Dari saya
Terima kasih bagi netter yang telah ke blog saya, dan menyediakan sedikit waktunya untuk membaca buah pikiran saya. Saya sangat senang jika apa yang saya pikirkan mendapat respon positif ataupun negatif. Dan saya dapat dihubungi di 08127627068. Salam mari berbagi kedamaian.
M.Rawa El Amady
Rabu, 28 Mei 2008
Critical Ethnograpy
Foley dan Valenzuela (2005) pada tulisannya yang berjudul “Critical Ethnography: the Politics of Collaboration,” menguraikan secara jelas critical ethnography sebagai suatu paradigma yang meletakan posisi penelitinya sarat nilai yang memihak kepada masyarakat. Langkah keberpihakan peneliti dengan melakukan pembelaan bagi masyarakat tertindas, pemberdayaan bagi masyarakat yang lemah, pelawanan politik kepada negara, dan bertindak sebagai penasehat di legislatif dan eksekutif agar menghasilkan kebijakan membela kepentingan masyarakat. Bahkan beberapa peneliti etnografi kritis terlibat langsung dalam politik praktis dengan menggorganisir masyarakat dan mahasiswa. Juga mengambil peran sebagai penasehat kebijakan, mempengaruhi langsung legislasi, melakukan gerakan sosial untuk reformasi masyarakat, melakukan fasilitasi demokrasi seperti menggunakan participatori action research (PAR), fasiltiaor demokrasi, dan broker kebudayaan.
Sebagai contoh, Carol Talbert yang melakukan studi tuan tanah dan polisi brutal terhadap masyarakat afrika amerika, begitu juga Medison (2005) yang melakukan penelitian di Ghana dan mengggalang demonstrasi kepada kedutaan Amerika Serikat. Departemen Antropologi Universitas Texas bahkan melakukan kajian idiologi kebudayaan dan diversivikasi gender, merumuskan kesimbangan antara akademik dan aktivitas politik. Lebih dasyat lagi apa yang dilakukan oleh Charlie Hale yang merekrut penduduk asli untuk dijadikan antropolog. Begitu juga Ted Gordon yang berhasil menggalang politik etik di Nikaragua, Martha Menchaca, Richard Flores yang melibatkan mahasiswanya untuk kajian partisipasi
Faktor utama munculnya ciritical ethnography karena paradigma positivisme yang dibangun sebagai suatu objektifitas ilmu sosial yang bebas nilai membuat para peneliti berada di menara gading dan memposisikan manusia sama dengan benda. Lalu para pendukung ciritical ethnography mengadvokasi kebudayaan pada masyarakat moderen beserta institusinya. Bahkan etnografi kritis melakukan pelawanan terhadap penguasa atas yang dikuasa. Kritik utamanya pada studi kelas, idiologi, sentimen dan penidasan terhadap orang lain. Mereka mempromosikan riset egaliter dan pengetahuan praktis yang bersifat lokal. Etnografi krtitis ini datang untuk merevolusi falsafah dan metodologi positivisme diantaranya melalui pendidikan seperti yang dilakukan Thomas Schwandt, yang mengumumkan bahwa kareteristik sebagai interpretative, hermeneutic dan konstruktif alternative. Menurutnya, etnografi kritis mempunyai daya tarik yang besar pada hemeneutik dan teori kritis marxis dan konstruksi posmoderen. Sementara Foley, mengadvokasi kemanfaatn mengikuti refleksi konplemetari praktis, teoritis, antar tekstual dan dekonstruktif, khususnya atas refleksi praktis pada perspektif feminis dan sains.
Ketika kesadaran bahwa paradigma positivisme merupakan suatu yang keliru menimbulkan keinginan dari pada pendukung etnografi kritis untuk membatalkan banyak intiutif. Oleh karenanya para etnografi kritis mulai membangun bermacam epistiomologi, menilai dan mengintropeksi memori kerja dan autobiografi dan memimpikan semua jalan penting untuk pengetahuan. Etnografi kritis melakukan banyak refleksi dan menjelajahi secara inten interkasi dan menghasilkan narasi etnografi.
Menuurut Lincoln Allison, di web www.answers.com bahwa paradigma Critical Ethonography dengan core dari critical social theory adalah pertama secara langsung pada sejarah spesifik masyarakat, misalnya bagaimana point munculnya konfigurasi. Kedua, memahami masyarakat secara integrasi, mulai dari sains sosial, ekonomi, sosiologi, sejarah, politik, antropologi dan psikologi.
Sotirios Sarantakos (1993) dalam bukunya ‘Social Research’, lebih rinci memberi pemahaman tentang ‘critical paradigm’ ini, melalui empat kriteria, yaitu bagaimana paradigma ini memandang realitas, posisi manusia, natur of science, tujuan penelitiannya (1993, 38-39) secara tabeling melakukan perbandingan ketiga paradigm tersebut, dimana paradigm – atau yagn disebutnya dengan persfektif—critivism memiliki kriteria sebagai berikut: (1) persepsinya tentang realitas; paradigma kritikal memamahi realitas sebagai seseuatu yang dibangun oleh manusia. Realtias bukan order tetatapi merupakan konflik, tekanan, resistensi pada dunia yang sedang berubah. Oleh karenanya paradigma ini memberi posisi (stand point) peneliti bertindak subjektif dalam memaknai relevansi realitas sebagai suatu yang penting. (2) sedangkan persepsi tetang manusia dipandang sebagai potensi kreativitas dan menentukan. Ini berarti posisi manusia sebagai yang menentukan dan terlibat langsung dalam pencapain tujuan dari penelitian itu sendiri. (3) nature of science (posisinya dalam ilmu) dimana posisinya berada diantara positivism dan interpretive dan antara determinanisme dengan humanisme atau volutalisme. Aktor bertindak konfrontatif oleh sosial ekonomi dan memberi arti pada kehidupannya sendiri. Manusia diposisikan sebagai kreator untuk keuntungan dirinya sendiri. (4) tujuan penelitan, merubah kepercayaan yang timpang dan ide tetang masyarakat dan realitas sosial sebagai manusia yang kreatif terarah dan mengkritik system kekuasaan dan struktur yang tidak adil, dan dominasi yang menindas.
Guba, Egon G.,& Yvonna S. Lincoln (2005) ”Paradigmatic Controversies, Contradictions, and Emerging Confluences,” menggunakana tiga ciri atau krteria dari paradigma kritikal ini yang disebutnya dengan aksioma, yaitu ontology, epistimologi dan metodologi. Adapaun ciri ontology yang melekat pada etnografi kritikal adalah realisme sejarah - virtual realitas dibentuk oleh sosial, politik, budaya, ekonomi, dan etnik, nilai gender; terkristralisasi dalam waktu, sedankgan epistiomologinya adalah transaksional/subjektivis ; sarat nilai, demikian juga metodologinya memiliki ciri dialogis/dialektis.
Dengan berpedoman pada konsep-konsep diatas, maka untuk mengkatagorikan sebuah buku termasuk etnografi kritis (critical ethnography) menurut saya buku tersebut setidaknya memenuhi criteria yang sangat berkaitan dengan paradigma critical ethnogapgy, dalam hal ini saya mengujukan dua ciri utama yang harus ada yaitu:
1. Standpoint peneliti atau penulisnya secara tegas membongkar kebobrokan negara, atau kelompok dominan yang melakukan penindasan kepada masyarakat atau kelompok minoritas. Peneliti atau penulisnya melakukan upaya-upaya perbaikan baik itu melakukan perlawanan, pendampingan dan advis kebijakan. Peneliti atau penulisnya jelas seorang ilmuan yang aktifis sosial dengan epistimologi yang subjektif dan berpihak.
2. Dilihat Metodologinya, tujuan penelitiannnya untuk merubah kepercayaan yang timpang dan ide tetang masyarakat dan realtias sosial sebagai manusia yagn kreatif terarah dan mengkritik system kekuasaan dan struktur yang tidak adil, dan dominasi yang menindas. Sedangkan teknis pengumpulan datanya lapangan lebih bersifat dialogis dan dialektis
Berdasarkan dua kreteria tersebut maka saya memberi dua contoh buku yang merupakan buku etnografi kritis (critical ethnography) yaitu :
1. Anna Lowenhaupt Tsing, 1998 (Penerjemah Achmad Fedyani Saifudin) Dibawah Bayang-Bayang Ratu Intan; Proses Marjinalisasi Masyarakat Terasing. Judul Asli : In the Realm of the Diamond Queen, Marginality in A Out-of-the Way Place terbit 1993 diterbitkan oleh Pinceton Univercity.
Saya ingin menunjukkan bahwa buku ini memenuhi dua kriteria tersebut;
1.1. Stand Point
Studi ini menempatkan gender pada pusat analisis (hal 11) yang meposisikan studi ini sebagai studi feminisme, dimana feminisme merupakan salah satu kata kunci dari ciri-ciri yang melakat pada critical ethnography yang mengkontruksi kebudayaan dan politik dari marjinalitas. Anna L Tsing mengurraikan proses marjinalitas dari masyarakat Meratus yang terlempar ke tepid an tersingkir lalu melawan dengan protes yang dituangkan dalam tanfsiran kebudayaan kembali. (hal 5). Oleh karena itu penulisnya dengan tegas menyuarakan merjinalisasi masyarakat tersebut melalui judul In the Realm of the Diamon Queen, Marginality in an Out-of-the-wa Place secara tegas mengambarkan keberpihakan penelitinya kepada masyarakat yang menjadi korban dari struktur politik nasional. Untuk mereflekasikan keberpihakknnya tersebut Tsing sengaja mengangkat symbol Uma Adang tokoh dukun perempuan yang melalui praktek pedukunannya melakukan perlawanan ke lelaki, pejabat, negara dan agama dominan.
Oleh karena itu Tsing mengungkapkan secara tegas telah terjadinya bias gender yang berbasis kultur di Meratus, dan mendorong terus Uma Adang untuk mengaktualisasikan diri dalam bentuk kepemimpinan yang lain. Perhatikan kutipannya berikut:
“Pejabat daerah tidak pernah wanita, Tidak seperti pemimpin lelaki, Uma adang tidak bisa mencapai kedudukan sebagai pejabat setempat. Ia ditolak bahkan ketika pemimpin pria lokal sendiri tidak berminat menjadi pejabat; pembedaan ini pula yang mendorong Uma Adang sering sekali berprilaku khas” (hal 37.)
Tsing juga mengkritik sistem politik nasional terutama sekali hubungan transmigrasi dengan pengusaan hak-hak pengeloaan hutan oleh pejabat tentara. Meratus bisa bebas dari tujuan transmigrasi karena daerah Meratus merupakan wilayah hak penguasaan hutan seorang jenderal. Secara implisit sebenarnya Tsing ingin mengemukankan bahwa program pemukiman baru dimana penduduk dipindahkan dengan batas penguasaan lahan terbatas, dan issu pemotongan kepala bisa berkaitan langsung dengan kepentingan penguasaan hutan oleh oknum tertentu. (hal 25). Protesnya diatas dilanjutkanya pada proses terhadap pembatan hutan,
“… adalah keliru kalau pemerintah hanya memikirkan kayu dan pohon-pohon , ada banyak tumbuhan lain dalam hutan yang berguna bagi kehidupan orang Meratus”
Protes Tsing kepada pemerintah tentang pemberian lebel masyarakat terasing pada orang Meratus sebagai suatu hal yang justeru menjadikan mereka benar-benar terasing karena berada di pemukiuman baru yang jelas-jelas mengasingnya mereka dari kehidupan pekampungan mereka. Padahal seharusnya jika mereka dibiarkan hidup dengan ekologi dan budaya mereka justeru membuat mereka tidak terasing lagi pula mana ada orang yang terasing didaerahnya sendiri.
Tsing juga aktif, terliabt dalam aktivitas masyarakat bahkan sampai membantu kelahiran bayi dan penguburan bayi yang masyarakat lain tidak mengurus penguburnanya. Bahkan secara aktif meminta kepada Kapolsek untuk membangun Meratus:
“ Ketika Kapolsek tinggal di balairung Ukut, saya pergi menemuinya dan bercakap-cakap tentang kemungkinan pembabanguna desa. Ia mengatakan sedang memeriksa pelaksanaan pembangunan, tetapi dia belum menyaksikan adanya kemajuan.
……………………….
Ketika kapolsek memberi sambautan, dia bertanya apakah ada yang ingin bertanya, sehingga akhirnya saya angkat berbicara. Saya katakana bahwa kami membutuhkan piring, gelas dan cerek—bukan untuk kami gunakan sendiri, tetapi untuk melayani tamu-tamu penting selayaknya. “
Dari kutipan-kutipan diatas, jelas sekali bahwa posisi peneliti sangat berpihak bahkan secara aktif mencari jalan untuk pembangunan masyarakat Meratus. Hal ini menandakan
1.2. Metodologi
Dilihat dari metodologi ada beberapa kriteria, pertama, tujuan penelitian ini adalah mengkontruksi kebudayaan dan politik marjinalisasi pada orang Meratus. Tentu saja dari tujuan penelitian ini mengambarkan hubungan dengan criteria critical ethnography yang tentu saja betujuan untuk mengungkapkan ketidakadilan, dominasi dan keadailan. Oleh karena itu, dari awal buku ini mengungkapkan perlakuan ketidakadilan yang terjadi pada orang Meratus.
Kedua, ontologi, Tsing secara cerdik mengungkapkan realissme sejarah, yang digali dari infroman dan informasi lainnya. Realitas historis ini dilihat dari semua aspek, kultur, ekonomi, politik, agama dan lainnya sebagaimnya.
Ketiga, epistimologinya, secara jelas Tsing menyatakan keberpihaknya atas penindasan yang terjadi pada masyarakat Meratus, terutama dari negara, suku Banjar, agama resmi, bias gender, turis, pengusaha kayu, ahli pembangunan internasional. Selain itu, Tsing juga melakukan usaha-usaha pembelaan, pendampingan dan advokasi bagi orang Meratus, ini berarti terjadi transaksional antara peneliti dengan subjek yang diteliti dan pemerintah.
Keempat, metodologi dalam hal ini teknis mengumpulan data lapangan. Pada etnografi kristis field research memposisikan informan sebagai subjek yang bersifat dialogis dan dialektis. Subjek penlitian dalam hal informan merupakan bagian dari proses penelitian dan ini terlihat dari laporan penelitian yang meletakan infroman pada posisi penting dan mengedepan emik. Tsing sebenarnya secara jelas, bagaimana dia memperlakukan informan dalam laporan penelitiannya. Tokoh lokal dan ide pemikirannya ditampilkan secara jelas dalam buku ini. Ada beberapa tokoh sentral yang ditampilkan pada buku ini, yaitu Uma Adang, Ma Amar, Ma Salam dan Pak Beruang.
Dari dua kreteria besar yaitu poisis peneliti dan metodologinya, maka dapat disimpulkan bahwa buku karangan Anna L Tsing ini merupakan critical ethnography.
2. Nancy Lee Peluso, 2006, (Penerjemah Landung Simatupang) Hutan Kaya Rakyat Melarat; Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa. Judul Asli Rich Forests, Poor People : Resource Control and Resistance in Java tahun 1992 di terbitkan oleh The Regen Univercity of California.
2.1. Stand Point
Sebagai mana mana Anna L Tsing, Nancy Lee Peluso juga secara tegas memposisikan diri sebagai peneliti yang subjektif dan berpihak kepada masyarakat disekitar hutan. Judulnya saja tampak sekali berpihak “Rich Forests, Poor People : Resource Control and Resistance in Java”. Nancy dalam tulisan ini mengungkapkan tentang konflik berkelanjutan antra negara dengan masyarakat disekitar hutan jati. Buku ini dibuka dengan gambaran konflik antara mantri hutan jati dengan penduduk setempat;
“Mantri Kasran biasanya menembakana senjatanya ke udara untuk menghalau pencuri. Lalu pencuri akan terbirit-birit dan assistan-asisten kasran berlarian datang. Suatu hari, kira-kira lima tahun 1984, ia dikepung selagi berjalan dekat suatu desa di hutan jati. Ia gambarkan mereka yang “menangkap”-nya itu sebagai “grombolan pencuri jati yang berangaan, berkekuatan sekitar lima puluh hingga seratus orang, banyak dari mereka mengacung-ancungkan cangkul, pentungan, parang dan berbagai alat pertanian lainnya. Orang-orang itu mengepung Mantri Karsan, mengumpat dengan makian kasar. Ia tidak mungkin menembakan senjatanya, itu jsuteru akan menjadi dalih yang mereka perlukan untuk menyerangnya, menyalahkan seperti itu biasa, menjalan tugas sebagai penjaga hutan. Beruntung, satu diantara satu asistennya yang tinggal di desa berdekatan, mendengar keributan tadi dan lari mencari pertolongan. … sampai satu truk polisi hutan berhasil menyelamatnyanya.”
Inilah gambaran situasi konflik antara Perhutani dengan masyarakat, konflik itu tentu relevan dengan catatan Nancy bahwa system pengelolaan hutan di negara ketiga telah gagal mengurangi kemerosotan hutan dan kemiskinan pedesaan. Bahkan beberapa sistem pengelolaan hutan justeru menyebabkan semakin memperparah kemerosotan hutan karena makin runyam kemiskinan penduduk desa yang tinggal dipinggiran hutan. Perlawanan dan konflik ini disebut Nancy sebagai bentuk protes masyarakat kepada pemerintah dan Perhutani karena akses hutan yang tidak mereka miliki.
Hampir seluruh bab Nancy memaparkan rumitnya system pengelolaan hutan di Jawa, yang merupakan sejarah panjang pendertiaan masyarakat, disemua struktur sosial yang ada dibangun suatu struktur yang menghambar masyarakat untuk bisa memanfaatkan hasil hutan yang menyebabkan mereka tetap miskin. Matarantai antara pengusahaan hutan oleh Negara, penjarah hutan dan penampung hasil curian telah terbangun sejak lama. Bahkan pada masa orde baru, masyarakat untuk mengambil kayu bakar saja sudah tidak bisa;
“ Belakangan, rimbauan memberantas pengambilan kayu bakar dan pakan, meskipun warga sendirilah yang menanam pohon leucaena tersebut. Suatu hari petugas kehutanan mencegatnya (Pak Mustafa) di jalur becek ketika Pak Mustafa kembali ke Desa, dengan marah merengut beban bawaan Pak Mustafa, dan meremuk kayu bakar yang dikumpulkannya sepanjang hari. Para rimbawan juga merampas parangnya” (hal 233)
Gambaran diatas tersebut secara jelas memnyuarakan suatu dasar critical ethongraphy dari penulisnya, yang jelas-jelas berpihak kepada masyarakat yang menjadi korban dari system pengelolaan hutan tersebut.
2.2. Metodologi
Dilihat dari kiteria metodologinya maka pertama, tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkankan pola pola perlwanan dan penguasaan hutan dalam hubungan konflik antara Perhutani dengan masyarakat disekitar hutan. Mengungkapkan hubungan yang tidak seimbangan dan penindasan oleh Perhutani terhadap masyarakat disekitar hutan. Dari tujuan ini jelas ini merupakan penelitian critical ethnograpy
Kedua, ontologi, Nancy secara detail menguraikan runut sejarah kebijakan, dan system pengusahaan hutan jati dari zaman kerajaan, VOC, kolonial Belanda, awal merdeka hingga masa Orde Baru dari berbagai aspek sosial, politik dan ekonomi.
Ketiga, epistimologinya, secara jelas Nancy menyatakan keberpihaknya atas penindasan yang terjadi pada masyarakat sekitar hutan, oleh pemerintah, Pehutani, Lintah Darat dan pegawai Perthutani yang setiap saat melakukan tekanan kepaa masyarakat dis ektiar hutan.\
Keempat, metodologi dalam hal ini teknis mengumpulan data lapangan. Pada etnografi kristis field research memposisikan informan sebagai subjek yang bersifat dialogis dan dialektis. Peneliti menggali data dari informan yang meletakan informan sebagau subjek utama. Baik itu masyarakat maupun dari pihak rimbawan. Informasi dari masyarakat diungkapkan secara emik sebagai suatu sumber data yang penting.
Dari dua kreteria besar yaitu poisis peneliti dan metodologinya, maka dapat disimpulkan bahwa buku karangan Nancy Lee Peluso ini merupakan critical ethnography.
Buku Bacaan
1. Anna Lowenhaupt Tsing, 1998 Penerjemah Achmad Fedyani Saifudin, Dibawah Bayang-Bayang Ratu Intan; Proses Marjinalisasi Masyarakat Terasing, Yayasan Obor Jakarta.
2. Guba, Egon G.,& Yvonna S. Lincoln (2005)”Paradigmatic Controversies, Contradictions, and Emerging Confluences,” dalam Norman K. Denzin &Yvonna S.Lincoln, eds. The Sage Handbook of Qualitative Research (third edition). Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications.
3. Foley, Douglas &Angela Valenzuela.2005. “Critical Ethnography: the Politics of Collaboration,” dalam Norman K. Denzin &Yvonna S.Lincoln, eds. The Sage Handbook of Qualitative Research (third edition). Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications.
4. Jeffrey M Stanon, Book Review “Critical Ethnograppy: Method, Ethics, and Performance” Organizational Research Methodds, Juli 2006.
5. Lincoln Allison, 2008, Critical Ethnography, di web www.answers.com
6. Nancy Lee Peluso, 2006, Penerjemah Landung Simatupang Hutan Kaya Rakyat Melarat; Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa Konphalindo, Jakarta\
7. Madison, D, Soyini, 2005, Critical Ethnograppy: Method, Ethics, and Performance, Sage Publication, United Kongdom.
8. Sotirios Sarantakos (1993) dalam bukunya ‘Social Research’ MacMILLAN EDUCATION AUSTRALIA PTY LTD, Melburne.
Langganan:
Postingan (Atom)