan berkontestasi, titik kompromi kontestasi tersebut adalah hybrid law. 2. Masalah Penelitian Berdasarkan pemaparan interaksi dan proses berlakunya pluralisme hukum diatas maka penelitian ini mengajukan pertanyaan penelitian; Pertama, bagaimana proses munculnya hybrid law dalam hubungan-hubungan perkawinan campur antar bangsa tersebut? Kedua, bagaimana strategi keluarga kawin campur antar bangsa ini berinteraksi dengan hukum formal negara Indonesia? Lingkup penelitian ini dibatasi pada pengalaman pribadi perempuan Indonesia yang menjalani kawin campur antar bangsa tersebut dan menjadi informan pada penelitian ini. Meliputi pengalamannya dalam menghadapi tekanan hukum dan pengalamannya berumah tangga terutama dalam proses adaptasi tata nilai dan norma antar dua bangsa tersebut. Strategi menghadapai tekanan hukum formal negara, meliputi pluralisme hukum pada kewarganegaraan anak, sponsorship suami oleh isteri, kepemilikan harga, aktivitas ekonomi (bisnis). Penelitian ini baru bisa mencapai tujuannya apabila mampu mengungkapkan dan memahami berlakunya pluralisme hukum pada keluarga kawin campur pada dan strategi menghadapi tekanan hukum formal negara. Bukan hanya itu, penelitian ini akan lebih baik jika mampu mengungkapkan pengalaman dan suara-suara perempuan dalam pluralisme hukum. Pluralisme hukum perspektif global hendaknya menjadi alat perjuangan perempuan Indonesia melepaskan diri dari pola relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki. 3. Metodologi Saya memerlukan waktu yang lumayan panjang untuk dapat akses ke informan. Sejak diisyaratkan agar membuat riset untuk artikel akdemik awal April 2008, penulis langsung mencari informasi melalui internet. Di internet penulis menjumpai website organisasi Srikandi yang merupakan organisasi ibu-ibu yang bersuamikan orang asing. Lalu saya membuka kontak melalui E-mail kepada pengurus Srikandi dan mengirim SMS (Short massage service) ke nomor telepon genggam yang tertera disitu. Saya mendapat jawaban via e-mail yang dikirim oleh ibu DT sekretaris Srikandi menyarankan agar saya kirim kuesioner via e-mail saja karena alasan kesibukan. E-mail tersebut saya jawab, saya ingin berjumpa langsung, tetapi e-mail tidak ada balasan lagi. Sementara dari sms saya mendapat jawaban dari Ibu AN yang memberi nomor telepon genggam ibu MY. Saya mengontak ibu MY, tetapi beliau menyarankan ke ibu RS dan ibu AM. Sayapun memberanikan diri menelepon Ibu AN untuk menjelaskan rencana penelitian saya tapi karena dia sedang online dengan Singapura pembicaraan terhenti. Sampai seminggu kemudian, Ibu AN menghubungi saya via sms menanyakan tentang kelanjutan riset saya di Srikandi. Waktu itu saya jawab, sudah ada jawaban via e-mail dan menyarankan penelitiannya via e-mail saja. Tetapi saya berkeberatan karena saya harus berjumpa langsung dengan subjek yang saya teliti, maksud saya agar saya bisa mengunjungi rumah salah satu atau dua orang yang saya teliti. Lalu Ibu AN menjanjikan untuk mengajak saya hadir dalam pertemuan mereka. Jalanpun terbuka untuk bertemu dengan para informan. Senin 21 April 2008, saya mendapt SMS dari Ibu AN lagi yang berisi undangan untuk menghadiri pertemuan pada 24 april 2008 di wisma Subud, walaupun pertemuan itu khusus bahas kecantikan. Saya nyatakan ke Ibu AN saya akan hadir. Lalu saya dapat balasan yang mengembirakan bahwa saya ditunggu kehadirannya. Sayapun hadir dalam pertemuan perawatan kecantikan bagi perempuan tersebut. Proses wawancara berjalan unik. Saya dipanggil oleh Ibu DT untuk keluar dari ruangan tepat ketika dokter kecantikan membahas tentang bagian sensitif tubuh wanita. Peristiwa tersebut memberi kesan bermakna bagi saya ternyata adat ketimuran para ibu-ibu ini masih sangat kental walaupun mereka bersuami pria asing. Di luar, saya dan ibu DT mulai diskusi tentang hubungannya dengan hukum formal Indonesia yang mengatur para perempuan yang kawin dengan pria asing. Tetapi diskusi ini menjadi seru, karena Ibu AN yang mengundang saya, memperkenalkan teman-temannya kepada saya dan membuka diskusi dengan teman-temannya tentang apa yang akan saya lakukan. Saya dikerumini 9 ibu-ibu dan 6 diantaranya berbicara saling menimpali. Fokus bahasannya tentang UU kewarganegaraan, UU Pokok Agraria, UU Perkawinan, pengalaman berhubungan dengan imigrasi yang korup, pengajian agama islam dan pandangan para suami terhadap penangkapan koruptor oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Untungnya saya membawa alat rekam. sehingga diskusi yang begitu cepat tersebut bisa saya rekam. Diskusi berjalan cukup lama dari jam 11 sampai jam 13.00 siang. Lalu masing-masing mereka bubaran. Dua jam dikerumuni ibu-ibu bersuami pria asing ini, tidak sedikitkan ada aroma asing yang saya rasakan pada ibu-ibu tersebut. Mereka sangat Indonesia, bahasa yang dipakaipun tidak pernah menggunakan bahasa Inggeris, atau bergaya kebarat-baratan. Di ruang pertemuan, ketua Srikandi ibu AM dan beberapa orang masih berkonsultasi tentang kecantikan. Saya menunggu dengan sabar untuk bisa mengobrol dengan Ibu AM ini. Lalu ibu AN mengambil peran agar saya bisa berdiskusi dengan ibu AM. Sambil berdiskusi tentang kecantikan Ibu AM memberi waktu kepada saya untuk wawancara. Mulailah saya wawancara dengan Ibu AM disela-sela konsultasi kecantikan yang sudah akan berkahir. Melalui diskusi dengan ibu AM ini, pertanyaan penelitian bisa terkuak lebih jelas. Akhirnya dokter kecantikan pergi yang tinggal saya, ibu AM, Ibu DW dan Ibu NN. Ketiganya bersuamikan pria Amerika Serikat yang menikah lebih dari 10 tahun dan semuanya menetap di Indonesia. Diskusi yang tadinya lebih berbentuk wawancara menjadi diskusi yang bersifat obrolan melalui penuturan pengalaman masing-masing. Diskusi ini berlangsung lama mulai dari jam 13.30 sampai jam 5.00 sore. Berpindah dari ruangan pertemuan ke restoran. Fokus diskusi lebih banyak pengalaman pribadi tentang penerapan hukum dalam rumah tangga mereka. Namun ketika saya menawarkan diri untuk berkunjung ke rumah mereka tidak satupun yang bersedia. Sebelum pulang ibu AN menjanjikan saya untuk berkomunikasi dengan ibu RS. Tapi belum memberi nomor telepon genggam yang dimaksud. Setelah malam, ibu AN mengirimkan nomor telepon genggam ibu RS dan menyatakan bahwa Ibu RS bersedia dikunjungi ke rumah tetapi sekarang dia sedang berada di Malaysia, seminggu kemudian ibu RS baru bisa dihubungi. Akhir April saya berhasil menghubungi Ibu RS dan membuat janji untuk bertemu, pada senin 5 Mei 2008 di rumahnya. Saya disambut dengan bahasa minang, lalu ngobrol di ruang tamu. Saya melihat rumah Ibu RS sangat Indonesia tidak tersedia dapur kering di ruang keluarga, sekat-sekat rumah layaknya sebagaimana rumah warga Indonesia. Tiba waktu makan siang, diskusi berlanjut di meja makan mendiskusikan pengalamannya berkeluarga dengan pria asing dari Inggeris. Setelah selesai makan, saya diajak keliling melihat rumahnya, dan saya berjumpa dengan martuanya dari Inggeris yang sudah pikun dijaga seorang baby syster. Saya meminta ke ibu RS agar diskusinya dilanjutkan keesokan harinya, tapi karena dia harus keluar kota dan banyak kesibukan lain akhirnya pertemuan hanya terlaksana satu kali itu saja. Saya masih sangat ambisi untuk mengunjungi rumah keluarga pelaku kawin campur antara bangsa ini. Tetapi selain ibu RS, belum ada yang menyatakan bersedia rumahnya saya kunjungi. Beruntugnya saya bisa komunikasi dengan Ibu TR yang menjalani bisnis mandiri (multi level marketing – MLM) lalu saya ditawari untuk mendapat tukar pikiran mengenai bisnisnya dan sayapun diperbolehkan mengunjungi rumahnya pada awal bulan Mei. Rumah ibu TR memang agak berbeda dengan kebayakan rumah orang Indonesia, ruang tamu hingga ke dapur, ruang kerja terbuka dan bisa diakses, dapurnya sangat dekat dengan ruang tamu yang ternyata memang sangat kering. Sayangnya saya belum penah melihat dapur kering sebelumnya. Tapi ketika ditanyakan dapur kering ke Ibu TR, dia mengelak menyebut dapur kering, menurutnya dapur tersebut bersih dengan standar asing. Semula saya mengajaknya beridiskusi tentang pengalamanya menikah dengan lelaki asing, tetap dia menolak dan lebih memilih menjelaskan bisnisnya. Namun saya sangat beruntung karena saya diberi kesempatan untuk melihat langsung dapur, kamar mandi dan tepat pencuciannya. Dalam persepsi saya, rumah ibu TR dibangun mengabungkan filosofi barat dan timur, dia sendiri membantah pendapat saya itu. Selain mengunjungi rumah dan berdiskusi dengan pelaku kawin campur tersebut, secara rutin saya juga selalu mencari informasi di internet. Di internet saya mendapati organisasi PKC Melati yang ternyata lebih aktif dari Srikandi dilihat dari agenda kerjanya, juga mendapati MC Indo (Mixed Couple Indonesia), organisasi-oganisasi berdasarkan negara asal suami, organisasi para suami sendiri dan kelompok Pelangi Antar Bangsa sebuah konsorsium yang berhasil memperjuangkan dwi kewarganegaraan anak terbatas. Saya mencoba menghubungi PKC Melati tetapi tidak mendapat balasan dari e-mail yang saya kirim. Saya juga mencari buku, yang diterbitkan tentang kawin campur antar bangsa ini walau hampir tidak dijumpai. Saya keperpustakaan pusat UI, ternyata tersedia beberapa tesis kajian hukum tentang UU Kewarganegaraan yang fokus membahas perkawinan campur antar bangsa dan tesis studi perempuan yang juga membahas hal yang sama. Saya mengakui, bahwa sumber informasi yang saya ambil sangat terbatas terutama studi kasusnya terhadap pelaku kawin campur. Ini semua selain disebabkan padat kegiatan para isteri pria asing tersebut yang selalu bergerak ke luar negeri, juga jadwal kuliah yang juga padat. Walaupun demikian dengan sumber informasi yang ada laporan ini saya tulis semaksimal mungkin, untuk menyiasati kekurangan informasi ini draf artikel ini saya kirimkan ke pelaku kawin campur melalui e-mail untuk mendapat tanggapan mereka. Sayangnya hanya dua orang yang merespon tulisan saya ini dari 15 orang yang saya kirim. 4. Finding : Menumpang di Negeri Sendiri Berbagai negara menanggapi kawin campur ini secara berbeda, Amerika Serikat pada awalnya melarang perkawinan campur, terutama atas alasan warna kulit. Kitano, Fugino, and Sato (Leila Mona Ganiem, 2008) dalam risetnya menyimpulkan bahwa masalah rasial lebih banyak pada mereka dibandingkan pada kelompok etnis lain di Amerika. Dulu, hukum yang melarang perkawinan antar ras orang Asia dan Kaukasia cukup umum di Amerika. Misalnya ditahun 1901, California memperpanjang Undang-undang Peraturan Perkawinan tahun 1850 dengan memasukkan orang Mongolia (China, Jepang, Korea) dan tahun 1933, undang-undangnya diperpanjang dengan memasukkan orang Melayu (misalnya Philipina) Undang-undang tersebut, telah berubah. UU no 62 tahun 1968 tentang kewarganegaraan Indonesia sebelumnya secara implisit menghambat perkawinan campur antara perempuan Indonesia dengan lelaki asing. Pasal-pasal dalam UU tersebut mengurangi hak perempuan sebagai warga negara untuk kawin dengan orang asing. Implikasi kawin campur dengan warga negara asing pada UU ini adalah masalah anak yang menjadi warga negara suami, kepemilikan properti, dan penurunan warisan. Perempuan yang kawin dengan lelaki asing kehilangan hak-haknya sebagai warga negara. Walaupun UU tersebut telah diganti dengan UU no 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan, namun perubahan hanya terjadi pada status anak saja. Berhadapan dengan undang-undang tersebut perempuan pelaku kawin campur antar bangsa bagaikan anak tiri dalam satu keluarga kaya. Di rumahnya sendiri haknya masih dipertanyakan. Jerih payahnya jarang dihargai, keberhasilannya diragukan. Perempuan yang kawin dengan pria asing, betapaun menjadi duta budaya, duta bangsa dan memasukan devisa bagi negara tetap saja dia tidak bisa menikmati hak yang sama dengan lelaki bahkan sesama perempuan yang menikah dengan lelaki WNI. Pelaku kawin campur sebelum tahun 2006 hanya mengandung anak warga negara asing. Selain itu, sampai saat ini mereka tetap tidak bisa mempunyai hak milik properti kalau tanpa surat perjanjian pra nikah, dan hanya bisa mensponsori suami yang sudah lansia. Ketika saya menghadiri pertemuan Srikandi ada empat tema besar yang muncul. Pertama, hak kepemilikan properti. Kedua, sponsorship anak dan suami pada usia produktif. Ketiga, pandangan negatif sesama warga bangsa terhadap mereka. Keempat, eksploitasi oknum imigrasi yang korup. Keempat issu tersebut ini juga menjadi pembahasan pada diskusi-diskusi di internet antar mereka. “Saya berfikir, negeri ini akan menjadi tempat penampungan bule yang sudah lansia. Karena kalau tidak lansia kami tidak bisa mensponsori suami kami” Ibu DW menyampaikan itu sambil tertawa kecil lalu disambut oleh ibu AM, “saya sedih bangat, anak saya mau pulang dan berjumpa mamanya harus bayar visa sama dengan orang asing. Padahal di luar negeri dia menjadi duta bagi bangsa Indonesia” Perkumpulan Aliansi Pelangi antar Bangsa pada siaran pers-nya menyatakan bahwa lahirnya UU nomor 62 tahun 1958 yang berakibat hilanngya bagi hak-hak perempuan yang kawin dengan lelaki asing karena kekhawatiran terhadap deklerasi Mao Zendong yang mengemukan setiap warga Tionghoa di dunia adalah warga negara Cina. Menurut saya, kekhawatiran dipandang tidak logik karena negara-negara seperti Amerika Serikat dan Malaysia belum dijumpai ancaman negara oleh warga negara sendiri yang karena kelahirannya. Selain itu, kawin campur ini tidaklah semudah dibayangkan. Pelaku kawin campur ini menghadapi tekanan hukum negara, tekanan sosial dan tekanan kebudayaan. Pelaku kawin campur akan kehilangan hak kepemilikan properti, bahkan bisa kehilangan kewarganegaraan dan akses pinjaman ke bank. (wawancara dengan informan, Mei 2008). Secara sosial, mereka mengalami persepsi negatif dari warga negara sendiri dan warga negara asing. Diskusi pelaku kawin campur antara bangsa ini di internet dengan jelas memaparkan pandangan negatif tersebut, sebagaimana petikan berikut yang diambil dari salah satu perserta dari 129 perserta diskusi; “Kita kayaknya kejepit di tengah2 deh 'yen, di negeri sendiri diomongin baik miring maupun yg positif, disini juga diomongin, kita pernah ngobrol ama temen si abang tentang Asian women yg married ama Americans, katanya kebanyakan bule-bule yang mau married ama kita-kita karena kita ini lebih obedient, lebih gampang diatur dan manut-manut aja, lha kok....dan sebaliknya asians mau maried ama americans karena mau nyari kehidupan yang lebih baik dan anggapan mereka tuh kita-kita mau morotin hartanya aja dgn istilah "dollar goes further to her family", ini juga penghinaan yg yg hantam kromo, padahal ngga semuanya begitu kan.....” (tangapan Ime terhadap tulisan Yen, Multiply, blog Sunny Life November 2005) Kutipan diatas mengambarkan bahwa perkawinan antara perempuan Indonesia dengan warga negara asing ternyata mengandung demensi relasi kekuasaan perempuan dan lelaki yang tidak seimbang. Berkembang stereotipe pada masyarakat umum, terutama dari masyarakat Indonesia yang berpersepsi negatif terhadap perempuan pelaku kawin campur ini tidak lepas dari dominasi pemikiran yang bias jender. Perempuan yang berada dibawah kekuasaan lelaki asing (dalam hal ini bule) atas alasan ekonomi. Begitu juga, sebagian pria asingpun menikahi perempuan Indonesia karena sifatnya yang penurut dan mudah diatur. Suatu pemikiran yang sangat bias jender. Tekanan yang berat ini diperkirakan akan memperkaya pluralisme hukum perspektif global, karena mendorong masing-masing subjek hukum melakukan kontestasi atau bahkan bergabung menjadi hukum baru tanpa nama. Kontestasi dengan hukum formal ke dua negara, antara norma, adat-istiadat, kebiasaan yang hidup pada suami-isteri. Apakah benar kawin dengan pria bule merupakan tujuan? Srikandi sendiri didirikan secara eksternalnya untuk menjawab tuduhan dari sesama anak bangsa atas tuduhan miring seperti itu. “Secara eksternal Srikandi didirikan untuk member gambaran bahwa kami yang menikah dengan bule ini tidak seperti yang mereka bayangkan” kata Ibu RS saat saya mewawancarainya di rumahnya yang sangat Indonesia. Semua informan mengakui pernah dilecehkan oleh pejabat imigrasi, anggota DPRD dan masyarakat umumnya karena bersuamikan pria asing. Apalagi sudah munculnya sindikat pemburu bule di café, mal dan kelab malam. Ibu RS, Ibu AN, Ibu DW, Ibu NN dan Ibu AM mengakui adanya sebagian wanita yang melakukan hal itu. Di internet juga dapat dijumpai kelab-kelab pemburu bule dan secara perorangan mengiklankan diri ingin bersuami pria asing dari barat. Ibu FT, Ibu RS, Ibu AM, Ibu NR, Ibu DW, Ibu AN dan Ibu NN menceritakan bahwa mereka berjumpa suaminya yang pria asing benar-benar diluar kemampuan mereka alias jodoh yang diberikan Tuhan. Ibu FT dan Ibu AN mencontohkan dia menjumpa suaminya karena sama-sama satu kantor, begitu juga Ibu NR dan yang lainnya. Mereka tidak mencari dan tidak berfikir untuk bertemu dengan pria asing bahkan sudah hampir menikahpun masih bingung dan ragu, menikah atau tidak. Hartati Nurwijaya (2007) menuliskan bahwa dari enam informan ternyata semuanya kenal dari ceting (chating) dan sahabat pena. Begitu juga penuturan di website Indo-MC umumnya perjumpaan mereka melalui ceting (chating) dan wanita karir pada posisi menengah keatas. Untuk sampai kepada kesimpulan apakah menikah dengan pria asing sebagai tujuan atau tidak, langkah awal yang perlu dilakukan adalah mengetahui faktor yang mendorong terjadinya pernikahan. Ibu RS, Ibu AN dan Ibu NR, Ibu AM dan Ibu DW memberi dua contoh, perkawinan wanita Singkawang dengan lelaki Taiwan merupakan contoh bahwa menikah dengan lelaki asing merupakan tujuan utama, karena faktor ekonomi keluarga. Itupun yang menetapkan tujuan bukan sepenuh keinginan gadis yang dinikahkan tetapi lebih kepada tujuan ayah dan ibunya karena mau perbaikan ekonomi rumah tangga. Selain di Singkawang menurut Ibu RS lagi dapat dilihat dari perbedaan usia yang mencolok. Lelakinya sudah 60-an wanita nya masih 20-an dengan pakaian yang menyolok. Selain dari tiga ciri yang melekat tersebut, menurut Ibu AM dan Ibu RS perkawinan dengan pria asing sama seperti perkawinan sesama bangsa karena cinta dan jodoh. “Gak banget sama bule karena hartanya, saya kawin sama suami saya sama dari nol, kita bangun ekonomi bersama” kata ibu DW yang dibenarkan juga Ibu NN dan Ibu AM. Begitupun Ibu RS, bercerita bahwa dia berjumpa dengan suaminya masih volunteer di Unicef. Bahkan Dalinda (Hartati, 2007) mengungkapkan bahwa suaminya hanya menganggur di rumah sementara dia yang bekerja. Salah seorang pelaku kawin campur yang enggan ditulis inisialnya menjawab merespon e-mail dari saya sebagai berikut : “Mengenai 'faktor keuangan'. Memang sekarang saya melihat tidak jarang orang-orang yang menikah dengan orang asing, hanya mengejar kekayaan, terutama yang ketemunya di club-club malam atau di jalan. Mereka selalu melihat bule banyak uang. Padahal belum tentu, karena saya baru menikah dengan suami, beberapa bulan kemudian suami saya tidak bekerja karena kontraknya habis. Tapi karena saya juga ketemu dengan suaminya saya di kantor, walaupun dia tidak bekerja satu kantor dengan saya, dan saya masih punya pekerjaan, jadi saya anggap wajar saja, kalau saya juga ikut berpartisipasi dalam membiayai keluarga sampai suami saya bekerja lagi. Tetapi ada beberapa orang yang tidak suka cara seperti ini dan mereka akhirnya berpisah. Yang sangat buruk terjadi dan yang membuat istri-isteri orang asing menjadi tidak percaya dengan wanita Indonesia, karena wanita-wanita di club malam atau di jalan dengan gencarnya untuk menggaet laki-laki asing tanpa melihat apakah dia sudah beristri atau belum dan apakah dia bisa berbahasa asing dengan fasih atau tidak. Hal ini dialami oleh beberapa teman saya yang suami istri orang asing yang akhirnya salah satu dari mereka suaminya menikah dengan wanita Indonesia bulan September tahun lalu dan melahirkan anaknya bulan Oktober tahun lalu juga. Padahal si suami asing itu sudah mempunyai 2 anak laki-laki dan perempuan 10 tahun dan 7 tahun. Sekarang mereka bercerai dan tinggal di Australia.” Alasan ibu tersebut anonim untuk menjaga perasanaan teman-temanya dan sehingga tetap terbina hubungan yang baik. Saya pikir pilihan yang diambilnya sangat Indonesia yang tentu saja bertolak belakang dengan budaya barat yang mengungkapkan secara terbuka. Sebagai pertimbangan untuk tidak menghukum perempuan Indonesia yang kawin dengan pria asing baiknya kita ketahui beberapa faktor yang mendorong terjadinya kawin campur antar bangsa , yaitu; Pertama, karena tempat-tempat yang ditinggali oleh suatu kelompok, sudah tidak dominan lagi. Misalnya orang Arab atau China, dulu ditempatkan dalam koloni khusus oleh Belanda. Di Jakarta, kita juga dapat temui, Kampung Ambon, Kampung Makasar, dan lain-lain. Mengingat perkembangan penduduk, orang suku atau ras tersebut sudah tidak memungkinkan lagi tinggal dalam komunitas yang sama. Akibatnya, kekerabatan menjadi kian longgar. Perkumpulan di antara mereka semakin membutuhkan energi, biaya dan waktu. Selain itu mereka juga makin kurang paham budaya aslinya. Mereka bahkan lebih memahami dan bahkan merasa nyaman dengan budaya setempat. Kepekaan terhadap dimensi-dimensi tersembunyi/aturan-aturan tak tertulis dalam suatu budaya yang hanya dipahami oleh anggota budaya tertentu (Hall, 1990) dari budayanya, kian luntur sehingga mereka merasa bukan bagian dari budayanya. Sangat mungkin demikian halnya ketika orang Itali tidak lagi tinggal di Itali, melainkan di Amerika. Kedua, pendidikan seseorang yang kian tinggi membuat mereka berpeluang melihat perspektif-perspektif baru. Kesamaan pandangan menjadi penting, sementara pilihan pada orang beretnis sama dengan pendidikan setaraf menjadi kian terbatas, terutama bagi kelompok minoritas. Intensitas kumpul dengan etnis sejenis berkurang. Sementara itu kelompok profesional atau kesibukan dalam kelompok terdekatnya lebih menyita perhatian, potensi untuk memperoleh pasangan yang sepemikiran akan kian mudah. Ketiga, budaya patriarki, bisa jadi membuat perempuan yang ingin mengaktualisasikan dirinya dimasyarakat, melihat potensi masalah budaya bila bersuamikan laki-laki dari budaya yang dengan tegas menujukan aktifitas domestik ketimbang publik, pada perempuan. Keempat, tipe keluarga pluralistik (mengacu pada pendapat Mary Anne Fitzpatrick, dalam Littlejohn 2005) juga dapat memberikan peluang perkawinan campuran. Keluarga bertipe pluralis, tidak merasa perlu mengontrol anak. Keputusan mereka dievaluasi berdasarkan kebaikan. Orang tua yang pluralistik cenderung bersifat independen dan bahkan tidak konvensional dalam pandangannya tentang perkawinan. Ketika anak memiliki calon bukan dari etnisnya dan dapat meyakinkan orang tuanya bahwa ini pilihan terbaik, orang tua pluralis cenderung dapat menerima. Kelima, figur yang diidolakan seperti ayah, ibu, atau kerabat dekatnya, tidak mencerminkan contoh pribadi yang diharapkannya. Misalnya figur penting tersebut melakukan kekerasan fisik maupun psikis, atau tidak berperilaku seperti yang dikatakannya. Beberapa rekan menyatakan alasan memilih pasangan bukan dari etnisnya karena orang tuanya tidak memberikan contoh yang menurutnya baik. Keenam, faktor ekonomi. Fenomena ini tampaknya lebih kuat terjadi pada kaum perempuan. Misalnya, perempuan yang memilih pasangan bukan dari etnisnya karena diantara calon yang tersedia saat itu, calon pasangan bukan seetnis, lebih berprospek secara ekonomis bagi kehidupannya kelak dibandingkan calon pasangan satu etnis. Ketujuh, adanya kesepakatan kolektif dibudaya tertentu untuk memberikan kelonggaran bagi pria untuk kawin dengan etnis lain. Misalnya pada orang Arab, meski ada keinginan kuat pada keluarga memiliki menantu orang Arab, namun tentangan terhadap calon menantu wanita non-Arab tidak setinggi pada calon menantu pria non-Arab. (Dr Leila Mona Ganiem, 2008) Faktor – faktor diatas diperkuat dengan alasan pribadi mengapa umumnya mereka memilih pria asing menjadi suaminya. Mulai dari alsan sederhana karena ingin memperbaiki keturunan, alasan kesetaraan karena pria asing sangat menyanjung tinggi kesetaraan, sangat menghormati perempuan dan ikut terlibat pada pekerjaan rumah hingga ke alasan romatisme karena pria asing lebih romantis dari pria Indonesia. Pengalaman Ibu RS, suaminya justeru lebih sangat Indonesia dalam rumah tangga. Begitu juga pengalaman DW Irwanita, Fifi Martini DW, Vanesa HW (Web Indo-MC) merasakan tidak berbeda dengan kebiasaan lelaki di Indonesia. 4.1. Hybrid Law : Semuanya demi Cinta Terlepas dari alasan-asalan memilih menikah dengan pria asing diatas, ketika pasangan kawin campur memutuskan menikah menuju satu titik temu bahwa mereka harus tunduk kepada kondisi objektif yang sedang berlaku. Oleh sebab itu, jika perkawinan dilaksanakan di Indonesia maka akan mendorong dominannya berlaku pluralisme hukum isteri. Beberapa fakta pluralisme hukum perspektif global yang mencerminkan berlakunya hybrid law dapat terlihat berikut: Pertama, agama. Belum diperoleh informasi adanya isteri mengikuti agama suami. Dari semua informan yang wawancarai, hasil pencarian di internet dan berbegai informasi lainnya selalunya suami pindah ke agama isteri. Ini syarat mutlak bagi pria asing yang akan menikah perempuan muslim harus pindah ke agama Islam. Ibu AM mengutarakan bahwa suaminya menjadi Islam sejak awal pacaran, begitu juga ibu DW dan Ibu RS setahun sebelum menikah harus masuk Islam dan melakukan sunatan sebagaiana mana yang diharuskan Islam. Namun Ibu RS memberi ruang kepada suaminya untuk melaksanakan natal secara terbatas dan perayaan paskah (petandan berlakunya hybrid law); “Bagi saya pohon natal dan perayaan paskah saya pandang sebagai tradisi semata, karena sejak kecil dia selalu merayakan natal dan paskah, lalu ketika dia minta dirayakan. Saya bilang ok dan saya support karena dimensinya hanya kebudayaan saja tidak lagi agama. Lagian pula agama itu merupakan urusan yang sangat peribadi antara manusia dengan yang diatas” Hal ini juga berlaku bagi yang beragama Hindu dan Budha dimana suami dipastikan berpindah agama isterinya, sebagaimana yang dialami Sekar (Hartati 2007) yang beragama Hindu yang berasal dari Bali. Namun kondisi itu tidak berlaku bagi yang beragama Kristen karena umumnya mereka satu agama. Agama menjadi penting ketika pasangan ingin mendapatkan restu dari keluarga. Sesuai dengan kebiasaan yang berkembang di Indonesia restu dari ayah dan ibu akan menghadapi kesulitan jika berbeda agama. Informan yang diwawancarai mendapat dukungan dari ayah dan ibunya karena calon suaminya telah memeluk agama yang dianut calon isterinya. Kesadaran untuk memilih pluralisme hukum isteri kadang justeru hanya bersifat strategis untuk memuluskan terlaksananya pernikahan atau merupakan bentuk dari hybrid law karena suaminya tetap pada keyakinannya dan mengikuti agama isteri hanya sebagai pilihan strategis saja. Dalam kasus ibu RS, jelas sekali bahwa suami dan isteri memperlakukan hybrid law. Proses pernikahan sesuai dengan ketentuan UU No 1 tahun 1975 tentang perkawinan, yaitu menikah dulu secara agama kemudian dilakukan pencatatan sipil baru setelah itu dilaporkan ke kedutaan. Kedua, bahasa. Pada keluarga kawin campur antara bangsa ini berlaku lebih dari satu bahasa. Komunikasi suami – isteri menggunakan bahasa Inggeris sebagai bahasa utama. Jika suami berasal bahasa ibu yang bukan bahasa Inggeris, maka si isteri belajar bahasa ibunya melalui kursus atau praktis sehari-hari. Dalam kasus Sekar (2007) yang bersuamikan orang Italia yang harus belajar bahasa Italia dan bahasa Jerman karena ibu mertuanya dari Jerman. Bagi yang bahasa ibu suaminya bahasa Inggeris maka si isteri harus mahir berbahasa Inggeris. Pola komunikasi ke anak juga berbeda, anak biasanya mempunyai kemampuan dwi bahasa, yaitu bahasa ibu dan bahasa ayahnya. Hal ini disebabkan pada keluarga kawin campur antar bangsa ini, jika berkumunikasi dengan ibu menggunakan bahasa Indonesia, berkomunikasi dengan ayah menggunakan bahasa Inggeris. Bahkan perempuan Indonesia yang tinggal dinegara suaminyapun tetap menerapkan bahasa Indonesia ke anak-anaknya. Ketiga, pola makan. Secara tegas Ibu AM mengemukakan bahwa kunci keharmonisan rumah tangga dengan bule adalah belajar memasak masakan mereka. Suami tentu sangat tidak terbiasa makan masakan Indonesia. Pernyataan ini bermakna bahwa perempuan yang menikah dengan bule harus berkompromi dalam hal memasak. Ibu AM, DW, yang menikah sudah lebih dari 30 tahun belum mampu secara total merubah selera makan suami, Ibu NR yang sudah 18 tahun menikah memasak masakan Indonesia seminggu sekali, terutama sayur asam. Namun demikian kepada anak-anak mereka para ibu ini selalu memperkenalkan masakan Indonesia. Berbeda dengan ibu RS yang ketika saya makan dirumahnya yang dihidangkan adalah masakan padang dan menurutnya suaminya sudah terbiasa dengan masakan tersebut. Keempat, pengaturan rumah. Pengaturan rumah harus memenuhi standar kebersihan suami. Tiga titik utama yang menjadi syarat utama dari suami adalah dapur , kamar mandi di kamar tidur yang kering, dan WC duduk yang juga harus kering. Ibu AM, NN, DW mengemukan perlu waktu untuk beradaptasi dengan tiga persyaratan tersebut. Namun demikian merasa sangat beruntung karena sangat positif untuk kesehatan. Dapur kering menjadi pembicaraan paling dominan para ibu-ibu ini karena kebiasaan para suami yang juga memasak di dapur. Ketika saya berkunjung ke rumah ibu RS dan TR nuansa kebersihan tersebut sangat dominan, sedikitpun tidak terlihat debu, kain lap di dapur bisa dicium karena bersih. Bagi ibu RS, suaminya hanya mengsyaratkan kamar mandi kering dan wc kering saja. Masalah dapur kering tidak lagi menjadi perhatian bagi suaminya. Kelima, arisan. Bagi pria bule arisan tersebut sebuah tanda tanya besar. Ibu NN, AM, DW menjelaskan pada mulanya para suami sangat kebingungan dengan aktivitas arisan ini. Namun karena pria asing egaliter mereka bisa menerima aktivitas tersebut. Para ibu-ibu yang kawin campur ini tidak bisa pula menghentikan kebiasaan arisan ini. Menurut ibu DW, arisan ini merupakan santapan rohani bagi ibu-ibu. Ibu NN sering mendapat pertanyaan suaminya tentang arisan namun suaminya tidak melarang. Keenam, pendidikan anak. Para informan memandang dua hal yang berbeda dalam pendidikan anak, yaitu pertama, pendidikan agama dan tata krama. Kedua, pendidikan ilmu pengetahuan. Pendidikan agama dan tata krama dimonopoli para isteri, pertimbangannya kebudayaan barat kurang mendukung anak-anaknya untuk beragama dengan baik dan memiliki tata krama Indonesia. Oleh sebab itu, ruang pendidikan agama, dan tata krama timur tidak diberi peluang pada suaminya. Dari segi ilmu pengetahuan semuanya diserahkan ke suaminya. Suaminya yang menentukan anaknya sekolah dimana. Ibu DW bahkan membuat kesepakatan kepada suaminya bahwa urusan agama dan tata krama menjadi tangung jawabnya. Umumnya anak-anak kawin campur ini sekolah disekolah favorit di tingkat sekolah dasar, dan setelah itu sekolah di Jakarta Internasional School (JIS) sekolah bergensi yang terkenal mahal dan kualitas bagus. Melihat ekspresi para informan menutuskan bahwa anak-anaknya harus sekolah di JIS mengisyaratkan status sosial tertentu. Ibu AN mengemukan tentang pilihan menyekolahkan anak-anak mereka sebagaimana kutipan berikut: “Mengenai sekolah anak, anak saya tidak sekolah disekolah International. Dulu dia pernah di Australian International School, tetapi saya pindahkan ke Al Izhar Pondok Labu (Yayasannya Bustanil Arifin). Ada sebagian istri-istri bule yang mencibir karena anak saya masuk ke sekolah islam, tetapi Alhamdulillah suami saya tidak ada masalah. Istri-isteri bule yang lain merasa bangga kalau bisa menyekolahkan anaknya ke sekolah International seperti Jakarta International School (American), British International School, Australian International School, Singapore International School. Tetapi ada kalanya tidak semua perusahaan mau membayarkan uang sekolah yang mencapai US$ 20.000 se tahun untuk satu anak di sekolah International. Ada teman saya yang akhirnya memilih suaminya berhenti bekerja dan pindah ke Inggris, agar anaknya bisa sekolah gratis di Inggris, tetapi suaminya kesulitan untuk mendapat kerja secara mendadak, karena anak mereka 3. Dan mereka tidak mau memasukkan anak-anaknya ke sekolah lokal karena takut dengan pelajarannya yang banyak.” Ternyata pilihan memasukan ke sekolah internasional bukan saja karena faktor status sosial tertentu, tetapi juga karena persoalan kurikulum yang ada di Indonesia yang sangat banyak mata pelajarannya. Memang umumnya sekolah pilihan keluarga kawin campur ini adalah sekolah Islam internasional, seperti Al Azhar. Diluar pendidikan agama, tata krama dan ilmu pengetahuan, keluarga kawin campur menerapkan pola pendidikan moderen di rumah mereka. Perinsip-perinsip egaliter, rasional, kesetaraan, hemat, menghormati orang lain, sadar hak-hak sipil yang diperkenalkan suami ke anak-anaknya. Ibu NN membandingkan anak-anak Indonesia dengan anak-anak kawin campuran yang sekolah di JIS, berbelanja seperlunya dikantin, sementara anak-anak Indonesia menghabur-hamburkan uang di kantin sekolah. Antara suami dan isteri tidak berbeda pendapat dalam keputusan terhadap anak, dan selalu berdiskusi sebelum diputuskan. Coba simak penuturan ibu NN berikut: “Anak saya minta izin ke saya mau ke satu tempat, lalu tanpa persetujuan suami langsung saya setujui, kemudian ketika mau berangkat dia minta izin ke bapaknya, terus bapaknya tanya ibu setuju gak? Dijawab setuju. Karena saya setuju diapun menyutujui dan meminta kepada saya agar keputusan saya tidak di rubah walaupun suami saya tidak setuju” Pola ini tentu sangat menguntungkan bagi pendidikan anak karena tidak bingung oleh perbedaan pendapat kedua ayah ibunya. Tentu saja pola yang diterapkan diatas merupakan bentuk dari hybrid law di bidang pendidikan anak. Ketujuh, ikut suami. Filosofi wanita timur sangat kental pada informan. Semua informan mengikuti kemana suami berpindah. Bahkan para isteri rela berhenti dari karir yang sudah dirintis sedemikian rupa demi mengikuti kemana suami pergi. Bagi informan nilai lebih yang mereka miliki sehingga tidak mengganggu suami dalam mengambil keputusan. Suami sadar betul setiap keputusan penting menyangkut karir dan bisnisnya akan didukung oleh isteri. Hartati (2007) dalam bukunya Perkawinan Antarbangsa Love and Shock, menceritakan perempuan Indonesia harus meninggalkan puncak karirnya karena harus mengikuti suami dan lebih banyak dari mereka hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Ketujuh fakta pluralisme hukum perspektif global pada level keluarga ini menunjukkan bagaimana antara hukum tersebut berkonstestasi dalam arena rumah tangga. Sesuai dengan kodradnya perempuan Idonesia lebih mengutamakan suami dalam semua hal sehingga pluralisme hukum suami yang lebih dominan. 4.2. Strategi Berinteraksi Cinta membuat repot, memang benar. Begitu yang dialami oleh perempuan Indonesia yang menikah dengan lelaki asing. Betapa tidak akibat cinta lalu menikah dan mempunyai anak hasil dari buah cinta harus repot menghadapi perlakuan UU Kewarganegaraan, dan UU Agraria. Akibat cinta, perempuan hanya berhak mengandung tatapi tidak berhak terhadap anak. Akibat cinta perempuan hilang hak untuk memiliki propertinya. Akibat cinta kesulitan mewariskan hartanya ke anak-anaknya. Akibat cinta kesulitan untuk meminjam uang di bank untuk berbisnis. Sebelum berlakunya UU no 12 tahun 2006, hak-hak perempuan Indonesia yang menikah dengan lelaki asing dibatasi oleh UU no 62 tahun 1958. Pasal 8 ayat (1) menyatakan bahwa perempuan yang kawin campur antar bangsa akan kehilangan hak kewarganegaan atas keturunannya. Akibat kewarganegraan diakui sebagai warga negara asing meletakan posisi perempuan dibawah dominasi lelaki. Kewarganegaraan diakui berdasarkan keturunan bapak, perempuan diletakan sebagai warga negara kelas dua. Perlakuan ini jelas sangat bias jender Status kewarganegaraan kelas dua ini tidak hanya pada anak tetapi juga hak-hak sebagai warga negara dan hak untuk mendapatkan keluarga yang bahagia. Nuning Suliasih Purwaningrum (2006) dan Andriani Junarwati, (2007) pada tesis magister mereka memaparkan hilangnnya hak sebagai warga negara dan hak berkuarga, yaitu; Pertama, larangan kepemilikan properti di Indonesia, sebagaimana diatur undang-undang Pokok Agraria No 5 tahun 1960, pasal 21 ayat 2, yang mengisyaratkan perempuan warga negara Indonesia yang menikah dengan warga asing tidak dapat memiliki tanah dengan sertifikat hak milik, kecuali membuat perjanjian pisah harta sebelum menikah. Begitupun harta tersebut bisa diwariskan kepada suami dan anak-anak warga negara asing dala jangka waktu satu tahun, suami dan anak harus mengalihkan kepemilikan harta tersebut. Jika masa satu tahun tidak dipenuhi harta tersebut diambil oleh negara. Boleh membeli harta dengan status hak pakai dengan jangka waktu 25 tahun dan dapat diperpanjang selama untuk keperluan tertentu. Kedua, terbatasnya akses terhadap fasiltias keuangan. Perempuan bersuamikan pria asing tidak bisa menggunakan fasilitas jasa keuangan untuk mendapatkan kridit rumah, atau kridit kendaraan apalagi kriditi usaha. Alasan utama pihak perbankan adalah kekhawatiran suami isteri tersebut akan meninggalkan Indonesia dan meninggalkan tanggung jawab hutangnya. Ketiga, sering terjadi kehilangan hak asuh anak setelah terjadi perceraian. Perceraian di Indonesia maupun diluar negeri sering sekali anak diserahkan kepada ayah karena dianggap mempunyai kemampuan finansial lebih baik untuk pendidikan dan kebutuhan anak-anaknya. Hal ini tentu saja menghilang hak ibu untuk bersama anak-anak kandungnya, karena anak yang dibawa suami ke negaranya akan menyulitkan ibu berjumpa pada anaknya. Keempat, kehilangan kewarganegaraan terhadap anak. Ini terjadi pada satu keluarga yang bersuamikan kebangsaan Inggeris. Ketika itu anaknya didaftarkan sebagai warga Inggris tetapi dengan alasan undang-undang juga Inggris menolak status tersebut, maka jadi anak tersebut tanpa kewarganegaraan. Kelima, rumitnya mendapat izin tinggal bagi anak dan suami usia produktif. Isteri tidak dapat mensponsori anak dan suami yang yang berada pada usia produktif. Isteri hanya bisa mensponsori visa sosial yang hanya berlaku tiga bulan. Hanya perusahaan tempat dia bekerja yang boleh mensponsori suami atau anaknya. Jadi untuk tinggal di Indonesia mereka harus mempunyai pekerjaan. Jika suami atau anak yang memasuki usia kerja tetapi tidak bekerja hanya bisa tinggal di Indonesia dengan visa sosial selama tiga bulan, setelah itu diperpanjang, kemudian harus keluar negeri lagi agar dapat visa sosial tiga bulan lagi. Perlakuan ini juga terjadi kepada anak-anak yang baru lahir karena lupa mendaftarkan anak ke imigrasi dan belum tahu bagaimana mensponsori anaknya. Maka banyak terjadi orang tua didenda puluhan ribu dolar, anak di deportasi dan kadang dipenjara karena dituduh melindungi orang asing. Kondisi ini diperburuk lagi dengan prilaku korup dari oknum imigrasi, yang kadang-kadang mencari kesalahan perempuan yang bersuami pria asing tersebut. Perlakuan ini tentu saja melanggar haknya sebagai warga negara untuk berkumpul dengan suami dan anak-anak. Namun demikian setelah berlakunya UU Kewarganegaraan No 12 tahun 2006, status anak memiliki kewarganegaraan ganda. Jadi implikasi anak sebagai WNA tidak dijumpai. Hanya undang-undang ini tidak diikuti perubahan status hukumnya pada UU Angraria, sehingga tetap tidak bisa memiliki properti dan kemudahan kredit di perbankan. Untuk merebut hak-hak tersebut maka diperlukan pluralisme hukum perspektif global sehingga interaksi antar hukum dari pelaku kawin campur dengan hukum formal negara memberi dampak positif bagi perempuan Indonesia yang mendapat jodoh dari pria asing. Pertama, UU Kewarganegaraan No 12 tahun 2006 merupakan produk dari dari pluralisme hukum perspektif global. Motor dari gerakan perubahan tersebut adalah konsorsium Pelangi Antar Bangsa, yang isinya berasal dari para isteri yang kawin dengan pria asing khususnya KPC Melati dan NGO feminis LBH Apik. Ibu RS dan ibu AM menyatakan mereka berjuang untuk mendapat status kewarganegaan ganda ini sampai enam tahun lamanya. Walaupun hasilnya belum memenuhi keinginan mereka agar anak mendapat kewarganegaraan ganda selamanya, namun mereka cukup puas atas hasil yang ada. Perempuan pelaku kawin campur antar bangsa di Indonesia ini mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perubahan undang-undang kewarganegaraan Indonesia dari UU no 62 tahun 1958 menjadi UU no 12 tahun 2006. Pengaruh yang cukup penting adalah perubahan status anak dari warga negara asing menjadi memiliki dua warga negara sampai umur 18 tahun Saya melihat UU ini merupakan fusi daripada pluralisme hukum global dengan UU formal, yang berinterkasi dan berfusi menjadi UU formal baru penganti UU lama yang merugikan hak-hak aktor pluralisme global ini. Isu yang diperjuangankan adalah hak anak kawin campur antar bangsa dan isu bias jender dalam kewarganegaraan. Jadi UU no 12 tahun 2006 ini merupakan bukti konkrit bahwa pluralisme hukum ada dan berpengaruh. Kedua, mengaku single. Sebelum UU no 12 tahun 2006 berlaku untuk menghadapi tekanan hukum pada perempuan dan anak-anaknya mengaku belum menikah (single) melupakan pintu untuk keluarga dari masalah kewarganegaraan anak dan hak kepemilikan properti. Mengaku single ini dilalui dua cara, yaitu 1), jika menikah di Indonesia maka dilakukan menikah dibawah tangan khusus untuk yang beragama Islam dan pernikahannya tidak dilaporkan ke negara, setelah itu mencatatkan penikahannya di negara suami. 2), menikah di negara suami tetapi tidak dilaporkan ke negara Indonesia. Anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan tersebut adalah “Anak Diluar Nikah” dalam Akte Lahir sehingga anaknya otomatis menjadi WNI, tetapi terpisahkan statusnya dari ayah WNA. Cara ini dipromiskan oleh para pengacara di Indonesia dan oleh perkumpulan Indo-MC yang secara terbuka member informasi melalui webnya. Keuntungan mengaku single baik di KTP maupun kartu keluarga ini, 1) anak yang dilahirkan menjadi otomatis menjadi warga negara Indonesia, karena anak diluar nikah. Terutama bagi yang tinggal di Indonesia tidak ada masalah dengan anak, karena haknya sebagai warga negara Indonesia, termasuk bisa sekolah di sekolah negeri. Selain, mengaku single untuk anak-anak ini, juga ada sebagaimana dituturkan AN bahwa ada yang membuat nama suaminya dengan nama Islam di surat nikah, jadi waktu membuat akte lahir, dia memakai nama islamnya, sehingga dia tidak dianggap orang asing dan diabuatkan paspor Indonesia, sebenarnya tidak benar, tetapi itulah karena dia takut hak asuhnya diambil bapaknya. 2), bisa dengan bebas memiliki properti secara sah karena “belum” bersuami, jadi tidak ada akibat hukum. Kepemilikkan properti dengan status Sertifikat Hak Milik (SHM) supaya Nilai Investasinya tetap tinggi, bisa menjadi tuan tanah, ini memudahkan untuk rasa keamanan dalam berinvestasi dari segi hukum Agraria yang berlaku di Indonesia, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Agar bisa membuat Akta Perjanjian Pengikatan Jual-Beli (APPJB) lunas. Bahkan Ibu AN, NR secara tegas mengungkapkan bahwa mereka membeli tanah denan statusnya di kartu penduduk (KTP) masih single. Ini mereka lakukan hanya untuk membeli tanah saja, tetapi tidak untuk yang lain. Walaupun bagi ibu AN dan NR sangat menyadari akibat hukumnya tidak bisa mewariskan ke anaknya kelak. 3), bisa buka usaha sendiri yang sah dan mandiri di Indonesia, punya perusahaan sendiri, punya saham sendiri di perusahaan keluarga atau patner bisnis. Melalui perusahaannya tersebut dia bisa mensponsori izin tinggal suami sebagai pekerja di perusahaanya. 4), bisa dengan mudah pulang ke Indonesia membawa anak dan bisa dengan nyaman pengsiun di Indonesia dengan pelayanan dari suster dan pembantu dan bisa berkumpul dengan keluarga besar. Hanya saja implikasi negatifnya keluarga yang dibangun tanpa melaporkan ke negara tidak mendapat perlindungan hukum jika terjadi sesuatu yang akan merugikan dirinya. Ketiga, atas nama. Perempuan Indonesia yang menikah dengan pria asing memakai nama saudara, ibu, dan ayahnya untuk membeli properti dan berbisnis. Ibu AM misalnya memakai nama saudara perempuannya untuk membeli rumah melalui perjanjian bahwa transaksi tersebut hanyalah atas nama dan hak milik adalah AM. Hal ini terpaksa dilakukan karena tidak memiliki surat perjanjian pemisahan harta sebelum menikah. Sedangkan untuk berbisnis, isteri juga melibatkan ibu dan saudara perempuannya untuk membuat perusahaan keluarganya. Pembiayaan perusahaan dan tenaga pengelolaannya adalah suami yang juga berguna untuk menjadi perusahaan sponsor izin tinggal di Indonesia. Ibu DW dan Ibu AM, dengan tegas mengatakan bahwa umumnya – tanpa mau menyebut dirinya—isteri menjadi petunjuk jalan bagi bisnis suami di Indonesia. Perusahaan boleh atas keluarga, tetapi yang menjalankannya tetap suami. Untuk turun lapangan survey harga dan pemasaran dilakukan para isteri karena akan lebih mudah dan lebih murah. Hal serupa juga terjadi pada suami yang sudah lanjut usia dalam hal ini diatas 60 tahun. Menurut UU para suami dilarang bekerja, maka yang memiliki pekerjaan isteri, suami secara formal tidak mempunyai pekerjaan hanya membantu isteri. Keempat, tinggal diluar negeri. Untuk menghindari tekanan UU tersebut dan repotnya berurusan dengan imigrasi, diluar expatriate di Indonesia perempuan Indonesia cenderung memilih tinggal di negara suami. Alasan utamanya memang tidak direpotkan pada urusan visa anak dan suami, apalagi di negara suami memberi kemudahan bagi dirinya. Setelah masa pensiun baru mereka cenderung pulang ke Indonesia dengan alasan lebih nyaman di Indonesia. Melihat data diatas yang dihubungkan dengan teori pluralisme huku perspektif global bahwa pola interaksi antar pluralisme hukum menuju kontestasi pluralisme hukum antar aktor. Akibat kontestasi tersebut yang terjadi adalah terjadinya hybrid law dalam berinteraksi dengan hukum negara. Strategi yang diambil diambil adalah dengan berfusi yaitu melengkapi atau memperbaiki UU yang tidak adil menjadi UU yang lebih adil. UU no 12 tahun 2006 tentang Kewarganegraan merupakan produk dari interaksi pluralisme hukum global yang berfusi dengan hukum formal. Fusi dalam hal ini maksudnya negara mengambil hukum dari pelaku pluralisme hukum perspektif global untuk dijadikan hukum formal negara. Bahkan KPC Melati masih melakukan advokasi agar dirubah pasal 26 ayat 2 UU No 12 tahun 2006 tentang hilangnya hak kewarganegaraan isteri jika UU di negara suami mengharuskan demikian. Selain hybrid law dalam bentuk berfusi dalam menghadapi hukum formal, pelaku pluralisme hukum global menyetujui pilihan hybrid law dengan menghindar (avoidance) yaitu salah satu hukum menghindari keberlakukan hukum lain (Moores, 2005). Ini ditunjukkan melalui pengajuran oleh para pengacara dan pengurus organisasi kawin campur antar bangsa ini untuk menghindar dari hukum formal. Plihan KTP single, transaksi atas nama orang lain, kegiatan bisnis atas nama orang lain dan memilih tinggal diluar negeri merupakan bentuk konkrit dari proses penghidaran tersebut. Namun banyak juga, bagi pelaku kawin campur antar bangsa ini yang suami merupakan expatriate memilih patuh kepada hukum formal dan melihat anak-anak nya menjadi warga asing sebagai keberuntungan karena bisa sekolah di negara ayahnya dengan biaya murah. Ibu NR secara tegas menolak anaknya menjadi WNI karena akan menyulitkan anaknya, baik ketika usia sekolah maupun ketika bekerja karena penghargaan gaji lebih tinggi jika dia warga asing. Apalagi bagi yang mempunyai surat perjanjian pra nikah, seperti ibu DW dia sendiri hampir tidak menghadapai masalah dengan UU keimigrasian yang ada. Sementara itu, interaksi pada pluralisme hukum antara suami dan isteri benar-benar terjadi kontestasi antara pluralisme hukum suami dan isteri yang menuju kepada hybrid law yang tidak dibuat dibaut secara terbuka. Dalam hal agama, terutama agama Islam, suami tidak ada pilihan lain selain mengikuti agama isteri, namun suami tetap menjalakan konsepsinya sendiri. Kontestasi ini berlanjut kepada anak, dimana isteri memberi perhatian lebih pada masalah agama dan tata krama didukung oleh sikap kepedulian sosial yang diajarkan oelh suami. Di luar agama dan pendidikan agama anak, pluralisme hukum suamilah yang lebih berlaku, namun peran isteri juga sangat besar dalam menentukan dimana anak-anak bersekolah. Kondisi ini menyebabkan pilihan hybrid law menjadi semakin penting. Kesimpulan : Sebuah Refleksi Lesson learned yang dapat peroleh dari tulisan ini adalah pendekatan multi-sited dalam kajian pluralisme hukum perspektif global mampu memberi informasi lebih jelas mengungkapkan interaksi pluralisme hukum global tersebut. Bahkan pada UU no12 tahun 2006 pengaruh pluralisme perfektif global baru bisa dipahami jika menggunakan pendekatan multi-sited etnografi. Ini menunjukkan betapa pentingnya pendekatan multi-sited dalam studi pluralisme hukum. Tulisan ini juga mengajarkan kita bahwa hukum yang sebenarnya adalah hukum yang hidup bersama subjeknya. Sebab hukum yang ada dalam kitab dan UU pada satu periode tertentu akan merugikan masyarakat. Contoh konkrit adalah UU no 62 tahun 1958 tentang kewarganegraan yang menyebabkan hilangnya hak-hak perempuan karena pernikahan. Karena ketertinggalan hukum tersebut subjek pluralisme hukum berhak menentukan pilihan interaksi dengan menghindar dari hukum formal yang ada. Walaupun dalam beberapa hal tetap patuh dengan strategi tertentu dan bahkan berfusi dimana pluralisme hukum global melengkapi hukum formal dengan merumuskan hukum formal yang baru. Ini berarti aktor pluralisme hukum merupakan subjek hukum yang sangat berperanan dalam perkembangan pluralisme hukum dan hukum formal sekalipun. Negara perlu mengakomodir hak-hak perempuan yang sejajar dengan laki-laki terutama dalam hal kepemilikan pribadi secara terbatas untuk properti, dan penggunaan fasiltias perbankan. Mengingat perjanjian pra nikah juga mempunyai implikasi negatif pada perempuan Indonesia jika terjadi perceraian. Saya menyarankan batas maksimal properti yang boleh dimiliki oleh perempuan yang menikah dengan asing ini. Perubahan ini tidak akan terjadi jika pelaku kawin campur antar bangsa ini tidak mengartikulasikan haknya dalam perubahan undang-undang aggraria tersebut. Note: 1. Kalimat “Kejutan CInta” diambil dari Judul Resensi Buku Love and Shock yang ditulis oleh Efendi terdapat di Blogspot.com Efendi Membaca. Mei 2008. 2.Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Anita bendahara Srikandi yang memberi kesempatan kepada saya untuk hadir dan pertemuan Srikandi dan memberi ruang untuk mewawancarai informan dan mempertemukan saya dengan Ibu Ries, Ibu Amelia dan anggota Srikandi lainnya. Tanpa bantuan Ibu Anita tulisan ini tidak bisa terlaksana. Terima kasih juga kepada informan yang bersedia menyediakan waktu untuk penelitian ini. 3. Perlu disadari manusia tidak hanya diatur oleh hukum formal yang dibuat oleh negara, tetapi juga berlaku hukum-hukum lain seperti hukum adat, kebiasaan, agama, kesepakatan dan hukum hybrid (campuran). Antara sistem hukum tersebut berkembang berinteraksikan satu sama lain untuk menyesuaikan kompleksitas yang hadapi masyarakat, yang lebih dikenal dengan pluralisme hukum. 4. Kawin campur pada artikel ini mengacu pada UU NO 1 tahun 1975 tentang Perkawinan, yaitu perkawinan antara perempuan Indonesia dengan lelaki asing. DAFTAR BACAAN Berman, Paul Schiff (2007) Global Legal Pluralism, http://lsr.nellco.org/ uconn/ ucwps/ apers/71 9/23/2007 Benda-Beckmann F, K. Benda-Beckmann and Anne Griffiths (2005). Mobile People Mobile Law. Expanding Legal Relations in a Contacting World. USA: Ashgate. Fredriksen, Katja Jansen, (2007) “ Sharia in Norwegian Courtrooms?” ISIM R E V I E W 20 / AUTUMN 2007 Gunther Teubner (1997) “Global Bukowina Legal Pluralism in the World Society” dalam Appeared in: Gunther Teubner (ed.), Global Law Without a State. Dartmouth, Aldershot 1997 Hartati Nurjaya, 2007, Perkawinan Antarabangsa Love and Shock, Jakarta, Restu Agung. Junarwati , Andriani, 2007, “Diskriminasi terhadap Perempuan dan Status Anak Akibat UU nomor 62 tahun 1958 dan Implementasi UU nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI terhadap Status Anak dan Persamaan Kedudukan Perempuan dalam Perkawinan Campuran” Thesis Magister, Fakutas Hukum UI. Klaus Günther, (2003) “ Legal Pluralism and the Universal Code of Legality: Globalisation as a Problem of Legal Theory” http://www.law.nyu.edu/ clppt/program2003 readings/ gunther.pdf Kennedy, David (2006) “One, Two, Three, Many Legal Orders: Legal Pluralism and the Cosmopolitan Dream” http://www.law.harvard.edu/faculty/ dkennedy/ speeches/ Legal Orders.pdf Liria Tjahaja (2005) “PLURALISME HUKUM DAN MASALAH PERKAWINAN CAMPURAN” dalam dalam Masinambow, E.K.M. (editor) 2003, Hukum dalam Kemajemukan Budaya, Sumbangan meyambut hari ulang tahun ke 70 T.O.Ihromi, Jakarta Yayasan Obor. Lidwina I Nurtjahyo dan Tirtawening, Kajian Pluralisme Hukum Berperspektif Global : Pengalaman Para aktor Proses Re-framing, dalam Jurnal Low Society & Dedelopment (LSD), Vol 1.N0 3 Agustus 2007 Merry, Sally E. 2005. “Human Rights and Global Legal Pluralism: Reciprocity and Disjuncture”. dalam Benda-Beckmann F, K. Benda-Beckmann and Anne Griffiths, eds. Mobile People, Mobile Law. Expanding Legal Relations in a Contracting World . Aldershot: Ashgate Publishing Limited, Moorse, Stradford W. and Gordon R Woodman, 1987, Indigeneous Law and State, Dordrecht Holland: Foris Nuning Suliasih Purwaningrum (2006) “Kedudukan Perempuan WNI yang Kawin dengan Lelaki WNA dalam Konsep Kewarganegaraan Indonesia dan Implikasinya”, thesis Magister. Program Kajian Wnaita Pasca Sarjana UI. Ruth S. Meinzen-Dick and Rajendra Pradhan (2002) Legal Pluralism and Dynamic Property Rights, kertas kerja no 22 pada Seminar Internasional International Food Policy Research Institute, 2033 K Street, N.W. Washington, D.C. 20006 U.S.A.) Samia Bano, 2005, “ ‘Standpoint’, ‘Difference’ and Feminist Reseach” dalam Reza Banakar and Max Travers, (editor) 2005, Theory and Method in Socio Legal Reseach, Hart Publishing, Oxford and Porland Oregon Sulistyowati Irianto, 2003 “Pluralisme Hukum dalam Masyarakat kritis” dalam Masinambow, E.K.M. (editor) 2003, Hukum dalam Kemajemukan Budaya, Sumbangan meyambut hari ulang tahun ke 70 T.O.Ihromi, Jakarta Yayasan Obor. Sulistyowati Irianto, 2005 “Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum dan Konsekwensi Methodologisnya” dalam TIM HUMS (edito) 2005 Pluralisme Hukum : Sebuah Pendekatan Interdisiplin, Jakarta, Huma. Sulistyowati Irianto, 2007, “Pluralisme Hukum Dalam Perspektif Global,” dalam Hukum yang Bergerak Jurnal Low Society & Dedelopment (LSD), Vol 1.N0 3 Agustus 2007 Schiller, Niana Glick. 2005. “Transborder Citizenship: An Aoutcome of Legal Pluralism within Transnastional Social Fields”. dalam Benda-Beckmann F, K. Benda-Beckmann and Anne Griffiths, eds. Mobile People, Mobile Law. Expanding Legal Relations in a Contracting World . Aldershot: Ashgate Publishing Limited, Scott (2000) Senjata Orang-Orang Kalah: Bentuk-bentuk Pelawanan sehari-hari Kaum Tani (terjemahan) Jakarta Yayasan Obor.

Rabu, 06 Agustus 2008

Rakyat Bisa Melawan !

Disadari atau tidak, secara terus menerus rakyat atau orang perorangan selalu melakukan perlawanan terhadap otoritas yang menguasainya. James Scott (2000) Lila Abu-Lughod (1986) Peluso (2006) , Ong (1987) dan Luqman Sutrino (2000) telah membuktikan perlawanan rakyat secara tidak terorganisir. Scott pada penelitiannya di satu desa di Malaysia secara jelas mepaparkan bagaimana perlawanan tanpa bentuk dilakukan oleh petani miskin terhadap tuan tanah di Malaysia yang diekspresi melalui kerja seenaknya, mengelabui, taat yang dibuat-buat, mencuri kecil-kecilan, pura-pura bodoh, memfitnah, membakar rumah, menyabot tanah dan menuding toke yang pelit. Begitu juga terhadap program bantuan pemerintah dengan menjual bantuan dari pemerintah atau sengaja membuatnya macet. Abu Lughod menunjukan bahwa perempuan Mesir melakukan perlawanan sehari-hari untuk menghindari kontrol dari keluarga dan lingkungannya. Kaum perempuan menghindar dan melakukan aksi tersembunyi melalui puisi yang bernada sindirian dan menjalin kerjasa sama dengan sesama perempuan Sedangkan Ong menemukan bentuk perlawanan yang dilakukan perempuan pekerja pabrik di Pantai Selangor. Perempuan pekerja pabrik yang berada dibawah kekuasaan keluarga, pemilik pabrik, mandor, target produksi, di lawan dengan berlama-lama di toilet, berlama-lama sembahyang, merusak alat produksi, dan apabila memuncak mereka melampiaskan dengan melihat hantu lalu kemasukan. Walaupun resikonya mereka akan diberhentikan dari pabrik tersebut Studi Sosiologi Sejarah yang dilakukan Nancy (2006) tentang perhutanan di Jawa menunjukkan bahwa pola-pola perlawanan masyarakat pinggir hutan jati. Mulai dari mencuri hutan, mengeroyok rimbawan, perempuan yang telanjang mencuri jati di sungai, dan gerakan kaum Samin yang tidur diatas tanah yang sedang diukur, berbicara dalam teka-teki dan menolak mengikuti ritual desa. Begitu juga untuk kasus perkebunana tebu di Jawa, Strutisno mengemukan bahwa pembakaran kebun tebu terjadi terus setiap tahunnya, yang kemudian diidetifikasi sebagai perlawanan pemilik tanah atas pengambilan secara paksa tanahnya oleh pengusaha kebun tebu tersebut. Secara kasat mata di era Pilkada (pemilihan kepala daerah) sekarang ini, tingginya tingkat golput, dan menangnya calon-calon kecil yang tidak popular bisa dinterpretasikan sebagai perlawanan rakyat terhadap rezim. Dengan demikian istilah rakyat kecil tidak berdaya dan tidak akan mampu melawan penguasa yang kuat sebenarnya secara tidak disadar sudah tidak berlaku sejak lama. Temuan diatas mengajarkan kita bahwa memahami konflik tidak lagi sebatas pertentangan secara frontal antara dua atau lebih kekuatan secara langsung. Perlawanan bisa dilakukan oleh siapa saja dengan bermacam-macam bentuk, baik secara simbolik maupun menghindar dan tidak terorganisir. Ini berarti perlawanan yang dilakukan oleh rakyat bisa dilakukan pada pemerintahan yang sangat kuat sekalipun. Begitu juga, kekuaan tidak lagi dipahami dimiliki oleh seseorang atau sekolompok orang saja atau penguasa saja tetapi kekuasaan itu menyebar ada pada setiap orang. Karena kekuasaan itu menyebar dan ada pada setiap orang, seseorang secara pribadi akan memperkuat kekuasaannya dan tidak akan pernah membiarkan orang lain mengambil kekuasaan yang sudah dimilikinya. Penyebaran kekuasaan dan penyebaran perlawanan berada pada paradigma konstruktivisme yang menjadikan manusia sebagai subjek dari kebudayaan. Manusia sebagai subjek relevan dengan pemikiran kekuasaan yang terpencar yang ada pada setiap manusia atau manusia sebagai subjek kekuasaan. Karena manusia sebagai subjek kekuasaan tersebutlah, maka setiap manusia akan melakukan perlawanan terhadap kekuasaan lain, tidak mesti berhadapan langsung. Bahkan kalau kekuasaan bisa dijatuhkan dengan gosip, fitnah, dongeng mengapa harus menguras enerji melakukan konflik secara terbuka. Melalui tulisan ini saya ingin menyampaikan dua hal, pertama, rakyat secara pribadi harus menyadari bahwa dia mempunya kekuasaan penuh atas dirinya. Kesadaran akan kekuasaan tersebut akan memberi kekuatan dalam kehidupan bermayarakat dan bernegara. Jika keadaran kesadaran tersebut dimiliki, maka langkah yang perlu dilakukan rakyat secara pribadi adalah tidak membiarkan orang lain menguasai dirinya. Jika dirinya secara pribadi sudah dibawah kekuasaan orang lain, rebut kembali kekuasaan itu secara kebudayaan bukan dengan kekerasan. Bahkan dalam agama Islam menyebutkan selemah-lemah iman adalah dengan melawan dari dalam hati, misalnya dengan menghindar. Kedua, bagi rezim yang berkuasa, baik itu ketua Rt, Lurah, Bupati, Gubernur dan Presiden atau bahkan preman sekalipun perlu menyadari bahwa kekuasaan yang tidak terorganisir tersebut bisa lebih berbahaya daripada kekuasaan yang diorganisir yang melakukan konflik terbuka. Perlawanan secara diam-diam ternyata mengakibatkan kerugian yang lebih besar tanpa disadari. Oleh sebab itu, sudah selayaknya bersikap bijak karena kekuasaan sebenaranya ada pada semua orang. Sekian. M. RAWA EL AMADY

Rabu, 28 Mei 2008

Critical Ethnograpy

Foley dan Valenzuela (2005) pada tulisannya yang berjudul “Critical Ethnography: the Politics of Collaboration,” menguraikan secara jelas critical ethnography sebagai suatu paradigma yang meletakan posisi penelitinya sarat nilai yang memihak kepada masyarakat. Langkah keberpihakan peneliti dengan melakukan pembelaan bagi masyarakat tertindas, pemberdayaan bagi masyarakat yang lemah, pelawanan politik kepada negara, dan bertindak sebagai penasehat di legislatif dan eksekutif agar menghasilkan kebijakan membela kepentingan masyarakat. Bahkan beberapa peneliti etnografi kritis terlibat langsung dalam politik praktis dengan menggorganisir masyarakat dan mahasiswa. Juga mengambil peran sebagai penasehat kebijakan, mempengaruhi langsung legislasi, melakukan gerakan sosial untuk reformasi masyarakat, melakukan fasilitasi demokrasi seperti menggunakan participatori action research (PAR), fasiltiaor demokrasi, dan broker kebudayaan. Sebagai contoh, Carol Talbert yang melakukan studi tuan tanah dan polisi brutal terhadap masyarakat afrika amerika, begitu juga Medison (2005) yang melakukan penelitian di Ghana dan mengggalang demonstrasi kepada kedutaan Amerika Serikat. Departemen Antropologi Universitas Texas bahkan melakukan kajian idiologi kebudayaan dan diversivikasi gender, merumuskan kesimbangan antara akademik dan aktivitas politik. Lebih dasyat lagi apa yang dilakukan oleh Charlie Hale yang merekrut penduduk asli untuk dijadikan antropolog. Begitu juga Ted Gordon yang berhasil menggalang politik etik di Nikaragua, Martha Menchaca, Richard Flores yang melibatkan mahasiswanya untuk kajian partisipasi Faktor utama munculnya ciritical ethnography karena paradigma positivisme yang dibangun sebagai suatu objektifitas ilmu sosial yang bebas nilai membuat para peneliti berada di menara gading dan memposisikan manusia sama dengan benda. Lalu para pendukung ciritical ethnography mengadvokasi kebudayaan pada masyarakat moderen beserta institusinya. Bahkan etnografi kritis melakukan pelawanan terhadap penguasa atas yang dikuasa. Kritik utamanya pada studi kelas, idiologi, sentimen dan penidasan terhadap orang lain. Mereka mempromosikan riset egaliter dan pengetahuan praktis yang bersifat lokal. Etnografi krtitis ini datang untuk merevolusi falsafah dan metodologi positivisme diantaranya melalui pendidikan seperti yang dilakukan Thomas Schwandt, yang mengumumkan bahwa kareteristik sebagai interpretative, hermeneutic dan konstruktif alternative. Menurutnya, etnografi kritis mempunyai daya tarik yang besar pada hemeneutik dan teori kritis marxis dan konstruksi posmoderen. Sementara Foley, mengadvokasi kemanfaatn mengikuti refleksi konplemetari praktis, teoritis, antar tekstual dan dekonstruktif, khususnya atas refleksi praktis pada perspektif feminis dan sains. Ketika kesadaran bahwa paradigma positivisme merupakan suatu yang keliru menimbulkan keinginan dari pada pendukung etnografi kritis untuk membatalkan banyak intiutif. Oleh karenanya para etnografi kritis mulai membangun bermacam epistiomologi, menilai dan mengintropeksi memori kerja dan autobiografi dan memimpikan semua jalan penting untuk pengetahuan. Etnografi kritis melakukan banyak refleksi dan menjelajahi secara inten interkasi dan menghasilkan narasi etnografi. Menuurut Lincoln Allison, di web www.answers.com bahwa paradigma Critical Ethonography dengan core dari critical social theory adalah pertama secara langsung pada sejarah spesifik masyarakat, misalnya bagaimana point munculnya konfigurasi. Kedua, memahami masyarakat secara integrasi, mulai dari sains sosial, ekonomi, sosiologi, sejarah, politik, antropologi dan psikologi. Sotirios Sarantakos (1993) dalam bukunya ‘Social Research’, lebih rinci memberi pemahaman tentang ‘critical paradigm’ ini, melalui empat kriteria, yaitu bagaimana paradigma ini memandang realitas, posisi manusia, natur of science, tujuan penelitiannya (1993, 38-39) secara tabeling melakukan perbandingan ketiga paradigm tersebut, dimana paradigm – atau yagn disebutnya dengan persfektif—critivism memiliki kriteria sebagai berikut: (1) persepsinya tentang realitas; paradigma kritikal memamahi realitas sebagai seseuatu yang dibangun oleh manusia. Realtias bukan order tetatapi merupakan konflik, tekanan, resistensi pada dunia yang sedang berubah. Oleh karenanya paradigma ini memberi posisi (stand point) peneliti bertindak subjektif dalam memaknai relevansi realitas sebagai suatu yang penting. (2) sedangkan persepsi tetang manusia dipandang sebagai potensi kreativitas dan menentukan. Ini berarti posisi manusia sebagai yang menentukan dan terlibat langsung dalam pencapain tujuan dari penelitian itu sendiri. (3) nature of science (posisinya dalam ilmu) dimana posisinya berada diantara positivism dan interpretive dan antara determinanisme dengan humanisme atau volutalisme. Aktor bertindak konfrontatif oleh sosial ekonomi dan memberi arti pada kehidupannya sendiri. Manusia diposisikan sebagai kreator untuk keuntungan dirinya sendiri. (4) tujuan penelitan, merubah kepercayaan yang timpang dan ide tetang masyarakat dan realitas sosial sebagai manusia yang kreatif terarah dan mengkritik system kekuasaan dan struktur yang tidak adil, dan dominasi yang menindas. Guba, Egon G.,& Yvonna S. Lincoln (2005) ”Paradigmatic Controversies, Contradictions, and Emerging Confluences,” menggunakana tiga ciri atau krteria dari paradigma kritikal ini yang disebutnya dengan aksioma, yaitu ontology, epistimologi dan metodologi. Adapaun ciri ontology yang melekat pada etnografi kritikal adalah realisme sejarah - virtual realitas dibentuk oleh sosial, politik, budaya, ekonomi, dan etnik, nilai gender; terkristralisasi dalam waktu, sedankgan epistiomologinya adalah transaksional/subjektivis ; sarat nilai, demikian juga metodologinya memiliki ciri dialogis/dialektis. Dengan berpedoman pada konsep-konsep diatas, maka untuk mengkatagorikan sebuah buku termasuk etnografi kritis (critical ethnography) menurut saya buku tersebut setidaknya memenuhi criteria yang sangat berkaitan dengan paradigma critical ethnogapgy, dalam hal ini saya mengujukan dua ciri utama yang harus ada yaitu: 1. Standpoint peneliti atau penulisnya secara tegas membongkar kebobrokan negara, atau kelompok dominan yang melakukan penindasan kepada masyarakat atau kelompok minoritas. Peneliti atau penulisnya melakukan upaya-upaya perbaikan baik itu melakukan perlawanan, pendampingan dan advis kebijakan. Peneliti atau penulisnya jelas seorang ilmuan yang aktifis sosial dengan epistimologi yang subjektif dan berpihak. 2. Dilihat Metodologinya, tujuan penelitiannnya untuk merubah kepercayaan yang timpang dan ide tetang masyarakat dan realtias sosial sebagai manusia yagn kreatif terarah dan mengkritik system kekuasaan dan struktur yang tidak adil, dan dominasi yang menindas. Sedangkan teknis pengumpulan datanya lapangan lebih bersifat dialogis dan dialektis Berdasarkan dua kreteria tersebut maka saya memberi dua contoh buku yang merupakan buku etnografi kritis (critical ethnography) yaitu : 1. Anna Lowenhaupt Tsing, 1998 (Penerjemah Achmad Fedyani Saifudin) Dibawah Bayang-Bayang Ratu Intan; Proses Marjinalisasi Masyarakat Terasing. Judul Asli : In the Realm of the Diamond Queen, Marginality in A Out-of-the Way Place terbit 1993 diterbitkan oleh Pinceton Univercity. Saya ingin menunjukkan bahwa buku ini memenuhi dua kriteria tersebut; 1.1. Stand Point Studi ini menempatkan gender pada pusat analisis (hal 11) yang meposisikan studi ini sebagai studi feminisme, dimana feminisme merupakan salah satu kata kunci dari ciri-ciri yang melakat pada critical ethnography yang mengkontruksi kebudayaan dan politik dari marjinalitas. Anna L Tsing mengurraikan proses marjinalitas dari masyarakat Meratus yang terlempar ke tepid an tersingkir lalu melawan dengan protes yang dituangkan dalam tanfsiran kebudayaan kembali. (hal 5). Oleh karena itu penulisnya dengan tegas menyuarakan merjinalisasi masyarakat tersebut melalui judul In the Realm of the Diamon Queen, Marginality in an Out-of-the-wa Place secara tegas mengambarkan keberpihakan penelitinya kepada masyarakat yang menjadi korban dari struktur politik nasional. Untuk mereflekasikan keberpihakknnya tersebut Tsing sengaja mengangkat symbol Uma Adang tokoh dukun perempuan yang melalui praktek pedukunannya melakukan perlawanan ke lelaki, pejabat, negara dan agama dominan. Oleh karena itu Tsing mengungkapkan secara tegas telah terjadinya bias gender yang berbasis kultur di Meratus, dan mendorong terus Uma Adang untuk mengaktualisasikan diri dalam bentuk kepemimpinan yang lain. Perhatikan kutipannya berikut: “Pejabat daerah tidak pernah wanita, Tidak seperti pemimpin lelaki, Uma adang tidak bisa mencapai kedudukan sebagai pejabat setempat. Ia ditolak bahkan ketika pemimpin pria lokal sendiri tidak berminat menjadi pejabat; pembedaan ini pula yang mendorong Uma Adang sering sekali berprilaku khas” (hal 37.) Tsing juga mengkritik sistem politik nasional terutama sekali hubungan transmigrasi dengan pengusaan hak-hak pengeloaan hutan oleh pejabat tentara. Meratus bisa bebas dari tujuan transmigrasi karena daerah Meratus merupakan wilayah hak penguasaan hutan seorang jenderal. Secara implisit sebenarnya Tsing ingin mengemukankan bahwa program pemukiman baru dimana penduduk dipindahkan dengan batas penguasaan lahan terbatas, dan issu pemotongan kepala bisa berkaitan langsung dengan kepentingan penguasaan hutan oleh oknum tertentu. (hal 25). Protesnya diatas dilanjutkanya pada proses terhadap pembatan hutan, “… adalah keliru kalau pemerintah hanya memikirkan kayu dan pohon-pohon , ada banyak tumbuhan lain dalam hutan yang berguna bagi kehidupan orang Meratus” Protes Tsing kepada pemerintah tentang pemberian lebel masyarakat terasing pada orang Meratus sebagai suatu hal yang justeru menjadikan mereka benar-benar terasing karena berada di pemukiuman baru yang jelas-jelas mengasingnya mereka dari kehidupan pekampungan mereka. Padahal seharusnya jika mereka dibiarkan hidup dengan ekologi dan budaya mereka justeru membuat mereka tidak terasing lagi pula mana ada orang yang terasing didaerahnya sendiri. Tsing juga aktif, terliabt dalam aktivitas masyarakat bahkan sampai membantu kelahiran bayi dan penguburan bayi yang masyarakat lain tidak mengurus penguburnanya. Bahkan secara aktif meminta kepada Kapolsek untuk membangun Meratus: “ Ketika Kapolsek tinggal di balairung Ukut, saya pergi menemuinya dan bercakap-cakap tentang kemungkinan pembabanguna desa. Ia mengatakan sedang memeriksa pelaksanaan pembangunan, tetapi dia belum menyaksikan adanya kemajuan. ………………………. Ketika kapolsek memberi sambautan, dia bertanya apakah ada yang ingin bertanya, sehingga akhirnya saya angkat berbicara. Saya katakana bahwa kami membutuhkan piring, gelas dan cerek—bukan untuk kami gunakan sendiri, tetapi untuk melayani tamu-tamu penting selayaknya. “ Dari kutipan-kutipan diatas, jelas sekali bahwa posisi peneliti sangat berpihak bahkan secara aktif mencari jalan untuk pembangunan masyarakat Meratus. Hal ini menandakan 1.2. Metodologi Dilihat dari metodologi ada beberapa kriteria, pertama, tujuan penelitian ini adalah mengkontruksi kebudayaan dan politik marjinalisasi pada orang Meratus. Tentu saja dari tujuan penelitian ini mengambarkan hubungan dengan criteria critical ethnography yang tentu saja betujuan untuk mengungkapkan ketidakadilan, dominasi dan keadailan. Oleh karena itu, dari awal buku ini mengungkapkan perlakuan ketidakadilan yang terjadi pada orang Meratus. Kedua, ontologi, Tsing secara cerdik mengungkapkan realissme sejarah, yang digali dari infroman dan informasi lainnya. Realitas historis ini dilihat dari semua aspek, kultur, ekonomi, politik, agama dan lainnya sebagaimnya. Ketiga, epistimologinya, secara jelas Tsing menyatakan keberpihaknya atas penindasan yang terjadi pada masyarakat Meratus, terutama dari negara, suku Banjar, agama resmi, bias gender, turis, pengusaha kayu, ahli pembangunan internasional. Selain itu, Tsing juga melakukan usaha-usaha pembelaan, pendampingan dan advokasi bagi orang Meratus, ini berarti terjadi transaksional antara peneliti dengan subjek yang diteliti dan pemerintah. Keempat, metodologi dalam hal ini teknis mengumpulan data lapangan. Pada etnografi kristis field research memposisikan informan sebagai subjek yang bersifat dialogis dan dialektis. Subjek penlitian dalam hal informan merupakan bagian dari proses penelitian dan ini terlihat dari laporan penelitian yang meletakan infroman pada posisi penting dan mengedepan emik. Tsing sebenarnya secara jelas, bagaimana dia memperlakukan informan dalam laporan penelitiannya. Tokoh lokal dan ide pemikirannya ditampilkan secara jelas dalam buku ini. Ada beberapa tokoh sentral yang ditampilkan pada buku ini, yaitu Uma Adang, Ma Amar, Ma Salam dan Pak Beruang. Dari dua kreteria besar yaitu poisis peneliti dan metodologinya, maka dapat disimpulkan bahwa buku karangan Anna L Tsing ini merupakan critical ethnography. 2. Nancy Lee Peluso, 2006, (Penerjemah Landung Simatupang) Hutan Kaya Rakyat Melarat; Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa. Judul Asli Rich Forests, Poor People : Resource Control and Resistance in Java tahun 1992 di terbitkan oleh The Regen Univercity of California. 2.1. Stand Point Sebagai mana mana Anna L Tsing, Nancy Lee Peluso juga secara tegas memposisikan diri sebagai peneliti yang subjektif dan berpihak kepada masyarakat disekitar hutan. Judulnya saja tampak sekali berpihak “Rich Forests, Poor People : Resource Control and Resistance in Java”. Nancy dalam tulisan ini mengungkapkan tentang konflik berkelanjutan antra negara dengan masyarakat disekitar hutan jati. Buku ini dibuka dengan gambaran konflik antara mantri hutan jati dengan penduduk setempat; “Mantri Kasran biasanya menembakana senjatanya ke udara untuk menghalau pencuri. Lalu pencuri akan terbirit-birit dan assistan-asisten kasran berlarian datang. Suatu hari, kira-kira lima tahun 1984, ia dikepung selagi berjalan dekat suatu desa di hutan jati. Ia gambarkan mereka yang “menangkap”-nya itu sebagai “grombolan pencuri jati yang berangaan, berkekuatan sekitar lima puluh hingga seratus orang, banyak dari mereka mengacung-ancungkan cangkul, pentungan, parang dan berbagai alat pertanian lainnya. Orang-orang itu mengepung Mantri Karsan, mengumpat dengan makian kasar. Ia tidak mungkin menembakan senjatanya, itu jsuteru akan menjadi dalih yang mereka perlukan untuk menyerangnya, menyalahkan seperti itu biasa, menjalan tugas sebagai penjaga hutan. Beruntung, satu diantara satu asistennya yang tinggal di desa berdekatan, mendengar keributan tadi dan lari mencari pertolongan. … sampai satu truk polisi hutan berhasil menyelamatnyanya.” Inilah gambaran situasi konflik antara Perhutani dengan masyarakat, konflik itu tentu relevan dengan catatan Nancy bahwa system pengelolaan hutan di negara ketiga telah gagal mengurangi kemerosotan hutan dan kemiskinan pedesaan. Bahkan beberapa sistem pengelolaan hutan justeru menyebabkan semakin memperparah kemerosotan hutan karena makin runyam kemiskinan penduduk desa yang tinggal dipinggiran hutan. Perlawanan dan konflik ini disebut Nancy sebagai bentuk protes masyarakat kepada pemerintah dan Perhutani karena akses hutan yang tidak mereka miliki. Hampir seluruh bab Nancy memaparkan rumitnya system pengelolaan hutan di Jawa, yang merupakan sejarah panjang pendertiaan masyarakat, disemua struktur sosial yang ada dibangun suatu struktur yang menghambar masyarakat untuk bisa memanfaatkan hasil hutan yang menyebabkan mereka tetap miskin. Matarantai antara pengusahaan hutan oleh Negara, penjarah hutan dan penampung hasil curian telah terbangun sejak lama. Bahkan pada masa orde baru, masyarakat untuk mengambil kayu bakar saja sudah tidak bisa; “ Belakangan, rimbauan memberantas pengambilan kayu bakar dan pakan, meskipun warga sendirilah yang menanam pohon leucaena tersebut. Suatu hari petugas kehutanan mencegatnya (Pak Mustafa) di jalur becek ketika Pak Mustafa kembali ke Desa, dengan marah merengut beban bawaan Pak Mustafa, dan meremuk kayu bakar yang dikumpulkannya sepanjang hari. Para rimbawan juga merampas parangnya” (hal 233) Gambaran diatas tersebut secara jelas memnyuarakan suatu dasar critical ethongraphy dari penulisnya, yang jelas-jelas berpihak kepada masyarakat yang menjadi korban dari system pengelolaan hutan tersebut. 2.2. Metodologi Dilihat dari kiteria metodologinya maka pertama, tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkankan pola pola perlwanan dan penguasaan hutan dalam hubungan konflik antara Perhutani dengan masyarakat disekitar hutan. Mengungkapkan hubungan yang tidak seimbangan dan penindasan oleh Perhutani terhadap masyarakat disekitar hutan. Dari tujuan ini jelas ini merupakan penelitian critical ethnograpy Kedua, ontologi, Nancy secara detail menguraikan runut sejarah kebijakan, dan system pengusahaan hutan jati dari zaman kerajaan, VOC, kolonial Belanda, awal merdeka hingga masa Orde Baru dari berbagai aspek sosial, politik dan ekonomi. Ketiga, epistimologinya, secara jelas Nancy menyatakan keberpihaknya atas penindasan yang terjadi pada masyarakat sekitar hutan, oleh pemerintah, Pehutani, Lintah Darat dan pegawai Perthutani yang setiap saat melakukan tekanan kepaa masyarakat dis ektiar hutan.\ Keempat, metodologi dalam hal ini teknis mengumpulan data lapangan. Pada etnografi kristis field research memposisikan informan sebagai subjek yang bersifat dialogis dan dialektis. Peneliti menggali data dari informan yang meletakan informan sebagau subjek utama. Baik itu masyarakat maupun dari pihak rimbawan. Informasi dari masyarakat diungkapkan secara emik sebagai suatu sumber data yang penting. Dari dua kreteria besar yaitu poisis peneliti dan metodologinya, maka dapat disimpulkan bahwa buku karangan Nancy Lee Peluso ini merupakan critical ethnography. Buku Bacaan 1. Anna Lowenhaupt Tsing, 1998 Penerjemah Achmad Fedyani Saifudin, Dibawah Bayang-Bayang Ratu Intan; Proses Marjinalisasi Masyarakat Terasing, Yayasan Obor Jakarta. 2. Guba, Egon G.,& Yvonna S. Lincoln (2005)”Paradigmatic Controversies, Contradictions, and Emerging Confluences,” dalam Norman K. Denzin &Yvonna S.Lincoln, eds. The Sage Handbook of Qualitative Research (third edition). Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications. 3. Foley, Douglas &Angela Valenzuela.2005. “Critical Ethnography: the Politics of Collaboration,” dalam Norman K. Denzin &Yvonna S.Lincoln, eds. The Sage Handbook of Qualitative Research (third edition). Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications. 4. Jeffrey M Stanon, Book Review “Critical Ethnograppy: Method, Ethics, and Performance” Organizational Research Methodds, Juli 2006. 5. Lincoln Allison, 2008, Critical Ethnography, di web www.answers.com 6. Nancy Lee Peluso, 2006, Penerjemah Landung Simatupang Hutan Kaya Rakyat Melarat; Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa Konphalindo, Jakarta\ 7. Madison, D, Soyini, 2005, Critical Ethnograppy: Method, Ethics, and Performance, Sage Publication, United Kongdom. 8. Sotirios Sarantakos (1993) dalam bukunya ‘Social Research’ MacMILLAN EDUCATION AUSTRALIA PTY LTD, Melburne.

Siapa yang anda pilih jadi Presiden?

Me

Me
Foto Terbaru

Cinta ku

Cinta ku

depan rumah

depan rumah
me n wife

Ayahanda

Ayahanda
Ayah ku yang berjasa

Klub Anak2

Klub Anak2
Di Rumah ku ada klub anak-anak lingkungan yang berlatih breakdance

Latihan Silat Juga

Latihan Silat Juga
Juga pernah saya mendatangkan guru untuk anak-anak yang mau main silat

Sekolah Gratis

Sekolah Gratis
Perpisahan dengan yang taman sambil rekreasi

Sedang belajar

Sedang belajar
Anak sedang belajar di ruangan tengah rumah ku

Perpustkaan

Perpustkaan
Di rumahku juga disedikan perpustakaan bagia siapa aja yang hobbi membaca

diskusi

diskusi
di rumah juga sering mengadakan diskusi gitu loh

Di Kuansing

Di Kuansing
Lagi Monev di Kuansing bersama Tim

Bersama Kepala Suku

Bersama Kepala Suku
Prof Aliamanda Su